Sabtu, 31 Juli 2010

In Memoriam Andi Moein MG

Wartawan Tulen itu Telah Tiada

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Sekitar pukul 04.30 Selasa subuh, ponsel saya berbunyi. Saya terbangun. Gerangan berita apa masih sepagi buta begini, gumam saya. Ternyata setelah saya tengok, rekan Gunt Sumedi yang mengirim pesan pendek. Apa gerangan. Tidak mungkin dia minta tulisan untuk mingguannya. Selain, terlalu subuh dan dapat mengganggu kenyenyakan tidur, juga minggu lalu baru saya kirim satu tulisan.
‘’Innalillahi wa inna ilaihidi rajiun’’. Telah meninggal dunia wartawan senior Sulsel Andi Moein MG. Itu kalimat yang saya baca subuh itu.
Kekhawatiran dan keprihatinan saya terhadap senior yang satu ini sudah lama. Saya selalu berharap beliau selalu sehat. Pernah masuk RS Pelamonia beberapa waktu silam, tetapi kembali ke rumahnya. Saya lega, beliau sehat lagi. Namun beberapa hari silam, saya baca di koran, kondisinya kian payah. Keprihatinan saya kian meninggi. Apa pasal?
Tatkala masih sehat dan hadir dalam berbagai acara PWI Sulsel, Pak Moein selalu menyapa saya dengan satu kalimat tanya yang mungkin bagi saya cukup klise.
‘’Kapan bukunya selesai. Jangan-jangan nanti saya sudah tidak ada baru terbut,’’ itulah kalimatnya yang selalu dia alamatkan dan membuat saya selalu gamang.
Mengapa beliau bertanya begitu? Soalnya, saya memang pernah meminta biodatanya untuk menjadi bagian dari buku yang saya tulis. (kini sudah selesai diedit dan dikoreksi dan siap masuk percetakan). Data dan kisahnya memang menarik dan menggambarkan almarhum adalah wartawan tulen. Salah seorang lelaki yang sangat berani memilih profesi wartawan hingga akhir hayatnya. Bayangkan, sebelum beralih menjadi wartawan, dia adalah seorang birokrat yang berurusan dengan masalah keuangan. Yang ketika itu jelas bermandikan duit.

Tiga zaman

Andi Moein MG adalah sosok wartawan tiga zaman. Mengaku mulai menjadi wartawan sejak tahun 1948, Andi Moein, begitu senior yang satu ini karib disapa, mengawalinya dengan ‘mencuri’ kertas stensilan pada kantor Regering Voorlichting Dienst (RVD), kantor Departemen Penerangan NICA. Kantor RVD tersebut kemudian ditempati Kanwil Deppen Sulsel di Jl.Sultan Hasanuddin dan kini berubah lagi menjadi Kantor KONI Sulawesi Selatan.
“Pencurian kertas itu dilakukan atas kerjasama dengan Azis Saleh asal Sinjai yang bekerja di kantor itu. Azis termasuk tenaga infiltran (penyusup) pejuang 45,” kata Andi Moein.
Bermodalkan kertas stensilan itulah dia menerbitkan Mingguan Pelajar Angkatan Muda (PAM) atas prakarsa Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Sinjai (IPPIS) pimpinan A.Abdullah Asapa, ayahanda Rudiyanto Asapa, S.H., Bupati Sinjai sekarang ini. Selain Abdullah, juga ada Drs.H.A.M.Saleh Asapa, mantan Sekda Sinjai.
Jika orang bertanya kepada Andi Moein, mengapa jadi wartawan? Maka, jawabnya pendek.
“Saya cinta kebenaran (Because I love the truth),” kata Moein.
Betapa tidak, pers berfungsi menerangi yang gelap, menegakkan kebenaran dan menumpas yang batil. Dia sadar dan semua kaum wartawan pasti menyadari, fungsi pers dalam era pembangunan ini tidak cukup hanya merupakan cermin yang pasif dari keadaan masyarakatnya dan tidak cukup hanya memberi informasi kepada masyarakat melalui berita-berita yang obyektif. Sebagai kekuatan perjuangan bangsa, pers nasional di era pembanguan lahir dan batin ini harus dapat menjadikan dirinya sebagai kekuatan pembaharu. Kekuatan gerakan reformasi menuju Indonesia baru yang dicita-citakan setiap insan Indonesia. Tak terkecuali insan pers.
