Senin, 26 Oktober 2009

Nyaris Berkursi Roda ke Pesawat Puasa Ramadan baru seminggu. Saya ke Jakarta dengan maksud langsung ke Bandung, menghadiri ujian promosi doktor salah

Nyaris Berkursi Roda ke Pesawat

Puasa Ramadan baru seminggu. Saya ke Jakarta dengan maksud langsung ke Bandung, menghadiri ujian promosi doktor salah seorang teman di Universitas Padjadjaran (Unpad). Teman sesama jurnalis beberapa tahun silam. Dia di Harian Fajar, saya di Harian Pedoman Rakyat (alm.). Syarifuddin SG, nama teman akrab saya itu.
Saya berangkat siang dari Makassar. Rencananya, langsung naik kereta sore dari Gambir ke Bandung. Seperti yang biasa saya lakukan beberapa kali ke Bandung. Entah apa yang mengusik, tiba-tiba saja, pikiran saya ragu ke Bandung. Lama juga saya menimbang-nimbang. Pergi-tidak, pergi-tidak. Saya sudah punya ‘standar’ khusus untuk sesuatu yang meragukan seperti ini. Keputusannya, ‘’jangan lakukan, Jika itu meragukan’’. Sudah banyak fakta terjadi. Tiba-tiba saya batalkan sebuah rencana perjalanan, karena tiba-tiba saja saya menjadi ragu di tengah keputusan melakukan sesuatu. Akhirnya, saya putuskan tidak ke Bandung. Plong.
Pagi tanggal 25 Agustus 2009 saya pun menuju Kantor Pak Radi A.Gany di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Jalan Veteran III. Sambil menunggu waktu pulang bersama beliau ke apartemennya di bilangan Kemayoran, saya pun menyelesaikan pekerjaan koreksi naskah bukunya yang bakal diterbitkan.
Usai acara buka puasa, saya bersama Pak Radi dan Ibu Andi Dahlia Radi menunaikan salat tarawih di Masjid Istiqlal. Masjid yang pertama saya tapaki tahun 1990. Sembilan belas tahun silam. Ketika itu, saya mendampingi Prof.Dr.H.Basri Hasanuddin, M.A. (Rektor Unhas ketika itu) yang diundang menjadi pembawa ceramah peringatan Nuzul Quran di depan Presiden Soeharto. Pembaca ayat-ayat suci Alquran ketika itu adalah Sitti Umrah M.Saleh, yang kebetulan terpilih sebagai Qariah terbaik MTQ RRI/TVRI tahun 1990.
Usai Prof.Basri Hasanuddin membawakan acara di Masjid Istiqlal Jakarta, beredar rumor bahwa kehadirannya tampil di depan Presiden Soeharto di masjid terbesar di Asia Tenggara itu, isyarat bakal dilirik duduk dalam kabinet. Hingga Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998, Prof.Basri tak juga duduk di kabinet. Nanti setelah Kiai H.Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI ke-4, barulah Prof.Basri dilantik sebagai Menteri Koordinator Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin).
Sehabis salat tarawih, kami pulang ke apartemen. Saya tidak langsung tidur. Saya masih membuka laptop kecil yang saya bawa untuk mengoreksi naskah buku Pak Radi. Yang punya buku pun begadang dengan membuka laptop di depan meja kerjanya yang dipadati buku yang berjejer. Ketika Pak Radi pergi istirahat, saya masih duduk sendiri melanjutkan kerja mengoreksi naskah. Sekitar pukul 24.00 saya pergi tidur.
Pasca makan sahur, saya dan Pak Radi masih duduk di depan laptop. Secangkir kopi hitam tegak di depan saya. Menjelang, imsak tiba, gelas itu hanya menyisakan sedikit saja isinya. Ketika Pak Radi pergi tidur, saya masih bertahan mengoreksi naskah. Pukul 05.00 WIB, usai menunaikan salat subuh, saya pergi tidur.
Entah apa sebabnya, pagi-pagi itu, saya cepat bangun. Pukul 06.30 sudah terjaga. Padahal, tidurnya saja baru satu setengah jam silam. Saya langsung pergi mandi pagi. Sekitar`pukul 08.30, Pak Radi mengajak saya ke kantornya. Tentu saja ikut, karena saya baru terbang kembali ke Makassar pada pukul 20.30 dengan Garuda.
Seperti biasa, saya tetap menyertakan tas laptop ke mana pun pergi. Tiba di kantor Pak Radi, kesibukan saya terulang lagi. Menempati salah satu kursi dan meja staf Sekretaris Pak Radi, Sari Dewi, saya kembali mengoreksi naskah buku Pak Radi. Tokh tidak ada kerjaan lain. Tidak makan juga.
Ketika lonceng menunjukkan pukul 12.00, saya berniat menunaikan salat lohor. Saat hendak berdiri, tiba-tiba tubuh saya oleng. Saya mencoba duduk kembali dan berusaha tidur duduk. Ketika terjaga, perasaan oleng bukannya hilang, malah kian menjadi-jadi. Saya mencoba kembali tidur duduk di kursi. Lalu bangun lagi, tetap oleng.
‘’Sari, tampaknya hari ini saya tidak bisa menyelesaikan puasa saya. Jika boleh, saya dicarikan coto,’’ pinta saya kepada staf Sekretaris Pak Radi itu.
‘’Kenapa, Pak?,’’ Sari masih berusaha bertanya, untuk meyakinkan dirinya bahwa saya berada`dalam kondisi kurang fit hari itu.
Saya mencoba menunaikan salat lohor. Nyaris saya jatuh saat menuju kamar kecil Pak Radi ketika hendak berwudu. Dengan susah payah juga salat lohor saya tunaikan.
Begitu usai salat, Sari membawa masuk nasi yang sudah dipesan. Ternyata soto. Saya sikat saja, karena berharap dengan masuknya makanan, ketidakseimbangan perasaan dan tubuh saya bakal hilang. Atau setidak-tidaknya berkurang. Saya pun mengontak istri ke Makassar, memberitahu kondisi kesehatan saya. Ini pertama kali dia memperoleh kabar mengenai gangguan kesehatan saya saat melakukan perjalanan. Dia pun selalu mengontrol saya melalui ponsel dari Makassar. Saya tahu persis, dia sangat gelisah. Lalu lintas komunikasi ponsel kami saat itu sangat sering kala itu.
Ternyata, tidak ada perubahan sama sekali. Pak Radi menganjurkan saya agar berbaring saja di sofa, sementara beliau sendiri sibuk menyelesaikan sisa pekerjaannya hari itu. Berbaring di sofa tamu kantor pejabat negara membuat saya tak tenang. Dalam pikiran saya menggelayut bayangan, bagaimana kalau seandainya anggota Wantimpres yang lain tiba-tiba bertamu ke ruang kerja Pak Radi? Kan tidak santun saya tidur di situ, sementara ada tamu, walaupun saya dalam kondisi tidak fit.
Membaca kegundahan dan kegelisahan saya, pada pukul 15.00 Pak Radi mengajak pulang.
‘’OK, mari kita ke apartemen,’’ ajak Pak Radi.
Saya pun berjalan dengan nyaris sempoyongan, tetapi diusahakan dikuat-kuatkan saja. Agar tidak jatuh, saya mendekati dinding. Sari mengantar saya dengan Pak Radi hingga lift. Di lantai bawah begitu keluar dari lift, masalah baru pula bagi saya. Harus mencari dinding baru sebagai tempat sandaran pada saat berjalan. Demikian hingga tiba di apartemen.

