Jumat, 29 Oktober 2010

Gubernur Sulsel Selam di Tinabo

Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo didampingi Ketua DPRD Sulsel M.Roem, dan Kepala Badan Diklat Sulsel M.Jufri Rahman, mendarat di Pulau Tinabo, setelah terbang selama 33 menit dari Benteng, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Selayar. Ketika helikopter AIR TRANSPORT SERVICES PK-EAD menderu di atas Pulau Rajuni, saya baru saja berada di atas sebuah perahu 'joloro' yang mengantar rombongan ke Kapal Pengangkut Pasukan dari KRI Surabaya. Helikopter yang membawa Gubernur dan rombongan kecilnya, langsung mendarat di Pulau Tinabo. Syahrul, Roem, didampingi Wagub Sulsel Agus Arifin Nu'mang yang sudah lebih dulu tiba di pulau resort yang dikawal Jagawana itu, langsung menyelam. Menjelang magrib, Gubernur dan Wagub, Ketua DPRD menggunakan kapal pengawal KRI Surabaya bergabung dengan Dan Lantamal Brigjen (Mar.) Chaidir P, Rektor Unhas Idrus A Paturusi di KRI Surabaya yang lego jangkar sekitar 10 mil dari Pulau Rajuni atau dengan lama pelayaran 40 menit dan sekitar 15 menit pelayaran dari Pulau Tinabo.
Pada tanggal 27 Oktober 2010, rombongan menuju Pulau Rajuni dengan menggunakan sejumlah armada kecil yang mengawal dan ada di KRI Surabaya. Di lapangan bola Pulau Rajuni, Gubernur memberi arahan kepada masyarakat yang hadir sebelum menyiapkan waktu berdialog dengan perwakilan masyarakat dari berbagai desa dan kecamatan di Kabupaten kepulauan Selayar. Bupati Kepulauan Selayar Syahrir Wahab mendahului arahan Gubernur dengan menyampaikan sambutan selamat datang kepada Gubernur.
Gubernur kemudian memanfaatkan waktu tidak lebih dari setengah jam untuk memberi arahan dilanjutkan dengan tanya jawab dengan masyarakat dipandu oleh Asisten II Kabupaten Kepulauan Selayar. Acara berikutnya adalah penyerahan hadiah kepada para pemenang lomba mancing tradisional dan internasional. Para pemancing tampil dengan ikan yang berhasil diperolehnya dalam lomba itu. Ikan-ikan itu kemudian digantung dengan menggunakan penyangga dari bambu di depan Gubernur dan rombongan. Khusus lomba memancing internasional, juara I diraih Tim Mancing Trans 7 Mania. Acara hiburan dengan artis ibu kota Jakarta Nia Paramitha dan Ika KDI menghibur masyarakat membuat panggung kesenian 'terselubung' rakyat yang merubung.
Malam setelah acara di Pulau Rajuni, Gubernur dan rombongan kembali ke KRI Surabaya menumpang kapal pengawal yang selalu memandu pelayaran KRI Surabaya dari dan ke Makassar (pp).
Gubernur menginap di KRI Surabaya dan pagi-pagi dengan berpakaian lengkap, langsung terbang ke Makassar, memimpin upacara peringatan HUT ke-82 Sumpah Pemuda.
Sementara Wagub dan pejabat lainnya, memperingati HUT ke-82 Sumpah Pemuda di geladak KRI Surabaya dengan inspektur upacara Dan Lantamal VI Brigjen TNI (Mar) Chaidir dan komandan upacara Mayor (Mar) Dody, SH.
Habis upacara, Wagub Sulsel Dan Lantamal, Rektor Unhas Idrus A Paturusi menumpang sekoci KRI Surabaya menyelam di Pulau Tinabo. Pukul 13.00, para peselam itu kembali ke KRI Surabaya. Pukul 15.30, Kamis (28/10) KRI Surabaya bergerak meninggalkan perairan Kawasan Taman Laut Nasional Takabonerate. Pukul 08.20 Wita, KRI Surabaya merapat kembali di Dermaga Soekarno Hatta Makassar. (M.Dahlan Abubakar).

Senin, 18 Oktober 2010

CPNS 2010 dan Bubir.

Oleh M.Dahlan Abubakar

Tanggal 15 Oktober 2010. Hari sudah gelap, ketika bus City Trans Bandung-Jakarta kapasitas 12 orang yang saya tumpangi terjebak macet di tol Cipularang, belum jauh dari Kota Bandung. Jalan yang sedang giat dipoles ikut menambah panjang macet. Pada ruas jalan masuk Jakarta, kendaraan merambat lambat. Berbeda dengan jalur kanan, ke arah Bandung yang rada` lancar. Mestinya, yang ke Bandung yang macet, karena penduduk Jakarta yang berakhir pekan akan masuk ke Paris van Java itu. Ah, mungkin saja secara kebetulan.
Dalam pulas yang tak sempurna, terasa telepon selular (ponsel) saya bergetar berkali-kali. Tanda ada panggilan masuk. Nada lagu ‘Anging Mammiri’ sengaja saya off-kan agar tidak mengganggu tetangga duduk. Juga pada pagi hari ketika menghadiri ujian promosi doktor putri sulung Prof.Dr.Ir.Radi A.Gany, Andi Nixia Tentiawaru, di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.
‘’Saya dari…, mau tanya sedikit,’’ terdengar suara seorang pria dari seberang sembari menyebut nama medianya.
‘’Masalah apa?,’’ saya bertanya balik.
‘’Mengenai CPNS, Pak,’’ sebutnya.
‘’Ada apa dengan CPNS?,’’ lagi-lagi saya bertanya.
‘’Dalam berita hari ini, Pemprov tidak akan bekerja sama lagi dengan Unhas dalam mengerjakan soal-soal CPNS,’’ sebutnya.
‘’Alasannya?,’’ saya terus bertanya, karena saya tidak mengikuti perkembangan pemberitaan mengenai masalah CPNS tersebut di Makassar. Soalnya, ketika berita itu menyemarak di media Makassar, saya sedang berada di Bandung.
‘’Pemprov katanya menerima banyak keluhan dari masyarakat berkaitan dengan hasil pemeriksaan CPNS di Unhas yang lalu,’’ sang wartawan itu menjelaskan. Saya pun balik berkata dan bertanya.
‘’Tolong klarifikasi dan minta secara rinci dulu pada Pemprov (cq Kepala BKD) seperti apa keluhan itu dan siapa yang mengeluh, masyarakat mana, dan kepada siapa keluhan itu disampaikan. Jika yang mengeluh menyampaikannya ke Pemprov (BKD), mohon disampaikan ke Unhas agar kita dapat memperbaiki diri. Kita cari solusinya agar ke depan pekerjaan ini lebih baik lagi,’’ kata saya tiba-tiba saja menjadi ‘pengkhutbah’. Begitulah gaya saya kalau ada wartawan yang kurang teliti dan sigap menyampaikan pertanyaan. Kadang-kadang saya ceramahi dulu untuk membuat ‘otaknya bekerja keras’ agar mereka dapat memperoleh informasi yang tepat melalui pertanyaan-pertanyaan yang jitu. Masalahnya, sering saya menemukan banyak wartawan yang memburu berita tanpa persiapan skill yang memadai. Banyak hal yang sebenarnya bisa bongkar justru terabaikan.
‘’Pihak BKD tidak bersedia merincinya,’’ beber wartawan tersebut.
‘’Kalau begitu, masalahnya akan buntu. Jangan sampai itu hanya alasan yang dibuat-buat saja untuk tidak lagi mengajak Unhas bekerja sama dalam memproses pembuatan dan pemeriksaan soal tes CPNS,’’ kata saya.
‘’Apa komentar Unhas dengan langkah Pemprov yang akan memilih perguruan tinggi lain dalam melaksanakan pekerjaan pembuatan dan pemeriksaan soal CPNS itu?,’’ tanya dia lagi.
‘’Saya ingin tegaskan, Unhas ini lembaga besar. Bukan lembaga kecil. Bukan pula LSM, melainkan kumpulan orang-orang cerdas. Tentu mustahil Unhas akan mengemis. Soal, Pemprov memilih perguruan tinggi lain untuk bermitra, ya silakan saja. Hanya saja, sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi terbesar `di kawasan Timur Indonesia, dan ‘milik’ masyarakat Sulawesi Selatan, Unhas memiliki kewajiban moral membantu Pemprov jika diminta. Kalau tidak dibutuhkan, jelas Unhas tidak akan mengemis,’’ papar saya panjang.
‘’Langkah-langkah yang dilakukan Unhas?,’’ tanya si wartawan itu lagi.
‘’Unhas bukan pihak yang ber-aksi, dalam arti yang melakukan sesuatu atau membutuhkan, melainkan pihak yang dilibatkan dalam suatu kerja sama. Tidak ada langkah yang akan dilakukan Unhas. Kalau misalnya Pemprov tetap memilih perguruan tinggi lain, silakan saja,’’ sebut saya.
Kompensasi
Jumat (15/10) pagi, pesan pendek mengalir ke ponsel saya. Datang dari adik-adik alumni. Isinya, mengungkapkan rasa tidak puas dengan komentar Pemprov cq Kepala BKD Sulsel berkaitan dengan masalah penerimaan CPNS tahun 2010. Tetapi yang menggelitik saya dan membuat saya ‘berang’ adalah pertanyaan ‘ada apa dengan Unhas?’. Saya menangkap kalimat ini beraroma miring. Seperti menuding ada sesuatu yang mrnyimpang dilakukan Unhas.
Ketika masih di Jalan Tol Cipularang saya sudah menghajatkan untuk menulis dan mengirim naskahnya Jumat malam itu juga ke salah satu media di Makassar. Harapan saya, Sabtu sudah dibaca dan meng-clear-kan persoalan. Tetapi, modem yang saya bawa ‘ngambek’.
Jumat siang, saya tiba-tiba memberanikan diri meng-sms langsung Pak Gubernur Sulsel. Langkah yang pertama kali saya lakukan selama dua tahun Pak Syahrul memimpin Sulsel. Berdasarkan instink jurnalistik saya, masalah ini ‘akan jadi bola liar dan polemik di media jika tidak ‘dimenej’ segera’. Potongan kalimat dalam tanda petik itulah yang saya layangkan ke Pak Gubernur.
‘’Yakinlah tidak ada hal seperti apa yang ada di media. Media terlalu mendramatisir kata2nya Murni. Padahal, saya yakin tidak seperti itu,’’ balas Pak Gubernur.
Saya diam saja membaca balasan sms tersebut. Dalam hati saya yakin, ini akan meledak justru hingga menjelang kedatangan Presiden SBY di Makassar. Sebab, masalah CPNS ini sensitif. Selain di Sulsel saat ini tidak ada berita yang ‘heboh’, masalah CPNS ini akan menjadi berita baru yang menarik. Apalagi sudah saat menjelang pendaftaran. Lagian, ini merupakan kebutuhan banyak pihak. Tidak saja mereka yang bertarung memperebutkan jatah tersebut, tetapi juga orang tua, keluarganya yang juga menginginkan mereka bisa diterima. Tentu dengan banyak cara. Yang sudah lazim adalah membayar dan berkolusi dengan pihak penentu kelulusan.
‘’PR 3, saya mau bicara,’’ tiba-tiba satu kalimat sms pendek masuk lagi ke ponsel saya. Setelah saya perhatikan pengirimnya, ternyata dari Pak Gubernur.Saya pun segera mem-forward (meneruskan) pesan itu ke Pak Nasaruddin Salam, Wakil Rektor III Unhas.
Sekitar pukul 13.00 Wita, Pak Nas menelepon balik saya. Saya pun menjelaskan bahwa Pak Gubernur ingin berbicara langsung dengan Pak Nas melalui telepon.
Setelah komunikasi dengan Pak Nas saya akhiri, Pak Hasrat Arief saya kontak dan menjelaskan permasalahan yang saya terima. Termasuk menjelaskan rincian kalimat yang saya sampaikan ke wartawan ketika dalam perjalanan Bandung-Jakarta. Saya juga minta kepada Hasrat agar secara konfidensial menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan ‘keluhan’ yang disebut dari masyarakat oleh pihak BKD. Meskipun saya sudah maklum bahwa keluhan itu tidak pernah ada. Hanya dibuat-buat sebagai alasan belaka. Ini diperkuat lagi oleh keterangan salah seorang teman, mantan anggota DPRD Sulsel, ketika saya mampir di Warkop Phoenam Jakarta. Teman itu mengatakan (mungkin pengalaman dan informasi yang dia peroleh ketika menjadi anggota Dewan) bahwa kadang-kadang dalam penerimaan CPNS pihak eksekutif meminta 30% jatah itu harus mereka tentukan. Jadi yang diperebutkan itu hanya 60-70% saja.
Apa yang dikemukakan teman itu sebenarnya bukti yang sudah terjadi. Saya sendiri pun pernah dikontak oleh salah seorang anggota DPRD kabupaten yang mengatakan bahwa pihaknya akan mendorong pihak eksekutif untuk tetap memilih Unhas dengan catatan, 10 jatah dari pihaknya bisa dijamin lulus. Waktu itu, saya tidak memberikan jawaban yang pasti, karena memang tidak mungkin.
‘’Nantilah kita lihat, tetapi saya tidak menjamin,’’ kata saya sambil berusaha menutup pembicaraan cepat-cepat.
Masih siang, Pak Nas mengontak saya. Intinya, menanyakan apakah saya bisa bersama beliau bertemu dengan Pak Gubernur Jumat malam di Gubernuran. Saya katakan, sulit saya penuhi, karena pesawat saya terbang pukul 21.30 WIB. Jadi, tiba di Makassar sekitar pukul 01.00 dinihari.
Malam hari ketika sedang menunggu terbang di Bandara Soekarno-Hatta, ponsel saya bergetar lagi. Ternyata telepon dari Tribun Timur. Saya menduga, pasti urusan CPNS lagi. Benar juga. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan membuat saya harus berbicara keras. Apalagi setelah disuntik informasi konfidensial yang disampaikan Hasrat Arief. Sampai-sampai saya mengatakan, kalau misalnya BKD Sulsel tidak mau menjelaskan soal keluhan masyarakat dan tetap menyalahkan Unhas dalam pemrosesan tes CPNS, ‘kita buka-bukaan saja’.
Saya tegaskan juga kepada teman dari Tribun Timur, ‘kalau Pemprov ingin mencari perguruan tinggi lain yang mengerjakan soal CPNS, silakan. Unhas tidak perlu mengemis. Tidak perlu menjadikan keluhan masyarakat sebagai alasan yang dibuat-buat untuk memilih perguruan tinggi lain. Tetapi soal pilihan mitra kerja, itu hak prerogatif Pemprov. Hanya saja Unhas tidak ingin disebut melakukan sesuatu yang membuat masyarakat mengeluh. Unhas selalu bekerja fair dan professional.
Sabtu pagi-pagi Pak Nas menelepon saya. Beliau menjelaskan hasil pertemuan dengan Pak Gubernur semalam. Intinya, Pak Gubernur mengatakan bahwa tidak mungkinlah Pemprov meninggalkan Unhas. ‘’Saya yang menentukan,’’ kata Pak Gubernur membuat yang hadir, termasuk Kepala BKD – katanya -- hanya tunduk terpaku.
Pak Nas juga menjelaskan, bahwa pernyataan saya di Tribun Timur cukup keras dan meminta agar masalah CPNS segera diakhiri di media.
‘’Tadi sudah cukup berimbang,’’ kata Pak Nas menyebut mengenai pemberitaan di Tribun Timur.
Dalam perjalanan di kampus, ponsel saya bordering lagi. Saya terpaksa berhenti untuk mencoba menjawab panggilan tersebut. Ternyata lebih dulu putus. Saya menelepon balik, tidak nyambung. Nada sibuk. Ternyata kemudian, ponsel saya bergetar lagi. Pak Yushar menelepon.
‘’Kenapa kodong, Pemprov. Kok sampai ada ‘mau buka-bukaan’,’’ ujar Pak Yus.
‘’Saya belum baca koran hari ini,’’ sebut saya.
‘’Ada di koran,’’ imbuh Pak Yus, panggilan akrab Kepala Badan Keuangan Pemprov Sulsel itu.
‘’Iya, anak-anak tanya saya tadi malam. Saya tidak tahu persoalan seperti apa berita mengenai CPNS itu, sebab saya sedang di Bandung. Jadi saya jawab apa adanya saja. Tetapi, tadi malam Pak Gubernur sudah bertemu dengan Wakil Rektor III dan saya sudah meminta menghentikan polemik CPNS, ’’ saya menjelaskan lagi.
Pak Yus pun mengerti, sembari mengatakan, ‘’kapan kita ketemu?’’.
‘’Aduh nggak tahu nih. Saya belum lihat jadwal Pak Rektor,’’ sahut saya.
‘’Nanti Selasa-lah kita ketemu,’’ usul pak Yus.
Saya memang berkali-kali membawakan Pak Yus sejumlah buku laris. Saya selalu menitip bukunya itu pada Pak Hakim, staf di kantor depannya. Saya kerap malas menunggu dan mengganggu, karena harus kembali ke kampus secepat mungkin.
Ternyata, heboh berita CPNS ini luar biasa juga. Di mana-mana teman menegur saya gara-gara pemberitaan itu. Itulah risikonya jadi jubir, selalu jadi bubir (buah bibir).