“Saat kebenaran mulai redup, di situlah pers harus mulai muncul sebagai obor penerang,” kata Moein.
Pada awal pemulihan kedaulatan RI tahun 1950-an, Moein mengalami kesulitan biaya untuk melanjutkan pendidikan. Perlawanan fisik pejuang 45 di Sulsel rontok total. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan siasat dan gerakan diplomatik. Moein mencoba balik haluan. Ia berupaya menerobos bekerja pada Kas Negara Indonesia Timur yang waktu itu didominasi NICA. Nama lembaga itu dulu adalah Landskas Administratuur Kantoor. Moein mencoba bekerja dengan berbekalkan sedikit kemampuan Bahasa Belanda. Kebetulan pimpinan kantor kas waktu itu adalah seorang Belanda, Tuan Yansen Hoff. Moein diterima bekerja dengan jabatan sebagai ajunt klerk. Gajinya, F (Florin) 125, uang Belanda, per bulan.
“Saya hidup berkecukupan. Kebetulan Sekolah Menengah Tinggi (SMT, sekarang SMU Sawerigading), tempat saya belajar jam belajarnya diubah pukul 14.30, sementara saya pulang kerja pukul 14.00. Jadi, saya langsung ke sekolah,” kenang Moein.
Meski nyaris tidak ada waktu istirahat, Moein tak pernah lelah. Rasa capek tidak terasa, karena masih remaja dan penuh semangat juang. Dia memilih sekolah ini, karena tidak masuk dalam binaan Belanda. Dia non-NICA.
Setelah enam bulan bekerja, Moein dikirim tugas belajar ke Semarang. Bidang yang dipelajarinya adalah administrasi keuangan. Lantaran Moein tidak senang dengan urusan mengatur administrasi keuangan, akhirnya dia melarikan diri. Sekaligus berhenti bekerja pada Kantor Administrasi Keuangan Negara Indonesia Timur itu.
“Andaikata saya terus bekerja sebagai pegawai negeri, tentu saja sudah jadi pejabat ahli keuangan. Kini sudah dapat pensiun. Lumayan,” kata Moein sembari tertawa.
Jeritan hati Moein berkata lain. Ia ingin menyalurkan bakatnya sebagai seorang jurnalis. Batinnya terus bergolak. Akhirnya, dunia jurnalistik menjadi pilihan hidupnya. Bekerja pada sektor lain, ia rasakan hampa. Terasa hati ini sepi. Kesepian selalu mengisi rongga dadanya.
Karier jurnalistik pun dia mulai tapaki bersama kawan-kawannya di kalangan pemuda pelajar pejuang 45. Negara Indonesia Timur (NIT) kemudian dibubarkan dan bergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Salah seorang Perdana Menteri merangkap Menteri Perekonomian NIT waktu itu adalah Nadjamuddin Daeng Malewa, yang pada tahun 1944 pernah menjabat Wali Kota Makassar I. Bersamaan dengan itu, lahir pula pers. Napasnya pun mengikuti alur irama perjuangan. Makanya, disebutlah pers Indonesia sebagai Pers Perjuangan.
“Tragedi terbesar bagi hidup seseorang adalah jika dia tidak tahu pekerjaan apa yang cocok bagi dirinya dan bakatnya,” begitu Moein berprinsip.
Dia sadar, Jurnalistik adalah dunianya. Sejak semula dia menyadari menjadi wartawan adalah harus terus belajar. Dia harus terus membaca segala hal. Seorang wartawan adalah sosok generalis. Harus tahu semua masalah, meski hanya sedikit. Ada juga wartawan yang tahu banyak mengenai yang sedikit. Orang mengatakan, keahlian seperti ini disebut pakar.
’’Bagi seorang wartawan, begitu berhenti belajar atau membaca, maka identik dengan bunuh diri. Habislah riwayatnya. He is not a journalist any more. (Ia tidak lagi menjadi seorang wartawan),’’ sebut Moein.
