Kamis, 12 Agustus 2010

Presiden Tak Tinggal di Istana, Mengapa?

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

‘’Memang dari para pegawai senior istana, tukang kebun yang telah puluhan tahun bekerja, dan dari cerita beredar dari mulut ke telinga-telinga, saya mendapat gembaran adanya hal-hal serem yang sulit dinalar dengan logika. Sebagai yang tidak dikaruniai bisa melihat hal-hal yang tidak kasatmata di Istana, saya tenang saja.
Bahkan, ketika pegawai senior istana beberapa kali bercerita tentang kerapnya ada suara-suara orang berpesta di Istana Merdeka saat menjelang tengah malam tiba, saya hanya mendengarkan. Beberapa teman saya merinding bulu tangannya, tapi saya tenang saja. Maaf, mungkin saya tidak peka.
Seringnya ada suara-suara orang berpesta di Istana Merdeka saat menjelang tengah malam tiba dikatakan oleh pegawai senior istana sebagai salah satu sebab kenapa Pak Beye (Susilo Bambang Yudhoyono) dan keluarga tidak lagi tinggal di sana.
…. Pada awal pemerintahannya yang pertama, Pak Beye dan keluarga tinggal di Istana Merdeka. Tidak setiap hari sepanjang minggu memang karena Pak Beye dan keluarga punya rumah di Cikeas sana yang harus didatangi setiap akhir pekan tiba.
Nah, dengan alasan renovasi lantaran kayu penyangga atap Istana Merdeka dimakan rayap, Pak Beye dan keluarga pindah ke Istana Negara, setelah 1,5 tahun meninggalkan Istana Merdeka’’.
Beberapa alinea kisah di atas inilah yang terungkap di dalam buku ‘’Pak Beye dan istananya’’, salah satu Tetralogi sisi lain SBY yang ditulis oleh Wisnu Nugroho, wartawan Kompas yang selama periode I SBY (dengan JK) meliput kegiatan Istana.
Kisah di dalam buku ini rata-rata menarik, yang menurut Pepih Nugraha – sang editor – tidak termasuk dalam berita penting jika dibandingkan informasi kelas hardnews lainnya. Seluruh isi buku setebal 256 halaman ini pernah dimuat di social blog Kompasiana yang dikembangkan megaportal Kompas.com.
Saya sengaja mengutip penggalan kisah di atas, karena beberapa waktu yang lalu pernah muncul wacana kritis terhadap seringnya iring-iringan kendaraan Presiden SBY memacetkan arus lalulintas kota Jakarta dalam perjalanan dari Cikeas ke Istana Merdeka. Pertanyaan yang muncul kala itu adalah mengapa Presiden tidak tinggal saja di istana biar iring-iringan kendaraan yang ditumpanginya tidak memacetkan lalu lintas kota Jakarta yang macetnya tidak ketulungan itu.
Adakah kaitan kisah serem di Istana Merdeka dan istana Negara itu membuat keluarga Presiden SBY tidak betah tinggal di istana dan lebih memilih tinggal di rumah pribadinya di Cikeas? Jawabannya, boleh ya dan boleh tidak.
Dalam sejarahnya, presiden yang pernah tinggal di Istana antara lain Soekarno, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri. Soeharto lebih banyak tinggal di Jl.Cendana, kediaman pribadinya. Hanya saja, tidak pernah terdengar keluhan akan kemacetan jalan ketika setiap saat Soeharto ke Istana dibandingkan pada masa pemerintahan SBY. Kondisi paling krusial yang pernah terjadi beberapa waktu silam, lantaran iringan kendaraan rombongan orang nomor satu Indonesia itu pernah menimbulkan kecelakaan beruntun di jalan tol.
Wacana presiden harus tinggal di istana tersebut kini bagaikan angin lalu saja. Lewat begitu saja, saat muncul isu dan berita baru yang lebih heboh. Berita dan informasi di republik ini bagaikan di-remote control saja. Tergantung siapa yang memenejnya.
Kembali ke karya Wisnu Nugroho ini, memuat 62 kisah untold stories catatan langsung seorang wartawan yang menghabiskan lima tahun tugas jurnalistiknya di wilayah yang tidak semua orang dapat memperoleh akses. Inu, demikian pria kelahiran Jakarta 6 Mei 1976 dan menjadi wartawan Kompas tahun 2001 ini, mampu memotret informasi yang tidak biasa tetapi menjadi informasi dan pengetahuan yang luar biasa bagi pembaca. Saya pun baru tahu kalau pada masa pemerintahan SBY, mobil merek Kijang tidak boleh masuk Istana, meski ada pejabat negara yang bermobil dinas merek itu.