Saya pulas sore, setelah menyetel alarm di ponsel pukul 18.00. Pikiran saya bergumul dengan keputusan membatalkan keberangkatan ke Bandung.
‘’Ternyata benar, feeling saya. Pasti ada apa-apa. Bayangkan, kalau saya pergi ke Bandung dan tiba-tiba saya sakit di sana,’’ gumam saya menjelang pulas sore di apartemen pak Radi.
Saya harus ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta paling lambat pukul 19.00. Saya tidak lagi berbuka puasa dan memenuhi ajakan Pak Radi dan Ibu menemani berbuka puasa tanggal 26 Agustus 2009 itu. Masalahnya, saya sudah buka sejak siang hari.
Albez mengantar saya ke bandara dengan menggunakan taksi, karena Aleng, driver Pak Radi, sudah pulang ke rumahnya. Saya pamit dari Pak Radi dan Ibu dengan iringan kata ‘selamat dalam perjalanan’.
Sepanjang perjalanan di taksi, saya berusaha pulas. Tetapi, tetap saja selalu gagal oleh goncangan taksi yang ngebut. Tiba di terminal II F, tempat keberangkatan Garuda Indonesia, saya meninggalkan taksi di bawah pengawalan ‘ketat’ Albez yang membantu membawakan tas laptop saya yang berisi sehelai handuk dan baju.
‘’Mungkin saya ambilkan kursi roda,’’ kata Albez usai melakukan check in tiket di Garuda. Saya langsung setuju. Albez lenyap, saya duduk menunggu di depan counter Garuda.
Albez muncul dengan seorang karyawan Angkasa Pura, yang mendorong kursi roda. Saya lupa nama pria yang baik hati itu.
‘’Pak, saya ini kurang sehat. Boleh saya diantar ke poliklinik bandara?,’’ pinta saya.
Bapak dari Angkasa Pura itu menggiring kursi roda saya ke arah kiri lokasi check in. Albez ikut dari belakang sembari membawa tas laptop saya. Albez tidak ikut masuk ke ruang poliklinik, karena harus melewati counter Bea Cukai. Melihat saya didorong dengan kursi roda, dua orang petugas BC membiarkan saja calon penumpang Garuda Cengkareng-Makassar itu melewati pintunya.
Tiga petugas medis berjaga di poliklinik. Seorang penumpang, tampaknya, juga baru saja berurusan dengan poliklinik, ketika saya tiba. Dia sedang berdiri. Begitu saya muncul, seorang petugas medis setengah umur langsung mempersilakan saya berbaring di sebuah tempat tidur. Tensi (tekanan darah) saya mau diperiksa. Alat yang digunakan bukan tensimeter yang biasa (yang dilengkapi dengan stateskop), melainkan alat tensi digital yang langsung memunculkan indikator tekanan darah seseorang.
‘’Tensinya 175 per 80, Pak. Tinggi sekali, per-nya rendah,’’ katanya kemudian mencari tablet yang akan diberikan kepada saya. Sebiji tablet saya isap, kemudian didorong dengan segelas air mineral.
‘’Kita tunggu sekitar 20 menit,’’ kata petugas medis itu.
‘’Tetapi, Bapak ini mau boarding pukul 20.00, Bu,’’ kata karyawan Angkasa Pura yang mendorong kursi roda yang saya pakai.
‘’Lapor saja dulu ke counter keberangkatan. Ada satu calon penumpang yang sedang dirawat,’’ petugas medis memberitahu.
Karyawan Angkasa Pura itu pun langsung mengontak gerbang keberangkatan. Saya juga plong mendengar pembicaraan mereka. Artinya, kalau sudah boarding, pasti saya akan tahu dan segera didorong ke pintu keberangkatan.
Hasil pemeriksaan tekanan darah saya kedua menunjukkan, tensi saya turun 140 per 80. Masih rendah. Ibu perawat memberi saya sebungkus plastik kecil tablet. Saya tidak tahu apa namanya. Kemungkinan obat maag. Sebab, mereka menduga saya mengalami penyakit maag. Penyakit yang selama ini saya tidak pernah rasakan. Tetapi, kecurigaan saya terhadap penyakit ini memang sah-sah saja. Soalnya, saya sering terlambat makan. Bahkan, sering tidak makan pada siang hari. Saya mengingat makan, lantaran begitu banyak teman yang mengingatkan agar saya tidak lupa makan.
‘’Apa mau diantar dengan kursi roda hingga ke pesawat, Pak,’’ tanya karyawan Angkasa Pura itu lagi.
‘’Mungkin sampai di pintu keberangkatan saja, Pak. Biarlah tas saya diantar hingga ke dekat pesawat. Nanti saya jalan sendiri sambil bertahan di dinding,’’ kata saya.
Penumpang lain sudah masuk, ketika saya turun dari kursi roda di pintu keberangkatan. Karyawan Angkasa Pura mengambil tas yang sudah diserahkan Albez yang tidak bisa lagi lebih jauh masuk ketika gerbang pemeriksaan terakhir petugas detektor menjelang gate keberangkatan Garuda.
Saya memaksakan diri berjalan menentengi tas seberat sekitar 9 kg itu sembari bersandar di dinding garbarata. Semua sandaran saya pegangi ketika langkah melintas hingga ke dalam pesawat. Mulai dari pintu sampai kursi pesawat.
‘’Dok, saya ini sedikit kurang sehat. Kalau terjadi suatu, saya di belakang, Dok,’’ kata saya ketika tampak sosok dr.Rahmat Latif, Sp.PD, yang kini menjabat Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel duduk di kursi nomor 9C.
Dokter ini dulu adalah mahasiswa peserta mata kuliah dasar umum (MKDU) Bahasa Indonesia yang pernah saya ajari. Bersama dia, ada dua lagi temannya. Seorang di antaranya Gabril Taufik, dan seorang lainnya, kalau tidak salah namnya Jayadin. Semuanya sudah jadi dokter.
Ada kisah lucu, menimpa saya dengan teman Rahmat Latif yang bernama Jayadin itu. Ketika Pekan Orientasi Studi Mahasiswa (Posma) Fakultas Kedokteran Unhas, para mahasiswa baru dibimbing secara tertutup. Tidak boleh diintip oleh orang lain. Saat itu para mahasiswa baru lagi dikumpulkan di Aula Fakultas Kedokteran Unhas Kampus Baraya, di sebelah utara lapangan papan catur. Kebetulan ketua panitianya Rahmat Latief. Yang jaga pintu masuk, Jayadin, salah seorang temannya juga.
‘’Saya mau masuk melihat kegiatan Posma Fakultas Kedokteran,’’ kata saya waktu itu kepada Jayadin. Saya kenal baik dia, cuma mungkin dia lupa dengan saya.
‘’Tidak boleh, Pak. Dilarang!,’’ katanya tegas. Hati kecil saya tertawa kecil, karena dia berhadapan dengan mantan dosen Bahasa Indonesia MKDU-nya dulu. Lagipula, saya juga tahu ketua panitianya adalah bekas mahasiswa saya juga. Kali itu saya datang sebagai reporter Penerbitan Kampus Identitas.
‘’Siapa yang larang?,’’ kata saya tegas.
‘’Ketua Panitia, Pak,’’ katanya lagi.
‘’Siapa ketua panitianya. Tolong panggil ke sini. Saya mau bicara,’’ kata saya semakin yakin, kalau ketua panitianya muncul pasti bakal tidak enak hati melarang saya masuk. Dia pergi setelah memberitahu nama ketua panitianya kepada saya.
Begitu muncul, Rahmat Latif langsung mempersilakan saya masuk ke Aula Kedokteran. Jayadin yang melarang saya masuk tadi pun, tersipu-sipu. Tetapi saya tidak memperlihatkan sikap mempermalukannya.
Begitu duduk di kursi nomor 10 C, saya langsung pulas. Ketika pesawat take off pun, saya tidak rasa. Pembantu Rektor II Unhas Dr.dr.Andi Wardihan Sinrang, M.S. yang ternyata sama-sama terbang dengan saya malam itu (setelah beliau sendiri memberitahu) saya tidak sempat lihat. Rupanya beliau masuk pesawat setelah saya pulas.
Saya terbangun begitu pesawat oleng keras, karena roda-rodanya menapak di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Pikiran baru muncul. Bagaimana saya bisa sampai ke tempat kedatangan dengan aman dalam kondisi seperti orang mabuk begini? Harus bawa tas yang berat 9 kg lagi.
Saya berusaha membiarkan penumpang lainnya turun. Seperti waktu boarding, saya berjalan memanfaatkan memegang kursi dan dinding pesawat dan garbarata. Seorang karyawan Angkasa Pura menegur, ketika langkah saya terus berlanjut melewati lorong jalan keluar ke tempat pengambilan bagasi di lantai II Bandara Sultan Hasanuddin. Saya akhirnya selamat hingga ke kendaraan yang dikemudikan istri yang datang menjemput bersama putri saya Yanti. Malam itu, ibu sebenarnya sudah menyiapkan kartu Askes (Asuransi Kesehatan), karena berniat langsung membawa saya ke Unit Gawat Darurat (UGD) RSUP Wahidin Sudirohusodo.
‘’Mau langsung ke UGD?,’’ tanya istri saya ketika mobil Kijang LGX hitam yang kami tumpangi melaju meninggalkan kawasan Bandara Sultan Hasanuddin lewat tengah malam 26 Agustus 2009 itu.
‘’Nggak usah. Biarlah saya istirahat di rumah,’’ balas saya dengan suara tak bersemangat.
Pada tanggal 26 Agustus 2009 malam atau 27 Agustus dinihari, saya tidur pulas begitu tiba di rumah. Tidak makan malam lagi. Perut hanya terisi nasi dan soto yang disajikan Sari di Kantor Pak Radi pada siang hari. Tetapi, saya merasakan pulas sekali.
Seperti biasa, istri membangunkan saya sarapan pagi. Dia menyediakan saya bubur dan telur setengah matang yang sudah diaduk dengan madu asli Bima yang selalu saya konsumsi. Madu dari kampung tidak boleh kosong di rumah. Kalau persediaan sudah mulai menipis, ponsel akan berdering lagi di rumah adik-adik di Bima. Pada kedatangan KM Tilongkabila, kapal yang menghubungkan Bima-Makassar dua kali sebulan, pesanan itu sudah ada ada. Dititip melalui mahasiswa Bima yang ke Makassar.
Usai melahap habis bubur dan telur setengah matang dicampur madu, keringat saya mengalir turun. Dari kepala, keringat bagaikan disiram dengan air. Menetes di bahu dan membasahi tubuh saya tanpa baju pagi hari itu.
‘’Kenapa ki, Pak? Kenapa ki?,’’ pekik istri saya sembari menangis. Dia – sebagai perawat -- tampaknya melihat perubahan muka saya yang tiba-tiba pucat habis disertai keringat mengucur.
‘’Pak…..Pak…., kenapa ki????.’’ Pekiknya lagi dengan keras, hingga Yanti yang biasanya malas bangun pagi melompat ke luar ke meja makan rumah kami yang sumpek dan kecil.
‘’Nggak apa-apa. Nggak…apa-apa. Bawa saya berbaring,’’ kata saya dengan suara setengah dipaksa.
Istri saya dan Yanti memegangi kedua tangan saya, takut kalau terjatuh. Baru dua tiga langkah kaki saya ayunkan, tiba-tiba seluruh yang saya cicipi pagi hari itu muncrat keluar. Saya muntah. Muntahannya berhamburan di atas lampit (tikar rotan) yang kami pesan di Balikpapan beberapa tahun silam melalui kemanakan istri yang menjadi anak buah kapal (ABK) KM Raniya yang khusus mengangkut mobil dan sepeda motor milik PT Hadji Kalla.
Istri saya langsung berteriak membangunkan Heri (Haryadi) yang paling malas bangun pagi.
‘’Heri, bangun!!! Kasih keluar mobil. Bawa bapak ke rumah sakit segera!!!,’’ kata istri saya.
Hari itu, 27 Agustus 2009 pagi. Puasa baru lewat seminggu. Saya masuk UGD RSUP Wahidin Sudirohusodo. Pertolongan yang diberikan adalah memasukkan cairan melalui infus. Tangan kiri saya digelantungi slang cairan infus. Sepanjang pagi hingga sore, saya masih tergeletak di antara deru perawat mendorong kursi pasien yang baru masuk dan raungan sirene nyaris tiap 10 menit yang membawa pasien baru yang dalam kondisi darurat. Melalui cairan infus, obat – yang saya tidak tahu nama dan jenisnya – dimasukkan untuk mengurangi rasa oleng yang saya idap.
Hari itu, kamar rawat inap penuh. Dokter menyarankan istri saya memasukkan saja bergabung dengan beberapa pasien lain di kamar pasien penyakit dalam. Tetapi, istri saya menolak. Istri saya sempat jengkel juga kepada salah seorang dokter, karena menyuruh menandatangani surat keterangan pulang. Istri saya mengatakan, kalau kondisi saya membaik, lebih bagus jika istirahat di rumah, ketimbang di UGD yang hingar binger dan gaduh. Tampaknya, dokter menanggapi salah. Disangkanya, istri saya mau bawa pulang begitu saja suaminya.
Akhirnya, seorang teman istri saya menganjurkan untuk menitip saya bermalam di ruang rawat inap pasien luka bakar. Ruang ini sebenarnya bukan tempat yang nyaman, Hanya mengurangi sedikit suara gaduh perawat dan pembesuk yang lalu lalang saja. Daripada terusik tak bias tidur, mendingan ‘’disembunyikan’’ di kamar rawat inap pasien luka bakar. Mumpung juga ada yang kosong. Belakangan, ada juga dokter yang menganjurkan agar segera meninggalkan kamar ini. Istri saya menjawab, ini hanya sementara, sambil menunggu ada kamar kosong.
Semalaman (27 Agustus hingga 28 Agustus pagi) saya tidak bias istirahat dengan benar. Seorang pasien luka bakar – satu-satunya yang dirawat—terus menjerit kesakitan dengan suara memilukan saat dokter mencoba member bantuan pengobatan. Kamar pasien luka bakar ini sempitnya luar biasa. Bayangkan saja, tempat tidur dorong, dengan susah payah lewat saat dimasukkan.
Hari menjelang siang, saya akhirnya dipindahkan ke kamar di bagian belakang rumah sakit tipe A itu. Kamar itu berdekatan dengan tempat saya dirawat tahun 2004. Di sini sedikit tenang, meski tetap saja terusik oleh pembesuk pasien penyakit dalam di dekat saya. Seorang mahasiswa tahun terakhir di Fakultas Hukum Unhas yang mengalami paru-paru basah. Dia mengalami gangguan kesehatan itu, karena suka mandi malam sepulangnya dari latihan karate. Dia anak yatim. Ayahnya, seorang karyawan Kopertis IX. Saya kenal ayahnya, karena ketika hidup saya sering ke kantornya meliput berita. Dia meninggal dalam usia sebelum tiba saatnya pensiun.
Setelah seminggu dirawat, saya akhirnya dibolehkan pulang. Tetapi rasa oleng, agaknya belum hilang benar. Saya masih memerlukan bersandar pada sesuatu jika akan berjalan sendiri ke kamar mandi. Saya akhirnya memutuskan istirahat di rumah beberapa hari. Tidak tahan juga nongkrong di rumah terus, akhirnya tepat hari Senin berikutnya (setelah meninggalkan rumah sakit pada hari Jumat), saya mencoba masuk kerja. Baru melangkah naik ke lantai dasar gedung rektorat, perasaan oleng mulai mengganggu saya. Nyaris saya terjengkang ke belakang, seandainya tidak cepat bersandar di tembok.
‘’Mengapa cepat masuk kerja?,’’ tanya salah seorang teman.
‘’Mau tes lapangan saja,’’jawab saya seadanya.
‘’Vertigo ko itu. Kalau jalan seperti orang mabuk,’’ kata Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi, Rektor Unhas, ketika saya masuk melapor sudah masuk kerja.
Mendengar penjelasan Prof.Idrus, saya teringat Asdar Muis RMS. Dia termasuk penderkita vertigo berat. Saya mengontak dia. Asdar menjelaskan, kini vertigonya sudah hilang setelah berobat pada dr.David G.Umbas. Tempat praktiknya di Jl.Dr.Ratulangi, tepat di depan bekas gedung Bioskop Twenty One.
Saya pun mengajak istri ke sana,. Setelah janjian dengan dr.David beberapa hari sebelumnya.
‘’Dia kenal ja ki itu,’’ kata Asdar`meyakinkan saya bahwa pasti juga mengenal dokter syaraf tersebut.
Benar juga, ternyata dokter itu pernah sama-sama dengan saya dalam suatu kepanitiaan di Unhas. Saya lupa panitia apa namanya. Sekitar satu jam saya menunggu. Ketika saya kontak melalui ponsel, dr.David memberitahu dia terjebak macet. Saat itu, Makassar lagi demam macet.
Saya berada pada antrian ke-8. Lama juga menunggu, pikir saya. Baru dua orang dilayani dokter, tiba-tiba perawat perempuan nongol di pintu dan menyebut nama saya.
‘’Pak Dahlan nomor antrian 8, tetapi potong kompas menjadi urutan ke-3,’’ kata dr.David mengawali konsultasi.
‘’Terima kasih, Dok,’’ sahut saya pelan, kemudian menjelaskan kronologis penyakit yang pertama kalinya saya alami itu.
‘’Silakan baring,’’ kata dr.David usai mendengar penjelasan.
Begitu saya baring, dia ‘menangkap’’ kepala saya, lalu memelintirnya ke kanan.
‘’Pusing????,’’ tanya pendek.
‘’Tidak, Dok!,’’ jawab saya diikuti tangannya kembali ‘’menangkap’’ kepala saya dan memelintirnya ke kiri.
‘’Pusing???,’’ tanyanya lagi.
‘’’Tidak, Dok!,’’ sahut saya lagi, kemudian langsung menarik kepala saya hingga tubuh dalam posisi duduk.
‘’Pusing????,’’ tanya dia lagi. Saya kembali menjawab ‘’tidak!!’’.
Dia membaringkan saya, kemudian memasang sesuatu di leher saya. Membiarkan kepala saya sedikit bergantung beberapa saat.
‘’Okey, sudah!,’’ katanya memerintahkan saya bangun. Perasaan saya seperti ringan sekali.
‘’Konsultasinya gratis buat Pak Dahlan. Nanti Pak Dahlan bayar biaya administrasi saja di bawah,’’ katanya, kemudian saya mohon diri.
Dokter David sebenarnya ingin menahan saya agar mendengar sejumlah uneg-uneg-nya. Tetapi, saya menyadari, banyak pasien menunggu.
‘’Saya mohon diri dulu, Dok. Banyak pasien Dokter menunggu di luar,’’ ujar saya sembari menyambar tangannya.
Saya membayar biaya administrasi dengan sedikit pertanyaan.
‘’Tidak ada resep, Mbak?,’’ tanya saya ketika menyerahkan sejumlah uang biaya administrasi.
‘’Oh, tidak ada, Pak,’’ jawab petugas sekretariat Medical Centre itu sebelum saya pamit dari hadapannya dengan segumpal pertanyaan yang tak terjawab.
Dalam perjalanan pulang melintasi Jl.Nusantara (karena akan melalui jalan tol guna menghindari kemacetan Jl.Masjid Raya dan Urip Sumohardjo), saya mengontak Asdar. Menanyakan, apakah dulu pernah diberi resep oleh dr.David atau tidak. Asdar menjawab, pernah dan dia melahap beberapa jenis obat hingga vertigonya lenyap.
‘’Lho, saya tidak dikasih resep, Dar?,’’ kata saya bernada heran.
‘’Masa’. Mungkin vertigonya tidak parah-parah amat,’’ jawab Asdar.
Ternyata setelah kepala saya diplintir dr.David, penyakit vertigo saya memang hilang. Mungkin begitulah cara dokter syaraf menjinakkan penyakit vertigo yang saya alami. Terima kasih dr.David!
Apartemen Kemayoran, Jakarta, 25 Oktober 2009.

