Sabtu, 27 Februari 2010

Wali Kota Bima Antusias Hadirkan PTN di Bima

Kehadiran perguruan tinggi negeri di Pulau Sumbawa kian memanas. Tim bekerja sama dengan Forum Kajian Wilayah dan Budaya Masyarakat Pulau Sumbawa menggelar ekspose di Restoran Pualam Makassar, Kamis (25/2) dengan menampilkan tiga pembicara. Dr.Abd.Rahman, S.H., M.H. membawakan materi mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP), Prof.Drs.H.Imran Ismail membawakan topic ‘’Hasil Study Kelayakan Pendirian Universitas di Bima’’ dan M.Dahlan Abubakar membawakan topik ‘’Usul Nama Universitas’’.
Abd.Rahman menjelaskan, BHP Pemerintah (BHPP) ditujukan untuk pendidikan tinggi, BHP Masyarakat (BHPM) untuk lembaga pendidikan tinggi yang selama ini dikelola pihak swasta. Sementara lembaga pendidikan dasar hingga menengah akan dikelola BHP Pemerintah Daerah (BHPPD).
Wali Kota Bima, H.M.Nur Latif, antusias menghadirkan sebuah perguruan tinggi negeri di kota Bima. Meski lokasinya di ibu kota, namun pderguruan tinggi negeri itu tetap akan melayani masyarakat Kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa Besar, Sumbawa Barat, dan beberapa kabupaten di Flores dan Sumba.
‘’Kita sudah menjelajahi Pulau Sumbawa untuk sosialisasi dan persiapan awal.’’ Kata Nur Latif dalam pertemuan Tim Pendirian PTN di Bima dengan para anggota DPRD Kota Bima, pekan lalu di Kantor Pemkot Bima di Raba.
Ia mengatakan, upaya-upaya yang dilakukan antara lain penyiapan dana ABPD yang sudah dilaporkan ke DPRD serta pembebasan tanah lokasi sekitar 30-40 hektar. Jika kemudian lokasi areal kampus itu kurang, kita akan tambahkan.
Nur Latif mengatakan, dengan adanya PTN di Kota Bima akan mampu mengakselerasi pembangunan di kota ini. Yang penting adalah dampak positifnya adalah membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan rakyat.
‘’Jika PTN ada, banyak rumah akan dikontrak. Dibangun took buku, sehingga akan menggerakkan ekonomi mikro,’’ ujar Nur Latif berapi-api.
Wali Kota menjelaskan, setiap tahun uang yang keluar dari Kota Bima untuk para membiayai mahasiswa asal Bima di beberapa daerah di Indonesia mendekati angka Rp 14 milyar. Jika uang sebanyak itu dibelanjakan di Kota Bima jelas dampaknya akan terasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bima.
Pada sisi lain, memang mungkin ada dampak negatifnya, namun dampak positifnya jauh lebih besar. Anak-anak akan menjadi cerdas berpikir. Kehadiran PTN tersebut akan ditunjang oleh sumber daya alam yang ada.
‘’Potensi Kota/Kabupaten Bima ini dahsyat,’’ sebut Nur Latif yang didampingi Sekretaris Tim Mastorat S.H., M.H, dan anggota Dewan Pakar M.Dahlan Abubakar.
Sebagai langkah awal, tim sudah melaksanakan penyebaran angket dukungan di beberapa kabupaten di Pulau Sumbawa dan Kota Bima sendiri sebagai lokasi kegiatan. Diharapkan universitas negeri ini sudah terbentuk tahun 2011 dengan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP).

Bima, Membidik Universitas Negeri

Oleh M.Dahlan Abubakar

Dalam hampir dua tahun terakhir ini, komunitas masyarakat Bima di Sulawesi Selatan menggagas berdirinya sebuah perguruan tinggi negeri di Kabupaten Bima. Alasan pendirian perguruan tinggi negeri itu cukup jelas, yakni guna menampung banyaknya minat putra daerah itu yang merantau ke daerah-daerah lain di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Daerah terbanyak yang disasar anak-anak Bima adalah Makassar dan Mataram. Kedua daerah ini memiliki jalur transportasi yang memadai. Makassar dapat dijangkau dengan transportasi kapal laut dua minggu sekali atau melalui transportasi udara dari Bima ke Denpasar baru ke Makassar. Mataram dapat dijangkau dengan bus selama 12 jam perjalanan dan pesawat 1 jam.
Data sementara yang berhasil diidentifikasi oleh tim persiapan menyebutkan, pada tahun 2010 jumlah lulusan SLTA yang diperkirakan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi mencapai 20.000 orang. Jumlah itu bakal mengalir dari seluruh kabupaten/kota di Pulau Sumbawa, Flores, dan Sumba. Dari jumlah itu, diperkirakan tertampung di perguruan tinggi berkisar 7.000 orang. Hal ini disebabkan, gengsi melanjutkan pendidikan di kalangan masyarakat Bima jauh lebih tinggi.