Moein menjadi wartawan lantaran sesuai dengan panggilan hati nurani. Itulah sebabnya dia memilih karier jurnalistik sebagai palangan pengabdian, ketimbang menjadi seorang yang mengurus duit dan ujung-ujungnya berlimpah harta. Kalau orang tidak punya prinsip dengan idealismenya, mana mau beralih dari urusan berkutat dengan duit dengan kehidupan yang sarat tantangan sebagai seorang jurnalis.
Lapangan pekerjaan yang ini sangat mengasyikkan. Memang tidak ‘mengenyangkan’ dalam arti tidak menikmati kehidupan material dan glamour atau pun berlimpah kemewahan. Pada sisi lain, pekerjaan sebagai wartawan dipadati rasa bahagia, karena mengabdi untuk kepentingan umum. Mengamalkan tegaknya hak dan menumpas yang batil dalam segala manifestasinya.
Menutu Moein, seperti diungkapkannya dalam Standar Kompetensi Wartawan Suatu Keniscayaan (2006), dia mulai total menggeluti dunia kewartawanan sekitar tahun 1953. Dia mulai berani menabrak dunia yang tampak ’glamour’ ini setelah bermodal pengetahuan jurnalistik yang diperolehnya. Dia pun mencoba melamar ke Harian Tinjauan pimpinan Hasan Usman (almarhum), salah seorang wartawan senior.
Moein pun dengan langkah pasti sembari mengepit sejumlah dokumen yang diperkirakan cukup mendukung keinginannya menjadi wartawan, termasuk dokumen Akademi Wartawan pimpinan Parada Harahap di Jakarta, menghadap Hasan Usman.
’’Yang kami butuhkan bukan sertifikat akademis, melainkan kemampuan berkarier di bidang jurnalistik. Untuk itu, silakan Anda menemui pimpinan SMP Frater Makassar dan lakukan wawancara. Hasil wawancara serahkan kepada saya besok,’’ ujar Hasan Usman selaku Pemimpin Redaksi Harian Tinjauan yang tak urung mengagetkan Moein.
Bermodalkan sedikit bahasa Belanda yang masih dikuasainya – karena sempat belajar di sekolah Belanda –HIS (Hollands Inlands School), Sekolah Bumiputra Belanda – Moein pun mewawancarai Pimpinan SMP Frater yang kebetulan keturunan Belanda.
Usai wawancara, Moein menulis hasil wawancaranya dan menyerahkannya kepada Hasan Usman.
’’Syukur, kita sekarang sudah memperoleh wartawan berpendidikan akademis. Sekarang juga Saudara Moein resmi kami terima bergabung dengan Harian Tinjauan. Saudara kami tugaskan sebagai reporter,’’ sahut Hasan Usman begitu membaca hasil liputan wawancara Moein dengan si Belanda itu, sembari menjabat tangan si reporter baru.
Setelah tiga bulan menjabat reporter, Moein dialihkan di percetakan. Tugasnya, menangani pekerjaan opmaak atau perwajahan koran sekaligus mengoreksi ulang berita yang siap naik cetak.
Enam bulan kemudian, Moein dapat promosi tugas. Ikut meliput perjalanan tur keliling Sulawesi Gubernur Lanto Daeng Pasewang. Lama perjalanan dua pekan, menggunakan kapal Permata milik Pemda Sulawesi. Dengan kapal tersebut, rombongan menelusuri wilayah Sulawesi yang kala itu masih satu provinsi.
Reportase perjalanan Gubernur Sulawesi tersebut Moein serahkan kepada Hasan Usman. Laporan itu dimuat bersambung selama sebulan di Tinjauan.
’’Saya bangga dan kagum pada hasil reportase Anda. Untuk itu, mulai hari ini, Saudara bertugas sebagai redaktur pelaksana (managing editor) Harian Tinjauan. Berarti, saya sudah mengalihkan sebagian tugas-tugas saya pada Saudara Moein yang kini sudah matang dalam karya jurnalistik,’’ kata Hasan Usman dengan bangga.
Almarhum dilahirkan di Bikeru, Sinjai 30 Juni 1931. Ayahnya, H.Andi Mappa Gessa Dg.Situru (almarhum) Arung Bulo-Bulo Barat Kabupaten Sinjai, Sulsel, salah satu kerajaan di Sulsel pada masanya. Mappa Gessa itulah yang melengket erat pada nama MG setelah Andi Moein. Ibunya, H.Andi Syiang, almarhumah.