Makassar, 19 Oktober 2010

Sabtu, 09 Oktober 2010

Mengenang 23 Tahun Ramang ‘Pergi’

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Tepat 26 September 2010 lalu, genap 23 tahun Ramang berpulang ke rakhmatullah. Penyakit paru-paru yang keras, gara-gara merokok yang juga keras, mengantar ayah tujuh (tiga meninggal) anak ini kembali ke Al Khalik. Upaya untuk menyelamatkan jiwanya ketika pertama terserang penyakit itu bukan tidak ada. Beberapa orang yang menaruh perhatian terhadap dirinya, di antaranya almarhum H.Sudarno Ahmad dan Abbas Ninring yang waktu itu bekerja di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulsel, berinisiatif membawa Ramang ke rumah sakit. Kamar-kamar rumah sakit pemerintah penuh. Sudarno Ahmad pun tidak perlu pikir panjang, dia membawa ‘si Macan Bola’ itu ke Klinik Budi Dharma di Jl.G.Bawakaraeng (dulu, kini jadi show room mobil) miliknya.
Oher, demikian para anak asuhannya kerap memanggil pria kelahiran Barru, 24 April 1928 ini, 50-an hari lebih mendekam di klinik Penyakit Dalam tersebut. Dia sehat sekali ketika meninggalkan klinik. Berat badannya yang melorot turun, naik 15 kg. Luar biasa. Namun, setiba di rumah, Ramang kurang disiplin. Dia sulit bercerai dengan rokok kesayangannya ditemani Nescafe kesenangannya.
Ketika saya ke belakang rumahnya di Jl.Andi Mappanyukki (di belakang show room mobil Kumala Motor sekarang), kerap melihat Ramang duduk di beranda depan rumahnya. Bersarung, barkaos oblong putih, dan ditemani minuman kegemarannya. Setiap orang yang datang ke rumahnya kala itu -- jika ada di rumah sore hari – pasti menemukan beliau duduk di situ.
Ramang mengaku masih sempat sekali-sekali melihat para pemain PSM berlatih. Saya hanya sekali berhasil mewawancarainya, dari sekian kali upaya mengorek informasi seputar komentarnya mengenai pemain PSM kala itu.
‘’Tidak usah diwawancarai. Cukuplah anak-anak muda itu kau wawancarai. Saya sudah tua,’’ begitulah jawabannya setiap saya mampir hendak mewawancarainya. Ucapan yang sama juga dia sampaikan kepada Zainuddin Tamir Koto (Zatako) yang ketika itu mewakili Majalah Olimpic yang dipimpin Ardhy Syarief (alm) yang pernah menjabat Ketua Departemen Olahraga PWI Pusat.
Saya akhirnya sempat juga mewawancarainya suatu saat. Itu pun secara kebetulan saja. Sore itu, saya memang tidak mengagendakan ada sesi wawancara dengan Ramang. Soalnya, saya tahu, jawabannya sudah pasti seperti dulu lagi. Kali ini saya hanya mau mengambil gambarnya saja untuk menemani berita yang akan diturunkan pada hari berikutnya dan juga sebagai bahan dokumentasi.
‘’Sudah banyak foto saya diambil wartawan. Kenapa mau diambil lagi,’’ itulah kalimatnya ketika melihat saya muncul dengan moncong kamera yang siap mengabadikan dirinya.
‘’Teman-teman tidak punya arsip lagi, Tata,’’ sahut saya.
Dia ternyata mau juga diambil gambarnya. Saya menghabiskan beberapa kali kutipan, mumpung ada kesempatan. Habis, memotret, saya melihat suasananya agak bagus. Saya coba ajak saja beliau berbincang-bincang biasa, tanpa ada kesan wawancara. Beliau layani. Tetapi bagi wartawan, tetap saja wawancara, meski bentuknya dalam bentuk bincang-bincang biasa. Hanya saya selalu mengambil inisiatif untuk bertanya.
‘’Sering-sering jaki pergi lihat anak-anak latihan di lapangan, Tata?,’’. Inilah kalimat pemancing yang pertama saya ungkapkan, hingga rangkaian acara ‘cakap-cakap’ ini melebihi dari cukup untuk menulis sebuah berita hasil wawancara (saya menulisnya kemudian sebagai tulisan terakhir tentang beliau sebelum meninggal).
‘’Ya, kadang-kadang, kalau ada waktu,’’ jawabnya.
‘’Ada ji harapan mereka (para pemain yang dia lihat latihannya) itu,’’ tanya saya lagi.
‘’Masih perlu waktu lama. Harus berlatih keras,’’ sebut Ramang.

Kontroversial

Sejak Juni 2010 silam, saya memulai sebuah pekerjaan berat dan besar untuk menulis kisah Ramang ini menjadi sebuah buku. Sudah belasan artikel yang ada di dunia maya saya lacak, isinya hanya pengulangan informasi yang ada. Juga sudah belasan orang yang saya anggap sangat kompetensif dan kapabel menjadi narasumber, sudah saya wawancarai. Termasuk melacak teman-teman masa kecil Ramang di Kabupaten Barru. Saya sangat puas dengan informasi yang mereka berikan. Meski banyak yang sama, tetapi ada juga informasi yang baru. Saya berharap ini akan mendukung lahirnya sebuah pumpunan tulisan yang sedikit lengkap dari yang kita ketahui selama ini tentang seorang Ramang.
Ramang adalah sosok yang sangat melegenda dan kontroversial. Melegenda, karena semasa hidupnya telah melahirkan prestasi yang luar biasa dan hingga kini belum tertandingi. Dalam seabad setelah Ramang tampil, kata orang, sulit kita menemukan pemain bola sekelas dia. Dia banyak disebut-sebut sebagai Pele-nya Indonesia.
Hasil yang dicapai itu, karena disiplin dalam berlatih. Dia menggelutinya dengan tidak lazim, Ketika akan pergi berlatih bermain bola, dia sudah lari berkeliling lapangan (di mana pun dia berlatih) sebelum para pemain lainnya muncul di lapangan. Begitu pun ketika teman-temannya usai berlatih, Ramang masih tetap berlatih menendang bola ke gawang hingga hari gelap.
Tetapi satu model latihan yang saya baru tahu dilakukan Ramang dan diperoleh dari para narasumber itu adalah Ramang sering berlatih di pantai. Berlatih di tengah gelombang. Menendang bola yang dibawa kembali gelombang ke pinggir pantai hingga dia capek. Dia juga berlatih berlari di pasir.
‘’Ini maksudnya untuk memperkuat otot paha,’’ kata salah seorang narasumber saya di Barru, 20 Juni 2010.
Ketika di Barru, setelah berlatih dengan beberapa pemain lain di Makassar, Ramang sering melatih para pemain yang tergabung dalam Bond Barru. Salah seorang di antaranya adalah narasumber saya itu. Dia, narasumber itu, mengatakan, setelah berlatih di pinggir pantai, Ramang menyuruh mereka berlari mendaki bukit yang ada di sebelah timur Sumpang Binangae, tempat dia sekolah.
Yang juga menarik adalah, ketika jam istirahat (keluar main), Ramang memang keluar bermain. Sasarannya adalah pergi menendang-nendang bola di lapangan Sumpang Binangae, yang hanya beberapa meter saja dari sekolahnya. Salah seorang adik kelasnya (di kelas 2, Ramang di kelas 5) yang juga pernah dia latih, kerap bermain bersama.
‘’Kadang-kadang ketika duduk istirahat di pinggir lapangan dia pernah mengatakan kepada saya. ‘’Dengan kakiku ini, saya akan naik itu,’’ kata Ramang sembari menunjuk pesawat terbang yang melintas di angkasa Sumpang Binangae. Ternyata apa yang dia katakan itu benar. Tahun 1956, dia memperkuat kesebelasan Indonesia pada ajang Olimpiade Melbourne Australia. Prestasi spektakuler menahan Uni Soviet 0-0 pada pertandingan pertama adalah hasil luar biasa yang mungkin saja tidak akan pernah terulang lagi bagi kesebelasan nasional republik ini ke depan.
‘’Kalau saja kaos Ramang tidak ditarik pemain Soviet, mungkin kisah pertandingan itu akan lain,’’ demikian salah satu dokumentasi yang saya peroleh.
Seorang narasumber saya yang lain dan sangat dekat dengan Ramang berkisah pula. Kalau Ramang pulang, di rumahnya dia pancang kayu di halaman. Pada kayu itu, dia ikat ban dalam sepeda yang tidak dipakai dan sudah dibelah. Salah satu ujung karet ban dalam sepeda dia ikat pada kayu yang terpancang. Ujungnya yang satu lagi dia ikat pada betisnya.
‘’Apa maksudnya beliau melakukan latihan model itu?,’’ tanya saya pura-pura bodoh sekadar ingin mengetahui jawaban narasumber itu.
‘’Beliau bilang, ini cara untuk menghasilkan kualitas tendangan yang prima. Latihan kelenturan kaki saat menendang,’’ jawabnya.
Itu yang menyangkut cara Ramang berlatih. Kini kalau dia tampil di lapangan. Semua narasumber –padahal diwawancarai terpisah – bagaikan bersuara koor (sama) perihal kepiawaian Ramang di lapangan hijau. Pertama soal trio (dengan Noorsalam dan Suwardi Arland). Trio ini sebenarnya tidak orang yang sangat tidak cocok di luar lapangan. Tetapi, jika bermain, kompaknya tidak ketulungan. Noorsalam dengan kemampuan heading-nya. Suwardi dengan kemampuannya menarik 2-3 pemain lawan berupaya merebut bola ‘gorengan’-nya. Padahal, itu hanya trik bagi Suwardi untuk memberi ruang bagi Ramang lepas dari pengawalan pemain lawan. Ketika bola sudah dikuasai Ramang, semua narasumber mengatakan bahwa 99,9% pasti berbuah gol.
Soal kerasnya tendangan Ramang, lebih banyak kiper masuk dengan bola di pelukannya ke dalam gawang. Kiper-kiper yang takabur (yang sempat berkata akan menahan tendangan Ramang), selain rontok ke lapangan, juga berujung ke rumah sakit. Masya Allah. Beberapa narasumber saya menjadi saksi mata ‘tragedi’ penjaga gawang seperti ini.
Kepiawaian lain Ramang adalah tendangan salto. Dua gol yang dia ciptakan untuk kemenangan 2-0 Indonesia atas RR China di Jakarta, salah satu di antaranya lahir dari tendangan salto. Kalau pemain lain, hanya kakinya yang menendang melayang, tetapi Ramang salah satu kakinya yang tidak menendang, ikut ‘mengawal’ kaki yang mendapat tugas mengeksekusi si kulit bundar.
Kehebatan lain, adalah tendangan pojok. Dalam suatu pertandingan di Stadion Mattoanging, Ramang pernah menjadi eksekutor dua tendangan ;pojok. Ketika dia mengambil tugas tendangan pojok di gawang lawan di sebelah utara, bola langsung masuk di ;pojok ujung kiper lawan. Demikian juga ketika melakukan tendangan pojok di bagian selatan. Sama, bolanya masuk di pojok lagi.
‘’Saya melihat, tendangan pisang Ramang itu seperti diperintah,’’ kata salah seorang narassumber saya yang pernah bermain dengan Ramang ketika memperkuat PSAD ke Banjarmasin.
‘’Maksud diperintah seperti apa?,’’ saya yang selalu saja penasaran bertanya balik.
‘’Ya, saya lihat, ketika bola tendangan pojok hendak mencapai pojok gawang terujung, bola seperti menikung patah,’’ kata narasumber yang orang tuanya pernah mencatatkan diri sebagai anggota kesebelasan pada tahun 1920. Dia pun memperlihatkan foto kepada saya.
Rasanya, masih banyak yang luar biasa dari Ramang. Ini mungkin yang agak kontroversial. Salah seorang mantan pelatih PSM nengisahkan kalau dia juga pernah ‘direpotkan’ oleh Ramang. ‘Mesin gol dari Makassar’ ini, kalau mau ‘memakan’ pemain lawan, seluruhnya tidak pernah terlihat dan ‘tercium’ oleh wasit. Yang wasit tahu adalah tiba-tiba salah seorang pemain lawan PSM tumbang di lapangan. Urusan berikutnya, tugas tandu dan rumah sakit.
Salah seorang narasumber saya yang lain mengisahkan, pernah menjadi lawan Ramang dalam suatu pertandingan. Dia bermain sebagai pemain gelandang. Ketika itu usianya 18 tahun.
Suatu waktu Ramang membawa bola. Tentu saja ,dia tidak mau Ramang lewat. Dia ‘tacling’ (maksudnya menggasak). Ramang jatuh.
‘’Eeehh.. anak muda, hati-hati,’’ kata Ramang begitu terbangun.
‘’Saya juga mau jadi pemain bagus,’’ gumam pemain muda itu.
Beberapa saat kemudian, giliran Ramang membawa bola ke arah pemain muda tadi. Bola dikasih tanggung di depan dia dengan Ramang. Dia masuk dan bersamaan pula Ramang layani. Giliran berikutnya, dia tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, selama dua minggu pemain muda itu tidak bisa jongkok kalau mau buang hajat.
Kata banyak narasumber, mestinya Anwar yang mewarisi kemampuan ayahnya. Tetapi hanya satu ciri khas ayahnya yang menitis pada Anwar, tendangannya yang keras. Yang lain, termasuk pake-pake-nya dia tidak warisi. Katanya, cukup berat.
Suatu hari, ketika ayahnya terbaring sakit Anwar pernah dipanggil mendekat. Dia pikir, ayahnya akan menitipkan dan mewariskan ‘sesuatu’.
‘’War, lihat mi Bapak ini.. Jangan ko merokok,’’ hanya itu pesannya. Lain tidak!
Sayang, hingga 23 tahun sepeninggal Ramang, hingga kini kita tidak pernah memiliki Ramang-Ramang baru. ***