Guna mendukung pendirian PTN tersebut, Wali Kota Bima, H.M.Nur Latif cukup responsif. Atas kerja sama dengan DPRD Kota Bima, dikucurkan dana awal bagi pelaksanaan studi kelayakan (feasibility study). Panitia gabungan yang terdiri atas Pemerintah Kota, DPRD Kota Bima, dan Forum Kajian Wilayah dan Budaya Masyarakat Pulau Sumbawa di Makassar`pun dibentuk dan sudah mulai melaksanakan kegiatan persiapan. Sementara tim di Makassar mempersiapkan perangkat administratif yang diperlukan guna pendirian PTN tersebut.
Nur Latif mengatakan, kehadiran PTN di Bima akan membantu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat di Kota dan Kabupaten Bima. Setiap bulan, setidak-tidaknya Rp 14 milyar dana keluar dari Bima untuk membiayai putra-putrinya yang belajar di berbagai daerah dan kota di seluruh tanah air. Jika saja dana sebesar itu berputar di Bima, jelas akan dapat menggerakkan perekonomian dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kehadiran PTN, selain akan menjadi mitra PTS yang sudah ada dalam kapasitas sebagai pembanding, juga akan menghidupkan aspek perekonomian. Misalnya, transaksi kontrak rumah dan kos akan tumbuh cepat. Toko-toko buku akan hadir dan menyerap tenaga kerja. Penggunaan jasa transportasi pun akan meningkat. Arus uang masuk ke Bima pun jelas mengalir deras. Dan, sekian banyak lagi multiplier effect (manfaat ganda) yang dapat diperoleh dengan kehadiran PTN tersebut.
Soal nama
Di tengah persiapan pendirian PTN itu, masalah yang mencuat ke permukaan adalah soal nama. Pujangga Inggris, William Shakespeare, memang pernah berkata, what is a name? Apalah arti sebuah nama? Meski pujangga tersebut mengatakan seperti itu, tetapi dalam konteks ini, saya tidak sepakat dengan Shakespeare. Nama adalah "jimat" untuk mengarungi dunia. Dunia apa saja, termasuk dunia bisnis dan selebritis. Nama merupakan pengenal untuk membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Andaikan tidak ada nama, jelas kita selalu memanggil dan menyapa sesuatu dengan anu, yang kadang-kadang pada kondisi dan situasi tertentu bisa bermakna lain.
Dari sekian banyak universitas negeri di Indonesia, sedikitnya terdapat enam universitas yang berdiri di ibu kota kabupaten/kota. Universitas Brawijaya (UB, diresmikan 5 Januari 1963) dan Universitas Negeri Malang (UM, berdiri pertama 18 Oktober 1954 dengan nama IKIP Malang) berdiri di Kota Malang. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) berdiri di Kota Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, 10 Februari 1961. Universitas Sebelas Maret (UNS) berdiri di Surakarta (Solo) berdiri tahun 1976, dan Universitas Trunojoyo yang diresmikan paling akhir, 23 Juli 2001 berdiri di Kota Pamekasan Kabupaten Bangkalan, Madura.
Beberapa universitas negeri di Indonesia menggunakan nama berdasarkan: nama tempat (geografi), seperti Universitas Jambi dll, nama tokoh (Universitas Hasanuddin dll.) , nama lembaga (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), dan nama berdasarkan waktu/peristiwa seperti: Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), dan nama berdasarkan flora dan fauna: Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Beberapa Tawaran
Dalam suatu ekspose di Restoran Pualam, Makassar, Kamis (25/2/2010), saya – sebagai naib rekan Drs.Mayong Maman, M.Pd. yang sibuk dengan tugas di kampus – menawarkan satu pemikiran yang berkaitan nama ini mengacu pada karakteristik pemilihan nama sesuai dengan nama-nama universitas negeri yang sudah berdiri di Indonesia. Setiap nama yang diajukan jelas harus memiliki latar belakang historis, rekam jejak, dan aspek-aspek lain yang dapat menunjang sebuah nama itu dapat ditetapkan dan dijadikan pilihan
Berdasarkan pemikiran yang berkembang, nama yang digadang-gadang dan pernah disebut-sebut untuk sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Bima kira-kira adalah:
1. Universitas Negeri Bima
2. Universitas Sultan Abdul Hamid
3. Universitas Sultan Salahuddin
4. Universitas Abdul Kahir
5. Universitas Mbojo
Sang Bima.
Sang Bima adalah salah seorang putra dari Maharaja Pandu Dewanata. Pandu Dewanata (lihat M.Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara), adalah anak dari Maharaja Tunggal Pandita yang Maharaja Indra Ratu dan disebut-sebut sebagai asal usul raja-raja Luwu dan Sawerigading di Sulawesi Selatan.
Menurut Henri Chambert-Loir, (Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, 2004; 146) Sang Bima bersaudara empat orang. Sepeninggal Maharaja Pandu, Sang Bima mengajak adik-adiknya pergi bermain-main di dunia. Dia pergi ke Gunung Pajajaran di Pulau Jawa, kemudian bersalin nama menjadi Sang Prabu Jaya Lelana.
Secara ringkas, kita semua maklum, Sang Bima berjasa dalam perkembangan politik dan pemerintahan di Kerajaan Bima. Dialah yang berhasil mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat Bima yang terkotak-kotak ke dalam komunitas bernama Ncuhi. Nama Bima sendiri dipopulerkan oleh sejarawan Portugis dan Belanda dengan maksud menghilangkan nama yang melambangkan keaslian Mbojo.
Sebuah hikayat dalam Bahasa Melayu mengisahkan petualangan lima bersaudara Pandawa di Tanah Jawa. Menurut kalimat-kalimat pembukaan hikayat ini pengarangnya seorang dalang bernama Wisamarta, dalam masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah 1696-1731. Dengan demikian hikayat ini diperkirakan dikarang di Bima pada awal abad ke-18. Sebagian naskah hikayat ini ditemukan dalam dokumen yang berasal dari Makassar. Karena itu ada kemungkinan juga Hikayat Sang Bima dikarang di sana. Kini nama Sang Bima mungkin tidak ada dalam nama jalan di kota dan Kabupaten Bima. Kita tidak pernah tahu.
Sultan Abdul Hamid
Bergelar Mantau Asi Saninu (memiliki istana terbuat dari cermin), Abdul Hamid dilahirkan tahun 1176 H (1762 M) dan wafat 1 Ramadan 1234 H (Juni 1819). Mayatnya dimakamkan di halaman Masjid Kesultanan Bima. Ia dilantik sebagai Sultan Bima dalam usia 11 tahun pada tahun 1187 H (1773 M). Saudaranya, Abdul Mangga (Daeng Pabeta) pernah merebut kekuasan dari Abdul Hamid. Keduanya kemudian rujuk dan saling memaafkan.
Pada tahun 1810, Gubernur Willem Beeth mengundang Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi ke Makassar untuk membuat kontrak baru. Kontrak baru tersebut tidak dapat menolong, sebab pada tanggal 11 September 1811 Belanda takluk kepada Inggris. Bima pun bukan lagi menjadi jajahan Belanda.
Selagi menghirup udara baru yang segar bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial politik, di luar pengetahuan manusia, pada tanggal 11 April 1815 terjadi bencana maha dahsyat, yakni meletusnya Gunung Tambora yang konon kabarnya menewaskan 170.000 jiwa. Meski demikian, Sultan Abdul Hamid berhasil memperoleh bantuan dari berbagai pihak, antara lain dari para pedagang Makassar, Bugis, Maluku, Melayu, dan Banten yang menaruh simpati dan prihatin atas musibah yang dialami Kerajaan Bima. Pedagang asing pun ikut memberi bantuan, seperti Arab, Inggris, China, dan Portugis. Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi mampu memanfaatkan politik dagang bebasnya untuk kepentingan masyarakat Bima, sehingga krisis sosial dan ekonomi yang dialami dapat teratasi.
Sultan Muhammad Salahuddin
Sultan Bima yang ini bergelar Ma Kakidi Agama. Ia memerintah Kerajaan Bima antara tahun 1915-1951. Putra Sultan Ibrahim ini dilahirkan pukul 12.00 tanggal 15 Zulhijjah 1306 H (sekitar tahun 1888). Dia dilantik menjadi sultan pada tahun 1917. Gelar Ma Kakidi Agama diberikan, karena menjunjung tinggi agama Islam dan memiliki ilmu pengetahuan yang dalam serta luas di bidang agama. Sejak usia 9 tahun, beliau memperoleh pendidikan dan pelajaran agama Islam dari para ulama terkenal, antara lain; H.Hasan Batawi dan Syekh Abdul Wahab, Imam Masjidil Haram Mekkah.
Pada tahun 1921 di masa kepemimpinan Sultan Salahuddin didirikan Hollands Inlands School (HIS), sekolah untuk pribumi, setingkat sekolah dasar sekarang. Setahun kemudian didirikan pula sekolah kejuruan bagi kaum wanita, yaitu Kopschool dipimpin SBS Yulianche.
Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1931 mendirikan sekolah agama yang pertama di Bima, yaitu Madrasah Darul Tarbiyah di Kota Raba. Tiga tahun kemudian, didirikan Madrasah Darul Ulum Bima. Sekolah-sekolah agama dan madrasah pun dibangun di desa-desa demi memajukan pendidikan agama.
Atas inisiatif permaisuri sultan, 11 September 1944 didirikan Organisasi Keterampilan Wanita yang bernama Rukun Wanita dan kemudian melebur dalam Organisasi Wanita ‘Perwari’ (Persatuan Wanita Republik).
Oleh karena guru-guru HIS rata-rata berkebangsaan Belanda, maka Sultan dan Ruma Bicara mendatangkan guru agama yang berjiwa nasionalis dari Makassar yang bernama Muhammad Said. Guru ini menikah dengan gadis dari desa Ngali yang bernama Kabitia. Hasil perkawinan keduanya melahirkan seorang bernama Natsir, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Dr.H.M.Natsir Said, S.H., mantan Rektor Universitas Hasanuddin Makassar.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu 14 Agustus 1945 menimbulkan kekosongan kekuasan di Indonesia. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, atas nama Bangsa Indonesia.Pekik kemerdekaan itu ternyata baru terdengar di Bima 2 September 1945.
Sultan Muhammad Salahuddin mangkat di Jakarta pada pukul 22.00 tanggal 7 Syawal 1370 H (11 Juni 1951M) dalam usia 64 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta. Atas permintaan pemerintah pusat – setelah sebelumnya dua tokoh bangsa, H.Agus Salim dan Moh. Natsir sempat mendoakan arwahnya – jenazahnya dibaringkan di Gedung Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta – tempat diproklamasikannya Kemerdekaan RI.
Putra Abdul Kahir
Nama Abdul Kahir pertama muncul ketika NICA datang ke Bima yang dibonceng tentara, Sekutu, Australia. Dia adalah bekas Komandan PETA dengan pangkat Dai Danco dan Haiho yang melakukan perlawanan terhadap kesewenangan NICA. Ia kemudian dipercaya sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut Hilir Ismail (hlm.181), semasa menjadi Komandan PETA, pemerintah Jepang telah memilih empat orang Komandan PETA dari seluruh Indonesia untuk mengikuti pendidikan intelijen di Burma. Mereka adalah antara lain Putra Abdul Kahir, dan Zulkifli Lubis, yang kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh yang ada di belakang Peristiwa Cikini, Jakarta. Sayang, sebelum mereka diberangkatkan, Jepang keburu menyerah.
Sepeninggal ayahnya, Sultan Muhammad Salahuddin, Putra Abdul Kahir tidak sempat duduk di atas hamparan Dipi Umpu Kesultanan (tikar kesultanan), karena sistem politik dan pemerintahan sudah berubah. Masa kesultanan dan swapraja Bima berakhir, berganti dengan daerah swatantra lalu menjelma menjadi Daerah Tingkat II yang dipimpin Kepala Daerah dengan jabatan bupati.
Putra Abdul Kahir memimpin Kabupaten Bima sepeninggal ayahnya, mulai 2 Oktober 1950 hingga tahun 1967. Beliau kemudian diganti oleh Letkol H.Sudarmadji yang memimpin Kabupaten Bima antara tahun 1967 hingga 1974.
Mbojo
Nama Mbojo merupakan nama Bima dalam bahasa aslinya. Artinya, ketika seorang warga Bima berbahasa daerah, maka dia akan menggunakan kata Mbojo. Misalnya, nggahi Mbojo, dou Mbojo, dana Mbojo, dan sebagainya.
Menurut cerita orang tua-tua dan ahli-ahli Hadat Bima yang masih hidup sekarang ini (saat wawancara dilakukan), tulis Ahmad Amin (Sejarah Bima, stensilan, 1971) kata Mbojo berasal dari babuju, yaitu tanah yang ketinggian dan merupakan busut jantan yang agak besar. Dalam bahasa Bima disebut dana ma babuju, tempat semayam para raja ketika dilantik dan disumpah. Tanah tempat pelantikan itu, kini terletak di Dara, dekat Kompleks Makam Pahlawan di Bima (1971). Hanya sangat disayangkan, lokasi yang disebutkan itu sudah beralihfungsi sebagai tempat pemujaan.
Penutup
Dari lima nama tersebut, nama Bima digunakan terhadap nama kabupaten dan kota. Nama Bima untuk mengindikasikan kalau seorang warga Bima berbahasa Indonesia (Melayu).
Nama Sultan Abdul Hamid, selain ada dalam buku sejarah, juga mungkin nama inilah yang mengilhami Marah Rusli menulis sebuah roman yang menarik berjudul :La Hami. Kita belum tahu pasti, apakah La Hami yang dijadikan judul roman percintaan dan petualangan itu, merupakan representasi dari seorang Sultan Abdul Hamid yang perrnah berkuasa di Bima selama 46 tahun itu. Wassalam bissawwab.
Kemudian nama Sultan Muhammad Salahuddin, selain diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bima, juga merupakan nama Bandar Udara (Bandara) di Palibelo. Penggunaan nama tokoh seperti ini juga digunakan oleh beberapa kota yang kemudian memilih nama tersebut sebagai nama universitas negeri yang didirikan di daerah itu. Misalnya saja Hasanuddin Makassar, Sam Ratulangi Manado, Pattimura Ambon, dan Sultan Khairun Ternate.
Sementara nama Putra Abdul Kahir terkenal ketika Kabupaten Bima memasuki masa pemerintahan sebagai daerah swatantra. Beliau adalah bupati pertama Kabupaten Bima yang selalu dekat dengan rakyatnya. Dalam setiap kunjungan ke desa (seperti disaksikan penulis ketika masa kecil di Kanca, Parado), beliau tak segan-segan naik truk bersama rombongannya jika meninjau suatu desa.
Nama terakhir adalah Mbojo. Hanya saja nama ini pernah direncanakan untuk mendirikan sebuah universitas swasta dengan nama Universitas Mbojo. Menurut salah seorang anggota DPRD Kota Bima, Abdul Latief dalam pertemuan dengan tim (Pendirian Universitas Negeri di Bima) di Kantor Pemerintah Kota Bima, 20 Februari 2010, pada tahun 1981 pemerintah Kabupaten Bima pernah membebaskan tanah beberapa hektar sebagai persiapan membangun sebuah universitas. Namun hingga kini, rencana tersebut tidak pernah terwujud. Anggota Dewan itu berharap, rencana pembangunan atau pendirian universitas negeri di Bima, tidak seperti tahun 1981 itu.