Moein kecil memasuki pendidikan sekolah Belanda Hollands Inlands School (HIS) hingga kelas 5 sebelum Perang Dunia II tahun 1942. Begitu Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, Moein pun belajar pada Thu Gakko, Sekolah Menengah Jepang tahun 1945. Setahun kemudian dia masuk SMP. Pernah juga masuk SMA Sawerigading, SMT Sawerigading, dan SMT Nasional. Yang disebut terakhir adalah perguruan nasional yang mendidik kader pejuang 45 menjadi kader-kader republikein. Di dalam diri Moein pun mengalir dan tertanam perasaan dan jiwa nasionalisme. Dari hari ke hari dia mencoba memahami ABC-nya politik. Ia memasuki Perguruan Sawerigading karena dia termasuk figur yang tidak mau bekerja sama dengan NICA. Juga tidak mau belajar di sekolah yang dibina Belanda.
Ada kisah menarik dialami Moein pada-masa tahun 40-an, seperti dikisahkan dalam Standar Kompetensi Wartawan Suatu Keniscayaan (2006), buku yang mendahului buku ini (bagian wawancara dengan Pak Moein dilakukan sebelum buku tersebut terbit). Pada suatu malam dia berkunjung ke sebuah rumah di perempatan, persis di ujung Jl.Shyberg Weg ( Jl.Syarief Al Qadri, sekarang). Di rumah mungil ini sering terjadi pertemuan pemuda pejuang 45. Ternyata kemudian, L.E.Manuhua (alm., Pemimpin Umum/Redaksi Harian Pedoman Rakyat) yang ketika itu masih berstatus pemuda belia lagi bujangan. Rupanya, Manuhua bermukim di situ. Di sekitar itu bermukim juga teman-teman Pak Moein seperti tiga bersaudara Abdjam, Doa, dan Muhammad Sulaeman. Ketiga bersaudara kandung ini berasal dari Ternate.
Suatu malam, Moein melihat Manuhua memutar radio kecil yang saat itu disebut brood radio (radio kecil). Suaranya dikecilnya, sehingga hanya dapat didengar jika telinga didekatkan pada radio tersebut. Mengapa suaranya dikecilkan begitu rupa? Ya, karena pada saat itu, Kota Makassar dikuasai NICA (Belanda). Masyarakat dilarang memutar radio untuk mendengarkan siaran RRI Yogyakarta, Ibu kota Republik Indonesia ketika itu. Moein pun tidak mau ketinggalan. Dia mencoba nguping siaran radio tersebut bersama Manuhua untuk mendengar siaran radio Yogyakarta dengan perasaan penuh waspada, karena takut diketahui Belanda. Tampaknya, saat itulah Presiden Soekarno sedang berpidato mengutuk pemberontakan PKI di Madiun. Bung Karno dengan suara lantang berteriak melalui siaran RII dan pemancar Yogyakarta.
Dalam mendiskusikan sesuatu, para pemuda itu biasanya bergabung dengan Hanoch Luhukay, pemuda asal Maluku yang kemudian menjadi dosen Fakultas Sastra Unhas. Luhukay tidak saja dikenal sebagai kutu diskusi, tetapi juga sangat telaten dengan dokumentasi koran. Edisi harian Pedoman Rakyat sejak awal terbit hingga kini, ada di rumahnya.
Enam tahun kemudian (1952), ayah empat anak ( kemudian) menamatkan pendidikan di SMA Bagian Budaya di Malang, Jawa Timur. Dia termasuk pelajar ‘demobilisan – Pelajar pejuang 45. Pada tahun 1953, Moein memasuki Akademi Wartawan Pimpinan Parada Harahap. Setelah itu, berbagai pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan Deppen RI diikutinya.