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kita Sama-sama Miskin

Minggu pertama Mei 2005 saya berada di Yogyakarta lagi. Dalam tiga tahun terakhir ini, saban tahun saya berada di Kota Gudeg tersebut. Urusannya sama, mengurus pencetakan buku. Saat pertama datang tahun 2003, saya bersama Asdar Muis RMS, tetapi dalam dua kali terakhir saya seorang diri. Biasa, sudah tahu jalan.
Ketika keberangkatan saya yang terakhir ini, sehari sebelum kembali ke Makassar – 6 Mei 2005 – tiba-tiba muncul saja keinginan saya memelihara ayam hutan. Masalahnya, saban subuh di hotel tempat saya biasa menginap, suara kokok ayam hutan selalu membangunkan saya dari tidur pulas subuh hari. Bukan hanya itu, bunyi kokok ayam hutan itu selalu mengingatkan saya akan desa kelahiran nun jauh di Bima sana.
Dulu, saat saya masih duduk di sekolah dasar, tiap pagi sering mendengar suara kokok ayam hutan di kaki bukit di belakang rumah. Biasa saya sering mengubernya dengan maksud ingin menangkapnya. Suatu pekerjaan bodoh dan mustahil. Mana mungkin. Ayam hutan mana yang mau membiarkan dirinya ditangkap. Tentu saja dia terus saja berlari, hingga lenyap di antara semak-semak. Selain suaranya indah sekali jika berkokok, juga warna bulunya yang licin merah kehijau-hijauan. Indah nian.
Pemilik hotel tempat saya nginap di Jogjakarta memiliki seekor ayam hutan. Katanya, dia beli dalam kondisi sudah besar. Kalau tidak salah dia beli di Bali. Untuk lolos sampai ke Jogjakarta, dia harus menyogok petugas di bandara Rp 50 ribu. Biasalah, agar bawaan mulus hingga ke pesawat. Keadaannya sudah jinak pula. Bahkan, ketika dipegang-pegang kepalanya, ayam hitam itu diam mematung. Seperti maklum saja kalau dimanja pemiliknya.
‘’Asal dia tidak dikasih kaget. Kalau dia kaget, biasa dia yang memburu tangan kita,’’ komentar putra pemilik hotel.
‘’Saya kepingin sekali mencoba memelihara ayam hutan. Kokoknya asyik dan enak didengar. Khas sekali,’’ kata saya setelah mengutarakan niat ingin memiliki ayam hutan.
Pria yang berumur kira-kira 20 tahun itu menunjukkan kepada saya kalau bibit hasil persilangan ayam hutan dengan ayam kampung dapat ditemukan di Pasar Ngasem, Jogjakarta. Harganya sekitar Rp 75 ribu. Tetapi orang mengenalnya sebagai ayam berkisar.
‘’Semua tukang becak di depan hotel tahu pasar itu. Suruh saja antar ke sana,’’ lelaki itu berpesan.
Saya pun berjalan ke depan hotel. Seorang tukang becak muda, mungkin usianya 25-an tahun, menghadang saya. Dia paling rajin menggoda setiap saya muncul di jalan di depan hotel. Agendanya, menawarkan diri agar saya mau menggunakan jasa roda tiganya jalan-jalan. Tujuannya, kalau bukan ke lokasi pembuatan batik, pasti tempat pembuatan bakpia. Dua tujuan ini paling laris menjadi bahan jualannya. Ongkos yang dia minta Rp 10 ribu pergi pulang. Kalau di Makassar soal tarif masih perlu dimusyawarahkan panjang lebar dan tanggung diskusinya alot.
‘’Saya mau ke Pasar Ngasem!,’’ kata saya.
Mendengar penjelasan saya, lelaki itu langsung memanggil seorang pria setengah umur.
‘’Ini Bapak saya,’’ katanya memperkenalkan.
Saya tidak tahu, mengapa saya diopor kepada ayahnya. Mungkin sang ayah menjelang pukul 11.00 WIB itu belum memperoleh muatan sama sekali, sehingga perlu ‘’disubsidi’’ dengan penumpang yang kebetulan juga saya. Dalam hati saya terbersit, bakal susah payah juga orang tua ini mengayuh becaknya kelak hingga di tujuan dan kembali lagi ke hotel.
‘’Saya bayar berapa, Mas?,’’ kata saya ketika pantat saya menyentuh tempat duduk di becaknya yang empuk dan pakai pegas.
‘’Ah, berapa saja. Kita ini kan sama-sama miskin,’’ katanya sambil kakinya mulai menerjang pedal.
Kalau di Makassar, menawar tarif becak bukan soal yang mudah. Kadang-kadang kita saling tarik urat leher. Kalau tidak cocok, calon penumpang bakal cari becak lain. Tukang becak Makassar juga tak bakal mau mengalah. Di Jogja lain. Mereka tidak ngotot-ngototan. Kata ‘’berapa saja’’ selalu membuat kita menjadi iba. Sebagai penumpang, tak tega juga memberi tarif yang rendah melihat keringatnya yang mengucur. Bahkan, penumpang biasa memberi bonus. Sama dengan kebiasaan saya.
Dia mengayuh becaknya, menyusuri jalan di depan hotel dan membelok di ujung sana. Terdengar desah napasnya kencang, seakan berlomba dengan irama kakinya mengayuh pedal.
‘’Kalau ke sana (maksudnya ke arah Alun-alun) agak menanjak. Lain kalau kembali nanti, enak, menurun,’’ katanya tanpa saya minta. Suaranya terdengar terengah-engah.
Mugianto, nama tukang becak itu, mengaku punya anak tiga. Semuanya laki-laki. Salah seorang di antaranya, adalah yang menawarkan saya kepadanya sebagai penumpang barusan. Seorang lagi, punya angkutan mobil. Yang seorang lagi, bekerja sebagai pelukis di kawasan pemukiman keturunan sultan di dekat Alun-alun Selatan.
Sambil bercerita macam-macam Mugi mendorong becaknya keluar masuk hingar bingarnya kendaraan yang lalu lalang di kota. Terkadang jalan sempit dia terobos. Tiba-tiba saja dia berhenti di depan sebuah tempat orang menjual lukisan. Saya heran. Sebab, tak ada tanda-tanda pasar yang dituju.
‘’Singgah dulu sebentar. Ini lihat-lihat dulu lukisan anak saya,’’ katanya. Saya sejenak kaget, kok dibawa ke sini. Saya kan tak bermaksud mencari lukisan, tetapi bibit ayam hutan.
‘’Nggak, nggak. Saya hanya mau ke Pasar Ngasem dulu mencari bibit ayam hutan, Mas!,’’ sahut saya.
‘’Nggak mau lihat lukisan dulu?’’ katanya minta persetujuan.
‘’Belum. Saya cari ayam hutan dulu. Nantilah bila saya perlukan. Ayo kita jalan, ‘’ pinta saya.
Kami pun terus ke Pasar Ngasem. Sebuah pasar yang sangat kumuh. Dari luar terlihat kandang-kandang burung dan ayam serta binatang bergelantungan. Mugi memarkir becaknya di sebelah kiri . Saya melangkah masuk ke kawasan pasar. Di kiri kanan, macam-macam binatang terpajang. Mulai dari tikus-tikus kecil hingga tupai, bajing, dan musang. Binatang yang hanya pernah saya lihat di dalam buku flora dan fauna saya temukan di sini. Kalau musang pernah saya lihat di kampung waktu kecil, saat mencari jambu biji di pinggir desa. Biasa, binatang ini tidur siang di atas pohon saat saya dan teman-teman menggoyang-goyang pohon jambu di dekatnya. Mendengar ada pohon lain yang bunyi, musang lari turun dan kabur di tengah semak belukar. Kami biasanya hanya mengiringi kaburnya binatang itu dengan teriakan sembari menyebut nama binatang tersebut.
Di sebelah kanan, mata saya sempat tertarik pada beberapa ekor anak ayam kecil. Warnanya unik. Semula saya pikir, anak ayam itu distabilo, sebab warnanya beraneka ragam dan mirip stabilo. Saya pun maklum kemudian, kalau anak-anak ayam itu memang dari jenis tertentu.
Saya pun tiba di los yang menjual bibit persilangan ayam hutan dan ayam kampung. Orang-orang pasar menyebutnya ayam bekisar. Berarti, dia akan dominan ayam kampung. Tidak sama dengan yang di hotel yang masih dominan ayam hutan, terutama dari irama kokoknya.
‘’Masih ada di peternakan,’’ kata salah seorang penjual yang kemudian muncul setelah beberapa menit menghilang dan membiarkan saya duduk melongo seorang diri.
‘’Kalau cocok harga, nanti saya ambilkan,’’ imbuh lelaki itu, setelah sebelumnya sempat berbahasa Jawa dan membuat saya bingung tujuh keliling. Saya pun langsung menginterupsi.
‘’Maaf, bahasa Indonesia saja. Saya nggak ngerti bahasa Jawa, Mas,’’ kata saya, kemudian dia langsung berbahasa Indonesia.
‘’Okey, nanti lain kali saja,’’ kata saya sekaligus menutup hasrat membawa pulang bibit ayam hutan.
Saya pun buru-buru menuju tempat Mugi memarkir becaknya. Dia sudah gelisah menunggu saya yang kelamaan masuk ke pasar. Mugi menyambut saya. Ternyata dia baru saja dapat penjual ayam bekisar dan menawarkan kepada saya.
‘’Oh.. sudah. Saya cari ayam hutan, bukan ayam bekisar,’’ jelas saya ketika seorang lelaki setengah umur mencoba menawarkan jasa informasi mengenai ayam yang hendak dijualnya.
Mugi mengantar saya pulang. Dia masih berusaha menggoda saya agar mau singgah membeli batik atau bakpia dulu. Tapi, saya selalu jawab bahwa saya sudah belanja keduanya malam hari sebelumnya.
‘’Kapan pulang?,’’ Mugi tiba-tiba bertanya.
‘’Besok pagi-pagi,’’ jawab saya.
‘’Nanti saya antar ke stasion,’’ jawabnya polos.
Dalam hati saya pikir, Mugi mengira saya akan pulang naik kendaraan bus atau kereta api, sehingga menawarkan diri mengantar ke stasion.
‘’Oh. Nggak. Saya pulang naik pesawat,’’ kata saya lagi.
‘’Tak kirain naik bus. Atau nanti anak saya yang ‘ngantar’. Dia ada mobil,’’ tawarnya lagi.
‘’Nggak usah. Saya sudah janjian dengan taksi,’’ kata saya lagi.
Saya menangkap, betapa Mugi selalu mempromosikan usaha dan bisnis putra-putranya. Betapa ayah beranak ini secara sinergis saling memberi peluang dan informasi pekerjaan. Awalnya, putranya sendiri yang mempromosikan saya kepada sang ayah. Padahal, sang anak bisa saja melakukannya sendiri. Ini sebuah hubungan primordial ekonomis nepotis yang terjadi di level masyarakat bawah. Kalau di level elite kita tentu sebuah hal yang tidak wajar. Tentu saja, Mugi dan anak-anaknya melakukan interaksi seperti itu betul-betul didorong oleh kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup semata. Bukan karena dalam posisi sudah hidup serba berkecukupan.
Praktik nepotisme buat mereka yang berada pada strata bawah seperti ini mungkin perlu ditumbuhkan demi saling membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, tergambar masih adanya nilai-nilai di dalam masyarakat kita yang bernama jalinan kekeluargaan. Kalau di Makassar, kalau perlu ayah dengan anak atau anak dengan anak saling ‘’membuat perhitungan’’ untuk sebuah rebutan yang bernama kue ekonomi dan kehidupan.
Tak terasa saya sudah sampai di depan hotel lagi. Saya merogoh kantong dan memberinya Rp 15.000, ongkos dia mengayuh becak dari hotel ke Pasar Ngasem pergi pulang.
‘’Terima kasih, Mas. Kalau mau pergi lagi, nanti saya antar,’’ tawarnya mengantar saya memasuki gerbang hotel.
Mugi memang tidak ke mana-mana. Markasnya hanya di depan hotel tempat saya biasa menginap. Nongkrong bersama beberapa pengayuh becak lainnya. Termasuk dua orang anaknya. Dia termasuk salah satu sosok tukang becak Jogja yang saya kira tipenya nyaris sama. Dan, yang pasti, berbeda dengan kebanyakan tukang becak di Makassar.
Jogjakarta, 6 Mei 2005

Rebonding dan Brekele

Pada tanggal 11 s.d. 14 Mei 2005 saya ke Gorontalo. Agendanya, mengikuti Rapat Kerja Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri Kawasan Timur Indonesia yang juga dirangkaikan dengan Pertemuan Silaturrahmi Duta Besar dan Berkuasa Penuh RI untuk Jepang Abdul Irsan, S.H. dan Masyarakat Gorontalo. Sore hari menjelang malam acara silaturrahmi, saya dengan Pak Radi A.Gany iseng-iseng naik bentor – becak motor. Ceritanya mau keliling kota Gorontalo.
Gorontalo termasuk kota bentor. Harga sebuah bentor berkisar 17 juta rupiah. Bentor produksi Gorontalo ini sudah banyak diekspor ke luar Gorontalo. Di Sulsel, Wajo termasuk salah satu daerah pengimpor becak bermotor tersebut. Kendaraan ini bisa dibongkar pasang. Jika pemiliknya mau naik motor, maka becaknya dicopot. Begitu pun kalau pemiliknya mau narik lagi dia pasang menjadi bentor.
Bercelana pendek, Pak Radi sudah langsung duduk di atas bentor ketika saya muncul dari balik pintu hotel. Becak motor itu milik salah seorang warga Gorontalo. Kalau tidak salah ingat, namanya Abdullah.
Kota Gorontalo, dulu kota sepi. Pada tahun 1995, saat saya melintas dalam perjalanan merambah Trans Sulawesi untuk menghadiri Hari Pers Nasional 1995 di Manado, kota itu masih adem-adem ayem membangun. Dia bagaikan sebuah kampung besar yang terus berselimutkan kehidupan rakyat pedesaan. Habis, kue pembangunan masih mengharap belas kasihan dari Manado sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Apalagi, Gorontalo terbagi dua, sebagai kotamadya dan kabupaten.
Keistimewaan kota ini adalah banyak memiliki warisan bangunan lama, zaman Belanda. Terutama, rumah pendek tempat tinggal controleur dulu. Hingga kini, rumah peninggalan masa lalu itu tetap saja dibiarkan sesuai aslinya. Hanya cat saja yang diperbaharui.
Provinsi Gorontalo yang merupakan pecahan Sulawesi Utara, memiliki luas 12.215,45 km. Luas lahan yang ada 463.649 ha dengan penduduk 885.554 jiwa. Tak cukup 1 juta jiwa. Namun soal pertumbuhan ekonomi, Gorontalo paling tinggi di Sulawesi. Pada tahun 2001, pertumbuhannya mencapai 5,3 % lalu naik menjadi 7 % pada tahun 2004. Hingga Mei 2005, pertumbuhannya sudah mencapai 7,3 %. Bahkan menurut catatan Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Gorontalo sudah menyentuh angka 8 %.
Tanggal 11 Mei 2005 sore, saya dan Pak Radi hanya ingin jalan-jalan saja. Sebenarnya saya sudah merebahkan badan di tempat tidur, ketika ponsel saya berdering. Ternyata, ada panggilan dari bos yang mengajak jalan-jalan naik bentor.
Sepanjang jalan, Abdullah tak henti-hentinya bercerita. Dia mencoba menjadi sales. Tentu mengenai potensi kotanya. Termasuk keluarganya ketika kami tanya. Pendapatannya per hari. Biasalah, penumpang banyak saja mau tahunya. Saat ditanya siapa nama gubernurnya, dia jawab dengan benar. Begitu pun ketika ditanya nama wali kotanya. Dia juga hapal. Kalau di Makassar tukang becak yang dicecar pertanyaan seperti itu sudah kalang kabut menjawab. Kalau pun dia mampu, jawabannya sudah pasti salah.
Pada setiap gedung besar, Abdullah pasti menjelaskan fungsi gedung tersebut. Hari kian sore, ketika bentor terus melaju ke arah pelabuhan. Bau pelabuhan kian dekat, karena pada batang satu sungai yang mengalir di tengah kota parkir beberapa perahu nelayan. Kendaraan laut itu tertahan sebelum jembatan, karena tiangnya terlalu tinggi dan tidak bisa lolos di kolong jembatan.
Menjelang pelabuhan, mata saya dan Pak Radi tertumbuk pada sejumlah papan nama. Di situ tertulis Salon Rebonding. Tulisan yang tertera di depan bangunan sederhana ini berjejer di kiri kanan jalan.
‘’Mengapa di sebut rebonding? Itu ada juga brekele?,’’ tanya Pak Radi.
Saya yang sedikit sok tahu karena sering menonton iklan di tayangan TV menjawab. Rebonding jika para gadis ingin memperlurus rambutnya. Akan halnya brekele, saya cuma ingat seorang sepupu yang kuliah di Teknik Unhas pernah dipanggil seperti itu, saat rambutnya lagi keriting. Jadi, brekele, kalau seseorang ingin mengeriting rambutnya.
Banyak perempuan duduk-duduk di depan salon mereka. Mereka melepaskan pandangan ke arah kami yang mungkin mereka tahu adalah orang pendatang.
‘’Mungkin mereka tahu kalau kita orang baru,’’ kata Pak Radi.
‘’Barangkali, karena mereka melihat kita memang orang baru di sini,’’ jawab saya.
Abdullah terus mengegas bentornya. Saat hendak membelok lalu mendaki, di sebelah kiri ada bangunan seperti tanki-tanki bundar raksasa.
‘’Itu Pertamina, Pak!’’ kata Abdullah.
‘’Kita akan ke daerah Pelabuhan Gorontalo,’’ imbuhnya lagi, menambah gas mendaki jalan aspal yang mulai bopeng-bopeng.
Kami ‘mendarat’ di sisi kiri pelabuhan. Sore itu, tanda-tanda hiruk pikuk suasana malam di pelabuhan mulai terasa. Kios-kios pinggir jalan mulai memutar lagu dangdut. Beberapa laki-laki yang ditemani perempuan dengan dandanan minor parkir di luar kios. Sesekali sang perempuan menggoda mereka yang melintas di dekatnya. Kebanyakan naik sepeda motor.
Bentor kian mendaki.Di bagian yang mulai menurun, Abdullah menghentikan bentornya.
’’Kita di sini saja,’’ katanya.
Kami turun. Saya mengabadikan sisi kiri kawasan pelabuhan, tempat kapal sandar. Letaknya beberapa kilometer di seberang sana. Mungkin ada 2 atau 3 km dari tempat kami berdiri. Tak lama kemudian, sepasang muda mudi turun dari bentor pula. Mereka lalu menuruni tangga beton di pinggir pelabuhan. Di bawah sana ada batu-batu besar alami. Tampaknya biasa jadi tempat duduk orang yang melepas lelah. Sepasang sejoli itu lenyap dari tatapan mata kami. Keduanya hilang di balik batu besar itu. Bersembunyi dari pandangan banyak orang. Biarlah malam memagutnya dalam kemaksyukan kasih sayang. Kami pun kembali naik bentor. Hari kian gelap.