Meneliti Monyet Karaenta

Oleh M.Dahlan Abubakar

Jauh-jauh dari Italia sana, Cristina Sagnotti datang ke Sulawesi Selatan untuk meneliti monyet. Sudah empat bulan dia di Indonesia. Tiga bulan di antaranya dia habiskan di Sulawesi Selatan. Di kawasan Taman Nasional Karaenta, Maros, km 56 Makassar-Watampone, dia melakukan penelitian tentang monyet.
Mengapa memilih Sulawesi Selatan dan Indonesia sebagai lokasi penelitian mahasiswa Universitas Torvergata, Italia ini? Jawabannya sederhana dan juga sangat tidak sederhana. Sederhana, karena enam tahun silam dia pernah datang ke Indonesia sebagai turis. Di antara kunjungannya itu, beberapa hari dia manfaatkan waktu plesirnya ke Tana Toraja. Pada masa itu dia merasa sangat enjoy berada di Indonesia. Yang tidak sederhana adalah, Sulawesi memiliki sedikitnya 7 jenis monyet endemik yang berada di satu pulau (Sulawesi) dan tidak ditemukan di tempat lain mana pun di jagat ini. Di Sulawesi ini ada kelompok monyet jinak. Itulah. yang dijadikan objek penelitiannya itu berdasarkan arahan pembimbingnya, Monica Carosi, Ph.D.
Setiap subuh, Cristina sudah meluncur ke lokasi penelitiannya di Km 56 Makassar-Watampone, dibonceng sepeda motor. Sebab, setiap pukul 06.00 dia harus sudah berada di habitat monyet Karaenta. Terkadang setiap hari dia lebih dulu hadir di lokasi, tempat dia meneliti sejumlah monyet betina. Dia harus berjalan 3-4 km untuk menjangkau lokasi dia melaksanakan penelitian.
Komunitas monyet yang dia teliti 33 ekor. Tetapi kerap juga yang muncul kurang dari jumlah itu. Yang diteliti adalah perilaku monyet, terutama yang betina. Ada sebelas ekor monyet betina yang dijadikan sampel. Setiap monyet diberi nama. Ada namanya – maaf hanya untuk membedakan saja -- Ramlah, Dina, Novi, Putri, Ayu, Bulan, Titin, Lani (bukan Luna), Caca, Sri, dan Eli, Masalahnya sekarang, sampelnya itu tinggal empat ekor, yakni Novi, Putri, Titin, dan Ramlah. Ramlah memiliki anak, sehingga tidak bisa ;lagi diteliti. Dia lebih sibuk mengurus anaknya. Kemungkinan posisinya diganti Bulan. Mereka yang sudah beranak tidak mau lagi melakukan hubungan biologis.
Monyet Karaenta tidak takut lagi pada orang. Tiap pagi, Cristina bersama ranger (penjaga hutan) – terkadang sampai tiga orang – pagi hari sudah menyediakan jagung untuk makan monyet. Jagung itu disimpan di suatu tempat (Cristina menyebut struktur) dan sebuah tempat yang ada timbangannya untuk mengetahui berat monyet yang diteliti. Sebab mustahil menangkap monyet-monyet itu untuk ditimbang. Di tempat timbangan itu ada jagung, sehingga pada saat dia mengambil jagung, sekalian dia naik di timbangan.
Jika Cristina terlambat tiba di lokasi, sering monyet sudah lebih dulu tiba. Soalnya, dia sudah tahu bakal ada makanan pagi. Ini bakal merepotkan, karena Cristina tidak bisa menempatkan timbangan untuk mengetahui berat mereka.Waktu itu, perempuan Italia itu saban hari membawa jagung. Tetapi kini, mungkin dia akan ubah menjadi dua kali seminggu. Tiap Senin dan Jumat. Tetapi Cristina akan mengubahnya lagi menjadi setiap hari. .Satu dengan timbangan dan satu tanpa timbangan. Ada monyet yang selalu naik ke timbangan, tetapi yang lainnya takut. Dulu, ketika awalnya, ada monyet betina malu naik ke timbangan.
Kalau Cristina lebih dulu tiba, maka dia akan lebih mudah memasang alat bantu penelitian, seperti timbangan dan meninggu dengan kamera. Jika monyet belum ada, para ranger yang akan memanggil dengan siutan. Tak lama, binatang yang disebut-sebut ‘awal asal manusia’ itu akan muncul.
Setelah para monyet itu makan, mereka akan pergi. Cristina kerap mengikuti ke mana mereka pergi. Tujuannya, untuk melihat perilaku binatang tersebut. Melihat dan meneliti monyet yang melakukan suelling (bersenggama) dan berkelompok. Terkadang sampai sejauh 5-6 km dan pukul 18.00 baru dia kembali ke penginapannya di Kompleks Kampus III Unhas di Km 65, kediaman pak Azis. Yang juga diteliti adalah sexual behavior dan ekologi monyet tersebut. Cristina menggunakan alat bantu GPS (Geo Position System) untuk melihat dan memantau monyet-monyet itu.
Setelah dipakai, alat berupa tempat menyimpan jagung dan timbangan disimpan di gua. Keesokan harinya diambil lagi.Pada awalnya, Cristina menghabiskan 1 kg jagung, kini 3 kg. Kalau 1 kg, jika ‘bos’ (monyet jantan yang bertubuh besar) ada, dia makan semua jagung yang disediakan,. Yang lainnya tidak kebagian.
‘’Saya mau kurangi sedikit demi sedikit,’’ kata Cristina yang baru tiga bulan belajar bahasa Indonesia pada Pak Azis, pengelola Kampus III Unhas di Maros itu.

Satu Jam Antri di Ngurah Rai

Oleh M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Pada tanggal 11 Juli 2010 pagi saya terbang nonstop dari Bangkok, Thailand ke Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali. Selama empat jam – tiba pukul 14.45 Wita -- pesawat A330 milik perusahaan penerbangan Thai Airways menawarkan suasana yang sangat nyaman, terutama seat yang lapang.. Tentu sangat berbeda dengan penerbangan domestik Indonesia yang kebanyakan menggunakan pesawat dengan tempat duduk (seat) berlorong satu dan saling berdesakan ketika boarding. Mungkin takut tidak kebagian tempat kabin barang.
Pesawatl jenis A330 itu Thai Airways gunakan juga untuk melayani penerbangan domestic, seperti Bangkok-Chiang Mai (jarak 564 km) dengan lama terbang sekitar 1 jam. Konon kabarnya, Garuda juga baru mau melirik pesawat jenis ini.
Empat hari di Negeri Gajah Putih mengikuti Konferensi Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia dan se-Thailand di Chiang Mai memberi banyak informasi yang menarik buat saya yang sudah dua kali mengunjungi negara itu. Yang pasti, kasus konflik yang didalangi kelompok Kaos Merah (pendukung mantan PM Thailand Taksin Shinawatra) April silam telah membuat perekonomian negara itu terganggu. Khususnya untuk sektor pariwisata.
Hanya ada untungnya sedikit. Thailand menempatkan pariwisata sebagai sumber pendapatan terbesar kedua setelah sektor pertanian. Namun, tetap saja kunjungan wisatawan ke negara itu yang menipis telah memukul industri perhotelan. Hotel-hotel, kata salah seorang pemandu wisata yang mengantar rombongan kami, Juli ini memberikan potongan harga yang sangat gila, antara 50 sampai 70%. Suatu diskon yang tidak akan pernah diperoleh wisatawan sebelum kerusuhan Kaos Merah terjadi.
Kini Thailand berusaha bangkit dari keterpurukan kunjungan wisatawan. Meski belum diperoleh data resmi, menurut Somphorn, pemandu wisata rombongan kami, para turis mulai banyak berkunjung. Yang menarik, pelayanan publik di Bandara Internasional Suvarnabhumi Bangkok terhadap pendatang sangat nyaman. Tentu sangat tidak adil membandingkan Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok yang merupakan bandara ibu kota negara dengan Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar Bali yang terletak di ibu kota provinsi.
Sekadar sebuah catatan perbandingan saja, sebagai bandara ibu kota negara, Suvarnabhumi – khusus pada gerbang keberangkatan dan kedatangan internasional – counter pelayanan keimigrasian dan tiket cukup ‘berlimpah’. Kalau kita melihat banyak dan melimpahnya calon penumpang yang akan terbang, jelas para petugas tersebut akan kewalahan melayani manusia semembludak itu.. Tetapi, karena begitu banyak counter pelayanan, seorang pengatur antrean tidak terlalu kewalahan menghadapi calon penumpang. Setiap orang hanya dilayani tidak cukup satu menit. Bahkan mungkin hanya setengah menit.
Pukul 14.45 saya dan teman-teman mendarat di Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali. Bandara ini merupakan pintu masuk udara internasional demikian banyak wisatawan ke Bali. Sudah bukan rahasia umum, Provinsi Bali mengandalkan perekonomian daerah dari sektor pariwisata. Data tahun 2009 menyebutkan, jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata meningkat, menerobos prediksi yang hanya mematok 1,8 juta orang. Naik menjadi 2,1 juta orang. Hingga lima bulan pertama tahun 2010, jumlah kunjungan wisata sudah mencapai 953.073 orang, meningkat dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 870.029 orang.
Kunjungan wisatawan yang meningkat itu, langsung atau tidak, jelas mempengaruhi pendapatan masyarakat. Sekitar 51% pengaruh sektor wisata ini terhadap pendapatan masyarakat. Pendapatan per kapita masyarakat juga meroket menjadi Rp 36.733.181, gara-gara sektor pariwisata.
Melihat potensi kunjungan wisata dan pengaruhnya terhadap perekonomian maupun pendapatan per kapita, sangatlah ironislah jika kita melihat pelayanan di Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar. Kita dapat membayangkan, bagaimana sebuah bandara internasional dengan jumlah kunjungan wisatawan paling padat di Indonesia hanya membuka tiga counter pelayanan imigrasi.
Penulis dan rombongan penumpang Thai Airways hari itu memerlukan waktu satu jam baru selesai melewati counter imigrasi lantaran terbatasnya gerbang dan petugas yang melayani. Pelayanan satu jam seperti ini mungkin biasa saja mungkin bagi sebuah bandara macam di Denpasar. Namun, yang saya rasa janggal, bagaimana mungkin Bali menggembar-gemburkan dirinya sebagai Pulau Wisata dunia dengan pelayanan di Bandara Ngurah Rai yang demikian payah seperti itu.. Reynald Kasali yang tampil di salah satu layar kaca Senin (12/7) malam juga menyoroti pelayanan di Bandara internasional ini yang tidak terkoordinasi.
Dengan panjang antrean tidak sampai dari 10 m, saya harus menunggu selama 1 jam baru melewati counter. Saya menghitung jumlah orang pada barisan saya tidak lebih dari 30 orang. Itu berarti, petugas imigrasi itu membutuhkan waktu 2 menit untuk melayani seorang penumpang. Padahal, pekerjaan tersebut bisa lebih cepat menjadi satu menit. Apalagi yang diperiksa adalah dokumen bagi warganegara sendiri yang baru pulang dari luar negeri.
‘’Mungkin juga warganegara sendiri berpotensi dan dicurigai menjadi anggota teroris, sehingga diperlukan pemeriksaan yang lama,’’ kata saya kepada salah seorang teman, sekadar membunuh kebosanan menunggu tuntasnya antrean.
Terasa benar bagi warganegara Indonesia yang baru kembali dari luar negeri setelah menikmati pelayanan di Bandara asing dengan pelayanan di negeri sendiri. Pemeriksaan di Bangkok bukan main ketatnya. Segelas air minuman kemasan yang terselip di dalam kue kotak yang tak sempat saya teguk di hotel terpaksa harus ditahan dan dibuang ke tong sampah. Meski saya sangat kecewa dengan perlakuan seperti ini, namun tetap enjoy karena diperlakukan dengan sangat santun dan ramah..
Bagaimana dengan di Indonesia? Tidak usah bertanya. Pengguna jasa yang sudah jatuh bagai ketimpa tangga pula. Sudah segelas air minum seperti itu dicekal, kerap diberi imbalan muka tak bersahabat pula. Terkadang pemeriksaan berlebihan dan terkesan sangat mengada-ada secara diskriminatif. Mereka yang sudah terbiasa beroperasi di daerah bandara seolah memperoleh dispensasi lewat begitu saja di counter imigrasi. Ya, sama dengan yang saya lihat ketika satu jam antre di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Minggu (11/7)..Mungkin pengelola bandara di Indonesia perlu pergi studi banding ke beberapa bandara yang sudah terkenal disiplin, tetapi dengan pelayanan yang tidak membuat bête.
Salah seorang teman seperjalanan saya heran ketika check in di Bandara Chiang Mai dan Bangkok tidak membayar airport tax. Padahal, di setiap bandara di Indonesia pungutan seperti itu merupakan bayaran wajib setiap penumpang pesawat.
‘’Karena di Chiang Mai dan Bangkok tidak ada instansi penguasa bandara yang suka pungut pajak seperti itu,’’ kelakar teman tersebut sembari menyebut nama instansi di Indonesia itu..