Pengalaman jurnalistik Andi Moein cukup panjang. Pada tahun 1948 dia bekerja pada Mingguan Angkatan Muda (PAM) di Makassar. Dia juga pernah menjadi Redaktur Mingguan PERINTIS (Majalah Pemuda Pejuang Kemerdekaan di Era Revolusi Fisik 45 di Makassar). Juga ikut membantu Harian Pedoman Rakyat edisi Makassar semasa revolusi fisik. Antara tahun 1954-1959, menjabat Redaktur Harian Tinjauan di Makassar, Redaktur Harian BARA di Makassar (1969-1960), Redaktur SKM Pemandangan di Makassar (1960-1962), Redaktur Harian Mercu Suar di Makassar (1965) bersama dengan Dien Monoarfa dan Djamaluddin Latief (alm.). Pernah juga menjadi Redaktur Pelaksana SKM Orde Baru (1966). Bergabung dengan SKM Orde Baru di Makassar (1968-1970) bersama Rahman Arge, Arsal Alhabsy, Husni Djamaluddin (keduanya almarhum) , dan Drs.Saleh Bustami. Lalu, mendirikan SKM Indonesia Pos bersama Burhanuddin Amin. Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi SKM di Makassar Press ( sejak 5 Oktober 1970- hingga sekarang).
Moein selain menulis di korannya sendiri, juga menulis di Harian Pedoman Rakyat dan penerbitan lokal lainnya. Ia menjadi Pembina beberapa media tabloid dan majalah di Makassar hingga usianya yang memasuki 74 tahun saat ini. Ia pernah memimpin Lembaga Pendidikan Kader Wartawan (1972-1976). Tiap tingkatan pendidikan berlangsung 6 bulan.
Berbagai penghargaan pernah diraih Andi Moein. Sejumlah piagam pendidikan dan penghargaan dari Deppen RI, Piagam Penghargaan Penegak Pers Pancasila dari PWI Pusat yang diserahkan oleh Menteri Penerangan RI, Harmoko, waktu itu. Juga ada Piagam Penghargaan P4 Tingkat Nasional. Piagam Penghargaan ORPADNAS. Piagam Penghargaan dari PWI Sulsel perihal kesetiaan pada profesi kewartawanan. Penghargaan dari SPS Pusat terhadap Pengabdian pada SPS. Penghargaan dari Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Pusat atas jasa menyukseskan Program BKKBN. Piagam Penghargaan (Pemegang Gelar Kehormatan) sebagai Veteran RI dari Menteri Pertahanan RI (NPV.17.062.B79). Memperoleh penghargaan Kebudayaan dari Departemen P dan K Sulawesi Selatan dan penghargaan dari Kodam XIV Hasanuddin bidang Pembinaan Kesenian Budaya di Sulawesi Selatan.
Selain menjadi wartawan, Andi Moein juga aktif dalam berbagai organisasi.
Andi Moein MG selain menulis untuk Suratkabar, juga sudah banyak menulis buku. Beberapa judul telah lahir dari.
Seorang Moein adalah sosok yang selalu peduli. Dia bagaikan penasihat panjang tanpa ujung waktu perihal perlunya mahluk wartawan taat asas. Wartawan harus memiliki etika. Wartawan harus memiliki kompetensi. Wartawan tidak bisa lahir dari pinggir jalan. Tidak bisa lahir lantaran pintar bicara laksana penjual obat di emper-emper toko. Wartawan harus memiliki ilmu. Dia tidak lahir karena hanya ada kemauan tanpa keterampilan. Wartawan adalah sosok intelektual, bukan manusia yang hanya mengandalkan ototnya belaka.
’’Kalau para wartawan ingin disebut sebagai wartawan profesional, salah syaratnya adalah harus mematuhi etika pemberitaan,’’ kata Moein MG.
Tentu saja, secara khusus, masalah etika ini bisa mengacu pada Kode Etik Jurnalistik PWI yang baru yang mulai berlaku efektif 1 Januari 1995.
“Kesimpulannya, saya jadi wartawan, karena panggilan hati nurani. Ini bukan pelarian. Sekali lagi, kerja jurnalistik adalah panggilan hati nurani saya yang paling dalam. Titik!,” kunci Andi Moein MG.*

Senin, 12 Juli 2010

In Memoriam Hj Andi Siti Nurhani Sapada:

Oleh M.Dahlan Abubakar

Tepat pukul 23.00 Wita, Minggu (11/7) saya membuka email. Menengok kalau-kalau ada informasi penting, setelah dua hari saya tidak buka di Chiang Mai dan Bangkok Thailand, 10 dan 11 Juli 2010. Astaga, begitu saya mencoba klik email kiriman Kak Udhin Palisuri yang juga terbagi ke sejumlah teman facebook, saya setengah berteriak menanyakan kepada istri.
