Selasa, 14 April 2009

Kepingan Derita Perempuan di Papua

Judul Buku : Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua
Penulis : W.I.M. Poli, M. Dahlan Abubakar, Sitti Bulkis
Penerbit : identitas Unhas
Terbit : Desember 2008
ISBN : 978-602-8405-01-0
Tebal : 264 halaman


“Seorang perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan dibentuk menjadi perempuan oleh lingkungannya.” (Simone de Beauvoir)

Adalah realitas bahwa kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi gejala di seluruh belahan dunia. Diskriminasi dan penyematan status inferior terhadap kaum perempuan ini juga terjadi di tanah Papua. Bahkan ada sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa di Papua, perempuan itu tidak ada. Pernyataan ini akan dihadapkan dengan sejumlah peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang tersaji dalam buku ini.
Di Sentani Timur, seorang Ibu melaporkan suaminya ke polsek karena dianiaya. Sebelum kasus pemukulan ini terjadi, sang suami menghilang selama satu minggu. Namun tiba-tiba sang suami pulang dalam keadaan mabuk. Istrinya, yang ketika itu sedang mencuci, bersama anaknya, dipukuli. Suami ini tak bekerja. Malah ia bergantung pada istrinya (Kasus Tahun 2007).
Sementara, di Distrik Namblong, seorang istri dianiaya suaminya yang menjabat sebagai kepala kampung. Lantaran sudah kawin lagi, sang suami ini memukul dan mengusir istri pertamanya untuk membawa istri muda ke rumahnya (September 2007).
Kedua contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tsb hanya merupakan kepingan kecil kesengsaraan perempuan Papua. Masih banyak kisah lain yang bahkan tak terdeteksi. Hal ini lantaran korban kerap tidak melapor karena menganggap KDRT sebagai aib yang harus ditutupi. Minimnya wawasan dan pengetahuan korban (perempuan) menjadi salah satu penyebab kebungkamannya.
Selain itu, peristiwa KDRT di Papua dianggap berkaitan dengan adat istiadat dan mas kawin. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kekuatan adat menyebabkan banyak istri mengalami tindakan kekerasan oleh suaminya, baik fisik maupun non fisik yaitu disepelekan. Tidak ada komunikasi yang wajar antara suami dan istri. Bahkan, ada istri yang dibentak suaminya ketika sang istri menanyakan berapa besar gaji suaminya. Parahnya, strategi yang biasa dilakoni para korban hanya diam.
Di Papua, kasus kekerasan tersebut tak hanya menimpa perempuan yang berpendidikan rendah. Ada juga korban kekerasan yang justru menimpa seorang perempuan terdidik yang menjadi aktivis perempuan sejak usia muda. Berikut potongan penuturannya.
“Kalau suami pulang malam, misalnya, dan ternyata ada anak yang belum pulang, saya ditendang dan dipukul. Biar sudah tengah malam, saya harus keluar mencari anak tersebut. Kalau suami melihat ada sesuatu yang kurang beres di rumah, dia marah, memukul saya, lalu pergi meninggalkan rumah.”
Kekecewaan perempuan terhadap ketertindasan yang dialaminya akhirnya menimbulkan dua hal yakni antara menyerah atau mengubah lingkungannya. Di seluruh dunia, di sepanjang zaman, sejarah mencatat bahwa sesuatu penderitaan dapat memicu kehendak dari pihak yang menderita untuk menanggulanginya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Di antara perempuan-perempuan Papua yang kecewa ini, akhirnya ada juga yang berhasil bangkit untuk mengubah lingkungannya.
Dari pengalaman, karya, dan kesuksesan beberapa perempuan Papua yang tersaji dalam buku ini dapat dilihat bahwa mereka pada umumnya berasal dari keluarga besar yang menghadapi kesulitan ekonomi. Ternyata kesulitan hidup menjadi sumber belajar yang memberdayakan mereka.(Faika Burhanuddin)