Mestinya SBY Belajarlah pada Bush

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Selepas memimpin upacara peringatan HUT TNI pecan lalu, kita dikejutkan oleh keputusan yang tidak lazim seorang presiden. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba-tiba saja membatalkan lawatannya ke Negeri Belanda lantaran ada ancaman penangkapan oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai anggota Republik Maluku Selatan (RMS). Bayangkan, seluruh penumpang sudah ada di pesawat Garuda yang siap menerbangkan mereka belasan jam menuju Negeri Kincir Angin itu. Keputusan Presiden SBY membatalkan kunjungan tersebut mengakibatkan – termasuk para wartawan yang sudah menggadang-gadang menikmati hawa Negeri Belanda – harus gigit jari. Rekaman berita TV yang menggaambarkan para penumpang turun dari pesawat dan berjalan menuju ke gedung Terminal Halim Perdanakusumah Jakarta, menambah ironis pembatalan tersebut.
Saya mengikuti jumpa pers Presiden SBY dilacar kaca dengan saksama. Pembatalan ini – mau tidak mau – berimplikasi pada dua hal. Kesatu, dari sisi positifnya, jelas pemerintah dan bangsa Indonesia tidak dipermalukan di mata dunia akibat ulah sekelompok orang menamakan diri RMS itu. Jika Presiden SBY tidak membatalkan – menurut rekaan saya yang awam ini – boleh jadi citra Presiden SBY akan turun di dunia internasional. SBY paling tidak mau citranya tergerus sedikit pun. Ia konsisten memutuskan membatalkan keberangkatan tersebut.
Kedua, dari sisi negatifnya. Ini jelas banyak. Yang paling pasti, Indonesia seolah-olah mengakui eksistensi RMS, organisasi yang sudah dibubarkan oleh pengadilan tahun 1953 tersebut. Ini jelas menempatkan RMS pada posisi ‘pemenang’. Dia tampil sebagai pemenang, karena berhasil melakukan gertak sambal terhadap seorang presiden dari sebuah negara berpenduduk 220 juta. Jadi, secara tidak langsung, Presiden sendiri telah mengakui keberadaan RMS tersebut.
Dampak lain pembatalan lawatan ini adalah kekecewaan pemerintah Belanda. Bekas penjajah Indonesia 350 tahun itu secara implisit besar kemungkinan menilai Indonesia melecehkan, terutama dalam hal menjaga keselamatan seorang kepala negara sahabat berkunjung ke negeri itu. Mustahil pemerintah tuan rumah membiarkan tamunya diobok-obok oleh separatis macam RMS.
Mestinya, SBY mendengarkan JK. Kata dia, gara-gara pembatalan kunjungan Presiden tersebut secara politis, RMS menjadi terkenal di seluruh dunia.
‘’Isu itu yang perlu dikelola pemerintah,’’ kata Wakil Presiden RI periode 2004-2009 ketika meresmikan satu unit donor darah di sebuah mall di Bekasi, Kamis lalu.
Menurut Kalla yang juga Ketua Umum PMI, pembatalan kunjungan presiden telah menjadi berita besar yang justru menguntungkan RMS. "Dengan berita besar itu nama RMS kembali seperti jadi besar," ujarnya.
Pembatalan itu, imbuh Kalla, menimbulkan akibat positif dan negatif, namun yang perlu adalah bahwa Presiden sebagai simbol negara jangan sampai berurusan dengan pengadilan.
"Pemerintah perlu melakukan berbagai langkah hingga orang bisa melupakan RMS," usul JK.
Menurut ‘Antara’, Presiden Republik Maluku Selatan di pengasingan, John Wattilete, mengatakan keputusan Presiden SBY batal berangkat ke Belanda adalah kemenangan bagi RMS.
"Sebenarnya kami sudah menunggu dia, sehingga bisa berhadapan langsung dan mempertanyakan kekerasan HAM yang dilakukan," katanya kepada sebuah kantor berita asing sebagaimana dikutip ‘Antara’.
"Tapi yang terpenting dari peristiwa ini adalah kemenangan kami."\
Presiden beralasan, ancaman keamanan kunjungan kepala negara adalah hal biasa. Namun dia tidak dapat menerima adanya tuntutan pengadilan internasional yang mencakup penangkapan Presiden RI. Padahal, menurut salah satu situs berita yang saya baca 5 Oktober malam, sebenarnya tidak ada pengadilan mengenai HAM di Indonesia yang dilaksanakan di Negeri Belanda bertepatan dengan lawatan Presiden SBY. Wattilete sendiri mengakui, dia hanya ingin berhadapan langsung dengan Presiden SBY untuk menanyakan masalah HAM di Indonesia, khususnya yang dilakukan di Maluku. Jadi, sebenarnya tidak ada pengadilan seperti itu.
Jika pun Wattilete ingin melakukan unjuk rasa, sudah biasa bagi seorang presiden, tetapi dalam jangka pendek, akan menurunkan citra sang Presiden.
"Kalau sampai digelar pengadilan, (ini) menyangkut harga diri sebagai bangsa," kata Yudhoyono.
Namun, pembatalan lawatan ini dalam jangka panjang akan menimbulkan trauma berkepanjangan bagi pemerintah Indonesia terhadap isu RMS tersebut. Sampai kapan pun, organisasi yang sudah dibubarkan 57 tahun silam tersebut.
Semestinya juga, SBY belajar pada mantan Presiden AS George W.Bush tatkala berkunjung ke Indonesia pada tanggal 20 November 2006. Bagaimana kencang dan derasnya penolakan elemen masyarakat dan LSM atas kunjungan Bush tersebut. Kedatangannya ke Indonesia memunculkan banyak sekali kontroversi yang hampir setiap hari menjadi berita hangat di berbagai media, baik cetak maupun elektroni, meski hanya 5 jam di Bogor.
Waktu yang singkat, tetapi cukup menggencarkan hampir seluruh pelosok daerah di Indonesia. Lebih banyak kontra yang ditimbulkan akibat kedatangan presiden Bush ini.Yang tidak kalah serunya, penolakan berbagai elemen masyarakat itu justru melibatkan paranormal, Ki Gendeng Pamungkas. Termasuk salah seorang yang bertugas manyantet Presiden Bush saat ke Indonesia.
Namun ada yang menyebutkan, Ki Gendeng Pamungkas mengaku menerima 10.000 dolar AS (sekitar Rp 90-an juta) dari utusan Presiden AS George W Bush sebagai kompensasi pembatalan santet terhadap Bush. Pemberian uang itu dilakukan di sebuah restoran di Bogor, Jumat (17/11) atau tiga hari sebelum kedatangan Bush ke Indonesia.
"Saya bertemu dengan enam orang. Mereka adalah paranormalnya Bush," ujar Gendeng. Dalam pertemuan itu, ujar Gendeng, seperti dilansir salah satu situs, mereka mengatakan, Amerika Serikat memang negara yang sudah maju, tetapi mereka memahami keberadaan dunia klenik terutama santet (vodoo). Oleh karena itu, salah seorang dari mereka yang menjadi juru bicara meminta agar Gendeng membatalkan niatnya untuk menyantet Bush.
"Pokoknya saya diminta agar tidak jadi menyantet Bush," ujar Gendeng
Menurut Gendeng, Presiden AS itu separuh percaya dan separuh tidak. "Kata orang yang menemui saya itu, Bush bergetar karena vodoo saya. Karena yang saya lakukan adalah bukan ritual santet Indonesia tapi vodoo asal Haiti. Vodoo mengandung darah ular hitam, burung gagak, dan campuran darah saya. Ada juga bantuan teman saya di kamar mayat, jadi ada darah korban bunuh diri, darah korban kecelakaan," ujarnya.
‘’Saya juga tetap melakukan ritual agar pada saat Bush datang disambut dengan hujan dan petir. Ternyata itu terbukti," katanya.
Setelah pembicaraan alot, akhirnya kedua belah pihak sepakat kalau santet (vodoo) dibatalkan.
"Sebagai imbalannya saya diberi 10.000 dolar AS ditambah pemberian dari pejabat tinggi Indonesia. otalnya ada Rp 100-an juta lebihlah," tambah Gendeng sambil tertawa ngakak.
. Justru yang beredar luas pasca kunjungan Bush itu, Ki Gendeng Pamungkas kewalahan melawan beberapa paranormal Yahudi yang menyertai George W.Bush. Tetapi bekas Presiden AS itu pintar.Ketika turun dari kendaraan yang membawanya dari Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta, dia tidak turun dari mobil sebagaimana biasanya, tetapi justru melakukan lompat kodok. Mungkin juga atas nasihat paranormal Yahudi yang mendampinginya. Entahlah.

Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, 9 Oktober 2010

Jumat, 10 September 2010

Lailatul Qadar

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Pada tahun 1996, saya menunaikan ibadah umrah, setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1992. Bersama Biro Perjalanan Haji dan Umrah Tiga Utama saya dan sejumlah anggota rombongan lainnya sempat menikmati hari-hari terakhir Ramadan di Mekkah dan Madinah Arab Saudi. Rombongan waktu itu cukup banyak. Jika tidak salah sekirtar 40 orang. Pas satu bus lebih sedikit.
Di antara rombongan – karena Pak Ande Abdul Latief akan menikahkan salah seorang putrinya di Masjidil Haram – sangat lengkap. Ada kiai (di antaranya, Prof.Dr.Halide, Zainuddin MZ, Muhammad Nur Iskandar SQ), para artis (di antaranya Dewi Yull, Dorce Gamalama, Nia Daniati, Henny Sanjaya, Firman Tomtam, dll), Prof.Dr.H.Basri Hasanuddin, M.A., Pak Iqbal Latanro, dan sejumlah wartawan, di antaranya Husain Abdullah, Fahmy Miyala, Aidir Amin dan lain-lain.
Yang menarik,setelah pesawat Garuda Indonesia Boeing 747 take off dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 17.00 WIB, Rakyat Indonesia yang menunaikan ibadah puasa, selalu berbuka dengan berpedoman pada saat tenggelamnya matahari. Rombongan kami terbang ke barat searah dengan pergerakan matahari yang akan kembali ke peraduannya. Kapan matahari hilang dari angkasa.
Para anggota rombongan mulai gelisah. Para kiai pun jadi sasaran dan serbuan pertanyaan penumpang yang menjalankan ibadah puasa. Kapan baru berbuka puasa jika berpatokan pada terbenamnya matahari. Wong mataharinya tidak lenyap-lenyap. Lewat jendela, saya menyaksikan matahari masih bersinar terang ketika pesawat diperkirakan sudah meninggal wilayah udara Indonesia (berdasarkan lama terbang). Para kiai juga bingung menjawab pertanyaan para penumpang. Akhirnya disepakati berbuka puasa berpatokan pada perhitungan waktu (jam). Kemungkinan besar, kami berbuka puasa tepat di sebelah timur Srilanka.
Tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah menggunakan kendaraan bus kami langsung menuju Madinah. Pagi hari pertama di Madinah, kami melaksanakan ziarah. Yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika di aya mencoba berpose dengan latar belakang masjid yang menjadi kiblat pertama salat umat Muslim tersebut. Lagi asyik berhaya, tiba-tiba Nia Daniati berlari dari belakang dan mepet sama saya (waktu itu, Nia Daniati sudah cerai dengan suaminya yang dari Brunei Darussalam, he..he..). Saya enjoy saja lagi, meski puasa saya mungkin ‘terusik’.
Di pasar Kurma, saya jadi deg-degan lagi. Pasar ini memang tidak pernah saya tandangi ketika menunaikan ibadah haji tahun 1992. Hanya beberapa orang saja yang turun dari bus. Seingat saya, beberapa orang artis juga turun. Yang membuat saya sedikit tak enak, begitu masuk ke pasar kurma, tiba-tiba saja Henny Sonjaya menggandeng saya.
‘’Hen.. ini Tanah Arab. Haram laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bergandengan tangan,’’ protes saya sama Henny.
‘’Mas, daripada saya digaet dan digandeng Arab……,,’’ tangkis Henny yang membuat saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya tidak – maaf – enjoy digandeng artis hitam manis tersebut soalnya di Tanah Arab dan dalam bulan Ramadan lagi . Yang membuat saya tidak enak, ada atasan saya (Prof.Basri Hasanuddin) di atas bus. Nanti beliau bilang apa dengan kelakuan bawahannya (saya Kepala Humas waktu itu dan sampai sekarang juga).
Tidak lengkap jika tidak mengisahkan acara buka puasa di Masjid Nabawi. Sudah banyak diketaui orang (yang pernah Ramadan di Madinah dan Mekkah), berbuka puasa di kedua kota suci ini sangat mengesankan. Nikmatnya luar biasa, meski tanpa nasi seperti kebiasaan orang Indonesia.
Ketika para jamaah mendekati Masjid Nabawi, sudah ada sejumlah orang yang menadah jamaah dan mengarahkannya ke kaplingnya masing-masing. Kebanyakan mereka ini adalah temus (tenaga musiman) dari Indonesia juga. Mereka inilah yang mengarahkan jamaah-jamaah yang datang agar memenuhi kapling (tikar) yang mereka sediakan. Saya memperhatikan, tiba di dalam masjid, malah jamaah yang sudah diarahkan tadi justru direbut lagi oleh penjemput yang di dalam masjid hingga satu kapling penuh.
Berbuka puasa di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram menggunakan korma yang setengah matang (warna kuning) plus the Arab atau air zamzam. Juga ada sekefrat roti. Hidangan itu sudah ada di depan tempat duduk masing-masing jamaah. Setiap orang tidak perlu mengintervensi bagian orang lain, sebab untuk dia sendiri lebih dari cukup. Korma setengah matang ditempatkan digelas-gelas plastik kerap tidak habis disikat, karena keburu azan. Berbuka dengan bahan seperti ini mampu menahan perut beberapa jam, sebelum makanan pokok nasi menyusul.
Yang hebat, begitu acara buka puasa selesai diikuti suara azan, kontan tikar-tikar plastik berikut isinya diangkat dalam sekejap. Tidak ada bekas makanan yang tertinggal. Sangat praktis, efektif, dan bersih. Kalau kita di Indonesia harus minta campur tangan sapu ijuk segala
Memasuki Mekkah kami beruntung dapat berbuka di luar kota Mekkah. Mengapa saya katakan beruntung, karena dapat menyaksikan lenyapnya matahari dan cerahnya angkasa di tanah Arab menjelang dan saat magrib. Saya berpikir, para pegawai Sara’ Arab Saudi memang lebih mudah menyaksikan awal bulan ketimbang di Indonesia. Mereka cukup keluar saja dari kota Mekkah untuk meneropong angkasa guna memastikan bulan baru muncul. Kalau di Indonesia, harus naik gunung dan bukit, mencari daerah ketinggian untuk mengeker bulan. Untung-untung kalau cerah, tetapi Indonesia sebagai wilayah tropis yang terbagi oleh dua musim (hujan dan kemarau), kendala awan lebih banyak ditemui.
Sopir & Lailatul Qadar
Prosesi pernikahan putri Pak Ande berlangsung di salah satu sayap Masjidil Haram pada pagi hari. Pada malam Lebaran selepas salat Isya, kami menumpang satu bus jalan-jalan ke Jeddah (jaraknya sekitar 75 km dan ditempuh sekitar satu jam lebih sedikit, karena kendaraan bergerak dalam kecepatan tinggi). Di Mekkah tidak ada orang takbir keliling macam di Indonesia. Takbiratul ihram hanya terdengar menggema di dalam Masjidil Haram dan melalui pengeras suara di menara-menaranya. Suasana jalan kota biasa-biasa saja (pada waktu itu, sebelum terjadi pembangunan Kota Mekkah seperti sekarang ini, sesuai yang saya baca dan lihat di media).
Dalam perjalanan pulang dari Jeddah, seorang teman membuat usil dengan mengusik sopir bus yang kebetulan (dari warna kulit dan posturnya) tampaknya berasal dari Afrika..Di tengah suara takbiratul ihram tanpa henti di atas bus, teman itu, keluarga Pak Ande yang kebetulan tinggal di Surabaya, menyalakan sinar laser malalui pointer ( yang biasa dipakai saat membawakan presentasi). Cahaya merah yang bergerak liar tepat jatuh di depan sopir. Awal-awalnya sopir tak memberi respon. Lama kelamaan, mungkin dia berpikir ada cahaya aneh, akhirnya terdengar suaranya merespons cahaya merah yang bergerak liar terse but.
‘’Allah Akbar..Allah Akbar, Lailatul Qadar…Lailatul Qadar…,’’ pekiknya sembari mengemudi mobil dalam kecepatan tinggi.
Para penumpang bus, termasuk saya, tidak pernah tahu penyebab sopir meneriakkan kata-kata itu. Bahkan saya sendiri menganggap biasa saja, karena kami memang sedang dalam takbiratul ihram bareng. Nanti setelah turun dari bus baru ketahuan, kalau salah seorang teman telah mengerjai si Afrika itu. Ada-ada saja.

Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, 8 September 2010.

Takbiran On the Road Mekah-Jeddah

Oleh M,Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Lebaran menjelang. Pikiran saya terkenang jauh-jauh puluhan tahun silam di kampung halaman. Tatkala masih kecil, pada ujung-ujung tahun 50-an dan awal 60-an menikmati Lebaran di kampung. Juga terkenang sekitar 14 tahun silam, saat sempat berlebaran di tanah asalnya Islam diturunkan Allah Swt, sebagai agama, Arab Saudi. Apa beda berlebaran di kedua tempat itu? Jelas ada.
Dalam penentuan saat Lebaran, di kampung masih menggunakan komunikasi konvensional. Mendengar berita melalui radio. Macam di kampung saya, desa yang paling ujung di Kabupaten Bima, radio pada masa itu adalah barang yang superluks. Tidak banyak yang memilikinya. Bahkan, betul-betul bisa dihitung dengan jari. Setelah kakek saya yang pulang dari menunaikan ibadah haji tahun 1957 – dan almarhum selalu bangga bercerita kepada saya perihal kapal yang ditumpanginya transit di Pelabuhan Makassar dan memberinya kesempatan jalan-jalan di pasar Butung – hanya ada seorang yang punya radio, yakni pejabat gelarang (kepala desa) di desa tetangga.
Jika hendak mengetahui kepastian waktu Lebaran, seorang bilal (robo, dalam bahasa daerah Bima) malam selepas salat isya ke desa tetangga untuk nguping berita radio atau pengumuman pemerintah. Meski robo ini tidak dapat berbahasa Indonesia, namun dia dapat menangkap makna apa yang didengar di radio. Lagi pula, orang-orang yang ikut mendengar bersama dia tokh akan memberitahu kalau Lebaran jadi atau tidak dilaksanakan keesokan harinya.
Tanda Lebaran keesokan harinya adalah ketika robo kembali ke kampung dan serta merta memukul beduk bertalu-talu. Jika robo sudah mulai memukul beduk, maka kami – anak-anak kecil – akan ramai-ramai pergi memukul beduk hingga lewat tengah malam. Rumah saya berdampingan dengan masjid. Letak beduknya sekitar 50 meter saja dari rumah. Kalau terdengar pukulan beduk membangunkan orang memasak sahur, cukup kencang juga suaranya. Jadi, tidak pernah kepagian. Begitu pun saat menjelang Lebaran. Pada malam menjelang Lebaran pun tak terdengar gema takbir, karena pengumuman saat Lebaran justru diketahui menjelang tengah malam. Sekarang enak, sudah ada dan banyak TV.
Dulu, kalau Lebaran di kampung saya tidak ada kue dan ketupat segala. Pada pagi hari orang kampung saya makan normal saja. (Kecuali di kota dan akhir-akhir ini mungkin). Ya kadang-kadang ada juga kue ala kadarnya. Namun yang menarik adalah ketika selesai salat Ied di masjid. Di sepanjang jalan keluar ke jalan raya –kiri, kanan—penuh dengan jejeran para ibu (waktu itu wanita tidak ikut salat Ied, karena masjidnya kecil). Mereka akan menjabati tangan seluruh jamaat yang melintas di depannya. Inilah cara orang-orang kampung saya meminta maaf kepada sesama, meskipun mungkin saat memasuki Ramadan mereka ada yang saling mengunjungi untuk melakukan hal yang sama menjelang berpuasa.
Kalau orang dewasa saling minta maaf, lain pula kami, anak-anak kecil. Ada saja di antara tokoh informal kampung yang membuang uang receh ke udara dan membiarkan anak-anak memperebutkannya. Saya selalu kalah dalam memperebutkan uang receh itu, sehingga memilih minta saja pada ayah yang kebetulan termasuk yang suka melempar uang receh itu. Setelah itu, tidak ada prosesi menyemarakkan Lebaran lagi. Masyarakat kembali ke kehidupan seperti sebelum Ramadan. Ke sawah membawa bekal dan sebagainya.

Tanpa Takbir di Arab

Tahun 1996 saya menunaikan ibadah umrah. Waktu itu rombongan cukup ramai. Di dalam rombongan nyaris lengkap dengan personel dari berbagai latar belakang profesi. Ada kiai, artis, wartawan, birokrat, pengusaha, dan pejabat. Kalau soal berpuasa di Arab, tentu sudah banyak ditulis orang. Mungkin malam Lebaran saja yang sedikit dikisahkan jamaah umrah. Kalau pun ada, hanya untuk konsumsi sendiri. Tidak dalam bentuk dimasukkan ke domain publik, seperti media cetak. Namun sekarang dengan adanya ruang citizen reporter yang disediakan Tribun Timur, kita dapat mengetahui suasana Ramadan di Mekah dan Madinah dari sisi jamaah asal Sulawesi Selatan.
Gema takbir dan tahmid di Mekah – khususnya ketika saya berada`di kota itu – hanya terdengar di dalam masjid dan melalui menara-menara Masjidil Haram. Rombongan kami menggunakan satu bis khusus jalan-jalan ke Jeddah sambil melantunkan takbir dan tahmid. Mungkin juga Arab-Arab yang ada di took-toko pinggir jalan kaget, heran, dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang melaksanakan takbiran on the road itu. Kita hanya jalan-jalan saja, sembari menanti keesokan harinya, saat salah seorang putri Pak Ande Abdul Latif dinikahkan di salah satu sayap Masjidil Haram.
Kembali dari Jeddah, ada seorang teman bikin ulah. Seorang lelaki, keluarga Pak Ande yang tinggal di Surabaya. Saya lupa namanya. Dia membawa sebuah pointer, pen laser yang biasa digunakan untuk menyampaikan presentasi dalam suatu pertemuan. Ketika itu, saya duduk di kursi baris depan. Teman itu mulai menyalakan pointer tersebut dan sinar merahnya dipantulkan di depan sopir yang kebetulan berasal dari Afrika. Saya tahu asal kampungnya, karena melihat warna kulitnya.
Beberapa saat, si sopir tak peduli dengan sinar laser tersebut. Lama-lama akhirnya dia merespons juga. Mungkin dia pikir, pasti sinar ini sesuatu yang luar biasa.
‘’Allah Akbar, Allah Akbar, Lailatul Qadar, Lailatul Qadar…,’’ terdengar suaranya beberapa kali saat bus yang dia kemudi melintas di jalan bebas hambatan antara Jeddah-Mekah yang berjarak sekitar 75 km.
Begitu tiba di hotel di Mekah, teman yang mengerjai si sopir tadi tertawa.
‘’Saya kasih Lailatul Qadar ke sopir,.’’ tukasnya sembari terkekeh.

Kamis, 12 Agustus 2010

Presiden Tak Tinggal di Istana, Mengapa?

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

‘’Memang dari para pegawai senior istana, tukang kebun yang telah puluhan tahun bekerja, dan dari cerita beredar dari mulut ke telinga-telinga, saya mendapat gembaran adanya hal-hal serem yang sulit dinalar dengan logika. Sebagai yang tidak dikaruniai bisa melihat hal-hal yang tidak kasatmata di Istana, saya tenang saja.
Bahkan, ketika pegawai senior istana beberapa kali bercerita tentang kerapnya ada suara-suara orang berpesta di Istana Merdeka saat menjelang tengah malam tiba, saya hanya mendengarkan. Beberapa teman saya merinding bulu tangannya, tapi saya tenang saja. Maaf, mungkin saya tidak peka.
Seringnya ada suara-suara orang berpesta di Istana Merdeka saat menjelang tengah malam tiba dikatakan oleh pegawai senior istana sebagai salah satu sebab kenapa Pak Beye (Susilo Bambang Yudhoyono) dan keluarga tidak lagi tinggal di sana.
…. Pada awal pemerintahannya yang pertama, Pak Beye dan keluarga tinggal di Istana Merdeka. Tidak setiap hari sepanjang minggu memang karena Pak Beye dan keluarga punya rumah di Cikeas sana yang harus didatangi setiap akhir pekan tiba.
Nah, dengan alasan renovasi lantaran kayu penyangga atap Istana Merdeka dimakan rayap, Pak Beye dan keluarga pindah ke Istana Negara, setelah 1,5 tahun meninggalkan Istana Merdeka’’.
Beberapa alinea kisah di atas inilah yang terungkap di dalam buku ‘’Pak Beye dan istananya’’, salah satu Tetralogi sisi lain SBY yang ditulis oleh Wisnu Nugroho, wartawan Kompas yang selama periode I SBY (dengan JK) meliput kegiatan Istana.
Kisah di dalam buku ini rata-rata menarik, yang menurut Pepih Nugraha – sang editor – tidak termasuk dalam berita penting jika dibandingkan informasi kelas hardnews lainnya. Seluruh isi buku setebal 256 halaman ini pernah dimuat di social blog Kompasiana yang dikembangkan megaportal Kompas.com.
Saya sengaja mengutip penggalan kisah di atas, karena beberapa waktu yang lalu pernah muncul wacana kritis terhadap seringnya iring-iringan kendaraan Presiden SBY memacetkan arus lalulintas kota Jakarta dalam perjalanan dari Cikeas ke Istana Merdeka. Pertanyaan yang muncul kala itu adalah mengapa Presiden tidak tinggal saja di istana biar iring-iringan kendaraan yang ditumpanginya tidak memacetkan lalu lintas kota Jakarta yang macetnya tidak ketulungan itu.
Adakah kaitan kisah serem di Istana Merdeka dan istana Negara itu membuat keluarga Presiden SBY tidak betah tinggal di istana dan lebih memilih tinggal di rumah pribadinya di Cikeas? Jawabannya, boleh ya dan boleh tidak.
Dalam sejarahnya, presiden yang pernah tinggal di Istana antara lain Soekarno, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri. Soeharto lebih banyak tinggal di Jl.Cendana, kediaman pribadinya. Hanya saja, tidak pernah terdengar keluhan akan kemacetan jalan ketika setiap saat Soeharto ke Istana dibandingkan pada masa pemerintahan SBY. Kondisi paling krusial yang pernah terjadi beberapa waktu silam, lantaran iringan kendaraan rombongan orang nomor satu Indonesia itu pernah menimbulkan kecelakaan beruntun di jalan tol.
Wacana presiden harus tinggal di istana tersebut kini bagaikan angin lalu saja. Lewat begitu saja, saat muncul isu dan berita baru yang lebih heboh. Berita dan informasi di republik ini bagaikan di-remote control saja. Tergantung siapa yang memenejnya.
Kembali ke karya Wisnu Nugroho ini, memuat 62 kisah untold stories catatan langsung seorang wartawan yang menghabiskan lima tahun tugas jurnalistiknya di wilayah yang tidak semua orang dapat memperoleh akses. Inu, demikian pria kelahiran Jakarta 6 Mei 1976 dan menjadi wartawan Kompas tahun 2001 ini, mampu memotret informasi yang tidak biasa tetapi menjadi informasi dan pengetahuan yang luar biasa bagi pembaca. Saya pun baru tahu kalau pada masa pemerintahan SBY, mobil merek Kijang tidak boleh masuk Istana, meski ada pejabat negara yang bermobil dinas merek itu.
Buku ini menginformasikan kepada kita – pembaca buku ini – informasi-informasi ringan menarik yang sangat berguna bagi mengetahui keadaan isi dalam istana presiden yang dibangun tahun 1879 tersebut. Informasi yang selama ini belum pernah terungkap sama sekali ke publik secara terbuka. Apalagi melalui jejaring sosial dan kemudian berubah menjadi sebuah buku.
Dari 62 kisah tersebut, Inu membaginya ke dalam enam bab. Bab 1 bertajuk ‘’Tunggangan Istana’’ memuat 15 kisah. Semuanya berkisar segala jenis merek kendaraan yang berkaitan dengan orang (di) dan istana.
Bab 2 ‘Orang Penting’ berisi 11 kisah, tuturan mengenai mereka yang masuk dalam kategori penting. Orang penting di sini termasuk ‘Puan-Puan’ .
Bab 3 Orang Terlupakan’ bertutur 7 kisah mereka yang bertugas di istana dan tidak atau kurang terinformasikan. Mereka yang bekerja dengan oenuh dedikasi dan tanpa pamrih demi kesakralan istana presiden.
Bab 4 ‘Antara Penting dan Genting’ dengan 12 kisah, bersoal mengenai masalah yang penting dan genting. Termasuk yang genting adalah ‘Teror di Bawah Pohon Bodhi’ dan ‘’Dilarang Telanjang di Istana’.
Bab 5 ‘Pernak-Pernik Pak Beye’, 8 kisah yang berkalam mengenai selera sang penghuninya. Mulai dari soal Soto Ayam, batik, HP, lapangan golf, hingga anjing dan Superpuma yang ‘berjaga-jaga’ di Istana.
Bab 6 ‘Istana Punya Cerita’, 9 kisah seputar isi istana. Macam-macam ceritanya. Mulai yang ganjil, kekayaan istana, patung tanpa busana, hingga yang serem di Istana.
Bab ini mungkin dapat menjawab pertanyaan, mengapa keluarga SBY tak betah tinggal di istana. Mau tahu penyebabnya, silakan baca.
Di Gramedia Mall Ratu Indah, buku ‘Pak Beye dan istananya’ pernah dikembalikan ke penyalurnya, karena dinilai tidak menarik. Namun begitu salah satu TV swasta menayangkan hasil wawancara dengan sang penulis beberapa hari lalu, permintaan akan buku ini mengalir deras. Saya perlu meng-indent untuk memperoleh lagi 5 eksemplar buku yang sudah saya tamati tanggal 25 Juli 2010 itu. Selamat membaca!