Gorontalo, 11 Mei 2005

Jaringan Pencopet

Kapal Bengawan masih beringsut pelan. Stom yang terakhir masih ditunggu menggemanya. Waktu merangkak perlahan menuju rembang petang. Stom terakhir yang ditunggu pun menggema. Mengirim raungnya ke seantero kota. Mengabarkan kapal akan segera meninggalkan dermaga. Bengawan menuju Surabaya.
Kulemparkan pandanganku jauh merayapi pinggir dermaga Soekarno. Memandangi Pabrik Terigu yang tidak ubahnya sebagai Patung Liberty di depan Kota New York, Amerika Serikat. Tetapi, pabrik ini salah satu ’tower’ tertinggi di Kota Anging Mammiri saat itu. Pembangunannya saja aku ingat benar. Saat musim barat tiba, pembangunannya jalan terus. Seorang senior yang satu pondokan denganku pernah bekerja di situ.
Kugeser pandanganku jauh lagi. Menyusuri Pantai Losari yang kian mengecil. Kini dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang dituturkan oleh para penyair daerah ini tentang pantai yang disebut kursi terpanjang di dunia itu. Tampaknya bukan hanya memperindah-indah pantai belaka. Seindah sendu kata seniman. Tetapi memang kenyataan. Betul-betul indah buat pandangan mata.
Aku bersyukur, dapat memandangi pantai itu tidak pada saat para seniman mengelu-elukannya dalam puisi. Tidak pada saat para penyanyi mendendangnya dalam syair-syair lagu. Andaikan aku tidak meninggalkan pantai itu sekarang, mungkin aku bisa menatapnya hingga disaksikan matahari terbenam. Fenomena alam yang selalu menjadi taruhan Pantai Losari. Akan kuteteskan tinta hitam di atas kertas putih polos. Lalu menjelma menjadi tuturan hati, seperti juga para seniman itu.
Tetapi, aku sadar. Kepergianku inilah yang membuatku dapat menyaksikan pantai ini. Pantai tempat penduduk kota bersantai pada sore dan malam hari. Berjalan santai pada pagi hari. Tak terasa, tanganku melambai. Selamat tinggal Makassar dan Pantai Losariku.
KM Bengawan telah jauh meninggalkan Laelae. Samalona pun apatah lagi. Di sebelah kanan lambungnya, Pulau Kodingareng dan Barranglompo terlampaui. Pikiran pun berpaling ke sisa perjalanan yang masih dua hari satu malam. Menjadi tamu Kota Buaya yang bisa saja menjadi ’buaya’ bagi diriku yang pertama kali menginjakkan kaki. Memikirkan kisah kawan-kawan. Cerita tentang tukang copet dan jaringannya di Kota Pahlawan itu. Kisah ini kadang-kadang membuatku ciut. Tetapi aku sudah putuskan berangkat ke Jakarta. Rencananya, turun dari KM Bengawan di Tanjung Perak Surabaya. Selanjutnya, biar irit dan banyak dilihat, naik kereta ke Jakarta.
Dua hari diayun gelombang hingga melintasi Masalembo, tak terasa. Ketika mentari nongol di ufuk timur, Bengawan merapat di Tanjung Perak. Aku berkemas dengan barang apa adanya yang kubawa. Niatku naik taksi menuju stasiun kereta di Gubeng. Berharap, dapat kereta pada kesempatan pertama. Sembari menyulut sebatang rokok Fortuna kesenanganku, aku melangkah meninggalkan gerbang pelabuhan.
Dari arah yang berlawanan, seorang lelaki setengah umur berjalan ke arahku. Aku sudah mulai berpikir macam-macam. Mungkin inilah kisah teman-teman tentang Surabaya itu. Cerita tentang tukang copet. Dia berjalan tunduk, sepertinya pura-pura tidak memperhatikanku. Atau itu sekadar menipu lawan saja. Aku juga cuek. Tibat-tiba dia berhenti tepat di depanku.
‘’Selamat pagi, Pak!,’’ ucapnya datar.
Aku sempat gemetar. Apa gerangan dia menyapaku, padahal dia tidak mengenalku. Sebagaimana seorang manusia, aku harus menjaga hubungan insaniah dengan dia.
’’Ya, selamat pagi, Pak!,’’ kataku rasanya setengah dipaksa.
’’Bapak bapak dari mana dan mau ke mana?,’’ dia bertanya lagi.
’’Saya dari Ujungpandang mau ke Jakarta,’’ jawabku lagi.
’’Oh...dari Makassar ya?,’’ ulangnya seperti tidak mempercayai pendengarannya. Dia agaknya lebih suka pakai Makassar ketimbang kata Ujungpandang yang baru dipakai mengganti nama ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1971 itu. Aku curiga, seorang anggota keluargaku mungkin mengenal orang ini dan meneleponnya supaya menjemput sembari menjelaskan ciri-ciriku. Ah, mungkin saja perkiraanku saja. Atau boleh jadi seperti itu benar.
’’Kalau begitu, kita sama-sama. Satu suku,’’ jelasnya.
’’Jadi, bapak dari Ujungpandang juga?,’’ aku pura-pura tanya sekadar menyakinkan bahwa yang ngomong di depanku adalah orang baik-baik dan tidak mungkin merepotkanku.
’’Ya, betul,’’ sahutnya.
Langsung kujabat erat tangannya. Kami berdiam dan terkesima beberapa saat. Aku sendiri seperti memperoleh semangat baru dalam perjalanan yang semula kuramalkan bakal penuh dengan liku-liku ini. Aku juga mulai merasa aman, karena ada teman dari suku yang sama.
’’Kalau Bapak tanya Daeng Talli di sini, tentu semua orang di sekitar akan kenal. Saya punya banyak teman di sini. Beruntung tadi, saya lebih dulu bertemu Bapak. Kalau tidak, bisa-bisa teman saya yang lain akan bertemu. Dan, ceritanya bisa timbul salah pengertian,’’ katanya panjang lebar.
’’Ya, syukur, Pak,’’ kata lega.
’’Tetapi di Makassar saya dipesan agar sedapat mungkin bertemu dengan yang namanya Dg.Talli, yang ternyata Bapak sendiri,’’ sambungku lagi.
’’Ya, syukurlah kita bertemu lebih awal,’’ imbuhnya, kemudian memanggil sebuah taksi. Kami sama-sama menuju Stasiun Gubeng yang terletak di dekat Museum Kapal Selam (Mumkasel). Aku tidak curiga dengan jasa baiknya, karena sempat terlontar sapaan dalam bahasa daerah. Biasanya, pantang orang sesama asal tidak akan mengganggu satu sama lainnya kalau dia tahu.
Harian kian sore, ketika kami tiba di Gubeng. Dia mengulurkan tangan, membayar ongkos taksi. Aku kalah cepat dengan dia. Dia mengajakku menuju loket. Belum sempat dia menerima tiket, tiba-tiba dua orang bertubuh tegap merapat ke Dg.Talli.
’’Ini teman kita dari Makassar,’’ Dg.Talli memperkenalkanku kepada dua lelaki yang baru muncul.
’’Bantu ambilkan teman kita ini satu tiket Jakarta,’’ Dg.Talli memerintahkan salah seorang di antaranya. Keduanya terlihat sangat patuh. Kelihatannya Dg.Talli adalah orang yang sangat berwibawa di depan mereka. Kami masih berdiri berdua, sementara dua lelaki itu lenyap di balik kerumunan calon penumpang.
Tidak lama keduanya muncul dengan selembar tiket. Aku mengulurkan uang seharga yang tertera di tiket. Tetapi Dg.Talli cepat menahan tanganku.
’’Jangan. Nggak usah. Selama Bapak di sini, tanggungan saya. Tidak usah khawatir,’’ Dg.Talli berkata.
Aku makin bingung. Mengapa aku mendapat pelayanan yang begitu istimewa dari orang yang tidak kukenal. Hanya bermodalkan seasal belaka?
’’Kalian berdua, atur dan jaga baik-baik teman kita ini sampai di tujuan,’’ kembali Dg.Talli berpesan kepada kedua lelaki kekar itu.
Aku tidak berusaha memahami kalimat tersebut. Yang dapat kutangkap dan kumaknai bahwa aku akan aman saja selama perjalanan ke Jakarta.
Aku menyalami tangan Dg.Talli lama. Bagaikan tidak mau kulepas. Kucium tangannya sembari mengucapkan terima kasih.
’’Terima kasih jai dudu, Daeng!,’’ kataku dalam bahasa Makassar.
Kukatakan juga, terima kasih atas bantuannya yang sulit kubalaskan dengan cara apa pun. Dia melepas langkahku menaiki kereta.
Kereta mulai bergerak. Kian lama, roda-rodanya menderu, menjauh meninggalkan Stasiun Gubeng dan Dg.Talli yang baik hati itu.
Pada trayek pertama, kereta akan transit di Semarang. Dua lelaki kekar yang kemudian menjadi teman-temanku, sebentar-sebentar datang dan hilang. Silih bergenti mereka muncul. Seolah mengawal dan menjagaku secara aplosan.
Ketika kereta merangkak memasuki kota di pantai utara Jawa Tengah, Semarang, hari sudah menjelang pagi. Aku tidak menyaksikan indahnya perjalanan malam karena tertidur pulas. Hanya kelap-kelip lampu pijar di desa-desa yang dekat dengan rel kereta api yang bersinar di tengah kelamnya malam.
Kereta akhirnya berhenti di Semarang. Salah seorang teman yang bersamaku dari Surabaya, datang ke dekat tempat dudukku. Dia memperkenalkan salah seorang teman barunya. Yang ternyata akan menjadi temanku berikutnya.
’’Teman kita ini akan mendampingi Bapak hingga Cirebon. Saya sampai di sini dan akan kembali ke Surabaya,’’ kata teman dari Surabaya itu. Aku merogoh kocek sekadar ingin memberinya uang rokok. Tetapi dia menolak dengan mengatakan, ’bos’ sudah atur semua untukku.
’’Salam hormat saya pada Daeng,’’ ujarku. Dia mengangguk, kemudian menuruni kereta.
Begitulah yang terjadi. Kereta melanjutkan perjalanan. Teman yang baru diperkenalkan di Semarang datang menemuiku sejenak, kemudian hilang lagi. Dialah yang menjadi temanku berikutnya hingga Cirebon mungkin. Soalnya, kereta ini akan singgah lagi di kota itu.
Begitu kereta berhenti, teman yang dari Semarang datang menemuiku lagi.
’’ Ini teman kita akan menemani Bapak hingga Jakarta. Saya kembali ke Semarang lagi,’’ katanya pendek sembari memperkenalkan teman barunya kepadaku. Lagi-lagi aku berusaha memberikan uang rokok, tetapi ditolak dengan keras sambil mengatakan bahwa aku sudah menjadi tanggungjawab mereka bersama bosnya di Surabaya.
’’Tugas saya adalah menemani Bapak hingga tujuan akhir,’’ katanya tanpa diminta.
’’Terima kasih. Saya sudah sangat merepotkan Bapak-bapak selama perjalanan ini,’’ kataku.
’’Ini sudah menjadi tugas kami jika ada petunjuk dari bos di Surabaya,’’ dia menjelaskan lagi.
Aku pun mulai bisa menangkap sedikit eksistensi mereka. Tetapi aku enjoy saja. Tak pusing. Yang penting perjalanan ke Jakarta aman-aman saja.
Kereta bergerak lagi. Perjalanan ke Jakarta akan makan waktu sekitar 5 jam. Aku turun di Stasiun Gambir di dekat Tugu Monas. Ketika kereta berhenti, teman yang dari Cirebon datang mendekat. Lagi-lagi seperti yang terjadi di Semarang. Dia membawa seorang teman baru lagi dan memperkenalkannya kepadaku.
’’Ini teman kita yang punya Jakarta. Nanti, Bapak akan diantar ke tujuan terakhir bersama dia. Saya menunggu kereta lagi kembali ke Cirebon,’’ katanya.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan berusaha memberinya sekadar pembeli rokok, tetapi ditolaknya mentah-mentah. Sama dengan teman-temannya yang lain di Cirebon dan Semarang. Tampaknya ada doktrin tak tertulis mungkin dari ’bos’-nya untuk tidak menerima imbalan apa pun dariku.
Lantai atas Stasiun Gambir kutinggalkan bersama teman baruku dari Jakarta. Satu tasku dia tenteng. Aku membawa satu tas lain yang lebih kecil. Dia memanggil taksi dan meminta mengantarku ke penginapan di kawasan Cikini. Dia ingin mengantarku sampai di tujuan, tetapi kukatakan, cukup sampai di sini dengan alasan aku tahu alamat yang dituju bersama sopir taksi. Dia sebenarnya ngotot mau mengantar, tetapi kujelaskan berulang-ulang. Bantuan selama sejak turun dari kereta di Gambir sudah sangat luar biasa bagiku. Aku juga sampaikan terima kasih dan mohon maaf. Aku tahu, dia mau ikut bersamaku untuk membayar ongkos taksi, seperti juga dilakukan bosnya Dg.Talli terhadapku dari Tanjung Perak ke Stasiun Gubeng.
‘’Saya mengucapkan terima kasih sudah membantu. Mohon sampaikan salam hormat saya buat bos di Surabaya. Katakan, saya sudah sampai dengan selamat di Jakarta tanpa kesulitan apa-apa,’’ ujarku.
Kami pun saling jabat tangan haru. Berpisah entah kapan lagi bertemu.
Taksi meluncur memecah keramaian ibu kota, menyisakan sebuah pertanyaan besar. Ya, mengenai Dg.Talli dan ’’teman-temannya’’.

Cerpen ini pernah dimuat di Pedoman Rakyat 19 November 1976 dan sudah diedit.

Top Model Waria 2003

Boleh jadi, Sabtu 12 April 2003 petang, waria yang bekerja di beberapa salon di Makassar sudah mulai mematut-matutkan diri. Pada malam harinya, mungkin tak ada waria yang ''dinas'' di luar dan di tempat-tempat khusus mereka mangkal, macam di Lapangan Karebosi. Kalau pun ada yang pergi ''dinas'', barangkali sudah larut malam. Habis, perhatian mereka mengalir ke Balai Kemanunggalan TNI-Rakyat. Di gedung megah itu, merayakan ulang tahun ke-5, Makassar Metro Club bekerja sama dengan Kerukunan Waria Makassar (KWRM) menggelar ''Malam Gempita MMC Bersama Top Model Waria 2003''.
Zendy -- sudah pasti nama panggilan -- berpakaian seksi warna gelap meloncat naik ke pentas. Dia berduet dengan Dars, penanggung jawab acara, sebagai ''mc'' malam pemilihan top model waria tersebut. Dars sempat terusik oleh pakaian Zendy yang rada sedikit seksi. Tapi, Zendy tak kalah gesit menangkis.
''Ini sisa-sisa pengeboman Amerika Serikat di Irak,'' Zendy membuat undangan yang sebagian besar waria terkekeh-kekeh.
Acara pertama dibuka dengan penampilan satu nomor tari Minang,''Badinding'' hasil kerja bareng MMC dengan Ibu-ibu Skarda N. Disusul sambutan tunggal Ketua Panitia Pelaksana Ismail.
''Inilah satu-satunya pria tulen di panitia,'' komentar Dra.Urfiah Shanty, Direktur Yayasan Cipta Diri yang juga ketua Dewan Juri pemilihan Top Model Waria 2003 bersama Drs.H.M.Dahlan Abubakar, M.Hum dan Ibu Sukma Harun.
Sebanyak 26 waria dengan busana entah dari berbagai ''planet'' menghiasi acara parade di pentas. Ditingkahi siulan dan sorakan aplaus yang hadir, mereka berjalan di atas catwalk segi empat yang di tengahnya ''menari-nari'' kertas minyak yang dikibar-kibari oleh terpaan kipas angin yang terbaring menghadap ke langit-langit gedung. Parade ini diiringi ''Ann Syukur''.
Penampilan tari Pabisu sempat membuat ''ngeri'' para undangan. Habis, tujuh penarinya, mencabut keris berkarat berkelok entah berapa, lalu menusuk-nusuk badannya. Yang sangat mengerikan dan membuat banyak undangan membuang pandangan ke arah lain, ketika beberapa di antara penari Bisu menusuk lehernya dengan keris.
''Ini pertunjukan pertama yang pernah saya lihat,'' komentar Dars yang bersama Zendy memandu acara begitu kelompok tari Pabisu itu lenyap dari pentas.
Sessi pertama penampilan waria terdiri atas 6 orang. Setelah itu diselang-selingi dengan acara lain biar undangan tidak jenuh. Acara yang ditampilkan memang sangat mengocok perut. Habis pemeran utamanya adalah waria. Menggunakan istilah terkini dan ''bahasa gaul'' mereka, tak urung undangan terpingkal-pingkal dibuatnya. Acara kemudian dilanjutkan dengan penampilan ''AB Three'' Waria dengan gaya yang khas AB Three yang asli. Mereka membawakan lagu Indonesia.
Tari Kreasi ''Ayyub cs'' juga cukup mempesona. Diselingi lagi dengan penampilan para peserta top model waria. Lalu muncul Lipsinc Barat tampilan Ikram cs. Inilah rombongan ''Spice Girls'', kata Zendy yang memandu acara. Mereka memang meniru habis gaya penampilan penyanyi perempuan Barat itu.
Penampilan ''Pom-Pom Boys'' asuhan Acmal cs, juga sangat spektakuler. Musik pengiring yang bagus, dipadu oleh gerak mereka yang dinamis dan molek. Meriah sekali. Apalagi ikut nimbrungnya lagu ''Asereje'' yang lagi kondang hingga digandrungi anak kecil sekalipun. Yang bertindak sebagai vokalisnya adalah Ms Karen. Tentu nama pungutan belaka. Yang ikut menyemarakkan suasana penampilan mereka adalah gerak tari mereka yang terkadang ''ngebor'', ya meniru Inul Daratista.
Parodi dan operet sabun bertajuk ''Pesona Bintang Sabun'' juga menawarkan sajian yang khas waria. Diiringi instrumentalia ''Bond'' (pemain biola seksi yang semuanya cewek itu), mereka muncul. Banyak istilah dan bahasa gaul yang hidup di kalangan mereka diperkenalkan. Istilah ''Jopan'' yang merupakan plesetan dari Jepang, ternyata singkatan dari Jongaya-Pangkep. Begitu juga ada waria yang mau ke Jakarta. Ternyata yang dimaksud adalah ke janda karatan.
Seorang waria yang bertindak sebagai leader parodi ini kemudian berkisah mengenai perang di Irak. Kata dia, takut juga sih dengan rudal Amerika dan Inggris yang besar dan mematikan.
''Saya lebih suka dengan rudalnya Tominse,'' imbuhnya membuat geeer yang hadir. Mereka menghilang dari pentas setelah ''dijemput'' musik Bond yang mengundangnya di awal penampilan.
Setelah berjalan tidak kurang dari 2 jam lebih, Dra.Urfiah Shanty didampingi dua orang anggota dewan juri lainnya mengumumkan para pemenang top model Waria 2003. Terpilih sebagai top Model Waria 2003 adalah Indri. Mahkotanya dipasang oleh top Model Waria 2002 Nonisia Marco. Runner up I: Dian, Runner Up II Sheila. Favorit Miske dan The Best Catwalk jatuh pada Windy. Ada juga peserta yang memperoleh penghargaan sebagai desain busana terbaik. Busananya terbuat dan menggambarkan kartu domino raksasa.
Menjelang pukul 23.30, acara yang didukung sejumlah sponsor, 10 di antaranya adalah salon di Makassar itu, tuntas dengan penyerahan hadiah. Direktur Yayasan Cipta Diri menyerahkan piala kepada Indri, Top Model Waria 2003, yang malam itu tampil anggun dengan busana hijau kombinasi hitam. Uhui….!