Buku ini menginformasikan kepada kita – pembaca buku ini – informasi-informasi ringan menarik yang sangat berguna bagi mengetahui keadaan isi dalam istana presiden yang dibangun tahun 1879 tersebut. Informasi yang selama ini belum pernah terungkap sama sekali ke publik secara terbuka. Apalagi melalui jejaring sosial dan kemudian berubah menjadi sebuah buku.
Dari 62 kisah tersebut, Inu membaginya ke dalam enam bab. Bab 1 bertajuk ‘’Tunggangan Istana’’ memuat 15 kisah. Semuanya berkisar segala jenis merek kendaraan yang berkaitan dengan orang (di) dan istana.
Bab 2 ‘Orang Penting’ berisi 11 kisah, tuturan mengenai mereka yang masuk dalam kategori penting. Orang penting di sini termasuk ‘Puan-Puan’ .
Bab 3 Orang Terlupakan’ bertutur 7 kisah mereka yang bertugas di istana dan tidak atau kurang terinformasikan. Mereka yang bekerja dengan oenuh dedikasi dan tanpa pamrih demi kesakralan istana presiden.
Bab 4 ‘Antara Penting dan Genting’ dengan 12 kisah, bersoal mengenai masalah yang penting dan genting. Termasuk yang genting adalah ‘Teror di Bawah Pohon Bodhi’ dan ‘’Dilarang Telanjang di Istana’.
Bab 5 ‘Pernak-Pernik Pak Beye’, 8 kisah yang berkalam mengenai selera sang penghuninya. Mulai dari soal Soto Ayam, batik, HP, lapangan golf, hingga anjing dan Superpuma yang ‘berjaga-jaga’ di Istana.
Bab 6 ‘Istana Punya Cerita’, 9 kisah seputar isi istana. Macam-macam ceritanya. Mulai yang ganjil, kekayaan istana, patung tanpa busana, hingga yang serem di Istana.
Bab ini mungkin dapat menjawab pertanyaan, mengapa keluarga SBY tak betah tinggal di istana. Mau tahu penyebabnya, silakan baca.
Di Gramedia Mall Ratu Indah, buku ‘Pak Beye dan istananya’ pernah dikembalikan ke penyalurnya, karena dinilai tidak menarik. Namun begitu salah satu TV swasta menayangkan hasil wawancara dengan sang penulis beberapa hari lalu, permintaan akan buku ini mengalir deras. Saya perlu meng-indent untuk memperoleh lagi 5 eksemplar buku yang sudah saya tamati tanggal 25 Juli 2010 itu. Selamat membaca!

Ramadan di Kampung

Oleh M,Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Dalam kehidupan beragama Islam di Indonesia ada dua hal yang selalu menimbulkan kontroversi. Pertama adalah pada saat penetapan awal Ramadan. Kedua, ketika menetapkan hari raya Idul Fitri. Dalam hal penetapan hari raya Idul Adha sering sama, karena mengacu – kepada – sehari setelah ibadah wukuf di Padang Arafah, Mekkah.
Kontroversi ini kerap menimbulkan pertanyaan Kapan awal Ramadan menurut versi ini dan menurut versi itu. Yang lazim dikenal adalah menurut versi Muhammadiyah, menurut versi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga sekaligus menurut versi pemerintah. Di Sulawesi Selatan malah ada menurut versi kelompok An Natsir di Kabupaten Gowa yang untuk Ramadan 1431 ini sudah mengawali Ramadan sejak Senin atau Selasa. NU pada tahun 2010 malah menerjunkan pengamatan pada 90 titik di seluruh Indonesia dengan 120 tenaga rukyah.
Tatkala menjelang akhir bulan Syakban, para ulama dan petinggi agama Islam di Indonesia mulai sibuk melakukan berbagai penelitian dan pengamatan untuk menentukan awal Ramadan. Yang galib dilakukan, untuk dapat memastikan hilal (awal Ramadan) terdapat dua hal yang dapat dikaji, yakni apa tanda masuknya awal bulan Qamariah dan bagaimana menentukan awal bulan tersebut.
Tanda menentukan bulan Qamariah bisa diketahui melalui munculnya bulan sabit di ufuk barat, begitu pula berakhirnya, ditandai adanya bulan sabit baru yang juga berarti tanda awal bulan selanjutnya (Ramadan).