Ramadan di Kampung

Oleh M,Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Dalam kehidupan beragama Islam di Indonesia ada dua hal yang selalu menimbulkan kontroversi. Pertama adalah pada saat penetapan awal Ramadan. Kedua, ketika menetapkan hari raya Idul Fitri. Dalam hal penetapan hari raya Idul Adha sering sama, karena mengacu – kepada – sehari setelah ibadah wukuf di Padang Arafah, Mekkah.
Kontroversi ini kerap menimbulkan pertanyaan Kapan awal Ramadan menurut versi ini dan menurut versi itu. Yang lazim dikenal adalah menurut versi Muhammadiyah, menurut versi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga sekaligus menurut versi pemerintah. Di Sulawesi Selatan malah ada menurut versi kelompok An Natsir di Kabupaten Gowa yang untuk Ramadan 1431 ini sudah mengawali Ramadan sejak Senin atau Selasa. NU pada tahun 2010 malah menerjunkan pengamatan pada 90 titik di seluruh Indonesia dengan 120 tenaga rukyah.
Tatkala menjelang akhir bulan Syakban, para ulama dan petinggi agama Islam di Indonesia mulai sibuk melakukan berbagai penelitian dan pengamatan untuk menentukan awal Ramadan. Yang galib dilakukan, untuk dapat memastikan hilal (awal Ramadan) terdapat dua hal yang dapat dikaji, yakni apa tanda masuknya awal bulan Qamariah dan bagaimana menentukan awal bulan tersebut.
Tanda menentukan bulan Qamariah bisa diketahui melalui munculnya bulan sabit di ufuk barat, begitu pula berakhirnya, ditandai adanya bulan sabit baru yang juga berarti tanda awal bulan selanjutnya (Ramadan).
Sudah tentu dalam menentukan awal bulan tersebut kita mengacu kepada petunjuk Rasulullah yang terkait dengan penetapan awal Ramadan dengan memilih salah satu dari tiga alternatif, yakni: (1) Ruyatul Hilal (melihat bulan sabit); (2) menyempurnakan bilangan hari bulan Syakban; dan (3) memperkirakan bulan sabit.
Para pihak yang memiliki kompetensi menentukan awal Ramadan di Indonesia memilih salah satu dari ketiga alternatif tersebut. Kerap memang berbeda, karena alternatif yang dipilih memang tidak sama.
Terlepas dari semua penentuan itu, pelaksanaan ibadah puasa Ramadan harus mengacu kepada hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, yang berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits lain diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menyebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ketiga, menyebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :“Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’i) (sumber google.com).
Indonesia yang memiliki pembagian tiga waktu sebenarnya dapat memilih alternatif satu, yakni melihat bulan sabit di wilayah Indonesia Timur yang lebih dulu dua jam dibandingkan waktu Indonesia Bagian Barat. Proses peenyaksian mereka di wilayah Papua misalnya akan menjadi acuan kuat bagi pemilihan alernatif pertama dengan membandingkan pada hasil pengamatan pada dua wilayah lainnya (Tengah, Makassar) dan Barat (Aceh)..
Yang selalu menjadi pertanyaan saya mengapa orang di Arab Saudi sering lebih dulu sehari menunaikan ibadah puasa atau melaksanakan salat Idul Fitri ketimbang Indonesia yang notabene lebih dulu enam jam dibandingkan waktu Arab Saudi. Pada tahun 1996, ketika menunaikan ibadah umrah, saya melaksanakan salat magrib di luar kota Mekkah dan melihat ke angkasa. Tampaknya, orang Arab lebih mudah melihat awal hilal, karena angkasa di wilayah gurun dan bukit batu Arab Saudi itu bebas dari kabut dibandingkan Indonesia yang tropis dan selalu berawan. Apakah Indonesia perlu melakukan pengamatan di Arab?
Awal puasa di kampung
Begitu mendengar TV dan membaca suratkabar perihal penetapan awal Ramadan saban tahun di Makassar, saja selalu terkenang mundur ke akhir 50-an dan awal tahun 60-an, tatkala masih di kampung (Bima) sana. Teringat bagaimana penduduk kampung mencari tahu permulaan puasa. Belum ada televisi dan radio di kampung saya yang terbilang paling ujung di kabupaten. Pada tahun 1957 (saya lahir sebenarnya 1953) satu-satunya radio di kampung adalah milik kakek saya yang pulang dari Tanah Suci setelah berlayar pergi-pulang selama enam bulan menumpang kapal laut. Beliau menumpang kapal Hope dan pernah singgah berlabuh di Pelabuhan Makassar. Kakek juga pernah singgah di Pasar Butung Makassar ketika dalam perjalanan pulang ke Bima. Selembar peta kota Makassar dia pajang di dinding rumah panggung kakek. Ketika masih hidup, beliau selalu menanyakan pasar Butung yang memang letaknya tidak kurang dari 500 m dari bibir dermaga Soekarno-Hatta Makassar setiap saya pulang kampung. Beliau lahir tahun 1901, sama dengan tahun lahir Bung Karno, dan meninggal dalam usia 87 tahunan.
Namun radio milik kakek ini tidak berusia lama. Rusak. Entah apa penyebabnya. Dugaan saya, gara-gara tangan kakek yang selalu ‘sandar’ di tombol pencari gelombang sepanjang siaran berlangsung. Setiap ada gangguan sedikit, pasti tangannya beraksi. Padahal, kakek tuna aksara dan buta bahasa Indonesia. Pekerjaan administratif yang beliau lakukan selama puluhan tahun selaku gelarang (kepala desa sekarang) hanyalah tandatangan saja. Setiap saya melihat kakek membubuhkan tandatangan pada surat yang dibuat wakil gelarang, tidak ubahnya mirip orang melukis. Jadi, untuk menggores satu kali tandatangan, kerap setengah menit diperlukan kakek untuk menyelesaikannya.
Pasca tidak ada radio di kampung, untuk mengetahui permulaan puasa, bilal (robo, bahasa Bima) sudah sangat maklum tugasnya. Pada malam hari menjelang keesokan hari diperkirakan awal puasa Ramadan, sekitar pukul 19.30 dia sudah berjalan dalam gelapnya malam sejauh 1 km ke kampung tetangga.Tidak ada lampu beterai penerang menyertai dia. Lampu senter termasuk barang luks kala itu. Hanya terjangkau oleh kantong orang-orang kota atau pegawai negeri saja. Kebetulan gelarang di kampung tetangga memiliki satu unit pesawat radio merek transistor yang terbuat dari kayu jati. Sama dengan merek dan jenis radio kakek saya.
Bilal akan nguping berjam-jam di rumah gelarang desa tetangga itu bersama warga desa yang lain untuk mengetahui dan hingga ada informasi awal permulaan Ramadan. Jika pada berita pukul 20.00 belum ada siaran yang ditunggu-tunggu, dia akan menanti siaran pukul 21.00 (yang kebanyakan siaran ekonomi pembangunan). Pada pukul 22.00 Wita tidak ada siaran nasional, kecuali dalam beberapa tahun kemudian RRI Nusantara IV Makassar mewartakan siaran Nusantara IV. Biasanya, siaran yang ditunggu-tunggu itu muncul pada pukul 23.00 Wita yang digabung dengan berita olahraga. Mungkin sebelum siaran itu, para petinggi MUI dan Departemen Agama di Jakarta sudah selesai rapat menentukan awal Ramadan.
Kehadiran bilal kembali di kampung malam itu mudah diketahui. Mulai di ujung kampung dia sudah berteriak, mengumumkan awal Ramadan keesokan harinya. Suaranya melengking memecah keheningan malam yang dinginnya mencapai 18 derajat Celsius. Hanya suara jengkrik kampung yang sepi diapit gunung mengiringinya bagaikan bunyi dawai gitar pengiring. Orang-orang di kampung saya jelas sudah puluhan kali mimpi indah. Listrik tidak ada membuat mereka pada ;pukul 20.00 rata-rata sudah pulas. Tidak heran program KB gagal di kampung saya atau mungkin belum ada program pembatasan jumlah anak kala itu. Saya saja (kemudian) bersaudara 10. Beban ayah yang seorang guru sedikit ringan, karena (hingga 1965) tiga putranya meninggal dunia. Jadi tinggal 4 orang pada tahun 1965. Tetapi ayah agaknya merasa perlu ‘’mengisi’’ tiga anggota pasukannya yang meninggal dunia itu lagi agar ganjil menjadi 6 orang hingga tahun 1970.
Khawatir teriakan tidak didengar warga yang tertidur pulas, bilal masih menyimpan cara lain. Dia ke masjid dan memukul beduk berkali-kali dengan irama khas Ramadan. Pukulan yang berbeda dengan saat masuknya waktu salat lima waktu. Pukulan beduk di kampung saya memberi empat isyarat. Pertama, isyarat awal puasa yang dipukul pada saat setelah ada pengumuman resmi pemerintah mengenai permulaan Ramadan. Kedua, isyarat masuknya waktu berbuka. Ketiga, isyarat agar warga bangun memasak sahur. Keempat, tanda akhir Ramadan yang berlanjut hingga menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri.
Pada isyarat terakhir inilah kadang-kadang beduk masjid ‘kewalahan’ menerima hentakan pukulan potongan akar bambu sebesar lengan anak kecil sepanjang 40 cm yang dijadikan pemukul dari warga. Kerap kulit kerbau di bagian beduk yang dipukul itu tercabik-cabik. Anarkis juga.
Tentu saja kisah 40-50 tahun silam di kampung saya itu tak ditemukan lagi sekarang. Teknologi informasi sudah merambat ke sana dan juga desa-desa (istilahnya kini) tetangga lainnya. Desa saya tahun 2010 ini – meski termasuk desa tertinggal – berhasil meraih juara II lomba desa tingkat kabupaten. Prestasi yang sedikit lebih baik (dari juara III ) ketika kakek saya menjabat gelarang pada lomba serupa tahun 60-an. Kebetulan juga yang menjabat kepala desa sekarang adalah cucunya (adik saya). Media komunikasi radio dan tv hingga telepon genggam sudah marak dimiliki warga. Ini mungkin termasuk ukuran ‘kemajuan’ desa saya. Awal Ramadan tak perlu lagi dengan ‘membabak-belur’ beduk masjid yang memang sudah tidak ada. Digantikan oleh suara pengeras suara yang lebih informatif dan komunikatif.
Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1431.

Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, 12 Agustus 2010

Sabtu, 31 Juli 2010

In Memoriam Andi Moein MG

Wartawan Tulen itu Telah Tiada

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Sekitar pukul 04.30 Selasa subuh, ponsel saya berbunyi. Saya terbangun. Gerangan berita apa masih sepagi buta begini, gumam saya. Ternyata setelah saya tengok, rekan Gunt Sumedi yang mengirim pesan pendek. Apa gerangan. Tidak mungkin dia minta tulisan untuk mingguannya. Selain, terlalu subuh dan dapat mengganggu kenyenyakan tidur, juga minggu lalu baru saya kirim satu tulisan.
‘’Innalillahi wa inna ilaihidi rajiun’’. Telah meninggal dunia wartawan senior Sulsel Andi Moein MG. Itu kalimat yang saya baca subuh itu.
Kekhawatiran dan keprihatinan saya terhadap senior yang satu ini sudah lama. Saya selalu berharap beliau selalu sehat. Pernah masuk RS Pelamonia beberapa waktu silam, tetapi kembali ke rumahnya. Saya lega, beliau sehat lagi. Namun beberapa hari silam, saya baca di koran, kondisinya kian payah. Keprihatinan saya kian meninggi. Apa pasal?
Tatkala masih sehat dan hadir dalam berbagai acara PWI Sulsel, Pak Moein selalu menyapa saya dengan satu kalimat tanya yang mungkin bagi saya cukup klise.
‘’Kapan bukunya selesai. Jangan-jangan nanti saya sudah tidak ada baru terbut,’’ itulah kalimatnya yang selalu dia alamatkan dan membuat saya selalu gamang.
Mengapa beliau bertanya begitu? Soalnya, saya memang pernah meminta biodatanya untuk menjadi bagian dari buku yang saya tulis. (kini sudah selesai diedit dan dikoreksi dan siap masuk percetakan). Data dan kisahnya memang menarik dan menggambarkan almarhum adalah wartawan tulen. Salah seorang lelaki yang sangat berani memilih profesi wartawan hingga akhir hayatnya. Bayangkan, sebelum beralih menjadi wartawan, dia adalah seorang birokrat yang berurusan dengan masalah keuangan. Yang ketika itu jelas bermandikan duit.