Dari tiga nama, Sultan Abdul Hamid, Sultan Muhammad Salahuddin, dan Putra Abdul Kahir, jika dipilih menjadi salah satu nama perguruan tinggi negeri itu kelak, nama Bima tetap akan melekat di belakang nama-nama itu. Misalnya: Universitas Sultan Abdul Hamid Bima, Universitas Sultan Muhammad Salahuddin Bima, dan Universitas Putra Kahir Bima. Yang sedikit janggal, tetapi mungkin juga sangat komplit jika pilihan itu jatuh pada nama Universitas Negeri Mbojo, Bima.
Sekarang tinggal kita memilih, nama mana yang tepat untuk sebuah universitas negeri yang akan didirikan itu.
Makassar, 25 Februari 2010

Kenangan 39 Tahun

Hari itu, Sabtu, 20 Februari 2010. Inilah hari keempat aku berada di tanah kelahiran untuk mengemban sebuah tugas khusus dari almamaterku, Universitas Hasanuddin Makassar. Bersama seorang adik tingkat di Fakultas Sastra dulu, Dr.M.Ridwan Thaha, M.Sc., aku memperoleh tugas melaksanakan tugas sosialisasi pemberian beasiswa Bidik Misi Unhas 2010 di Kabupaten Bima dan Dompu.
Tugas di Kabupaten Dompu kami laksanakan dengan sukses 18 Februari 2010 di Gedung Kantor Dikpora Kabupaten Dompu. Sekira empat puluh orang – terdiri atas sejumlah guru SLTA dan sebagian besar siswa – hadir pada acara yang berlangsung hingga pukul 12.00 itu.
Hari sudah sore, mengendarai Escudo atas jasa baik Camat Parado, Pak Ibrahim, kami meluncur menuju Bima. Menerobos hujan lebat yang sempat merepotkan gerak laju Escudo, lantaran kaca mobil terkena embun sulit disingkirkan, karena pendingin kendaraan tidak berfungsi. Mobil bergerak bagai meraba-raba, diperlambat lagi oleh ramainya remaja desa yang mandi hujan di tengah jalan negara itu.
Menjelang belokan di Desa Daru, hujan reda. Kendaraan dapat melaju lebih cepat lagi. Kami tiba di Bima sekitar pukul 16.00 dan langsung check in di Hotel La Mbitu, sebuah hotel berlantai tiga di sebelah barat Istana Sultan Bima.
Jadwal sosialisasi di Bima 19 Februari 2010. Seorang teman yang kukontak menyanggupi mengoordinasikan rencana kegiatan itu dengan Kepala Dinas Dikpora Kota Bima. Aku memang pesimis dengan kesiapan Dikpora Kabupaten Bima, karena dalam beberapa kali dikontak, hanya sekali memberi respons, sesuatu yang kurang menggembirakan. Padahal, kami datang membawa berita baik dan bermanfaat bagi anak didik di SLTA Negeri Bima. Kami tidak kecewa dengan respons ini, karena Kabupaten Dompu cukup memberi respons yang baik. Lagipula, Dikpora Kota Bima siap menerima.
Tanggal 19 Februari 2010 pagi, teman Mastorat S.H., M.H., mengontakku melalui ponsel. Staf Dikpora bersedia menerima tim di kantornya, pukul 09.00. Ternyata yang menerima kami adalah Sekretaris Dikpora Kota Bima. Kami menjelaskan maksud kedatangan tim. Sekretaris Dikpora menyanggupi setelah mengontak kepala SMA Negeri 1 Bima agar menjadi tuan rumah pertemuan sosialisasi.
Aku gembira dengan pemilihan sekolah itu. Soalnya, sekolah ini adalah almamaterku. Dulu, masih bernama SMA Negeri Bima, satu-satunya SMA Negeri ketika itu di Bima. Kini sudah banyak. Artinya lebih dari satu. Bahkan, di tiap kecamatan saja ada SMA Negeri.
Acara sosialisasi dihadiri langsung oleh Kadis Dikpora Drs.Alwi Hardy, M.Si. Beliau adalah alumni IKIP Ujungpandang. Kalau tidak salah termasuk ‘anak nakal’ juga di Makassar dulu, karena pernah mendemonstrasi Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dengan melarang mahasiswa berpolitik di kampus.
Tim tinggal aku sendiri, karena Ridwan Thaha sudah kembali ke Makassar pada hari Jumat (19/2). Soalnya, tidak ada penerbangan pesawat Merpati pada hari Sabtu ke Denpasar dari Bima. Dia memperoleh tiket setelah ‘berjibaku kata’ dengan perwakilan perusahaan penerbangan tersebut di Kota Bima.
Mengawali sosialisasi, aku mengatakan, sangat terharu berada di SMA Negeri 1 Bima. Sekolah yang sudah 39 tahun kuimpikan bisa kudatangi. Dalam setiap kepulangan ke Bima, aku hanya dapat melintas di depannya. Memandangi halaman sekolah yang tidak lagi kukenal. Yang sangat berbeda dengan 39 tahun silam.
Ketika hendak meninggalkan almamaterku, aku sempat menyandarkan tangan di tembok, teras depan sekolah yang tidak berubah sama sekali.
‘’Di sinilah, biasanya, Pak Abdullah Tayib (kepala SMA Negeri Bima) memelototi kami yang baru masuk ke halaman pagi hari saat masuk sekolah,’’ kataku bernostalgia.
Pak Dul, begitu biasa kami sapa, berdiri menyandar di situ dengan sangat berwibawa. Sambil mengepulkan asap rokok kretek Bentoel merah yang terpasang di cangklong kecilnya, beliau memandangi seantero bagian depan sekolah. Beliau selalu datang lebih pagi, menunggang sepeda Phoenix warna hijau yang tampak selalu baru. Sepedanya diparkir di depan pintu masuk teras depan gedung. Waktu itu, para guru hanya sedikit yang naik sepeda. Seingatku, Pak Mudjiono yang tinggal di Pertanian Penatoi dan Pak Abubakar Ali, guru olahraga yang tinggal tidak jauh dari sekolah yang pakai sepeda saat itu. Satu-satunya yang naik sepeda motor (Yamaha) adalah Pak Achmad Noor, seorang guru yang sangat kami takuti. Kalau kami yang tinggal di Bima, rata-rata naik sepeda. Ramai-ramai lagi. Beberapa di antara teman kami yang putri naik bemo yang muat 12 orang. Bemo waktu itu baru dua. Salah satu di antaranya milik Toko Sinar Jaya.
Aku sempat mengabdikan diri di depan almamaterku, sekolah yang tentu saja sudah sangat berubah dibandingkan 39 tahun silam. ***

Kepala SD-ku
Minggu, 21 Februari 2010. Inilah hari terakhir aku berada di tanah kelahiran, setelah lima hari melaksanakan tugas sosialisasi pemberian Beasiswa Bidik Misi Unhas 2010 di dua kabupaten, Dompu dan Bima. Malam Minggu, aku bermalam di desa kelahiran, menemani kedua orang tuaku yang setia menyertai kunjungan ke Dompu dan Bima.
Sekitar pukul 09.00 kami meninggalkan Kanca, kemudian singgah pamit pada Pak Ibrahim, Camat Parado yang bersedia meminjamiku kendaraan selama di Bima. Escudo meluncur turun dikemudikan Munir yang setia membawa kami (dengan Dr.M.Ridwan Thaha) merambah Dompu dan Bima tanpa lelah.
Di Tangga, aku mampir pamit dengan Pak Gazali Abdullah, teman se-SMP-ku dulu, yang juga sepupu sekaliku. Aku memang tidak bisa melewati begitu saja rumahnya. Selalu saja aku merasa harus singgah, meskipun sekadar untuk mampir salat atau sekadar minum kopi.
Mobil meluncur ke utara. Melewati bekas sekolah dulu, di sebelah kanan jalan. Sekolah yang tentu saja sudah berubah, status maupun nama. Ayah minta aku mampir sejenak menjenguk seorang teman gurunya, yang juga kepala sekolah dasar-ku dulu. Ia dalam keadaan sakit. Kondisinya tidak bisa lagi bebas berjalan.
Kepala SD-ku, Abdurrahman Siada, seorang lelaki jangkung dengan tubuh sangat atletis. Berbeda sekali dengan kondisinya sekarang. Tiba-tiba saja mantan penjaga gawang kawakan kesebelasan kabupaten (Persatuan Sepakbola Bima, Persebi) itu begitu sangat berubah. Stroke telah mengubah semuanya. Kakinya yang kekar dan siap menghalau jauh si kulit bundar dengan tendangannya sudah mengecil. Tangannya yang tegar dan kerap menyikut bola sudah jauh berbeda dengan sekarang.
Beliau mengenakan celana buntung bertelanjang dada. Bau minyak gosok menusuk hidung. Aisyah, istrinya, menyuruhnya mengenakan baju, tetapi ayahku melarangnya. Membiarkan dia merasa sejuk dengan bertelanjang dada.
Setelah berbasa-basi sejenak, kami mohon izin, karena saya takut terlambat check in di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin. Saya menyelipkan uang alakadarnya ke istrinya, sekadar pembeli obat buat guruku itu.
Dia menjadi idola kami di sekolah dasar dulu. Kira-kira tahun 1964. Kehadirannya tidak saja menjadi idola kami di sekolah, tetapi buat seluruh desa di kawasan Parado. Siapa yang tidak bangga dengan kehadiran seorang kepala SD yang juga penjaga gawang kawakan di kesebelasan kabupaten? Kehadirannya di lapangan selalu dipadati oleh lautan manusia yang hendak menyaksikan kebolehannya mengawal gawangnya. Tidak heran kalau kesebelasan desaku, tak terkalahkan ketika beliau berdiri di bawah mistarnya. Luar biasa.
Beliau tiba mengepalai sekolah di desaku, setahun sebelum aku meninggalkan sekolah dasar di kampungku untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP) di ibu kota kecamatan. Sekolah lanjutan yang menempatkan aku dan teman-teman sebagai angkatan kedua sekolah swasta tersebut.
Kehadirannya, menggantikan H.M.Saleh, kepala sekolah yang berusia mungkin di atas 50 tahun dan bergigi emas yang akan pindah ke sebuah SD di Talabiu kemudian memasuki masa pensiun. Kepala sekolahku yang baru itu, sebelumnya mengajar di Desa Sekuru, kira-kira 20 km dari kampungku. Meski ayahku mengepalai SD di tetangga desaku, tetapi hubungan dengan kepala sekolahku tetap akrab. Bagaikan keluarga. Sering ayah dan aku mampir bermalam di Sekuru, ketika liburan sekolah dan kepala SD-ku ada di rumahnya. Di situlah kami menunggu mobil dari Tente yang akan ke Parado.

Kamis, 11 Februari 2010

Memalukan, Guru Palsukan Ijazah

Oleh M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Menjelang masuk ke acara peringatan HUT ke-6 Harian Tibun Timur di Hotel Clarion, Makassar, 10 Februari 2010 malam, saya bertemu dengan Prof.Dr.Arismunandar, Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM). Salah satu masalah yang ditanyakan Taufik, wartawan Tribun Timur yang menyambut saya, dalam masa-masa menunggu masuk ke ruang acara, adalah seputar rumor (waktu itu) adanya oknum di Sulsel yang memalsukan ijazah UNM untuk melamar menjadi guru. Saya kaget juga mendengar rumor tersebut.
Prof.Arismunandar mengatakan, kalau itu benar, biar pun mereka lulus diterima menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS), jelas akan sangat memalukan. Bagaimana mungkin mereka menjadi guru kalau perilaku dan perbuatannya merusak citra dirinya sebagai guru. Bagaimana dengan muridnya kelak, jika para gurunya lulus menjadi guru karena perbuatan yang tidak terpuji seperti ini.
Memalsukan ijazah sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh kelima oknum guru di Kabupaten Jeneponto itu untuk ijazah UNM saja, melainkan juga beberapa waktu yang lalu, ada yang memalsukan ijazah di Universitas Hasanuddin. Salah seorang mahasiswa yang sebenarnya belum selesai di salah satu fakultas di Unhas tiba-tiba saja sudah mengantongi ijazah dan dinyatakan lulus sebagai CPNS. Usut punya usut ternyata yang bersangkutan ada hubungan dengan salah seorang pejabat yang berurusan dengan penerimaan CPNS itu.
Dengan kasus ini dan kasus terkait lainnya yang berhubungan dengan penerimaan CPNS di Sulsel, urusan ijazah ini menjadi sangat penting dan memerlukan tenaga dan staf penyaring yang tangguh dan jeli. Setidak-tidaknya setiap Badan Kepegawaian Daerah (BKD) memiliki nomor kontak Bagian Akademik setiap perguruan tinggi di Sulsel ini yang kelak dapat digunakan untuk mengecek keaslian fotocopy ijazah-ijazah tersebut kalau-kalau ada indikasi meragukan. Jika mungkin, daftar pejabat perguruan tinggi ini sudah tersimpan baik di dalam database kabupaen/kota setempat.
Ini menjadi penting agar kasus pemalsuan ijazah ini dapat diantisipasi dan dicegah lebih dini. Kelima guru yang dinyatakan lulus di Kabupaten Jeneponto dengan memalsukan ijazah tersebut telah menggunting kesempatan kelima peserta tes lain untuk posisi yang sama dan mungkin saja layak menempati posisi tersebut dengan bermodalkan ijazah yang tentu saja asli.
Munculnya kasus ijazah palsu dalam setiap penerimaan CPNS tersebut memberi kesan bahwa kadang-kadang orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih khusus lagi bagi mereka yang menjadi CPNS, terlebih untuk posisi guru yang kelak akan berdiri di depan kelas dan menjadi contoh dan teladan bagi para murid dan siswanya. Sangat ironis, jika mereka (yang kelima orang) itu lolos tanpa terdeteksi dan berdiri di depan kelas dan memberi petuah dan wejangan kepada para muridnya harus berbuat baik, jujur, dan segala macam sifat yang baik. Padahal, di hati sanubarinya bergejolak perasaan bersalah telah merebut predikat tersebut dengan cara tak terpuji.
Saya menyimak di harian ini (Tribun 12/2) bahwa empat dari kelima pemalsu ijazah tersebut adalah perempuan. Saya tidak yakin niat mereka sendiri melakukan pelanggaran tersebut. Setidak-tidaknya ada orang lain. Mungkin juga salah seorang teman prianya yang tergabung ke dalam kelompok pengguna ijazah palsu tersebut.
Mengapa kasus seperti ini terulang lagi? Barangkali, masalah yang terjadi selama ini kita terlalu cepat dan mudah melupakan sesuatu. Mungkin juga ini disebabkan oleh begitu banyaknya isu penting yang muncul, sehingga isu lama kerap bagaikan terbang tertiup angin saja. Buntutnya, kita tidak tahu lagi nasib yang bersangkutan. Sama juga dengan kasus salah seorang peserta tes CPNS di Takalar tahun kemarin yang memalsukan ijazah Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, hingga kini tidak jelas apa sanksi yang dijatuhkan kepadanya. Siapa tahu, bisa saja dia diam-diam sudah punya meja di salah satu kantor instansi di kabupaten tersebut. Siapa yang tahu. Media massa perlu terus menguntit kasus mereka.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat dituntut harus lebih sensitif merekam dan ‘mencium’ adanya kejanggalan seperti ini. Jika tidak, pelanggaran seperti ini akan menjadi sangat permisif. Dibiarkan dan tidak diperhatikan, sementara di posisi lain justru akan mengorbankan mereka yang telah ‘berdarah-darah’ melengkapi persyaratan CPNS dengan data yang sangat asli.
Kasus CPNS Lain
Sedikit keluar dari kasus Jeneponto, saya juga ingin memberi perhatian secara umum kepada seluruh kabupaten/kota dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi pada penerimaan CPNS. Ada satu kabupaten di Sulsel yang kebetulan pemeriksaan lembaran jawaban komputer (LJK)-nya diperiksa di Unhas. Salah seorang dinyatakan lulus, malah diklaim oleh nama lain yang justru dinyatakan tidak meraih nilai tertinggi di dalam hasil scoring nilai. Alasannya, yang memiliki nomor tes yang lulus itu adalah dirinya, sementara di database nama lain.
Saya sengaja men-stress masalah ini, karena tampaknya ada upaya dari pihak BKD dan Inspektorat setempat meluluskan yang memperoleh nilai yang di luar database dengan alasan bahwa yang memiliki nomor tes sudah mengaku nomornya berbeda dengan yang di database. Namun, dalam pertemuan dengan pihak Rektor Unhas 25 Januari 2010, Unhas tetap berpatokan pada nomor tes dan nama pada database.
Pertanyaan memang bisa muncul. Mengapa tidak mengacu kepada nama dan nomor tes untuk dicocokkan dengan nama dan nomor di database? Jawabannya, jika nama, maka kemungkinan besar (berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu) akan banyak yang menggunakan nama tersebut dengan alasan yang tidak jelas. Mungkin saja, pemilik nama itu pintar. Dan, panitia sudah yakin dengan kerja BKD akan meng-in put nama dan nomor di database dan di kartu tes itu sama. Jika nomor, jelas jika ada peserta lain yang memalsukan atau menyontek, tidak akan pernah tahu nomor tes yang disontek.
Pertanyaan lain yang muncul, mengapa nama dan nomor di database dan di kartu tes berbeda? Ini harus dijawab dulu. Ada apa. Kalau pihak BKD setempat mengubahnya, mengapa tidak dilaporkan ke pembuat soal, pemeriksa, dan peranking nilai? Dakam hal ini Unhas. Mengapa dan ada apa? Mungkin BKD lupa, database akan menjadi acuan internasional dan pedoman terakhir bagi penentuan pemberian scoring nilai peserta.
Dalam pertemuan yang berlangsung alot di ruang kerja Rektor Unhas dan sampai pihak sang pejabat Inspektorat kabupaten membawa-bawa nama Tuhan, sebenarnya kasus ini tidak akan selesai tanpa kebesaran hati pihak panitia penerimaan CPNS setempat menerima hasil pengumuman berdasarkan database. Ketika pertemuan ini mengisyaratkan jalan buntu dan berputar-putar saja, salah seorang panitia pemeriksa CPNS di Unhas kemudian bertanya kepada BKD yang bersangkutan. Ini pertanyaan pamungkas yang akan menyelesaikan masalah.
‘’Apakah database itu sah atau tidak?,’’ tanya anggota panitia itu.
Suasana hening terjadi. BKD tidak menjawab. Mengapa tidak menjawab. Ada apa? Kalau database sah, hasilnya sesuai hasil scoring yang dikeluarkan Unhas. Kalau database tidak sah, seluruh yang dinyatakan lulus batal dengan sendirinya.
Salah seorang teman LSM menelepon saya bahwa kasus CPNS ini kian tidak berujung. Pihak pejabat setempat malah menggiring permasalahan menjadi mentah lagi. Konon, mereka memerlukan hanya ada satu nama yang ditetapkan di dalam surat terakhir yang dikirim Unhas. Padahal, di dalam surat yang dikirim LPPM Unhas ke Gubernur Sulsel C.q. Kepala BKD Sulsel tanggal 27 Januari 2010 dan ditembuskan ke Rektor Unhas, Bupati Bulukumba, Ketua DPRD Bulukumba, Kepala BKD Bulukumba, dan LSM dari Bulukumba sudah jelas dinyatakan tetap memperkuat perankingan yang mengacu kepada database peserta dari BKD Bulukumba dan itu sudah final. Kalau persoalan ini mentah lagi, ada apa dan mengapa?