Sudah tentu dalam menentukan awal bulan tersebut kita mengacu kepada petunjuk Rasulullah yang terkait dengan penetapan awal Ramadan dengan memilih salah satu dari tiga alternatif, yakni: (1) Ruyatul Hilal (melihat bulan sabit); (2) menyempurnakan bilangan hari bulan Syakban; dan (3) memperkirakan bulan sabit.
Para pihak yang memiliki kompetensi menentukan awal Ramadan di Indonesia memilih salah satu dari ketiga alternatif tersebut. Kerap memang berbeda, karena alternatif yang dipilih memang tidak sama.
Terlepas dari semua penentuan itu, pelaksanaan ibadah puasa Ramadan harus mengacu kepada hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, yang berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits lain diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menyebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ketiga, menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’i) (sumber google.com).
Indonesia yang memiliki pembagian tiga waktu sebenarnya dapat memilih alternatif satu, yakni melihat bulan sabit di wilayah Indonesia Timur yang lebih dulu dua jam dibandingkan waktu Indonesia Bagian Barat. Proses peenyaksian mereka di wilayah Papua misalnya akan menjadi acuan kuat bagi pemilihan alernatif pertama dengan membandingkan pada hasil pengamatan pada dua wilayah lainnya (Tengah, Makassar) dan Barat (Aceh)..
Yang selalu menjadi pertanyaan saya mengapa orang di Arab Saudi sering lebih dulu sehari menunaikan ibadah puasa atau melaksanakan salat Idul Fitri ketimbang Indonesia yang notabene lebih dulu enam jam dibandingkan waktu Arab Saudi. Pada tahun 1996, ketika menunaikan ibadah umrah, saya melaksanakan salat magrib di luar kota Mekkah dan melihat ke angkasa. Tampaknya, orang Arab lebih mudah melihat awal hilal, karena angkasa di wilayah gurun dan bukit batu Arab Saudi itu bebas dari kabut dibandingkan Indonesia yang tropis dan selalu berawan. Apakah Indonesia perlu melakukan pengamatan di Arab?
Awal puasa di kampung
Begitu mendengar TV dan membaca suratkabar perihal penetapan awal Ramadan saban tahun di Makassar, saja selalu terkenang mundur ke akhir 50-an dan awal tahun 60-an, tatkala masih di kampung (Bima) sana. Teringat bagaimana penduduk kampung mencari tahu permulaan puasa. Belum ada televisi dan radio di kampung saya yang terbilang paling ujung di kabupaten. Pada tahun 1957 (saya lahir sebenarnya 1953) satu-satunya radio di kampung adalah milik kakek saya yang pulang dari Tanah Suci setelah berlayar pergi-pulang selama enam bulan menumpang kapal laut. Beliau menumpang kapal Hope dan pernah singgah berlabuh di Pelabuhan Makassar. Kakek juga pernah singgah di Pasar Butung Makassar ketika dalam perjalanan pulang ke Bima. Selembar peta kota Makassar dia pajang di dinding rumah panggung kakek. Ketika masih hidup, beliau selalu menanyakan pasar Butung yang memang letaknya tidak kurang dari 500 m dari bibir dermaga Soekarno-Hatta Makassar setiap saya pulang kampung. Beliau lahir tahun 1901, sama dengan tahun lahir Bung Karno, dan meninggal dalam usia 87 tahunan.
Namun radio milik kakek ini tidak berusia lama. Rusak. Entah apa penyebabnya. Dugaan saya, gara-gara tangan kakek yang selalu ‘sandar’ di tombol pencari gelombang sepanjang siaran berlangsung. Setiap ada gangguan sedikit, pasti tangannya beraksi. Padahal, kakek tuna aksara dan buta bahasa Indonesia. Pekerjaan administratif yang beliau lakukan selama puluhan tahun selaku gelarang (kepala desa sekarang) hanyalah tandatangan saja. Setiap saya melihat kakek membubuhkan tandatangan pada surat yang dibuat wakil gelarang, tidak ubahnya mirip orang melukis. Jadi, untuk menggores satu kali tandatangan, kerap setengah menit diperlukan kakek untuk menyelesaikannya.
Pasca tidak ada radio di kampung, untuk mengetahui permulaan puasa, bilal (robo, bahasa Bima) sudah sangat maklum tugasnya. Pada malam hari menjelang keesokan hari diperkirakan awal puasa Ramadan, sekitar pukul 19.30 dia sudah berjalan dalam gelapnya malam sejauh 1 km ke kampung tetangga.Tidak ada lampu beterai penerang menyertai dia. Lampu senter termasuk barang luks kala itu. Hanya terjangkau oleh kantong orang-orang kota atau pegawai negeri saja. Kebetulan gelarang di kampung tetangga memiliki satu unit pesawat radio merek transistor yang terbuat dari kayu jati. Sama dengan merek dan jenis radio kakek saya.
Bilal akan nguping berjam-jam di rumah gelarang desa tetangga itu bersama warga desa yang lain untuk mengetahui dan hingga ada informasi awal permulaan Ramadan. Jika pada berita pukul 20.00 belum ada siaran yang ditunggu-tunggu, dia akan menanti siaran pukul 21.00 (yang kebanyakan siaran ekonomi pembangunan). Pada pukul 22.00 Wita tidak ada siaran nasional, kecuali dalam beberapa tahun kemudian RRI Nusantara IV Makassar mewartakan siaran Nusantara IV. Biasanya, siaran yang ditunggu-tunggu itu muncul pada pukul 23.00 Wita yang digabung dengan berita olahraga. Mungkin sebelum siaran itu, para petinggi MUI dan Departemen Agama di Jakarta sudah selesai rapat menentukan awal Ramadan.
Kehadiran bilal kembali di kampung malam itu mudah diketahui. Mulai di ujung kampung dia sudah berteriak, mengumumkan awal Ramadan keesokan harinya. Suaranya melengking memecah keheningan malam yang dinginnya mencapai 18 derajat Celsius. Hanya suara jengkrik kampung yang sepi diapit gunung mengiringinya bagaikan bunyi dawai gitar pengiring. Orang-orang di kampung saya jelas sudah puluhan kali mimpi indah. Listrik tidak ada membuat mereka pada ;pukul 20.00 rata-rata sudah pulas. Tidak heran program KB gagal di kampung saya atau mungkin belum ada program pembatasan jumlah anak kala itu. Saya saja (kemudian) bersaudara 10. Beban ayah yang seorang guru sedikit ringan, karena (hingga 1965) tiga putranya meninggal dunia. Jadi tinggal 4 orang pada tahun 1965. Tetapi ayah agaknya merasa perlu ‘’mengisi’’ tiga anggota pasukannya yang meninggal dunia itu lagi agar ganjil menjadi 6 orang hingga tahun 1970.
Khawatir teriakan tidak didengar warga yang tertidur pulas, bilal masih menyimpan cara lain. Dia ke masjid dan memukul beduk berkali-kali dengan irama khas Ramadan. Pukulan yang berbeda dengan saat masuknya waktu salat lima waktu. Pukulan beduk di kampung saya memberi empat isyarat. Pertama, isyarat awal puasa yang dipukul pada saat setelah ada pengumuman resmi pemerintah mengenai permulaan Ramadan. Kedua, isyarat masuknya waktu berbuka. Ketiga, isyarat agar warga bangun memasak sahur. Keempat, tanda akhir Ramadan yang berlanjut hingga menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri.
Pada isyarat terakhir inilah kadang-kadang beduk masjid ‘kewalahan’ menerima hentakan pukulan potongan akar bambu sebesar lengan anak kecil sepanjang 40 cm yang dijadikan pemukul dari warga. Kerap kulit kerbau di bagian beduk yang dipukul itu tercabik-cabik. Anarkis juga.
Tentu saja kisah 40-50 tahun silam di kampung saya itu tak ditemukan lagi sekarang. Teknologi informasi sudah merambat ke sana dan juga desa-desa (istilahnya kini) tetangga lainnya. Desa saya tahun 2010 ini – meski termasuk desa tertinggal – berhasil meraih juara II lomba desa tingkat kabupaten. Prestasi yang sedikit lebih baik (dari juara III ) ketika kakek saya menjabat gelarang pada lomba serupa tahun 60-an. Kebetulan juga yang menjabat kepala desa sekarang adalah cucunya (adik saya). Media komunikasi radio dan tv hingga telepon genggam sudah marak dimiliki warga. Ini mungkin termasuk ukuran ‘kemajuan’ desa saya. Awal Ramadan tak perlu lagi dengan ‘membabak-belur’ beduk masjid yang memang sudah tidak ada. Digantikan oleh suara pengeras suara yang lebih informatif dan komunikatif.
Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1431.

Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, 12 Agustus 2010