Tiga zaman

Andi Moein MG adalah sosok wartawan tiga zaman. Mengaku mulai menjadi wartawan sejak tahun 1948, Andi Moein, begitu senior yang satu ini karib disapa, mengawalinya dengan ‘mencuri’ kertas stensilan pada kantor Regering Voorlichting Dienst (RVD), kantor Departemen Penerangan NICA. Kantor RVD tersebut kemudian ditempati Kanwil Deppen Sulsel di Jl.Sultan Hasanuddin dan kini berubah lagi menjadi Kantor KONI Sulawesi Selatan.
“Pencurian kertas itu dilakukan atas kerjasama dengan Azis Saleh asal Sinjai yang bekerja di kantor itu. Azis termasuk tenaga infiltran (penyusup) pejuang 45,” kata Andi Moein.
Bermodalkan kertas stensilan itulah dia menerbitkan Mingguan Pelajar Angkatan Muda (PAM) atas prakarsa Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Sinjai (IPPIS) pimpinan A.Abdullah Asapa, ayahanda Rudiyanto Asapa, S.H., Bupati Sinjai sekarang ini. Selain Abdullah, juga ada Drs.H.A.M.Saleh Asapa, mantan Sekda Sinjai.
Jika orang bertanya kepada Andi Moein, mengapa jadi wartawan? Maka, jawabnya pendek.
“Saya cinta kebenaran (Because I love the truth),” kata Moein.
Betapa tidak, pers berfungsi menerangi yang gelap, menegakkan kebenaran dan menumpas yang batil. Dia sadar dan semua kaum wartawan pasti menyadari, fungsi pers dalam era pembangunan ini tidak cukup hanya merupakan cermin yang pasif dari keadaan masyarakatnya dan tidak cukup hanya memberi informasi kepada masyarakat melalui berita-berita yang obyektif. Sebagai kekuatan perjuangan bangsa, pers nasional di era pembanguan lahir dan batin ini harus dapat menjadikan dirinya sebagai kekuatan pembaharu. Kekuatan gerakan reformasi menuju Indonesia baru yang dicita-citakan setiap insan Indonesia. Tak terkecuali insan pers.
“Saat kebenaran mulai redup, di situlah pers harus mulai muncul sebagai obor penerang,” kata Moein.
Pada awal pemulihan kedaulatan RI tahun 1950-an, Moein mengalami kesulitan biaya untuk melanjutkan pendidikan. Perlawanan fisik pejuang 45 di Sulsel rontok total. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan siasat dan gerakan diplomatik. Moein mencoba balik haluan. Ia berupaya menerobos bekerja pada Kas Negara Indonesia Timur yang waktu itu didominasi NICA. Nama lembaga itu dulu adalah Landskas Administratuur Kantoor. Moein mencoba bekerja dengan berbekalkan sedikit kemampuan Bahasa Belanda. Kebetulan pimpinan kantor kas waktu itu adalah seorang Belanda, Tuan Yansen Hoff. Moein diterima bekerja dengan jabatan sebagai ajunt klerk. Gajinya, F (Florin) 125, uang Belanda, per bulan.
“Saya hidup berkecukupan. Kebetulan Sekolah Menengah Tinggi (SMT, sekarang SMU Sawerigading), tempat saya belajar jam belajarnya diubah pukul 14.30, sementara saya pulang kerja pukul 14.00. Jadi, saya langsung ke sekolah,” kenang Moein.
Meski nyaris tidak ada waktu istirahat, Moein tak pernah lelah. Rasa capek tidak terasa, karena masih remaja dan penuh semangat juang. Dia memilih sekolah ini, karena tidak masuk dalam binaan Belanda. Dia non-NICA.
Setelah enam bulan bekerja, Moein dikirim tugas belajar ke Semarang. Bidang yang dipelajarinya adalah administrasi keuangan. Lantaran Moein tidak senang dengan urusan mengatur administrasi keuangan, akhirnya dia melarikan diri. Sekaligus berhenti bekerja pada Kantor Administrasi Keuangan Negara Indonesia Timur itu.
“Andaikata saya terus bekerja sebagai pegawai negeri, tentu saja sudah jadi pejabat ahli keuangan. Kini sudah dapat pensiun. Lumayan,” kata Moein sembari tertawa.
Jeritan hati Moein berkata lain. Ia ingin menyalurkan bakatnya sebagai seorang jurnalis. Batinnya terus bergolak. Akhirnya, dunia jurnalistik menjadi pilihan hidupnya. Bekerja pada sektor lain, ia rasakan hampa. Terasa hati ini sepi. Kesepian selalu mengisi rongga dadanya.
Karier jurnalistik pun dia mulai tapaki bersama kawan-kawannya di kalangan pemuda pelajar pejuang 45. Negara Indonesia Timur (NIT) kemudian dibubarkan dan bergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Salah seorang Perdana Menteri merangkap Menteri Perekonomian NIT waktu itu adalah Nadjamuddin Daeng Malewa, yang pada tahun 1944 pernah menjabat Wali Kota Makassar I. Bersamaan dengan itu, lahir pula pers. Napasnya pun mengikuti alur irama perjuangan. Makanya, disebutlah pers Indonesia sebagai Pers Perjuangan.
“Tragedi terbesar bagi hidup seseorang adalah jika dia tidak tahu pekerjaan apa yang cocok bagi dirinya dan bakatnya,” begitu Moein berprinsip.
Dia sadar, Jurnalistik adalah dunianya. Sejak semula dia menyadari menjadi wartawan adalah harus terus belajar. Dia harus terus membaca segala hal. Seorang wartawan adalah sosok generalis. Harus tahu semua masalah, meski hanya sedikit. Ada juga wartawan yang tahu banyak mengenai yang sedikit. Orang mengatakan, keahlian seperti ini disebut pakar.
’’Bagi seorang wartawan, begitu berhenti belajar atau membaca, maka identik dengan bunuh diri. Habislah riwayatnya. He is not a journalist any more. (Ia tidak lagi menjadi seorang wartawan),’’ sebut Moein.
Moein menjadi wartawan lantaran sesuai dengan panggilan hati nurani. Itulah sebabnya dia memilih karier jurnalistik sebagai palangan pengabdian, ketimbang menjadi seorang yang mengurus duit dan ujung-ujungnya berlimpah harta. Kalau orang tidak punya prinsip dengan idealismenya, mana mau beralih dari urusan berkutat dengan duit dengan kehidupan yang sarat tantangan sebagai seorang jurnalis.
Lapangan pekerjaan yang ini sangat mengasyikkan. Memang tidak ‘mengenyangkan’ dalam arti tidak menikmati kehidupan material dan glamour atau pun berlimpah kemewahan. Pada sisi lain, pekerjaan sebagai wartawan dipadati rasa bahagia, karena mengabdi untuk kepentingan umum. Mengamalkan tegaknya hak dan menumpas yang batil dalam segala manifestasinya.
Menutu Moein, seperti diungkapkannya dalam Standar Kompetensi Wartawan Suatu Keniscayaan (2006), dia mulai total menggeluti dunia kewartawanan sekitar tahun 1953. Dia mulai berani menabrak dunia yang tampak ’glamour’ ini setelah bermodal pengetahuan jurnalistik yang diperolehnya. Dia pun mencoba melamar ke Harian Tinjauan pimpinan Hasan Usman (almarhum), salah seorang wartawan senior.
Moein pun dengan langkah pasti sembari mengepit sejumlah dokumen yang diperkirakan cukup mendukung keinginannya menjadi wartawan, termasuk dokumen Akademi Wartawan pimpinan Parada Harahap di Jakarta, menghadap Hasan Usman.
’’Yang kami butuhkan bukan sertifikat akademis, melainkan kemampuan berkarier di bidang jurnalistik. Untuk itu, silakan Anda menemui pimpinan SMP Frater Makassar dan lakukan wawancara. Hasil wawancara serahkan kepada saya besok,’’ ujar Hasan Usman selaku Pemimpin Redaksi Harian Tinjauan yang tak urung mengagetkan Moein.
Bermodalkan sedikit bahasa Belanda yang masih dikuasainya – karena sempat belajar di sekolah Belanda –HIS (Hollands Inlands School), Sekolah Bumiputra Belanda – Moein pun mewawancarai Pimpinan SMP Frater yang kebetulan keturunan Belanda.
Usai wawancara, Moein menulis hasil wawancaranya dan menyerahkannya kepada Hasan Usman.
’’Syukur, kita sekarang sudah memperoleh wartawan berpendidikan akademis. Sekarang juga Saudara Moein resmi kami terima bergabung dengan Harian Tinjauan. Saudara kami tugaskan sebagai reporter,’’ sahut Hasan Usman begitu membaca hasil liputan wawancara Moein dengan si Belanda itu, sembari menjabat tangan si reporter baru.
Setelah tiga bulan menjabat reporter, Moein dialihkan di percetakan. Tugasnya, menangani pekerjaan opmaak atau perwajahan koran sekaligus mengoreksi ulang berita yang siap naik cetak.
Enam bulan kemudian, Moein dapat promosi tugas. Ikut meliput perjalanan tur keliling Sulawesi Gubernur Lanto Daeng Pasewang. Lama perjalanan dua pekan, menggunakan kapal Permata milik Pemda Sulawesi. Dengan kapal tersebut, rombongan menelusuri wilayah Sulawesi yang kala itu masih satu provinsi.
Reportase perjalanan Gubernur Sulawesi tersebut Moein serahkan kepada Hasan Usman. Laporan itu dimuat bersambung selama sebulan di Tinjauan.
’’Saya bangga dan kagum pada hasil reportase Anda. Untuk itu, mulai hari ini, Saudara bertugas sebagai redaktur pelaksana (managing editor) Harian Tinjauan. Berarti, saya sudah mengalihkan sebagian tugas-tugas saya pada Saudara Moein yang kini sudah matang dalam karya jurnalistik,’’ kata Hasan Usman dengan bangga.
Almarhum dilahirkan di Bikeru, Sinjai 30 Juni 1931. Ayahnya, H.Andi Mappa Gessa Dg.Situru (almarhum) Arung Bulo-Bulo Barat Kabupaten Sinjai, Sulsel, salah satu kerajaan di Sulsel pada masanya. Mappa Gessa itulah yang melengket erat pada nama MG setelah Andi Moein. Ibunya, H.Andi Syiang, almarhumah.
Moein kecil memasuki pendidikan sekolah Belanda Hollands Inlands School (HIS) hingga kelas 5 sebelum Perang Dunia II tahun 1942. Begitu Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, Moein pun belajar pada Thu Gakko, Sekolah Menengah Jepang tahun 1945. Setahun kemudian dia masuk SMP. Pernah juga masuk SMA Sawerigading, SMT Sawerigading, dan SMT Nasional. Yang disebut terakhir adalah perguruan nasional yang mendidik kader pejuang 45 menjadi kader-kader republikein. Di dalam diri Moein pun mengalir dan tertanam perasaan dan jiwa nasionalisme. Dari hari ke hari dia mencoba memahami ABC-nya politik. Ia memasuki Perguruan Sawerigading karena dia termasuk figur yang tidak mau bekerja sama dengan NICA. Juga tidak mau belajar di sekolah yang dibina Belanda.
Ada kisah menarik dialami Moein pada-masa tahun 40-an, seperti dikisahkan dalam Standar Kompetensi Wartawan Suatu Keniscayaan (2006), buku yang mendahului buku ini (bagian wawancara dengan Pak Moein dilakukan sebelum buku tersebut terbit). Pada suatu malam dia berkunjung ke sebuah rumah di perempatan, persis di ujung Jl.Shyberg Weg ( Jl.Syarief Al Qadri, sekarang). Di rumah mungil ini sering terjadi pertemuan pemuda pejuang 45. Ternyata kemudian, L.E.Manuhua (alm., Pemimpin Umum/Redaksi Harian Pedoman Rakyat) yang ketika itu masih berstatus pemuda belia lagi bujangan. Rupanya, Manuhua bermukim di situ. Di sekitar itu bermukim juga teman-teman Pak Moein seperti tiga bersaudara Abdjam, Doa, dan Muhammad Sulaeman. Ketiga bersaudara kandung ini berasal dari Ternate.
Suatu malam, Moein melihat Manuhua memutar radio kecil yang saat itu disebut brood radio (radio kecil). Suaranya dikecilnya, sehingga hanya dapat didengar jika telinga didekatkan pada radio tersebut. Mengapa suaranya dikecilkan begitu rupa? Ya, karena pada saat itu, Kota Makassar dikuasai NICA (Belanda). Masyarakat dilarang memutar radio untuk mendengarkan siaran RRI Yogyakarta, Ibu kota Republik Indonesia ketika itu. Moein pun tidak mau ketinggalan. Dia mencoba nguping siaran radio tersebut bersama Manuhua untuk mendengar siaran radio Yogyakarta dengan perasaan penuh waspada, karena takut diketahui Belanda. Tampaknya, saat itulah Presiden Soekarno sedang berpidato mengutuk pemberontakan PKI di Madiun. Bung Karno dengan suara lantang berteriak melalui siaran RII dan pemancar Yogyakarta.
Dalam mendiskusikan sesuatu, para pemuda itu biasanya bergabung dengan Hanoch Luhukay, pemuda asal Maluku yang kemudian menjadi dosen Fakultas Sastra Unhas. Luhukay tidak saja dikenal sebagai kutu diskusi, tetapi juga sangat telaten dengan dokumentasi koran. Edisi harian Pedoman Rakyat sejak awal terbit hingga kini, ada di rumahnya.
Enam tahun kemudian (1952), ayah empat anak ( kemudian) menamatkan pendidikan di SMA Bagian Budaya di Malang, Jawa Timur. Dia termasuk pelajar ‘demobilisan – Pelajar pejuang 45. Pada tahun 1953, Moein memasuki Akademi Wartawan Pimpinan Parada Harahap. Setelah itu, berbagai pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan Deppen RI diikutinya.
Pengalaman jurnalistik Andi Moein cukup panjang. Pada tahun 1948 dia bekerja pada Mingguan Angkatan Muda (PAM) di Makassar. Dia juga pernah menjadi Redaktur Mingguan PERINTIS (Majalah Pemuda Pejuang Kemerdekaan di Era Revolusi Fisik 45 di Makassar). Juga ikut membantu Harian Pedoman Rakyat edisi Makassar semasa revolusi fisik. Antara tahun 1954-1959, menjabat Redaktur Harian Tinjauan di Makassar, Redaktur Harian BARA di Makassar (1969-1960), Redaktur SKM Pemandangan di Makassar (1960-1962), Redaktur Harian Mercu Suar di Makassar (1965) bersama dengan Dien Monoarfa dan Djamaluddin Latief (alm.). Pernah juga menjadi Redaktur Pelaksana SKM Orde Baru (1966). Bergabung dengan SKM Orde Baru di Makassar (1968-1970) bersama Rahman Arge, Arsal Alhabsy, Husni Djamaluddin (keduanya almarhum) , dan Drs.Saleh Bustami. Lalu, mendirikan SKM Indonesia Pos bersama Burhanuddin Amin. Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi SKM di Makassar Press ( sejak 5 Oktober 1970- hingga sekarang).
Moein selain menulis di korannya sendiri, juga menulis di Harian Pedoman Rakyat dan penerbitan lokal lainnya. Ia menjadi Pembina beberapa media tabloid dan majalah di Makassar hingga usianya yang memasuki 74 tahun saat ini. Ia pernah memimpin Lembaga Pendidikan Kader Wartawan (1972-1976). Tiap tingkatan pendidikan berlangsung 6 bulan.
Berbagai penghargaan pernah diraih Andi Moein. Sejumlah piagam pendidikan dan penghargaan dari Deppen RI, Piagam Penghargaan Penegak Pers Pancasila dari PWI Pusat yang diserahkan oleh Menteri Penerangan RI, Harmoko, waktu itu. Juga ada Piagam Penghargaan P4 Tingkat Nasional. Piagam Penghargaan ORPADNAS. Piagam Penghargaan dari PWI Sulsel perihal kesetiaan pada profesi kewartawanan. Penghargaan dari SPS Pusat terhadap Pengabdian pada SPS. Penghargaan dari Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Pusat atas jasa menyukseskan Program BKKBN. Piagam Penghargaan (Pemegang Gelar Kehormatan) sebagai Veteran RI dari Menteri Pertahanan RI (NPV.17.062.B79). Memperoleh penghargaan Kebudayaan dari Departemen P dan K Sulawesi Selatan dan penghargaan dari Kodam XIV Hasanuddin bidang Pembinaan Kesenian Budaya di Sulawesi Selatan.
Selain menjadi wartawan, Andi Moein juga aktif dalam berbagai organisasi.
Andi Moein MG selain menulis untuk Suratkabar, juga sudah banyak menulis buku. Beberapa judul telah lahir dari.
Seorang Moein adalah sosok yang selalu peduli. Dia bagaikan penasihat panjang tanpa ujung waktu perihal perlunya mahluk wartawan taat asas. Wartawan harus memiliki etika. Wartawan harus memiliki kompetensi. Wartawan tidak bisa lahir dari pinggir jalan. Tidak bisa lahir lantaran pintar bicara laksana penjual obat di emper-emper toko. Wartawan harus memiliki ilmu. Dia tidak lahir karena hanya ada kemauan tanpa keterampilan. Wartawan adalah sosok intelektual, bukan manusia yang hanya mengandalkan ototnya belaka.
’’Kalau para wartawan ingin disebut sebagai wartawan profesional, salah syaratnya adalah harus mematuhi etika pemberitaan,’’ kata Moein MG.
Tentu saja, secara khusus, masalah etika ini bisa mengacu pada Kode Etik Jurnalistik PWI yang baru yang mulai berlaku efektif 1 Januari 1995.
“Kesimpulannya, saya jadi wartawan, karena panggilan hati nurani. Ini bukan pelarian. Sekali lagi, kerja jurnalistik adalah panggilan hati nurani saya yang paling dalam. Titik!,” kunci Andi Moein MG.*