‘’Mi, Petta Nani meninggal dunia??????,’’ kata saya yang masih berslimut kaget.
‘’Ya, hari Kamis. Kemungkinan dimakamkan di Barru atau Parepare,’’ katanya lagi. Saya terdiam sejenak. Seperti merasa diri berdosa, karena sehabis dirawat di rumah sakit beberapa bulan silam, saya tidak pernah membesuknya lagi di kediamannya.
‘’Habis, Bapak tidak pernah menelepon, jadi tidak pernah kami memberitahu,’’ imbuh istri saya. Ponsel, memang saya matikan, karena selain tidak memasang/buka roaming internasional, juga sengaja saya matikan.
Saya termeenung sejenak. Mengenang masa-masa silam kebersamaan saya dengan almarhumah. Interaksi saya dengan Hj Andi Siti Nurhani Sapada yang akrab saya sapa Petta Nani, nyaris tidak bersekat. Saya bagaikan anaknya sendiri. Terkadang almarhumah tiba-tiba menelepon ke ponsel saya. Pertanyaan pertama yang muncul setiap menelepon adalah, di mana saya berada. Soalnya, setiap Petta Nani, entah kenapa, saya tepat sedang tidak di Makassar. Terkadang di Jakarta, Papua (antara 2007-2008) dan tempat-tempat lainnya.
Beliau mengenal saya kenal ketika saya aktif-aktifnya sebagai wartawan Pedoman Rakyat. Jika ada kegiatan, saya selalu ditelepon dan diberitahu. Apalagi, almarhumah tahu saya dari Fakultas Sastra dan sedikit memiliki rasa seni.
Pada peringatan Ulang Tahun ke-80 tahun 2009, saya pun hadir di Hotel Losari Metro. Almarhumah dilahirkan 25 Juni 1929 di Parepare. Almarhumah gembira sekali ketika itu. Ada Pak A.Amiruddin,Pak Syahrul Yasin Limpo, dan Pak Idrus A Paturusi. Kebahagiaannya berlimpah lagi karena sejumlah anak, cucu, dan teman semasa gadis remajanya juga hadir. Bahkan sempat bernyanyi bersama. Di antara teman akrabnya adalah Drg.Hj Halimah Daeng Sikati. Pada malam itu, Halimah Dg.Sikati sempat bernostalgia masa remaja mereka, di samping menyumbangkan suaranya secara bersama.
Tidak terbayangkan, peringatan ini terakhir yang ramai dihadiri kerabat handai tolan. Bersyukurlah, Petta Nani masih sempat memperoleh bonus usia 81 tahun. Ketika beberapa bulan lalu, beliau dirawat di RSUP Wahidin Sudirohusodo, sebelum ke kampus, saya menyempatkan diri membesuknya. Saya ajak istri sama-sama menjenguknya. Petta Nani selalu berpesan kepadea saya membawa dan memperkenalkan ‘mantan pacar’ku itu kepadanya. Namun selalu saya katakan, ‘’Ibu agak kerepotan, karena sudah dikuasai oleh sepasang cucunya. Satu menit saja tidak lihat neneknya sehabis pulang kantor, pasti ponsel bersering. Jika terlambat pulang akan diwawancarai, bahkan menjurus ke interogasi’’. Dasar cucunya wartawan.
Saya sempat mencium tangannya. Petta Nani selalu berusaha memperlihatkan dirinya sehat. Beliau bangun duduk dan selalu berkelakar mengenai situasinya yang bagaikan dikerangkeng. Beliau selalu ingin merasa bebas, meski kesehatannya tidak memungkinkan. Begitulah ketika usai seminar di Parepare dan mau turun dari rumah panggung di Suppa, Petta Nani agak kewalahan melangkahkan kakinya. Saya yang sudah merasakan bukan orang lain bagi almarhumah, tak sungkan-sungkan membimbingnya turun dari rumah panggung di pinggir pantai itu.
Sama ketika sehabis menelepon dan meminta saya datang ke rumahnya di bilangan Jl.Hertasning, beliau selalu berusaha menyambut saya duduk di kursi tamunya. Kadang-kadang saya minta almarhumah agar istirahat saja. Namun beliau merasa tidak enak kalau saya duduk melongo sendiri sambil melihat foto-foto yang baru dia bikin.
Perjuangkan Pahlawan
Interaksi saya dengan almarhumah agak sering ketika dalam empat tahun terakhir ini gencar melaksanakan berbagai pertemuan dan seminar membahas kisah perjuangan ayahnya, Datu Suppa Toa Andi Makkasau, seorang pejuang dan perintis kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Almarhumah sangat bersemangat mendorong dan memperjuangkan agar ayahnya memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional. Masalahnya, salah seorang pejuang yang lebih muda dari ayahnya, yakni Andi Abdullah Bau Massepe sudah memperoleh gelar tersebut.
Terkadang, almarhumah mengeluh kepada saya perihal perjuangannya menjadikan ayahnya sebagai salah seorang pahlawan dari daerah ini penuh lika-liku. Saya kerap berpikir, inilah amanah yang akan beliau tinggalkan jika saat meninggal dunia cita-cita dan pejuangannya ini belum tertunaikan.
Perjuangan ayahnya tidak sebanding dengan tokoh pejuang pada masanya. Ia tidak pernah mau menyerahkan diri pada penjajah Belanda. Belanda yang takut massa rakyat akan marah bila mendengar darah keturunan raja dan pemimpin serta tokoh pejuangnya tercurah ke bumi, memilih cara lain untuk menghentikan langkah Datu Suppa Toa memimpin rakyat. Konon beliau diikat dan diberati dengan lesung batu lalu dilempar ke laut. Ditenggelamkan dan tentu saja mati pelan-pelain.
Di lokasi yang diperkirakan sebagai tempat ditenggelamnkannya jasad Datu Suppa Toa hidup-hidup selalu dikunjungi Petta Rani dan keluarga setiap datang ke Parepare. Saya pun pernah menyertai kunjungan Petta Nani ke pinggir laut itu, setelah menghadiri seminar mengenai ayahnya, sebagai persiapan pengusulan almarhum sebagai pahlawan.
Kisah penghilangan nyawa Datu Suppa Toa ini nyaris tidak ada yang tahu. Kalau saja Teluk Parepare itu bias mengamuk bahwa di lubuknya telah tumpah darah dari seorang pejuang, mungkin laut itu akan mengirim tsunami pada masa itu dan membunuh penjajah yang ada di pantai.
Menurut Petta Nani, di Teluk Parepare itulah ayahnya bersama para pejuang lain, Andi Mangkau dan Tahir Daeng Tompo mengakhiri hidupnya secara sangat keji. Mereka harus mengabdikan diri demi perjuangan bangsa tanpa pernah tahu kesalahannya dan diadili.
‘’Saya hanya tahu mereka itu punya cita-cita luhur untuk masa depan bangsanya. Mereka juga turut berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia,’’ tulis Petta Nani dalam bukunya Nuansa Pelangi edisi ke-2 yang tersimpan rapi di perpustakaan pribadi saya.
Memang terasa aneh juga kalau Datu Suppa Toa Andi Makkasau tidak dianugerahi gelar pahlawan nasional. Soalnya, ada ‘adik’-nya yang lebih muda, sudah meraih gelar pahlawan nasional. Dan, saya kira merupakan amanah bagi siapa pun yang merasa terkait – termasuk juga saya dan beberapa teman, antara lain Kak Nunding Ram selaku tim perumus seminar di Parapere itu – memikul beban ini. Tentu saja yang sangat kompetensif adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
Saya tidak pernah menyangka, Petta Rani akan pergi pada saat saya tidak ada di Indonesia. Bulan lalu, mungkin juga bertepatan dengan ulang tahunnya ke-81, saya membongkar-bongkar laci dan menemukan selembar foto dua tokoh senitari kondang Sulawesi Selatan, Ny.Ida Joesoef Madjid dan Ny.Hj. Andir Siti Nurhani Sapada sedang berbincang-bincang di kediaman Rektor Unhas (Radi A.Gany, waktu itu) yang menjamu sastrawan besar W.S.Rendra. Saat itu juga hadir Husni Djamaluddin (alm.). Saya tidak pernah punya firasat apa-apa dengan foto-foto ini.
Selamat jalan Petta Rani, semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Amin ya rabbil alamin.