Perempuan Papua Angkat Bicara

Seiring dengan waktu terus bergulir, ada perkembangan yang kurang bagus menimpa perempuan di Tanah Papua. Mereka, meski dilahirkan dengan kodrat yang berbeda dengan laki-laki, namun dalam perkembangan berikutnya, perempuan Papua telah banyak mendominasi sejumlah aktivitas di sektor kehidupan yang semestinya dilakukan laki-laki. Makanya, perempuan negeri paling timur Indonesia ini selalu dijuluki sebagai sosok pekerja keras. Hanya sayang, di balik posisinya sebagai penopang kehidupan keluarga, mereka masih sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Fenomena inilah yang memicu pemikiran Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M. melontarkan gagasan untuk melakukan penelitian mengenai eksistensi perempuan Papua. Ide ini agaknya ‘nyambung’ saat suatu pertemuan di ruang bupati, juga hadir Ir.Ana Saway, Kepala Dinas Pertanian dan Dra.Yuliana Yoku, Kadis Pendidikan dan Pengajaran. Pertemuan – dua birokrat perempuan Papua -- itu berlangsung 25 Januari 2008.
Pokok perbincangan yang menarik, kata Prof.W.I.M.Poli, selain perempuan Papua adalah pekerja keras dan mengalami ‘’domestic violence’’ (kekerasan dalam rumah tangga) dari suami, juga dalam pekerjaan pengolahan sagu, pria yang memotong pohon sagu, perempuan yang mengolahnya. Tidak hanya itu, perempuan pula yang memikulnya ke rumah. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan pula yang menghidangkannya di meja makan. Partisipasi pria lebih rendah dari partisipasi perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga di Papua, bukan rahasia umum lagi. Hanya saja, penyebabnya sangat variatif. Boleh jadi, misalnya saja saat mereka pulang berjualan dan punya uang, di tengah jalan dicegat suami yang minta duit. Uang diambil untuk minum alkohol. Pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ribut lagi.
Perempuan Papua termasuk kelompok yang jika berusaha lebih berhasil jika dibandingkan laki-laki. Contoh ini ditunjukkan oleh salah seorang nasabah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Irian Santosa, Ibu Loisa Lies Wally, yang terpilih sebagai pengusaha kecil terbaik tingkat nasional tahun 2007.
Sosok perempuan Papua tidak hanya sampai di sini. Pada masa Belanda berkuasa di Papua, sekolah putri (Meisjesschool) dan sekolah putri lanjutan (meisjes vervolgschool), banyak alumni kemudian menjadi tokoh penggerak perubahan. Salah satu meisjesschool ada di Genyem yang didirikan tahun 1952. Ada juga di Serui dan Yoka. Istri Gubernur Papua Barnabas Suebu, adalah salah seorang jebolan sekolah putri itu. Ada juga kakak perempuan Habel Melkias Suwae yang kini bermukim di Belanda.
Menyikapi keinginan tersebut, Prof.W.I.M.Poli yang sudah menulis beberapa buku dari Kabupaten Jayapura melihat ada hal yang menarik dari perbincangan tersebut. Akhirnya diputuskan, akan membuat sebuah buku mengenai perempuan. Langkah awal yang dilakukan mahaguru kelahiran NTT ini adalah melacak informasi mengenai perempuan Papua di dunia maya. Tak sulit bagi Prof.W.I.M. Poli untuk menemukan informasi itu. Pasalnya, beliau paham – selain bahasa Inggris – juga bahasa Belanda.
Langkah awal yang dilakukan sudah jalan. Diperoleh data bahwa di Arsip Nasional RI kemungkinan ada informasi yang layak dijadikan referensi. Ke ibu kota Prof.Poli pergi ditemani penulis. Meski data yang diperoleh tidak maksimal, namun sudah cukup untuk mendukung penulisan buku mengenai perempuan di Tanah Papua itu. Maka, untuk sementara penelitian yang kelak menjadi buku ini bertajuk ‘’Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua di Kabupaten Jayapura’’.
Pada tanggal 29 Juli 2008, tim peneliti (Prof.W.I.M.Poli, Dr.Bulkis, dan penulis) terbang ke Papua. Perjalanan meneliti soal perempuan Papua mulai dilakukan. Pada malam hari, beberapa saat setelah tiba di Hotel Tahara Sentani, tim mengadakan rapat kilat. Agendanya, menyamakan persepsi dan titik tolak dalam menggali informasi. Tiga masalah mendasar yang harus digali adalah: Apa yang dikatakan, apa yang diinginkan, dan apa yang dilakukan. Inilah tiga pokok masalah yang akan digali dari tiap informan.
Hari masih pagi, ketika Bung Alberth Wangloan muncul di hotel 30 Juli 2008. Agenda pertama adalah bertemu dengan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M. di kantornya. Sudah lama.kami tak bertemu beliau. Apalagi pria kelahiran Tablanusu Depapre 28 Mei 1952 itu, habis menjalani operasi ringan di kakinya. Lagi pula, Prof.WIM dan penulis, ingin memperkenalkan anggota baru dalam tim, yakni Dr.Bulkis.
Seperti biasa, pertemuan dengan Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae (HMS) selalu menawarkan kesejukan. Senyum sang bupati dan tawanya yang renyah, sering membuat dia lupa mengakhiri pertemuan. Atensinya juga luar biasa, saat mengikuti satu demi satu kata dan kalimat yang dikemukakan Prof.W.I.M. Poli. Dalam situasi seperti ini, Albert, Bulkis, dan penulis, hanya menjadi pendengar setia. Pertemuan ini sekaligus melaporkan bahwa kegiatan penelitian mengenai buku perempuan Papua will be start.
Dari Sentani, kami meluncur masuk Jayapura. Jaraknya sekitar 35 km. Jarak sejauh itu, ditempuh sekitar 1 jam lebih kurang. Kondisi lalu lintas poros jalan negara ini sangat padat. Tetapi Bung Alberth Wangloan yang sudah akrab dengan Xenia biru benhurnya, tahu betul kapan harus tancap gas dan tidak. Sasaran kami adalah SMA Gabungan.
Sekolah ini pada tanggal 9 Agustus 2001 merayakan tahun emasnya, 50 tahun. Berbagai alumni dan mantan pengajar, baik dari Indonesia, maupun Belanda juga hadir. Perayaan yang sebenarnya harus dilaksanakan 25 Agustus 2001, didahului seminar pada tanggal 23 Agustus 2001. Salah seorang mantan murid yang hadir dan memberikan sambutan adalah Freddy Numberi, yang kini menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.
Salah seorang mantan siswa sekolah itu, Paschalis Fau’ubun dari Kei masih dapat dikontak di Jayapura. Hari itu kami memburu alamatnya. Lelaki yang akrab disapa ‘Pas’ ini tidak sempat bertemu muka dengan kami, tetapi putrinya berhasil menghubungkan dia dengan Prof.W.I.M. Keduanya berkomunikasi akrab laksana kawan yang sudah lama saling kenal. Yang menarik, keduanya juga berbahasa Belanda yang membuat kami bertiga (Alberth, Bulkis, dan penulis) hanya bengong saja mendengarnya. Pas beristrikan perempuan Belanda bernama Corrie. Diputuskan, kami akan bertemu dengan Pas pada hari berikutnya.
Pertemuan dengan Pas kemudian, lebih banyak bersoal tentang masalah pendidikan (yang juga akan diteliti). Kami juga mengaitkan komentarnya mengenai topik perempuan Papua yang sedang diteliti.

Sangat dihargai
Siang tanggal 30 Juli kami mampir di Gedung Tabita, lokasi kantor PKK Kabupaten Jayapura. Prof.W.I.M. ‘menggaet’ seorang perempuan berusia 62 tahun. Namanya, Milka W.Wally. Di Gedung itu, mantan murid Sekolah Putri Genyem ini sedang mengajari beberapa perempuan Papua menjahit dan membuat kerajinan. Yang diajar rupanya bermalam di kantor itu.
Dia tinggal di asrama di Padang Bulan, dekat dengan Kantor Pusat Pembinaan Pengembangan Wanita (P3W) Papua. Milka W.Wally pernah dikirim belajar di Sekolah Pekerja Wanita di Magelang.
Ketika ditanya soal kekerasan terhadap perempuan, Milka Wally menjawab tergantung dari setiap orang. Bisa juga dilihat dari apa latar belakang penyebabnya. Apakah kekerasan itu ada kaitannya dengan mas kawin yang begitu besar disediakan laki-laki, sehingga seenaknya saja melakukan kekerasan terhadap perempuan? Dia menjelaskan, pada tahun 1969 perempuan Sentani pernah berkumpul. Agenda pertemuan adalah menghendaki agar hak mas kawin dihilangkan dan diganti saja. Persoalannya kemudian, dikhawatirkan bisa menimbulkan kecemburuan sosial lantaran mas kawin merupakan bagian dari adat. Meski diakui, masih ada mas kawin dalam bentuk benda.
Hari sudah sangat sore, 30 Juli, kami harus mengadakan pertemuan dengan sejumlah perempuan di kediaman Bapak Rex, mantan Ketua DPRD Kabupaten Jayapura. Sekitar sepuluh orang perempuan hadir dalam pertemuan ini, termasuk Ketua PKK Kabupaten Jayapura, Ny.Kostafina Bonay, istri Bupati Jayapura.
Dalam pertemuan ini, mereka berbicara polos dan sangat informal. Prof.W.I.M. memuji pertemuan ini, karena para perempuan itu bisa dengan bebas mengeluarkan komentarnya tanpa sekat-sekat formal.
‘’Dari sisi adat, perempuan sangat dihargai. Jika istri orang diganggu, dia (laki-laki) harus membayar mahal,’’ kata Abina Wusanggu, yang tampil berbicara pertama.
Hanya saja, kata dia, dalam pembagian warisan, masih menggunakan sistem patrialhat. Perempuan hanya memiliki hak pakai, karena ketika dia akan kawin, maka haknya ada di suaminya.
Apa yang dilakukan perempuan Papua? Dalam skop yang lebih kecil, misalnya di kampung, mereka sudah memiliki tugas dan tanggungjawab. Abina Wusanggu memberi contoh, jika ada pesta adat, perempuan tanpa disuruh dia menyiapkan makanan dan melayani tamu. Sekarang, perempuan sama-sama dengan laki-laki. Ada yang duduk jadi pejabat, meski masih bisa dihitung dengan jari (di Kabupaten Jayapura, sedikitnya ada tiga atau empat perempuan yang menjabat Kepala Dinas di antaranya: Ana Saway, Kepala Dinas Pertanian, Dra.Maria Bano, Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan, dan Dra.Yuliana Yoku, Kadis Pendidikan dan Pengajaran).
Perempuan sudah memberikan banyak. Apa yang dilakukannya terhadap masyarakat sudah banyak. Perempuan rela berkorban demi anak-anaknya. Dia setia melayani apa pun yang layak. Di Kabupaten Jayapura, perempuan bekerja lebih baik dari bapak-bapak.
‘’Buktinya, yang korupsi lebih banyak laki-lakii. Perempuan bekerja berdasarkan hati nurani, sementara laki-laki berdasarkan pikirannya,’’ kata Abina Wusanggu, kemudian seperti ‘menggugat’, dia menyebut belum ada perempuan yang jadi bupati.
Mariana Pulanda berkomentar lain. Biasa perempuan dianggap tidak mampu. Padahal, perempuan sengaja diciptakan dari tulang rusuk Adam agar bisa menopang dan melengkapi kehidupan ini. Dia diciptakan agar laki-laki tidak jalan sendiri.
‘’Mimpi perempuan Papua adalah harus bersatu. Yang duduk di pemerintahan hendaknya melihat yang di bawah. Kita harus menyusun kekuatan untuk sama-sama dengan laki-laki,’’ kata Mariana.
Yosephine Sokoy, salah seorang perempuan pengusaha, menilai, keberhasilan perempuan Papua tergantung pada dirinya sendiri. Jika ingin maju mereka harus berjuang dan berusaha. Yosephine memberi contoh dirinya sebagai seorang pengusaha kecil. Awalnya bermodalkan 38 bungkus tepung terigu papeda, bisa sukses karena berjuang keras. Dia juga menampung anak-anak perempuan dari kampung-kampung. Bahkan mereka bekerja sambil sekolah. Sudah ada yang berhasil. Malah sampai ke jenjang magister. Kini sudah kembali ke kampung dan diangkat sebagai pegawai negeri.
Kekerasan terhadap perempuan di Papua itu, juga diamini oleh Dra.Maria Bano, Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP). Biasanya, pemicunya adalah alkohol. Ini masalah yang rumit bagi perempuan Papua. Ketika suami memiliki penghasilan banyak dan berlebih, sering mau tambah seri. Jika tidak, sering berselingkuh atau ada kelainan seksual dan melakukan kekerasan di hotel.
Dalam keadaan begitu, biasanya ada yang melapor ke KPP. Pihak Polsek juga menerima laporan serupa, tetapi sering juga minta surat ke KPP untuk diproses. Jika pelakunya adalah pegawai negeri sipil, biasanya dibuatkan surat ke kepala dinasnya atau atasan langsung. Biasa juga yang dilaporkan ke polisi tiba-tiba dicabut, karena adanya ancaman dari sang suami dengan dalih akan diceraikan. Akibatnya, biasa kekerasan berlanjut. Kalau begitu, kembali lagi diproses dan makan waktu hingga 1-2 tahun.
Mungkin juga kekerasan ini dipicu oleh mahalnya mas kawin. Soalnya, pihak laki-laki menganggap, dia sudah ‘membayar’ lunas perempuan yang menjadi istrinya, sehingga semau gue saja melakukan kekerasan.
Ketua PKK Kabupaten Jayapura Kostafina Bonay Suwae mengatakan, perempuan Papua kini sudah dapat akses. Apalagi sekarang sudah ada Ikatan Perempuan Asal Sentani (IPAS).
‘’Perempuan memiliki akses dan memperoleh posisi penting. Jadi, ada perubahan paradigma perempuan Papua. Dan, perubahan itu akan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi kemarin dan sekarang,’’ ujar Ny.Habel Melkias Suwae.
Setelah merekam demikian banyak komentar perempuan, 31 Agustus 2008, kami mengadakan rapat di Kantor Kepala Dinas Pertanian Ir.Anas Saway. Selain Ketua PKK Kabupaten Jayapura, juga hadir Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) Dra.Maria Bano, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Yuliana Yoku, Upi, Alberth Wangloan, dan tim penulis.
Ir.Ana Saway, yang meraih predikat peserta terbaik III Diklatpim di LAN Makassar belum lama ini, mencoba memetakan kriteria perempuan Papua ke dalam tiga hal, yakni perempuan sebagai istri pejabat, kehidupannya terbatas dan penuh protokoler. Kedua, perempuan karier, mengatur diri sendiri ketika suaminya mendukung. Dia bebas mengekspressikan sesuatu dan berjuang sendiri. Ketiga, perempuan kampung, mereka mengerti tentang pemberdayaan. Mereka sudah biasa melakukan kegiatan sosial, adat, agama, dan sebagainya. Mereka tunduk pada adat dan agama sebagai pegangan. Di Papua peranan gereja sangat kuat. Ibadah perempuan juga banyak. Mereka dapat melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan apa saja, tetapi dibatasi.

Majelis Rakyat Papua
Pada tanggal 1 Agustus 2008, tim yang dilengkapi panitia kecil seminar perempuan yang bakal dilaksanakan 28 Agustus 2008 di Papua bertemu dengan sejumlah anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertemuan ini berlangsung hangat dan menarik. Perempuan yang hadir, termasuk seorang putri Kepala Adat Lembah Baliem, Obahorok juga hadir. Bahkan dia berbicara dengan sangat gamblang mengenai masalah yang dihadapi perempuan dan Papua pada umumnya.
Berdasarkan Undang-Undang No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua ada pasal khusus yang menyuarakan eksistensi perempuan Papua. Dalam pasal 47 disebutkan, ‘’Untuk menegakkan hak asasi manusia kaum perempuan, pemerintah provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki’’. Makanya, untuk menjadi ujung tombak pelaksanaan pasal tersebut, di kelembagaan Majelis Rakyat Papua (MRP) ada Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan yang beranggotakan setidak-tidaknya 15 orang (dari 42 anggota MRP). Anggota Pokja itu merupakan representasi dari wilayah adat yang ada di Papua.
Menurut Hana, yang sebelumnya pernah bertugas di LP Daan Mogot Tangerang salah seorang inspirator lahirnya sebuah tabloid mengenai perempuan di Papua, perempuan sewaktu-waktu akan kawin. Kalau dia keluar dari lingkungan komunitas adatnya, jelas akan menginformasikan strategi lingkungan dan kampungnya. Ini dapat menjadi ancaman bagi kampung itu. Kalau berbicara gender, sudah bukan barang baru bagi perempuan Papua.
Masalah yang paling besar dihadapi perempuan Papua adalah ketidakberdayaan mereka. Masalah kekerasan misalnya, karena ada kekuasaan yang sulit mereka lawan. Siapa yang lemah jelas akan mengalami kekerasan. Umumnya, laki-laki yang menjadi pemicunya. Angka kekerasan tidak menurun, bahkan makin naik.
Frida Beda dari Sorong menilai situasi yang hampir sama dialami perempuan, yakni mereka sudah mulai berjuang memajukan dirinya. Mereka berperan banyak di sektor bisnis usaha kecil. Setelah otonomi khusus (Otsus) timbul kesadaran perempuan untuk menata diri. Sebab, UU Otsus menjamin hak-hak perempuan. Mereka mulai membangun diskusi di masyarakat akar rumput. Perempuan sudah memiliki kemampuann untuk membuat pola hidupnya.
Putri Obahorok dari Pegunungan Tengah menyoroti kehadiran pendatang yang membuat bar. Akibatnya, laki-laki Papua yang sudah bekerja, habis terima gaji langsung masuk bar. Pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan bentrok dengan istri. Timbul kekerasan dalam rumah tangga.
‘’Pemerintah perlu membuat peraturan daerah agar menutup bar-bar itu,’’ kata anak Kepala Suku Lembah Baliem dengan gamblang.
Yuke, sambil mengunyah sirih tetap gamblang berbicara. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan, mungkin saja karena mas kawin yang mahal. Perempuan sebenarnya lebih bisa menyimpan rahasia. Perlu ada Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Adat terlalu dominan. MRP tidak memiliki hak legislasi. Perempuan berjuang keras tidak mau tertindas. Perempuan Papua mau maju. Apalagi dalam UU Otsus perempuan sudah terpoteksi, terlindungi, dan diberdayakan.
‘’MRP sudah maksimal bekerja. Kalau tidak berhasil, jangan tanya mengapa. Jika ada yang tidak bisa menjawab, kita tanya saja pada rumput yang bergoyang,’’ Yuke mengutip syair lagunya Ebiet G.Ade.
Pada tanggal 2 Agustus 2008, kami bertemu dengan Uskup Agung Jayapura di Kantor Keuskupan. Lokasi kantor sangat strategis. Terletak di lereng bukit, kantor ini dipenuhi pohon nan rindang. Memandang ke utara, tampak Teluk Yos Sudarso dan rumah penduduk yang berjejer di tepi pantai. Budi Hernawan, OFM, menerima panitia di ruang kerjanya.
Ketika ditanya mengenai masalah perempuan Papua, Budi Hernawan menjawab sangat filosofis. Tidak ada perempuan Papua. Mengapa? Masalahnya yang berlaku adalah kultur patriarhat. Perempuan sebenarnya menjadi kunci rumah tangga, tetapi ke publik justru laki-laki. Perempuan yang bekerja, tetapi kebijakan mengenai perempuan tidak menyentuh kehidupan nyata, karena dari pegangan perempuan secara mentak tidak ada.
‘’Perempuan Papua lebih jelek lagi secara ekonomi, politik, pendidikan. Pendekatan terhadap perempuan masih sebatas belas kasihan. Secara struktural dan alam pikiran laki-laki,’’ kata Budi Hernawan.
Gereja menjadi tempat anak dan perempuan memperoleh tempat yang layak. Pokja Perempuan di MRP lebih kuat dari Pokja Adat dalam isu yang berkembang. Dalam struktur adat, peran perempuan mulai diakomodasi. Orang pantai memiliki ritual, orang pegunungan tidak ada.
Soal alkohol, sebenarnya tidak dikenal dalam masyarakat Papua. Hanya tentara yang memperkenalkan, sebab ke mana pun mereka pergi selalu bawa alkohol dan itu jadi penyakit. Mereka minum sebenarnya untuk kepentingan sosial. Tetapi orang Papua mengubah pola minum itu. Di pinggir-pinggir jalan dan di tempat-tempat gelap.
Puncak penelitian penulisan buku perempuan Papua ini akan diwujudkan dalam satu seminar 28 Agustus 2008 di Papua. Sejumlah pihak akan berbicara. Ada dari P3W (Marieke atau Hermien), Mientje Rumbiak dari MRP, Ibu Ketua PKK, dari Keuskupan Agung Papua., dan Dr.Dwia Aries Tina, P, Pembantu Rektor IV Unhas yang juga seorang pemerhati masalah perempuan. Mereka akan berbicara apa adanya, tentang diri mereka sendiri.

M.Dahlan Abubakar

80 Tahun Maestro Tari

Suasana Hotel Losari Metro 27 Juni 2008 malam agak lain. Dekor pentas bernuansa lokal tampak ‘’ditingkahi’’ gesekan ’’kesok-kesok’’ yang bertindak sebagai pengiring pembaca acara. Di meja depan tampak mantan Gubernur Sulsel H.A.Amiruddin/Nyonya dan Gubernur Sulsel H.Syahrul Yasin Limpo didampingi yang punya hajat Hj Andi Sitti Nurhani Sapada yang akrab disapa Petta Nani.
Malam itu, Petta Nani merayakan ulang tahun ke-80. Maestro senitari Sulawesi Selatan ini dilahirkan di Parepare 25 Juni 1929. Ayahnya, Andi Makkasau Parenrengi Lawawo (Datu SuppaToa) dan ibunya, Rachmatiah Daeng Baji. Seperti juga terhadap bayi perempuan Bugis, selalu disapa dengan nama Andi Besse (karena keturunan raja). Nama itu pun yang menjadi panggilan sayang terhadap Petta Nani.
Peringatan ini juga dikaitkan dengan penyerahan penghargaan seni kepada sejumlah seniman yang berjasa dalam bidang seni tari dan kesenian khususnya. Mereka itu, Iin Joesoef Madjid (Sanggar Anging Mammiri), Andi Ummu Tunru (Batara Gowa), Alimuddin Dg.Tombong (Penata Seni Kecaping/Suling), Drs.Darwis Katang (Sanggar Andi Cammi Sidrap), Musafir Hasan (Kecaping Suling), Ma’ruf Salim (Sanggar Ma’minasa), Azis Hafid (IKS Pusat, penata upacara adat), Nurwahidah (dosen UNM yang menulis buku Petta Nani), Dr.A.Halilintar Latif (peneliti seni tari dan penata tari), Andi Abubakar (Sanggar Andika, Koreografer muda), Kartini Haris (IKS Pinrang), Abdi Basit, dan Kamil.
Delapan puluh tahun usia Petta Nani, tidak hanya menjadi milik dirinya seorang diri, tetapi milik kita semua, rakyat Sulawesi Selatan.
’’Jika tidak ada lagi yang bisa diberikan kepada bangsamu, berikanlah rasa senimu,’’ kata Gubernur Sulsel Dr.H.Syahrul Yasin Limpo, S.H.,M.Si, M.H. mengutip ucapan Rosevelt, ketika Amerika Serikat menghadapi turbulence.
Ada empat yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan ini, kata Syahrul Yasin Limpo, yakni kebenaran filosofis, kebenaran sosiologis, yuridis, dan kebenaran seni dan budaya yang teruji. Jika tidak ada seninya, seseorang atau suatu bangsa akan tergelincir menjadi jahat.
’’Waktu saya jadi bupati, sering dikoreksi oleh Ibu Nani Sapada. Tari ’paduppa’ tidak begitu. Saya dinasihi masalah seni,’’ Syahrul Yasin Limpo mengenang sosok pencipta tari ’pakkarena’ itu.
Iin Joesoef Madjid yang tak sempat muncul pada acara penyerahan penghargaan, didaulat memberikan kesan. Iin tahu betul bagaimana kedekatan antara mama Ida Joesoef Madjid, ibunya, dengan Petta Nani. Petta Nani adalah guru tari mamanya.
’’Saya kalau berbicara mengenai Petta Nani, selalu ingat mama. Mama tidak pernah tidak menyebut nama Petta Nani,’’ kata Iin terisak berat.
Iin termasuk penari terbaik Makassar ketimbang mamanya sendiri. Bahkan, Iin pernah menjadi Tololo dan Torungkanya Sulawesi Selatan bersama Andi Itja. Iin termasuk generasi ketiga yang harus berkarya seni. Dia mencoba berkiprah di politik, namun dia lebih cocok jika terus berkiprah di seni.
Salah seorang teman kelas Petta Nani yang hadir pada malam itu adalah drg.H.Halimah Dg.Sikati, pensiunan dosen Unhas dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unhas.
’’Saya sejak remaja hingga kini masih kawan dengan Nani yang dulu namanya Nani Sonda. Sekarang saya jadi pencabut gigi,’’ ujar Halimah Dg.Sikati. Nama Sonda adalah nenek dari ibunya. Dia terpaksa pakai nama itu, agar bisa masuk sekolah Belanda. Jika pakai nama Andi Makkasau, jelas tidak akan tembus ke sekolah Belanda. Andi Makkasau sendiri musuh Belanda, karena dianggap sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan yang melawan Belanda. Ayah Petta Nani, tewas dengan cara yang sadis, yakni diberati dengan batu lalu ditenggelamkan ke laut di pantai Mangarabombang, di dekat Suppa, Pinrang. Nenek Petta Nani adalah seorang jaksa terkenal di Sulawesi Selatan tempo doeloe. Neneknya itulah yang membimbing Petta Nani hingga memasuki Algemeene Middlebare School (SMS) setingkat SMA. Petta Nani memang sempat mengecap pendidikan tinggi, yakni di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Makassar. Itu pun berlangsung selama tiga tahun. Ia kemudian mengikuti ibunya yang menyelesaikan pendidikan di AMS Jakarta dan tantenya di Frobel Kweek School, sejenis Sekolah Guru TK di Bandung.
Halimah Dg Sikati berkisah, dari dulu Nani suka menari dan menyanyi.
’’Saya tak tahu dari mana bakatnya itu bersumber. Sebab, dia masuk sekolah pamong praja. Saya dan Nani termasuk pelajar favorit. Yang paling cantik pula,’’ Halimah memuji.
Keistimewaan Nani, kata Halimah Dg Sikati, selalu diundang menyelesaikan salah paham yang terjadi di antara teman-temannya. Jika mereka berkelahi, 2-3 hari tidak baku bicara. Tetapi berkelahi dulu (perempuan) hanya saling memuntahkan isi hati. Meski bertengkar, tetapi masih tetap masuk sekolah.
Setamat SMA, Halimah ke sekolah Belanda, Nani ambil jalan sendiri. Hingga kini, mereka yang sama-sama sekolah di AMS dulu, selalu rajin menggelar reuni, antara lain di Jakarta, Belanda, hingga Amerika Serikat. Bahkan di Afrika Selatan, tetapi tak ada yang ke sana.
’’Kini jumlah kami mungkin tiggal 4-5 orang (tiga berteman hadir pada malam hari itu, red.) saja. Jika kami bertemu, selalu berbahasa Belanda. Kita boleh membenci orang Belanda, tetapi jangan membenci bahasanya,’’ Halimah Dg.Sikati mengakhiri komentarnya.

Derita TKI Dituduh ‘Selingkuhi’ Balita

Dalam penerbangan pulang dari Brunei Darussalam dengan pesawat Boeing 767 Royal Brunei, 1 Desember 2008, saya bertemu dengan salah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang baru pulang dari Dubai, Uni Emirat Arab. Semula, saya kira dia TKI yang baru pulang dari Brunei Darussalam. Dia duduk di kursi nomor 42 F, tepat di sebelah lorong yang mengantarai saya dengan dia. Sebelum saya ajak dia bincang-bincang, saya sempat nguping hasil pembicaraannya dengan seorang teman TKI-nya yang di kursi dekat jendela. Saya jadi penasaran juga mendengar kisahnya. Saya pun mengajaknya berbincang-bincang.
Namanya Sulastri. Nama itu sempat saya sontek saat membantu mengisi kartu imigrasi. Dia kelahiran Purwakarta, di dekat Bendungan Jatiluhur. Dia baru setahun bekerja di Dubai, Uni Emirat Arab. Majikannya adalah seorang keturunan Lebanon asal Beirut. Keluarga ini baru dikaruniai 2 anak. Seorang berusia 4 tahun laki-laki, dan seorang lainnya masih bayi.
Saban hari pekerjaan Sulastri adalah membersihkan rumah, mengurus anak-anak majikannya, memasak, dan segala macam pekerjaan pembantu rumah tangga. Gaji yang diberikan 600 dinar sebulan. Tetapi yang dia terima hanya berkisar Rp 1,5 juta per bulan. Mungkin saja sisanya diberikan kepada agen perusahaan yang telah menempatkan dia ke majikan asal Lebanon itu.
Masalah kemudian muncul, karena sang majikan melihat anak laki-lakinya yang berusia 4 mulai bertingkah aneh. Anak yang belum tahu apa-apa itu mulai berulah nakal. Dia menciumi teman-temannya. Bingung dengan penyebab kelakuan anaknya itu, majikannya pun melayangkan tuduhan kepada Sulastri. Dialah yang dianggap jadi biang masalah. Sudah mengajarkan kelakuan tak senonoh itu. Tudingan yang paling kejam malah Sulastri dicurigai telah melakukan making love dengan balita itu. Sesuatu yang sangat mustahil dilakukan perempuan seusianya. Perempuan asal Purwakarta itu telah menyangkal. Tidak melakukan perbuatan laknat itu.
’’Masa mungkin saya berbuat macam-macam dengan anak di bawah umur. Mana ada gairah. Saya muslim, tidak ada gunanya saya salat setiap saatnya tiba,’’ kata Sulastri dalam penerbangan yang ’’mengambil masa’’ dua jam antara Bandar Seri Begawan-Jakarta itu.
Sulastri menerima berbagai siksaan atas tudingan yang dia sangkali. Dia pernah disekap di kamarnya selama majikannya pergi menjaga toko mereka, karena takut Sulastri melarikan diri. Makan pun seadanya. Bahkan yang diberikan adalah sisa-sisa mereka. Siksaan pun mulai dari kaki hingga muka. Boleh jadi, Sulastri beranggapan bahwa itulah cara majikannya mengusirnya dari rumah. Kalau pun diusir, sebut Sulastri, mestinya dapat dilakukan dengan baik-baik. Tetapi alasan seperti ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi di luar negeri, terutama di negara kawasan Teluk. Apalagi, kalau anak majikannya sudah remaja. Gampang sekali dijadikan biang untuk menuduh dan menuding TKI berbuat tak senonoh dengan anak majikan.
’’Lihat saja muka saya merah-merah, bekas siksaan majikan,’’ Sulastri menunjuk wajahnya yang sebagian terbungkus jilbab.
Tidak ada jalan lain bagi Sulastri, kecuali harus angkat kaki dari negara tersebut Itu pun tidak mudah. Sebab, uang sepeser pun tidak ada di kantongnya. Gaji sudah empat bulan tidak diberi. Mau melapor, selalu dalam keadaan terkurung di kamar. Diisolasi. Mungkin majikannya takut kalau anaknya mengulangi tudingan itu.
’’Bagaimana hingga bisa pulang?,’’ tanya saya.
’’Saya langsung dibelikan tiket ke Indonesia melalui Royal Brunei,’’ sahut Sulastri.
Meskipun dibelikan tiket untuk pulang, tetapi hati Sulastri tetap saja gamang. Masalahnya, uang di kantong nihil sama sekali. Lembaran uang Rp 20 ribu di dompetnya diambil. Jangankan yang lembaran kertas, uang receh pun digasaknya pula. Tidak ada uang sepeser pun di koceknya.
Karena mungkin takut dilapor ke orang Indonesia, majikannya sengaja membelikan tiket pesawat negara asing, Brunei Darussalam, Royal Brunei, yang terbang dari Abu Dhabi ke Bandar Seri Begawan baru melanjutkan ke Jakarta. Sulastri mengaku, dia meninggalkan Abu Dhabi, pukul 23.00 hari Minggu (30/11) dan tiba pagi di Bandar Seri Begawan keesokan harinya. Dia lalu menyambung dengan pesawat dari perusahaan yang sama dan satu pesawat dengan saya.
’’Bagaimana transportasinya dari Cengkareng ke Purwakarta?,’’ saya balik bertanya.
’’Saya tidak tahu, Pak. Katanya, dari Bandara Cengkareng sewa mobil sampai Rp 350 ribu,’’ kata perempuan yang kontraknya memang setahun di Dubai itu.
’’Mungkin itu kalau carter,’’ imbuh saya.
’’Nggak tahu juga. Saya tidak tahu bagaimana nanti,’’ katanya iba dan tak terasa pesawat mulai mengurangi ketinggiannya, tanda tak lama lagi akan mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Naskah: M.Dahlan Abubakar

Menengok' Makassar dari Bandar Seri Begawan Catatan M.Dahlan Abubakar Dari Brunei Darussalam

Selama tiga hari, antara 28 s.d. 30 November 2008, di ibu kota Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, berlangsung BIMP EAGA Friendship Games VI. Dalam 'pesta sukan' tiga hari itu, dipertandingkan tujuh cabang olahraga. Saya tidak ingin berbicara mengenai olahraga secara 'ansich' dalam wacana ini, tetapi sedikit mencoba menggambarkan betapa pembangunan fasilitas olahraga dan situasi kehidupan keseharian di negara dengan penduduk sekitar 380 ribu lebih orang tersebut berlangsung.
Bandar Seri Begawan adalah ibu kota negara, sementara Makassar adalah ibu kota provinsi. Dalam hal populasi penduduk, luas wilayah, jelas Makassar jauh lebih unggul. ''Keunggulan'' yang lain, kehidupan masyarakat yang sangat tidak tertib pun kita miliki. Makassar jauh lebih luas dibandingkan Kota Bandar Seri Begawan.
Meskipun prestasi olahraga Brunei Darussalam di kawasan ASEAN saja, tidak bagus-bagus amat, namun negara ini cukup berbangga mampu menyediakan fasilitas olahraga yang sangat memadai bagi penduduknya. Tentu kiya tidak bisa tiru. Pemeliharaan fasilitas olahraganya juga luar biasa. Fasilitas olahraga hampir ditemukan di setiap jengkal tanah lapang. Yang lebih hebat lagi, fasilitas olahraga maupun perumahan berada di tengah-tengah hutan yang asri dan terjaga. Sepintas lalu, bahkan mungkin memang seperti itu, Brunei Darussalam justru dibangun di tengah kawasan hutan di bagian utara barat daya Pulau Borneo. Jalan-jalan kota menawarkan pemandangan hutan yang sangat elok. Hutannya benar-benar menjadi paru-paru kota.

Sebelum ke Brunei Darussalam, kekhawatiran yang muncul dalam benak saya adalah kesulitan angkutan umum. Masalahnya, penduduknya tidak memerlukan angkutan umum, karena rata-rata penduduk memiliki mobil pribadi. Seorang pejabat Brunei, Mohd.Kamransah bin Hj Lamat yang bekerja di Jabatan Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, pernah mengantar saya ke Stadion Nasional Hassanal Bolkiah menunggang mobil pribadi merek 'Ford' dengan harga lebih dari satu milyar rupiah. Kamransah juga bertindak sebagai Manajemen Tim ''Majra Football Club'', sebuah kesebelasan di Kota Bandar Seri Begawan.

Brunei Darussalam, meski wilayahnya tak begitu luas, hanya 576 km2, tetapi negara Hassanal Bolkiah itu boleh bangga. Negara ini ogah menerima Ringgit Malaysia sebagai alat pembayaran, meskipun bertetangga dengan negara bagian Malaysia, Labuan dan Sabah di sebelah utaranya. Nilai kurs dollar Brunei jauh lebih tinggi ketimbang Ringgit Malaysia. Kurs Brunei dijual pada kisaran Rp 8.000 per dollar Brunei. Sementara 1 Ringgit Malaysia dijual pada kisaran Rp 3.500. Selain itu, harga barang di Malaysia lebih murah ketimbang di Brunei. Fotocopy untuk selembar saja dikenakan 25 sen, berarti sekitar Rp 2.000. Ini gila. Di Indonesia fotocopy hanya 100 atau 150 perak per lembar.
Yang lucu, harga bahan minyak malah justru lebih mahal di Brunei. Padahal, negara ini kaya minyak. Bahan bakar sejenis premium harganya $ 1,2. Hitung saja, berarti Rp 9.600 per liter (dengan kurs Rp 8.000/dollar Brunei). Bayangkan dengan di Indonesia yang Rp 6.500 dan bakal turun lagi menjadi Rp 6.000 per liter pada tanggal 1 Desember 2008. Tidak heran kalau Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan bahwa harga BBM premium di Indonesia termurah di ASEAN. Harga itu pun dan yang kini diturunkan menjadi Rp 6.000, malah didesak turun lagi oleh beberapa gelintir mahasiswa yang berdemo di Makassar
.
Masalah lain yang selalu menjadi bahan decak kagum kami (kontingen Sulsel) di Brunei Darussalam adalah tata tertib berlalu lintas. Kita nyaris tak menemukan polisi lalu lintas di jalan. Juga sedikit, dan nyaris tidak ada sepeda motor yang lalu lalang. Sepeda motor yang ada justru ukuran besar. Untuk urusan Formula3, menurut istilah Mirdan, salah seorang dosen UNM.

Saya menemukan banyak polis, ketika terjadi satu 'accident' (kecelakaan lalu lintas) pada sebuah persimpangan jalan. Di setiap pertigaan selalu ada kalimat ''beri laluan'', maksudnya dahulukan yang berjalan lurus. Meskipun jarak kendaraan yang mau memotong jalan itu masih tiga ratus meter, namun yang bergerak lurus selalu diberi kesempatan dulu. Begitu pun dengan pejalan kaki. Tentu saja, di Brunei, pengemudinya sudah terdidik, sehingga pantas menunggang mobil mewah. Kalau di Makassar, mobilnya mewah, tetapi masih suka buka kaca mobil lalu membuang sampah di jalan raya. Dia hanya takut, kalau kebetulan sedang mengantar orang yang dia segani, macam majikan.
Kita tentu sulit meniru Brunei, tetapi setidak-tidaknya ada yang bisa dipelajari. Misalnya, tertib berlalu lintas, kebersihan, dan urusan lingkungan hidup. Di Makassar, hutan sebagai paru-paru kota hanya terdapat di Unhas dan Kantor Gubernur Sulsel. Yang lain juga ada hutan, tetapi ''hutan gedung''.

Rahman Pina, Anda Tak Sendiri Oleh M.Dahlan Abubakar Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas

‘Rahman Pina Sebatangkara di DPRD Makassar’’. Demikian judul tulisan AS Kambie, di halaman 3 Harian Tribun Timur, Selasa (29/9). Kalau dilihat dari substansi jumlah anggota Dewan Kota Makassar, judul itu benar-benar membuat kita ’miris’ dan ’prihatin’. Begitu sedikit anggota Dewan yang memiliki prinsip seperti Rahman Pina.
Kasus ini muncul, karena Rahman Pina menolak para anggota Dewan harus ’menuntut ilmu’ berupa pelatihan di Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Seperti dimuat media, kontroversi pandangan Rahman Pina dengan anggota Dewan yang lain telah memicu terjadinya ’disharmoni’ internal oknum di anggota Partai Golkar.
Saya tidak bermaksud membela siapa-siapa, tetapi – meski terlambat -- hanya ingin urun rembuk dan mengemukakan pandangan seputar pelaksanaan pelatihan di Jakarta yang membuat 49 orang anggota Dewan Kota Makassar harus meninggalkan Rahman Pina sebatangkara.
Pelatihan seperti ini sangat penting memang. Para anggota Dewan perlu diinjeksi ’ilmu’ mengenai kelegistasian dalam mengemban tugasnya lima tahun ke depan. Apalagi, banyak di antara mereka adalah muka-muka baru yang harus mulai ’belajar’ dari awal agar pelaksanaan tugasnya ke depan dapat berjalan lancar. Dengan pelatihan seperti ini, mereka akan memperoleh berbagai ’resep’ (kalau dapat dikatakan seperti itu, meski tidak atau belum tentu akan menjadi semacam ’obat’ untuk menyelesaikan masalah) yang digunakan dalam melaksanakan amanah rakyat ke depan.
Namun demikian, dalam melihat kegiatan ini kita harus mempertimbangkan dari berbagai aspek. Pertama, -- sebagaimana diwacanakan Rahman Pina – adalah aspek efisiensi, khususnya berkaitan dengan masalah dana. Dana Rp 416 juta yang digunakan untuk ’menyekolahkan’ 49 orang anggota Dewan bukan dana yang sedikit, di tengah pemerintah saat ini selalu harus efisien menggunakan dana. Saya setuju dengan pandangan Rahman Pina bahwa mendatangkan pembicara dari Jakarta (jika memang yang memiliki kompetensi seperti itu tidak ada di Makassar) jauh lebih efisien ketimbang 49 orang anggota Dewan harus ’boyongan’ ke Jakarta. Banyak hal yang bisa diirit jika pilihan ini yang dapat dijadikan acuan.
Kedua, kita dapat memberdayakan sumber daya manusia lokal yang tentu saja saya yakin tidak kalah dengan kualitas dan kompetensinya dengan yang dari Jakarta. Kita terlalu lama ditanami stigma bahwa mereka yang dari Jakarta itu selalu mampu melihat segala persoalan bangsa. Saya kira tidak selamanya. Soal pembangunan daerah, Makassar pernah menjadi tujuan sejumlah aparatur pemerintah di Indonesia sebagai lokasi pelatihan, ketika Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PSKMP) Universitas Hasanuddin melaksanakan berbagai program pelatihan tenaga-tenaga perencana pembangunan/birokrat pemerintah. Ketika jaya-jayanya (tidak bermaksud menyebut sekarang tidak jaya lagi) PSKMP Unhas, peserta pelatihan tidak saja datang dari Kawasan Timur Indonesia yang sudah menjadi kawasan basisnya, tetapi juga ada peserta dari Kawasan Barat Indonesia. Misalnya saja, ada peserta dari Aceh dan Jakarta serta beberapa daerah lainnya di Sumatera dan Jawa. Mestinya, peserta dari kedua daerah itu cukup mengikuti pelatihan serupa di Jakarta yang selama ini menjadi kiblat berbagai pelatihan, termasuk yang dikiblati oleh 49 anggota Dewan Kota Makassar. Tetapi, Makassar bisa tonji.
Saya yakin, sumber daya manusia kita di Makassar tidak kalah dengan yang ada di Jakarta. Kita memiliki banyak pakar di Unhas, UNM, UIN, LAN, dan beberapa perguruan tinggi swasta seperti UMI, Universitas Islam Muhammadiyah, Unismuh, dan sebagainya. Kepakaran mereka juga variatif. Kita tinggal pilih. Pelaksanaan pelatihan di luar Makassar, saya khawatir bisa saja menggiring opini publik kepada adanya anggapan bahwa tenaga sumber daya manusia kita dalam bidang politik dan pemerintahan tidak cukup kapabel. Di Makassar, kita dapat merekrut mereka yang pernah menjadi birokrat dan kini kembali ke kampus misalnya. Para mantan anggota Dewan dan pakar-pakar yang lain, bisa menjadi ’guru’ yang baik bagi para anggota Dewan. Mereka sudah memiliki pengalaman empirik di lapangan yang tentu saja diimbangi oleh kemampuan teoretis yang dimilikinya. Terasa aneh, orang Jakarta malah banyak minta orang lokal/daerah untuk berbicara mengenai daerahnya di Jakarta, sementara anggota Dewan Kota Makassar malah ’menyerahkan diri’ untuk diceramahi oleh orang Jakarta. Mengapa kita tidak memanfaatkan sumber daya manusia kita sendiri – yang juga bertahun-tahun berguru di Jakarta dan luar negeri sekalipun – untuk membekali para wakil rakyat kita?
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan melihat persoalan secara spesifik lokal Makassar, Sulawesi Selatan. Saya yakin, ketika para pembicara merupakan orang-orang birokrat di Jakarta yang menjadi ’guru’ dan ’dosen’ para anggota Dewan Kota Makassar, mampukah mereka melihat persoalan-persoalan spesifik di lokal Sulawesi Selatan dan Makassar khususnya? Kita mestinya harus sadar. Kasus masa lalu tidak terulang lagi. Mengapa pembangunan bangsa dan negara yang sudah berusia 64 tahun merdeka ini ini tetap berjalan pincang? Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia selalu dikeluhkan bagai dianaktirikan. Jawabannya hanya satu, semua masalah di tanah air yang maha luas ini selalu diplot dari ibu kota negara melalui sebuah grand scenario (skenario besar) yang harus diberlakukan dan diterima oleh seluruh daerah dengan latar belakang aspek yang sangat heterogen dan beragam. Baik itu menyangkut aspek geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keamanan. Mustahil skenario yang dipikirkan dari sebuah hotel berbintang di dan oleh orang Jakarta harus diterapkan di daerah-daerah tertinggal macam di Sulawesi hingga Papua yang sama sekali kurang mereka pahami permasalahannya.
Keempat, perlu juga kita pikirkan aspek rasa kepentingan masyarakat. Maksud saya, setidak-tidaknya para anggota Dewan dapat menyelami perasaan rakyat yang sudah memberi kepercayaan kepada mereka dengan mau ’berhidup’ efisien dan ekonomis. Dengan biaya Rp 8,5 juta per kepala untuk akomodasi, transportasi, dan kebutuhan lainnya, jika dilaksanakan di Makassar bisa jauh banyak dana yang bisa diirit. Di Makassar fasilitas hotel sangat memadai. Tenaga sumber daya manusia pun tidak kalah. Mestinya, para wakil rakyat kita lebih memiliki kepekaan untuk memahami riak-riak rasa rakyat yang memilihnya. Belum duduk di kursi panas, rakyat sudah lebih awal dipertontonkan bagaimana wakil-wakil mereka mulai melakukan kegiatan yang bersifat rekreatif dan sebenarnya bisa dilakukan di daerah sendiri.
Kelima, tanpa bermaksud berpretensi macam-macam, jangan sampai ’pelatihan’ semacam ini tidak lebih dari sebuah ’proyek proposal’ pihak tertentu yang harus ngotot dan tidak boleh tidak dilakukan. Saya menangkap ada aroma eksternal yang tertitip melalui pelatihan ini. Perkiraan saya ini boleh benar boleh salah. Saya kembalikan kepada nurani para anggota Dewan Kota Makassar sendiri. Sebab, saya tangkap, apa yang dikemukakan Rahman Pina sebenarnya sangat masuk akal dan wajar-wajar saja. Tidak ada hal yang utopis. Anggota Dewan yang disebut-sebut ala Obama itu, hanya ingin memberi imej (image) agar anggota Dewan Kota Makassar tidak mengkedepankan kepentingan dirinya sendiri. Saya tidak menafikan, pelatihan seperti ini lebih banyak bersifat rekreatif.
Dari rangkaian pengalaman masa lalu, sudah waktunya para anggota Dewan kita mengoreksi diri. Mencoba belajar dari berbagai kerikil masa lalu yang sering menjadi sorotan rakyat. Katakanlah, studi banding versi anggota Dewan. Sebab, rata-rata hasil studi banding tidak pernah ’dilaporkan’ kepada rakyat melalui media. Apa sebenarnya yang dipetik dari studi banding. Lokasi studi banding pun harus dianalisis secara cermat relevansinya. Mungkinkah hasil studi banding itu dapat diterapkan di daerah sendiri?
Saya sangat salut dengan banyaknya pihak yang melakukan studi banding ke Kabupaten Jayapura Papua. Orang tentu akan bertanya memang, mengapa harus jauh-jauh melakukan studi banding ke daerah Papua yang selama ini selalu dikaitkan dengan potret keterbelakangan? Di Kabupaten Jayapura orang bisa belajar. Bagaimana seorang Habel Melkias Suwae, Bupati Jayapura dua periode, berani menyerahkan dana Rp 1 milyar ke masing-masing distrik (kecamatan)-nya per tahun. Harapannya, rakyat distrik yang akan memikirkan apa kebutuhannya sendiri dengan memanfaatkan dana yang ada untuk membangun daerahnya secara masuk akal dengan pengawasan komprehensif. Saya yakin, anggota DPRD di Sulsel belum pernah ke sana, sementara dari Sumatera Barat dan lainnya sudah lebih dulu bertandang.
Akhirnya, buat adinda Rahman Pina, tidak perlu gusar dan gelisah. Anda memang sebatangkara tidak ke Jakarta, tetapi prinsip yang dipegang telah membuat adinda tidak seorang diri. Rakyat tentu akan banyak sependapat dan seprinsip dengan adinda.

Dimuat di Harian Tribun Timur, Makassar, 30 September 2009.

JK Terobos Sarang Konflik Tanpa Pengawal Oleh M.Dahlan Abubakar

Di Pusat Perfilman Umar Ismail, 23 Juni 2009, M.Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan peranannya dalam perdamaian di Ambon ( Kompas 24/6). Dalam orasi singkatnya, dia mengatakan, selain dia -- dalam kapasitas Menko Kesra --, juga hadir Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang didampingi Kapolri Jenderal Da’I Bachtiar, Kasum TNI Letjen Djamari Chaniago, Asop Kasum TNI Mayjen Adam Damiri, dan Manyjen Syafri Syamsuddin. Ketika SBY memutuskan kembali ke via Ternate, Jakarta, JK didampingi Dr.Hamid Awaluddin, dan dr.Farid Husain memilih tetap tinggal di Kota Ambon yang kala itu masih ‘mendidih’. Kota Ambon sudah dikapling berdasarkan komunitas dengan latar belakang dendam yang membara.
Saya hadir pada acara di Pusat Perfilman Umar Ismail itu, karena salah satu buku yang dibahas di pertemuan itu, Dendam Konflik Poso yang ditulis Dr.Hasrullah, M.A., dosen Fisip Universitas Hasanuddin dan diterbitkan Penerbit Gramedia, penyuntingannya dari disertasi menjadi buku dipercayakan kepada saya. Tetapi bukan karena acara launching buku itu yang menarik saya mengomentari keterlibatan JK ini, melainkan karena saya termasuk salah seorang wartawan yang ikut memilih tinggal di Kota Ambon pada tahun 26 Januari 2002 itu bersama JK, Hamid Awaluddin, dan Farid Husain.
Sebagai seorang wartawan (Pedoman Rakyat Makassar yang sudah almarhum), bersama salah seorang wartawan lain ketika di Ambon memiliki ruang gerak sangat terbatas. Jelas kami tidak bisa leluasa di tengah suasana kota yang masih menerapkan jam malam. Saya mengambil jalan aman saja. Setelah pertemuan antara para pihak yang bertikai dengan JK, SBY, Kapolri, dan Pemprov Maluku dan berlangsung sangat alot dan ’panas’ di kediaman Gubernur Maluku pada siang hari, saya bersama bersama teman wartawan Fajar, menuju ke depan Masjid Al Fatah untuk mengirim berita melalui kantor redaksi Harian Ambon Ekspres.
Ternyata ketika kami pergi mengirim berita ke Makassar, JK, Hamid Awaluddin, dan Farid Husain bergerak memasuki pemukiman nonmuslim di salah satu bagian kota Ambon tanpa mobil dan personel pengawal bersenjata sama sekali. Setahu saya, JK, Hamid Awaluddin dan Farid Husain tidak memiliki pengawal khusus dalam lawatan itu. Soalnya, beliau bukan menteri yang menangani masalah keamanan dan pertahanan. Kalau sebagai menteri koordinator tentu hanya ada ajudannya, Yogi yang anggota Polri membawa sepucuk pistol.
Mengapa JK berani menerobos barikade dan masuk ke daerah konflik dengan menolak disertai pengawal? Dari segi keamanan, seorang menteri memasuki daerah yang masih berkobar dalam dendam konflik adalah tabu. Tidak boleh ada pejabat negara tanpa pengawalan ke mana pun dia pergi, apalagi ke daerah konflik.
Secara berkelakar, JK selalu mengatakan,’’Saya punya kegiatan bisnis juga di Ambon, jadi mereka kenal saya. Dan, tidak mungkin orang Ambon membunuh saya’’.
’’Kalau bawa pengawal, nanti dibilang penakut,’’ JK mengungkapkan kembali alasannya dalam pertemuan di Gedung Perfilman Usmar Ismail dua hari lalu itu. Tetapi tidak hanya itu, JK selalu melakukan sesuatu dengan keyakinan tinggi, tanpa ragu-ragu, menghadapi orang yang sedang marah dan memanggul senjata sekalipun.
Hamid Awaluddin pada bagian tulisannya ’Meluncur Tanpa Mobil Pengawal’’ di buku ’’Perdamaian Ala JK, Poso Tenang, Ambon Damai’’ yang diterbitkan Grasindo (2009) menulis panjang mengenai langkah nekat JK ini.
’’Tak dinyana, JK tiba-tiba minta dipinjami mobil karena ingin ke kawasan yang diklaim masing-masing pihak yang bertikai sebagai jurisdiksinya. Gubernur Saleh Latuconsina panik sekali mendengar keinginan JK tersebut. Gubernur Latuconsina mendesak saya agar meyakinkan JK supaya tidak ke kawasan yang diinginkan.
’’Rencana beliau sebisa mungkin ditunda dulu, Pak Hamid. Saya sendiri sulit membayangkan apa yang bakal terjadi di sana. Tempat itu masih sangat panas dan tidak bisa ditebak. Jalan menuju ke sana saja masih rawan, apalagi lokasi itu. Di jalan menuju tempat itu ‘kan setiap hari masih ada penembakan. Bagaimana mungkin saya membiarkan Pak Menteri ke sana. Tolonglah Pak Hamid agar Pak Menteri tidak ke sana,’’ pinta Gubernur Latuconsina penuh iba di kediamannya.
Tidak ada yang mampu mengubah pikiran, tak ada yang kuasa menahan kehendak JK. Ia tetap ingin ke sana. Saya sendiri sudah pernah menyampaikan saran Gubernur Latuconsina kepada JK karena malam sebelumnya, JK sudah memberitahu saya tentang keinginannya itu. Lagipula, saya tahu watak JK yang sulit diubah jika ia yakin apa yang hendak dilakukannya itu benar.
Suasana pun kian panik. Pihak keamanan akhirnya terpaksa mengikuti keputusan JK. Namun, ada syaratnya. JK harus diiringi oleh sejumlah mobil pengawal dengan tim keamanan untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Gubernur pun setuju ide itu. Lagi-lagi, ide tersebut kandas di tangan JK.
’’Tidak perlu ada mobil pengawal dan tim keamanan. Negeri ini aman, kok,’’ kata JK.
Pihak keamanan ternyata tak kehabisan akal juga. Mereka mundur untuk tidak menyiapkan mobil pengawal dan pasukan pengamanan buat JK. Tetapi, mereka menyiapkan penembak mahir yang disebar secara diam-diam. Untuk itu, sebelum JK berangkat, para penembak mahir tersebut diterjunkan lebih dahulu ke lapangan.
Mendengar ide ini, JK sekali lagi, menolak.
’’Saya sudah bilang, saya ini wakil pemerintah yang harus menjamin keamanan dan rasa aman setiap warga di Ambon ini. Saya harus memberi contoh bahwa saya berjalan tanpa pengawal dan penembak mahir ke mana pun, dan itu aman. Bagaimana mungkin Anda mengatakan bisa mengamankan Ambon kalau Anda sendiri belum apa-apa sudah merasa tidak aman. Pengawalan dan pasukan keamanan adalah tanda tidak amannya kota ini. Ini yang membuat orang takut dan trauma. Ini semua yang membuat rakyat selalu merasa tertekan. Kita jalan tanpa itu semua,’’ tegas JK.
Akhirnya memang, dua mobil kijang meluncur tanpa iringan kendaraan lain. JK disertai Mayjen Polisi Simatupang, saya, dr.Farid Husain, dan ajudan JK. Tampak sekali ketegangan di rumah dinas Gubernur siang itu, saat mengiringi kepergian kami. Semua mata memandang ke JK dan mobil yang hendak dipakai. Semua mengiringi kepergian JK dengan harap-harap cemas. Kelihatan semua pasukan keamanan yang mengitari rumah Gubernur siang itu, diinstruksikan agar tetap siaga, kendati tidak harus mengiringi kepergian JK.
Sebelum berangkat, JK bertanya pada ajudannya.
’’Yogi kamu bawa senjata, ’kan? Ada berapa pelormu di dalam?’’.
Spontan Yogi yang dari kepolisian itu menjawab.
‘’Ada pistol, Pak. Saya punya lima butir peluru,’’ katanya.
‘’Ya, itu cukup mengamankan kita kalau ada apa-apa,’’ jawab JK.
Mendengar JK berkata begitu, Mayor Jenderal Pol.Simatupang menambahkan.
’’Saya juga membawa pistol dengan peluru, Pak’’.
’’Nah, apalagi ini. Jauh dari cukup untuk men gamankan kita semua,’’ tambah JK.
Di atas mobil, terus terang, saya berpikir tentang keselamatan saya kalau sesuatu terjadi. Berbagai pikiran kelabu datang di benak saya. Semuanya bermuara pada bayangan tentang sesuatu yang bisa saja terjadi dan menyangkut keselamatan kami dalam perjalanan.
Ketika tiba di masjid, JK mencoba menggoda saya.
’’Hamid, kamu jangan takut. Ada dua orang yang bawa pistol. Sebelum ada yang menembak kamu, lebih dulu ini dua polisi menembak kepala mereka. Ini polisi terlatih dan terdidik untuk menembak, sementara mereka amat amatiran. Sudahlah, bismillah kita akan aman,’’ kata JK meyakinkan.
Singkat kisah, JK dan rombongan tiba di kediaman Uskup Mandagi yang amat disegani dan memiliki pengaruh serta wibawa di kalangan Kristen. Ternyata sang Uskup sedang tidur siang. Para petugas di kediaman Uskup geger Menko Kesra datang. JK membiarkan Uskup tak diganggu dan membiarkan dirinya menunggu sembari mengobrol dengan teman-teman rombongan.
Mereka yang di sekitar kediaman Uskup merasa memperoleh berkah ditandangi Menko Kesra. Mereka juga mengatakan, tidak ada orang yang akan mengganggu JK di tempatnya. Kalau ada yang ganggu, ’kan kita tidak akan damai nantinya,’’ sahut mereka.
Pertemuan tersebut ternyata sangat menyejukkan. Uskup sendiri merasa senang dan tidak menyangka JK mau mendatangi kediamannya. JK juga minta Uskup mendorong terciptanya perdamaian di Ambon.
Lepas dari Uskup, JK dan rombongan kecilnya ke Masjid Taqwa (Al Fatah?), pusat komunitas muslim. Di masjid ini sudah menunggu Kiai Haji Wahab. Ratusan orang menyemut menyambut JK yang kemudian membawanya masuk ke masjid. Kunjungan JK ke Uskup agaknya sudah tersebar luas juga. Mereka pun heran kok JK berani masuk ke sana.
’’Ini semua karena Allah,’’ kata JK.
Usai salat, JK langsung ke sebuah ruangan di samping masjid, bertemu para tokoh Islam. Tujuannya sama dengan yang di Uskup, mendorong umat mau melakukan dialog dengan komunitas Kristen. Ternyata mereka menyambut dengan antusias.
’’Amiin..,’’ sambut mereka, sampai ada yang tiba-tiba bertakbir ’’Allah akbar, Allah akbar’’.
Ternyata keasyikan saya dan teman mengirim berita tersebut bermasalah. Kami tidak boleh lagi tembus ke kediaman Gubernur Maluku, tempat kami menginap bersama JK, karena sudah masuk jam malam. Memang sempat terjadi dialog antara saya dengan teman-teman wartawan Ambon Ekspres. Mereka menjawab, daerah yang dilalui sudah berada di kawasan kelompok lain. Apalagi, kami adalah pendatang dan bukan dari kelompok mereka.
’’Lantas apa solusinya?,’’ tanya saya mulai gusar, takut dicari JK dan Farid Husain. Sebab, kalau hilang dan HP kami tidak dapat dihubungi bisa-bisa dianggap hilang.
’’Solusinya hanya satu,’’ kata kawan itu.
’’Apa itu?,’’ sergap saya ingin tahu.
’’Tunggu sampai pagi!,’’.
’’Ha..., jadi kami harus bermalam?,’’ sahut saya yang belum juga reda kagetnya.
’’Ya. Tidak ada jalan lain. Bisa juga, kalau ada mobil pengawal khusus yang datang menjemput,’’ katanya lagi.
Saya berpikir, bermalam, jelas membuat gelisah JK dan Farid Husain, karena dalam beberapa jam kami tidak kembali ke penginapan pasti dicari. Bisa-bisa kami dianggap hilang. Yang terjadi, kalau dianggap hilang, mungkin bakal ada mobil pengamanan yang datang mencari. Kalau meminta mobil pengawal, bagaimana caranya? Sama-sama sulitnya.
Saat pikiran buntu menemukan jalan keluar ke kediaman Gubernur, saya keluar di jalan raya di depan Masjid Al Fatah. Jalan di depan masjid ini tak pernah sepi waktu itu, meski suasana Kota Ambon masih panas. Kalau kita melihat suasana para penjual durian dan sebagainya di depan masjid itu, seolah-olah suasana tegang di Kota Ambon tidak pernah terjadi. Penduduk saling bercanda dan gembira melakukan transaksi jual-beli. Tentu saja, yang melakukan transaksi adalah dari komunitas yang sama.
Pusing dengan situasi yang ada, mata saya tiba-tiba melihat iring- iringan mobil parkir di halaman Masjid Al Fatah. Saya berlari ke halaman masjid, mencari tahu siapa gerangan pejabat tersebut. Ternyata, JK dan Farid Husain yang baru saja bertemu dengan para jamaah masjid tersebut dan siap meninggalkan masjid. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Langsung berlari ke kantor redaksi Ambon Ekspres untuk memberitahu teman Fajar agar segera naik ke salah satu mobil rombongan JK. Benar juga, kami melompat naik ke mobil Pak Hamid Awaluddin dan dr.Farid Husain.
’’Lan, you dari mana?,’’ sapa dr.Farid Husain yang sudah akrab dengan saya sejak awal di Unhas.
’’Habis kirim berita di Ambon Ekspres,’’ sahut saya ketika kendaraan mulai memasuki daerah demarkasi. Suasananya memang sangat mencekam. Memang sepintas tidak ada orang yang berkeliran, tetapi percayalah bahwa di dekat pagar dan pintu halaman rumah sekian banyak pasang mata dalam siaga satu mengawasi orang yang melintas.
Setiba di kediaman gubernur, ternyata JK, Hamid dan Farid Husain melanjutkan pertemuan dengan kelompok muslim. Saya dan teman Fajar hanya mengikuti dari luar ruang pertemuan, karena acara berlangsung tertutup. Ketika lonceng menunjukkan pukul 01.00 Waktu Indonesia Timur, terdengar satu ledakan keras dari salah satu bagian Kota Ambon. Suaranya menggelegar terdengar sangat jelas, karena kediaman Gubernur Maluku berada di daerah ketinggian. Saya yakin, JK, Farid Husain, dan peserta pertemuan di dalam ruangan mendengar ledakan keras itu. Tetapi, pertemuan berjalan terus.
Saya tidak berusaha mengikuti pertemuan itu hingga tuntas, karena selain tertutup, juga deadline berita sudah berlalu beberapa jam. Tokh, kalau mau meminta informasi tentang hasil pertemuan, saya dan Fajar dapat lakukan keesokan hari sebelum kembali ke Makassar atau sekalian di atas pesawat.
Pertanyaan yang muncul kala itu di kalangan awam adalah, mengapa seorang JK yang Menko Kesra harus mengurus konflik. Bukankah ini merupakan porsi Menko Polkam. Dalam perjalanan dengan pesawat Fokker 28 Athirah, yang selalu menerbangkan beliau, saat saya juga ikut meliput perjalanannya, JK selalu mengatakan bahwa persoalan konflik ini pemicu (triger)-nya adalah ketidakadilan, terutama masalah kesejahteraan. Pada tahun 2003, kata JK, terdapat 2 juta pengungsi di Indonesia dan itu merupakan jumlah pengungsi terbesar di dunia. Kalau masalah kesejahteraan sudah teratasi, pasti tidak akan terjadi konflik. Makanya, akar permasalahannya harus dicari dan baru dicari solusi penyelesaiannya. Dan, selama ini kita hanya melihat permasalahan yang muncul, sering mendiagnosa apa pemicunya. JK memang beruntung, selalu bisa mendiagnasa suatu masalah sebelum mengambil tindakan. Mungkin ini juga berkah kehadiran seorang Farid Husain yang dokter ahli bedah.