Senin, 12 Juli 2010

In Memoriam Hj Andi Siti Nurhani Sapada:

Oleh M.Dahlan Abubakar

Tepat pukul 23.00 Wita, Minggu (11/7) saya membuka email. Menengok kalau-kalau ada informasi penting, setelah dua hari saya tidak buka di Chiang Mai dan Bangkok Thailand, 10 dan 11 Juli 2010. Astaga, begitu saya mencoba klik email kiriman Kak Udhin Palisuri yang juga terbagi ke sejumlah teman facebook, saya setengah berteriak menanyakan kepada istri.
‘’Mi, Petta Nani meninggal dunia??????,’’ kata saya yang masih berslimut kaget.
‘’Ya, hari Kamis. Kemungkinan dimakamkan di Barru atau Parepare,’’ katanya lagi. Saya terdiam sejenak. Seperti merasa diri berdosa, karena sehabis dirawat di rumah sakit beberapa bulan silam, saya tidak pernah membesuknya lagi di kediamannya.
‘’Habis, Bapak tidak pernah menelepon, jadi tidak pernah kami memberitahu,’’ imbuh istri saya. Ponsel, memang saya matikan, karena selain tidak memasang/buka roaming internasional, juga sengaja saya matikan.
Saya termeenung sejenak. Mengenang masa-masa silam kebersamaan saya dengan almarhumah. Interaksi saya dengan Hj Andi Siti Nurhani Sapada yang akrab saya sapa Petta Nani, nyaris tidak bersekat. Saya bagaikan anaknya sendiri. Terkadang almarhumah tiba-tiba menelepon ke ponsel saya. Pertanyaan pertama yang muncul setiap menelepon adalah, di mana saya berada. Soalnya, setiap Petta Nani, entah kenapa, saya tepat sedang tidak di Makassar. Terkadang di Jakarta, Papua (antara 2007-2008) dan tempat-tempat lainnya.
Beliau mengenal saya kenal ketika saya aktif-aktifnya sebagai wartawan Pedoman Rakyat. Jika ada kegiatan, saya selalu ditelepon dan diberitahu. Apalagi, almarhumah tahu saya dari Fakultas Sastra dan sedikit memiliki rasa seni.
Pada peringatan Ulang Tahun ke-80 tahun 2009, saya pun hadir di Hotel Losari Metro. Almarhumah dilahirkan 25 Juni 1929 di Parepare. Almarhumah gembira sekali ketika itu. Ada Pak A.Amiruddin,Pak Syahrul Yasin Limpo, dan Pak Idrus A Paturusi. Kebahagiaannya berlimpah lagi karena sejumlah anak, cucu, dan teman semasa gadis remajanya juga hadir. Bahkan sempat bernyanyi bersama. Di antara teman akrabnya adalah Drg.Hj Halimah Daeng Sikati. Pada malam itu, Halimah Dg.Sikati sempat bernostalgia masa remaja mereka, di samping menyumbangkan suaranya secara bersama.
Tidak terbayangkan, peringatan ini terakhir yang ramai dihadiri kerabat handai tolan. Bersyukurlah, Petta Nani masih sempat memperoleh bonus usia 81 tahun. Ketika beberapa bulan lalu, beliau dirawat di RSUP Wahidin Sudirohusodo, sebelum ke kampus, saya menyempatkan diri membesuknya. Saya ajak istri sama-sama menjenguknya. Petta Nani selalu berpesan kepadea saya membawa dan memperkenalkan ‘mantan pacar’ku itu kepadanya. Namun selalu saya katakan, ‘’Ibu agak kerepotan, karena sudah dikuasai oleh sepasang cucunya. Satu menit saja tidak lihat neneknya sehabis pulang kantor, pasti ponsel bersering. Jika terlambat pulang akan diwawancarai, bahkan menjurus ke interogasi’’. Dasar cucunya wartawan.
Saya sempat mencium tangannya. Petta Nani selalu berusaha memperlihatkan dirinya sehat. Beliau bangun duduk dan selalu berkelakar mengenai situasinya yang bagaikan dikerangkeng. Beliau selalu ingin merasa bebas, meski kesehatannya tidak memungkinkan. Begitulah ketika usai seminar di Parepare dan mau turun dari rumah panggung di Suppa, Petta Nani agak kewalahan melangkahkan kakinya. Saya yang sudah merasakan bukan orang lain bagi almarhumah, tak sungkan-sungkan membimbingnya turun dari rumah panggung di pinggir pantai itu.
Sama ketika sehabis menelepon dan meminta saya datang ke rumahnya di bilangan Jl.Hertasning, beliau selalu berusaha menyambut saya duduk di kursi tamunya. Kadang-kadang saya minta almarhumah agar istirahat saja. Namun beliau merasa tidak enak kalau saya duduk melongo sendiri sambil melihat foto-foto yang baru dia bikin.
Perjuangkan Pahlawan
Interaksi saya dengan almarhumah agak sering ketika dalam empat tahun terakhir ini gencar melaksanakan berbagai pertemuan dan seminar membahas kisah perjuangan ayahnya, Datu Suppa Toa Andi Makkasau, seorang pejuang dan perintis kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Almarhumah sangat bersemangat mendorong dan memperjuangkan agar ayahnya memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional. Masalahnya, salah seorang pejuang yang lebih muda dari ayahnya, yakni Andi Abdullah Bau Massepe sudah memperoleh gelar tersebut.
Terkadang, almarhumah mengeluh kepada saya perihal perjuangannya menjadikan ayahnya sebagai salah seorang pahlawan dari daerah ini penuh lika-liku. Saya kerap berpikir, inilah amanah yang akan beliau tinggalkan jika saat meninggal dunia cita-cita dan pejuangannya ini belum tertunaikan.
Perjuangan ayahnya tidak sebanding dengan tokoh pejuang pada masanya. Ia tidak pernah mau menyerahkan diri pada penjajah Belanda. Belanda yang takut massa rakyat akan marah bila mendengar darah keturunan raja dan pemimpin serta tokoh pejuangnya tercurah ke bumi, memilih cara lain untuk menghentikan langkah Datu Suppa Toa memimpin rakyat. Konon beliau diikat dan diberati dengan lesung batu lalu dilempar ke laut. Ditenggelamkan dan tentu saja mati pelan-pelain.
Di lokasi yang diperkirakan sebagai tempat ditenggelamnkannya jasad Datu Suppa Toa hidup-hidup selalu dikunjungi Petta Rani dan keluarga setiap datang ke Parepare. Saya pun pernah menyertai kunjungan Petta Nani ke pinggir laut itu, setelah menghadiri seminar mengenai ayahnya, sebagai persiapan pengusulan almarhum sebagai pahlawan.
Kisah penghilangan nyawa Datu Suppa Toa ini nyaris tidak ada yang tahu. Kalau saja Teluk Parepare itu bias mengamuk bahwa di lubuknya telah tumpah darah dari seorang pejuang, mungkin laut itu akan mengirim tsunami pada masa itu dan membunuh penjajah yang ada di pantai.
Menurut Petta Nani, di Teluk Parepare itulah ayahnya bersama para pejuang lain, Andi Mangkau dan Tahir Daeng Tompo mengakhiri hidupnya secara sangat keji. Mereka harus mengabdikan diri demi perjuangan bangsa tanpa pernah tahu kesalahannya dan diadili.
‘’Saya hanya tahu mereka itu punya cita-cita luhur untuk masa depan bangsanya. Mereka juga turut berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia,’’ tulis Petta Nani dalam bukunya Nuansa Pelangi edisi ke-2 yang tersimpan rapi di perpustakaan pribadi saya.
Memang terasa aneh juga kalau Datu Suppa Toa Andi Makkasau tidak dianugerahi gelar pahlawan nasional. Soalnya, ada ‘adik’-nya yang lebih muda, sudah meraih gelar pahlawan nasional. Dan, saya kira merupakan amanah bagi siapa pun yang merasa terkait – termasuk juga saya dan beberapa teman, antara lain Kak Nunding Ram selaku tim perumus seminar di Parapere itu – memikul beban ini. Tentu saja yang sangat kompetensif adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
Saya tidak pernah menyangka, Petta Rani akan pergi pada saat saya tidak ada di Indonesia. Bulan lalu, mungkin juga bertepatan dengan ulang tahunnya ke-81, saya membongkar-bongkar laci dan menemukan selembar foto dua tokoh senitari kondang Sulawesi Selatan, Ny.Ida Joesoef Madjid dan Ny.Hj. Andir Siti Nurhani Sapada sedang berbincang-bincang di kediaman Rektor Unhas (Radi A.Gany, waktu itu) yang menjamu sastrawan besar W.S.Rendra. Saat itu juga hadir Husni Djamaluddin (alm.). Saya tidak pernah punya firasat apa-apa dengan foto-foto ini.
Selamat jalan Petta Rani, semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Amin ya rabbil alamin.

Selasa, 15 Juni 2010

Ayam Tertawa di Pasar Hobi

Ayam jantan berkokok sudah biasa. Juga bukan barang aneh. Tetapi, ayam ‘tertawa’ baru aneh. Lantaran ada ayam bersuara aneh seperti ini, beberapa waktu yang lalu di Parepare dilaksanakan lomba ayam tertawa. Yang hebat lagi, pada saat para ‘pemenang’ diundang maju dan menempati posisi masing-masing dengan predikat juara yang diraihnya, ayam-ayam itu kompak juga memperdengarkan ‘tertawa’-nya yang berkepanjangan.
‘’Kalau yang juara itu, harganya tidak main-main, Pak. Bisa mencapai Rp 15 juta per ekor,’’ kata salah seorang penjual ayam tertawa di Pasar Hobi. Toddopuli, Makassar, ketika dikerumuni belasan mahasiswa peserta English Journalism dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sabtu (12/6) siang.
Kedatangan mahasiswa yang saya pimpin itu, sengaja untuk mengetahui perihal ayam tertawa itu. Menurut sang penjual, ayam yang tertawanya berdurasi sampai 30-60 detik harganya sangat mahal. Kalau pendek, harganya berkisar Rp 1 juta. Ayam sejenis ini ternyata berasal dari Sidrap. Untuk menciptakan ayam yang kelak dapat ‘ngakak’ tidak ada perlakuan khusus. Makanannya biasa saja, seperti yang dijual di pasar-pasar hobi seperti ini.
Dalam kunjungan itu, dua orang mahasiswa juga ‘mewawancarai’ seekor ayam jantan yang juga dikenal ‘suka tertawa’. Ketika ditempatkan di pinggir jalan, dia mogok tertawa. Selidik punya selidik, ada dua penyebab hingga ayam berwarna putih itu mogok tertawa. Pertama, dia kepanasan. Kedua, ternyata ayam itu keenakan dibelai salah seorang dari dua mahasiswa putri yang mencoba ‘’mewawancarainya’.
‘’Pantasan ayamnya tidak mau ‘tertawa’, dari tadi dibelai terus. Dengan pandangan mata menerawang dia tenang saja menikmatinya,’’ kata saya yang disambut tertawa kedua mahasiswa saya itu.
M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel