Selasa, 19 Januari 2010

Ancu Telah Pergi

Rabu, 05-03-2008

M.Dahlan Abubakar: In Memoriam Dosen Fisip Unhas Dr Mansyur Semma

Unhas kembali berduka. Selasa dini hari (4/03), tepat pukul 03. 40 Dr. Mansyur Semma, M.Si, pergi untuk selamanya. Kepergiannya sebagai figur istimewa Unhas telah menorehkan duka.

Ancu - panggilan kecil Mansyur Semma -- telah yatim di usia 12 tahun. Ayahnya menutup mata ketika Ancu baru beranjak ke kelas enam SD.

Sejak itu hari-hari sunyinya dilalui bersama bunda tercinta. Meski pahit, tapi Ancu tak pernah berkecil hati.

Hidup dijalaninya dengan penuh kekuatan untuk bertahan di tengah riak hidupnya.Menjadi yatim di umur belia membuat putra Palopo kelahiran 10 November 1962 ini berjiwa survive.

Segala jenis profesi direngkuhnya untuk melengkapi kekurangan ekonomi. Menjadi pedagang asongan di bioskop pernah lekat di hari-hari hidupnya. Bahkan, menjajakan rokok, kue, dan menjadi pelayan warung juga pernah dia rasakan.

Ketika masih muda, Ancu tak bermimpi banyak. Baginya, menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA adalah hal tertinggi yang akan dilakukannya.

Menjadi tukang jahit telah menjadi cita-cita akhirnya setelah itu. Konon, kerabatnya kebanyakan menjadi tukang jahit.

Untunglah ibunya tak berpikir serupa. Berkat semangat dan dukungan dari bunda, Ancu memaksa diri berniat kuliah.

Tahun 1981, Ancu terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik Unhas. Selama empat tahun ia belajar.

Selama empat tahun pula ia bekerja serabutan bertahan hidup di kota Makassar. Menjadi loper koran sempat dijalaninya. Namun pengorbanannya tentu tak sia-sia.

Nasib Ancu mulai berbalik ketika gelar sarjana telah diraihnya. Kegemarannya menulis opini di sejumlah media mulai memunculkan namanya di dunia publik.

Bukan hanya itu, sering pula Ancu membantu dosennya melakukan penelitian ilmiah. Tahun 1986, ia resmi menjadi dosen pengajar di Unhas. Meski ijazah S-1 belum dipegangnya, tapi Ancu tetap bersemangat menempuh pendidikan lagi. Hampir dua tahun yakni Januari 1989-September 1990, ia mengikuti program sarjana (S 1) Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Unhas.

Tahun 1994-1998 mengikuti program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Dan, tahun 2003, diterima di program Doktor (S 3) Ilmu-ilmu Sosial Unhas, meskipun ketika itu ia sudah menderita kebutaan total.

Di usianya yang sedang produktif, ujian hidup menderanya. Tahun 2001 ia divonis buta oleh dokter.

Namun semua itu tak mengecilkan nyalinya. Ya, Mansyur tetap optimis. Bentuk optimisme itu ia wujudkan dengan terlibat di berbagai kegiatan. Selain menjadi staf pengajar, beliau juga aktif berpartisipasi sebagai peserta atau pembicara dalam sejumlah seminar, simposium, diskusi publik, dan berbagai pertemuan ilmiah lainnya.

Selain itu, suami dari Arfah Colleng SH ini cukup produktif menulis opini berupa artikel dan esei di sejumlah surat kabar yang terbit di Indonesia, termasuk di sejumlah jurnal dan bulletin.
.
Di mata mahasiswa, sosok Mansyur Semma adalah pemberi motivasi yang amat besar. Meski berada dalam keterbatasan fisik, ayah empat anak ini selalu memberi dukungan untuk pergerakan mahasiswa.
.
Maklum jiwa-jiwa kelembagaan telah ditekuninya sejak SD. Dimulai di Kepanduan Hisbul Wathan Muhammadiyah. Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Komite Penegakan Syariat Islam (KPPSI), dan beberapa lembaga dakwah lainnya.

Ia tak hidup dari dakwah tapi ia hanya menghidupkan dakwah sesuai kemampuannya. RRI, Radio Mercurius, Fajar FM, SC FM, TS FM, dan beberapa stasiun radio lainnya sering mengundang Mansyur Semma sebagai narasumber dalam diskusi interaktif.

Undangan tersebut ia sambut positif dan dijadikan sebagai ladang amal berbagi ilmu dengan orang lain.

Baginya, ilmu selayaknya selalu dibagi dengan orang lain di mana pun dan kapan pun.

Namun, kini semuanya tinggal kenangan. Mansyur Semma telah pergi. Penyakit gagal ginjal telah merenggut dan membawanya pergi untuk tidak akan pernah kembali lagi.

Ratusan kerabat melepas kepergiannya dari almamater Selasa siang. Pembantu Rektor III Ir.H.Nasaruddin Salam, MT, atas nama Rektor Universitas Hasanuddin dan sivitas akademika Unhas menyampaikan belasungkawa yang mendalam dan merasa kehilangan besar atas kepergian almarhum. Drs.Dasaad Latif, S.Ag., M.Si, kerabat dekatnya yang memimpin pembacaan doa bagi keselamatan arwah almarhum, terisak-isak melafadzkan kalamnya.

Keluarga, istri dan anak-anak almarhum, tak kuasa menahan isak.
`'Dr Mansyur Semma meninggal dengan tenang dan bahagia, karena almarhum mampu membuktikan kalau kegigihan dapat meluluhkan ketidaksempurnaan. Almarhum menjadi icon sehati pada akademisi. Semoga amalnya diterima oleh Allah SWT. Amin,'' kata Nasaruddin Alam dengan suara berat sebelum jenazah diantar menuju taman pemakaman Unhas di Pate'ne Kabupaten Maros.

Papua Menatap Indonesia.

Judul :Dari Papua Meneropong Indonesia
Penulis : Ans Gregory da Iry
Penerbit : Grasindho
Tebal : 189 halaman
Tahun terbit : 2009

Selama ini, kita, Indonesia, melihat daerah-daerah dalam bingkai sentralistik. Daerah-daerah dipandang dan diperlakukan dalam format yang sama, meski ratusan tahun silam kita sudah kenal istilah bhinneka tunggal ika (bercerai-berai tetap satu). Akibatnya, aneka ragam aspek sosiokultural yang dimiliki daerah-daerah tidak connect (terkait) benar dengan pandangan sentralistik yang ada maupun perencanaan pembangunan yang ditawarkan. Pembangunan Indonesia selalu dikemas dalam sebuah grand design (rencana besar) yang sebenarnya tidak tepat untuk daerah-daerah tertentu. Tidak semua daerah dapat mengadopsi design yang ditawarkan pusat. Di sinilah letak permasalahannya.
‘’Dari Papua Menerepong Indonesia’’, judul buku Ans Gregory da Iry ini, mencoba membalik pandangan yang sudah sangat kronis itu. Membalik pandangan tentang Indonesia yang selama ini selalu disorot dan diteropong dari pusat. Sebenarnya judul ini menawarkan ironi kepada kita. Bagaimana Indonesia memahami Papua dan daerah-daerah dalam konteks dan format keindonesiaan yang utuh berdasarkan karakteristik dan keberagaman masing-masing daerah. Bukan melihat daerah-daerah di Indonesia dalam keseragaman pandangan orang-orang pusat.
Dua puluh enam tulisan yang terangkum di dalam buku ini merupakan percikan pemikiran Ans yang pernah dimuat di berbagai media, antara lain; Timika Pos, Radar Timika,dan Mingguan DIAN, dalam rentang waktu antara tahun 2000-2006. Naskah-naskah ini kemudian diklasifikasi menjadi empat bab yakni,I. Politik, Keamanan, Perdamaian, dan Hak Asasi Manusia, II. Hukum, Keadilan, dan Adat Istiadat. III. Perempuan, Persamaan Gender, dan Perceraian, dan IV. Sosial dan Pendidikan.
Berbicara masalah politik, keamanan, perdamaian, dan hak asasi manusia, Papua dapat menjadi laboratorium hidup untuk menguji hipotesis mengenai aspek-aspek ini. Soal politik kita sama-sama maklum, tidak pernah berujung, dengan keinginan sebagian kecil masyarakat adat Papua yang hendak merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peringatan Hari OPM pada setiap bulan Desember selalu diikuti oleh keprihatinan, saat bendera Bintang Kejora dikibarkan. Penyerangan terhadap karyawan Freeport dalam perjalanan antara Tembagapura dan Mimika, selalu dikait-kaitkan dengan kelompok Oerganisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin Kelly Kwalik (meninggal Desember 2009) selalu mengindikasikan gangguan keamanan yang tak pernah berakhir di ujung timur Indonesia itu.
Persoalan hak asasi manusia di Papua, pun termasuk aspek yang saling berhubungan dengan masalah politik, keamanan,dan perdamaian. Ada adagium yang hidup di Papua saat ini, mereka menjadi kelompok masyarakat kelas kedua di tanahnya sendiri. Jika mereka berjualan, maka akan ditemukan di emper-emper toko, sementara para pendatang menempati lods-lods toko dan mall. Ini pemandangan yang miris di Tanah Papua. Padahal, dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia rumusan PBB yang terdiri atas 30 pasal itu, pada pasal 3 berbunyi setiap orang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan, dan keamanan dirinya. Apakah orang Papua sudah memiliki ini?
Persoalan hukum, keadilan sama, dan adat istiadat pun sama problematiknya. Menerapkan hukum saat ini, sama susahnya dengan tidak menerapkan hukum. Bagaikan buah simalakamma. Seorang warga Papua yang ditahan polisi karena melakukan tindakan kriminal, akan menimbulkan masalah hukum baru ketika sejumlah kerabatnya datang berunjukrasa ke kantor polisi dan melakukan pengrusakan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Papua, tetapi di seluruh Indonesia pasca reformasi ini.
Inilah yang membuat Indonesia belum benar-benar menjadi negara hukum, ditambah lagi dengan jual-belI hukum di tingkat atas/pusat yang kian marak akhir-akhir ini. Menurut Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H., Indonesia baru menuju menjadi negara hukum.
Papua memiliki hukum adat yang dijaga ketat. Aspek ini merupakan kearifan lokal yang perlu menjadi bahan pemikiran kita semua dalam menempatkan Papua sebagai bagian dari NKRI dengan sifat khasnya. Adat ini hidup dalam posisi Papua, khususnya Kabupaten Mamiki yang menjadi sentral tulisan Ans ini, berada dalam keroyokan berbagai suku/etnis yang sangat jamak. Menurut Ans, sedikitnya ada 16.000 orang dari berbagai macam suku bangsa di dunia bekerja di proyek pertambangan PT Freeport Indonesia. Maka, seorang bupati harus mampu menempatkan diri sebagai pemimpin dari orang-orang yang beranekaragam itu dan mendayagunakan potensinya.
Persoalan yang paling krusial di Papua adalah masalah perempuan. Perempuan Papua adalah pekerja keras, tetapi mereka sering masih diperlakukan secara diskriminatif oleh pihak pria. Ini berakibat perempuan Papua sering mengalami apa yang disebut dengan domestic violence (kekerasan rumah tangga) dari pihak suami. Bersama Prof.Dr.WIM Poli, Dr.Sitti Bulkis, saya pernah melakukan penelitian mengenai Perempuan Papua, yang kemudian melahirkan buku Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua (Penerbit Identitas Unhas, Makassar, Desember 2008). Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga sering terjadi, tanpa penyelesaian yang memuaskan, terutama karena keluarga merasa aib jika kekerasan diketahui umum.
Soal jender pun merupakan masalah yang menarik dikaji di Tanah Papua. Gelar pendidikan tinggi yang diraih seorang perempuan Papua ternyata belum menjadi jaminan bagi dia untuk tidak memperoleh perlakuan dan tekanan psikologis dari sang suaminya. Seorang perempuan Papua lulusan doktor dari Australia dan merupakan sosok pertama kaumnya yang meraih gelar akademik setinggi itu di Papua, kerap mendapat perlakuan yang sangat menyakitkan dari sang suami yang notabene karyawan salah satu perusahaan tambang ternama. Tak tahan didera beban psikologis seperti itu, perempuan yang kini menjadi dosen di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tersebut memilih hidup sendiri.
Masalah pendidikan di Papua sebenarnya mulai memudar ketika Indonesia mengambilalih kekuasan di Tanah Papua, setelah masa penentuan nasib sendiri melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pendidikan di Papua mengadopsi sistem pendidikan Belanda yang disiplin dan keras. Saya pernah mengunjungi dua lokasi, sekolah Perempuan di atas salah satu bukit di Kecamatan Nimboran dan sekolah Pria di Yoka yang dua-duanya kini tinggal kenangan. Sekolah perempuan tinggal bekas tembok tua yang sudah tertutup hutan, sementara Sekolah Pria Yoka tinggal gedung yang sudah berubah fungsi dan jadi saksi bisu kejayaan masa lalunya. Di salah satu aula yang pernah dijadikan ruang makan siswa, hingga akhir 1964, kini sudah berubah menjadi satu lapangan badminton.
Banyak orang Papua yang kini sudah jadi pemimpin, lahir dari sekolah ini. Khususnya di Yoka, disiplin siswa ditegakkan. Makan dan tidur harus dikomando dan ada tata tertibnya. Termasuk mandi dan nyemplung ke pinggir danau Sentani yang dijadikan tempat mandi siswa saban pagi.
Inilah sisi-sisi yang hilang dan digugat kembali oleh Ans Geogory da Iry di dalam bukunya yang dikemas dengan gaya tulisan esei. Buku ini tidak menjemukan dibaca, karena Ans tahu betul bahwa gaya penulisan esei jurnalistik selalu cenderung mampu mencegah kebosanan orang membaca.
Ans Gregory da Iry adalah mantan wartawan Suara Karya Jakarta. Setelah pensiun dari PT Freeport Indonesia, kini dia bermukim di Bogor. Mengisi masa tuanya, pria kelahiran NTT ini menjadui konsultan Kehumasan. Sudah banyak buku yang ditulis Ans, yang ketika menjadi wartawan Suara Karya sering mengikuti perjalanan Menteri Pertahanan M.Jusuf (alm.). Buku yang berisi kumpulan esei jurnalistik ini dapat diperoleh di berbagai toko buku Gramedia.
M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Liku-Liku Hidup

Oleh M.Dahlan Abubakar

Dia menyandarkan sepedanya di bawah naungan pohon mangga. Lalu perlahan menaiki tangga kayu yang nyaris lapuk. Penghias serambi depan rumah kos mereka. Kecapeannya menampak pada raut mukanya yang pucat pasi dan berkeringat. Dia lalu masuk dan melemparkan bukunya di atas bale-bale bambu yang tampaknya sudah usang dimakan usia. Terdengar bunyi kerek-kerek bale-bale itu. Dia duduk di atasnya sembari membuka sepatunya dengan sangat tak bersemangat. Dengan sisa tenaga yang ada, dia tarik kaos bolong tuanya.
‘’Huh…sialan. Robek … lagi,’’ terdengar dia menggerutu sendiri, kemudian terpincang-pincang menuju tempat penyimpanan sepatu.
‘’Baru pulang, Man?’’. Terdengar suara tanya dari temannya yang biasa dipanggil Min.
‘’Ya, kenapa?,’’ balasnya setengah acuh.
‘’Tidak juga. Kenapa begitu lambat pulang kali ini?’’
‘’Ah.., tahu apa, kau! Tidur saja kerjamu. Kau harus tahu, kalau aku terlambat pulang, itu berarti banyak kerjaan di kampus. Begitu pun kalau kau lihat aku cepat pulang, berarti tidak ada kerjaanku di kampus’’.
Man, memang termasuk salah seorang pengurus senat mahasiswa di fakultasnya. Dia punya pergaulan luas dan bagus. Teman-temannya bahkan menembus batas etnis. Biasa, sore-sore ada-ada saja temannya yang WNI datang menjemputnya menggunakan sepeda motor. Sepeda motor saat itu masih termasuk barang luks. Masih terbatas yang mampu membeli. Kalau temannya yang punya motor itu datang, pasti urusannya main pingpong. Kesenangannya yang masih tersisa sejak SD dulu. Temannya yang biasa menjemput itu adalah pasangan main tenis mejanya di kampus jika ada pertandingan antarfakultas dalam rangka dies natalis universitas. Prestasi terakhir mereka, juara III ketika berlangsung pertandingan Dies Natalis Fakultas MIPA. Kalau di tingkat universitas, mereka hanya bertahan setelah melewati babak kedua.
Min tampaknya tidak menggubris sedikit pun apa yang Man katakan. Dia dengan seenaknya saja menyusun buku-buku yang berserakan tadi. Dia memasukkannya ke dalam lemari buku di depannya.
‘’Mana Rahmat? Apakah dia belum pulang?,’’ Man angkat bicara.
‘’Ya, memang belum pulang,’’ jawab Min yang masih saja terus merapikan buku yang tiada henti-hentinya dia lakukan.
‘’Dia hari ini akan menyelesaikan empat mata kuliahnya. Mungkin pukul 13.30 dia baru pulang,’’ panjang lebar Min menjawab sembari tangannya terus merapikan buku yang dari tadi tak selesai-selesai.
‘’Bagaimna, Min? Apa sudah siap?,’’ tiba-tiba dengan serius bertanya.
‘’Siap, apanya?,’’ Min balik bertanya.
‘’Masa tanya segala!,’’ potong Man.
‘’Oh… itunya…! Belum. Anu..nya sudah kehabisan sejak kemarin’’.
‘’Jadi, bagaimana tindakan berikutnya?. Begini, coba cari duit di dalam kopernya Rahmat. Kau pergi ke toko untuk membeli beras,’’ Man menganjurkan teman kosnya.
Bunyi kopor kayu jati itu beradu dengan tangan Min yang membukanya. Mencari uang yang disebut Man ada di dalamnya.
‘’Huhh…,’’ Min bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
‘’Tidak ada isinya lagi. Dompetnya dalam keadaan kosong melompong,’’ Min menggerutu.
‘’Ai… si Rahmat yang membawanya. Man melemparkan badannya ke bale-bale reot membuat tempat duduk itu seolah ‘berteriak’.
‘’Biar tunggu saja Rahmat pulang..’’’ katanya kemudian melanjutkan lagi.
‘’Biarlah perut berbicara kong kalingkong dulu. Ataukah kau pergi beli saja dengan uang yang ada ini, Min!’’.
‘’Berapa?,’’ potong Min.
‘’Cuma tiga puluh rupiah saja’’.
‘’Ah…tidak cukup. Tujuh puluh lima rupiah baru cukup, Man,’’ jelas Min.
‘’Bagaimana kalau kau minta pinjam saja dulu anu…nya sama Bapak itu. Sisanya, nanti saja dilunasi. Setelah Rahmat pulang.
Rahmat muncul. Dia memarkir sepeda besarnya di kolong rumah panggung besar tempat tinggal mereka. Seperti biasa, dia langsung menaiki tangga kayu yang nyaris lapuk dimakan tua. Mukanya pucat pasi. Bajunya basah oleh keringat setelah mengayuh sepeda berkilo-kilometer jauhnya dari ujung selatan kota.
‘’Sudah siap, Min?,’’ kalimat itu sudah menjadi ikon mereka ketika kembali dari kampus. Min seolah terjepit kali ini. Dia tentu harus menjawab dengan kalimat yang sama dengan yang diberikan kepada Man.
‘’Belum, Mat. Itunya.. sudah kehabisan sejak kemarin’’.
Mendengar kata ‘’belum’’, Rahmat pun menyuruh Min untuk membeli beras di toko Bapak di luar sana. Dia melangkah pelan, lalu membuka kopornya.
‘’Oh…, kau mau ambil uang di dalam kopor itu?,’’ Min segera memotong.
‘’Ya..,’’ sahut Rahmat.
‘’Itu sudah aku pakai membayar utang pada N tadi pagi. Sisanya tiga puluh rupiah,’’ Min menjelaskan.
‘’Min, kau alihkan sisa uang itu ke kiosnya ibu. Kau beli saja singkong,’’ Rahmat mengusul.
‘’Baik’’. Min pun segera menuruni tangga membuat rumah kayu itu bagai berayun-ayun. Rumah bertiang tinggi itu dari bawah kelihatan miring. Anak-anak kos, sering gusar jika ada angin kencang. Bisa-bisa atap rumah itu terbang disambar.
Tak lama kemudian, Min balik. Di tangannya menjinjing sebuah rantang putih yang warna aslinya nyaris tidak ada yang tersisa.
‘’Berapa biji, Min?,’’ Rahmat yang perutnya sudah sangat keroncongan menghadangnya dengan pertanyaan.
‘’Lima biji saja. Cuma ini yang tersisa’’.
‘’Mari kita kipas bersama sebagai pengganti makanan utama kita,’’ hibur Rahmat.
Sesi penderitaan hari itu berlalu. Persoalan berikutnya, untuk keesokan harinya. Bagaimana menyambung hidup untuk empat mulut yang bernaung di rumah kayu itu. Mereka akhirnya menggelar sidang kilat sore hari itu. Membahas bagaimana melanjutkan hidup dan kehidupan hari-hari berikutnya. Rahmat pun dapat akal. Min pun diminta bertebal muka bertemu dengan Ibu N di dekat rumah. Apalagi kalau bukan meminjam uang untuk membeli beras lagi. Persoalan bayar, nanti setelah salah seorang dari tiga orang dapat kiriman wesel dari orang tua. Ketiganya, Rahmat yang ayahnya seorang guru, Man ayahnya juga guru, dan Din pun guru. Hanya Min yang orang tuanya petani. Dia juga datang ke Makassar sekadar menambah beban ketiganya. Tidak sekolah. Saban hari kerja tidur. Kalau disuruh pergi membeli apa-apa, pasti jatah utama berkurang. Sebab, dia pasti menyisihkan sejumlah tertentu untuk memenuhi beberapa batang rokok yang dijual ketengan. Bibirnya sudah nyaris gelap, karena saban saat tidak pernah lepas dari batang rokok.
Kehadiran Min sempat membuat pusing ketiganya. Akhirnya, suatu hari Rahmat dengan berat hati ‘mengirim’ balik Min ke kampung dengan menumpang perahu layar. Habis, kalau dia tinggal, beban hidup ketiganya bertambah berat.
Setelah Min dikirim pulang ke kampung, ketiganya kembali menggelar sidang kecil. Agendanya, bagaimana melanjutkan hidup hari-hari berikutnya dengan kondisi sangat krisis seperti ini. Mereka dapat akal. Kantor Pegadaian menjadi satu-satunya solusi. Lalu barang apa yang akan dikirim?
‘’Bagaimana kalau sepedaku saja,’’ usul Man.
‘’Oke, baik. Daripada sekolah dan kesehatan kita terganggu, lebih baik materi kita titip sementara di kantor pegadaian,’’ usul Rahmat.
Apa boleh buat, sepeda merek Phoenik milik Man dikirim ke Kantor Pegadaian. Sepeda itu dikirim ayahnya dari kampung yang dibeli dengan cara mencicil. Sepeda itulah yang biasa dia tunggangi jika ke sekolah dari tempat kosnya yang jaraknya 5 km. Sepeda itu pula yang biasa dia pakai jika pulang ke kampungnya yang berjarak 55 km dari ibu kota kabupaten. Dan, yang tak kalah berkesannya, gara-gara sepeda itu pulalah dia diburu oleh seorang Polisi Lalu Lintas saat pulang sekolah bersama beberapa orang teman SMA-nya.
Kisahnya, karena teman-teman bergerombol di jalan raya, sehingga mengganggu pemakai jalan lain. Man yang membonceng Arifin membalap sepedanya dan bersembunyi di kolong rumah kos temannya itu, sekitar 200 m dari tempat kosnya. Untung petugas Polantas yang memburunya, malas mengejar mangsanya hingga tuntas.
Hari masih pagi, keesokan harinya. Man tidak ada kuliah pagi hari itu. Dia memanggul sepeda kesayangannya turun dari rumah kos mereka. Sebab, kalau malam, semua sepeda harus diparkir di atas rumah. Jangan pernah mencoba memarkir di kolong rumah. Bisa-bisa raib disambar maling.
Dia menyusuri jalan menuju tengah kota. Tujuannya, Kantor Pegadaian di Jl. Sulawesi. Tarif pegadaian untuk sepeda lumayan. Waktu itu sekitar Rp 3000.Kalau arloji Nelson yang dipakai Man, biasa ditawar gadai Cuma Rp 700. Berurusan dengan Kantor Pegadaian ini sudah jadi langganan tetap mahasiswa perantauan kala itu. Kalau kesulitan seperti begini, pasti sasarannya kantor pegadaian. Begitu pun kalau butuh uang untuk ongkos perahu ketika akan pulang kampung, sepeda pasti akan dititip di kantor itu lagi. Setelah pulang baru ditebus.
Man kembali ke tempat kosnya dengan wajah pucat. Titik-titik keringatnya laksana kacang kedelai. Tetapi dia sedikit terhibur. Kecapeannya tidak sia-sia. Dia membawa pulang uang hasil penggadaian sepedanya. Namun, penderitaan hidup mereka tak berakhir di sini. Besok lusa kisah dan derita serupa pasti terulang lagi.

(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat 6 Juli 1974 dan telah dibukukan dalam judul ''Gadis Takut Hujan'', 2009. Naskah ini sudah diedit).




Sang Guru

Oleh M.Dahlan Abubakar

Dia berdiri di muka pintu sekolah sembari melempar pandangan jauh ke depan halaman. Menatap siswa-siswa yang memasuki halaman sekolah. Meskipun para siswa itu mau memasuki ruangan harus melewati pintu tempatnya berdiri, sedikit pun dia tidak beringsut. Dia memang terkenal galak. Para siswa mengandaikan, kalau dia lagi berang, siswa dilihatnya bagaikan kucing melihat tikus. Bila dia memberi pelajaran, tidak seorang pun murid yang berani berbisik, Mereka diam laksana patung.
Dengan ucapan ‘Selamat pagi, Pak!’ para siswa melintas di pintu yang dia ‘sumbat’. Mereka memasuki ruang kelas dengan mendapat hadiah ketukan kecil di kepala.
‘’Kalian terlambat!’’. Dia mulai mengeluarkan kata-kata yang membuat murid pada takut. Anak-anak itu pun tidak berani menggubris sedikit pun. Apapula mengangkat kepala sekadar mencoba mencuri pandang melihat wajahnya.
‘’Kumpul di pojok! Sudah berapa kali saya katakan jangan terlambat! Jangan terlambat! Tapi tokh juga diulangi!!’’. Dia kian menambah takut para siswa. Maklum sebagai siswa SMP ketakutan pada guru adalah sesuatu yang wajib. Perintah guru adalah titah yang tidak boleh dibantah.
Para siswa memojok di kelas. Teman-temannya yang datang lebih awal mengikuti mata pelajaran dengan seksama. Yang lain, apa boleh buat harus menjalani hukuman hari itu. Berdiri di pojok, membiarkan kaki-kaki mereka kaku dan letih.
Jam mata pelajaran usai, tetapi hukuman bagi mereka yang di pojok belum tuntas. Masih ada hukuman lain. Satu per satu mereka maju ketika namanya disebut. Sembari membuka telapak tangan, mereka mendekati guru dan melintas di depannya.
‘’Paaaaaaak!!! Selesai!!!!’’. Itulah hukuman terakhir mereka hari itu. Sebuah mistar kayu menghantam telapak tangan mereka yang terhukum satu per satu. Tetapi, hukuman ini tidak ‘berjalan lancar’, ketika tiba giliran para siswa laki-laki yang ketiga belas. Siswa pria itu, Mahmud namanya. Kalau dilihat bodinya, memang lebih besar dibandingkan guru mata pelajaran itu. Besar kecil ukuran tubuh, status tetap berbeda. Guru dan siswa. Pendidik dan anak didik.
‘’Mari sini kau!!!,’’ guru itu membentak Mahmud.
‘’Perlihatkan kedua tanganmu!!,’’ perintahnya. Diminta seperti itu, Mahmud menurut saja.
‘’Paaaak…Paaaaak!!!,’’ dua kali mistar kayu itu menghantam telapak tangan Mahmud.
‘’Selesai……., pergii……..,’’ hardiknya. Mahmud kembali nurut saja.Beberapa orang temannya menjadi saksi hukuman terhadap para siswa hari itu. Beberapa temannya mengerumuni. Menanyakan perihal hukuman yang dialaminya.
‘’Mengapa hukumanmu jauh lebih berat ketimbang yang lain?,’’ seorang di antaranya bertanya.
‘’Aku tidak tahu mengapa aku mendapat hukuman yang lebih istimewa dari kalian. Dan, memang aku nomor sial. Sialan!!!!,’’ sebut Mahmud.
Mendengar kata ‘’sialan’’, tiba-tiba sang guru tadi muncul di kelas. Dia menatap tajam retina Mahmud. Juga kepada seisi kelas. Mereka kembali duduk terpaku.
‘’Eeeeee…. Anjing…! Apa yang kau katakan tadi???!!!!Hmmmm.. kurangajar! Mentang-mentang badannya besar, seenaknya saja mau melawan guru. Anak bangsat!! Sebentar jam sepuluh kau harus menghadap di kantor kepala sekolah. Mengerti!!!,’’ semprotnya.
‘’Ya, Pak,’’ Mahmud menjawab dengan tenang, kemudian guru itu lenyap dari balik pintu. Para siswa kembali diam seribu basa.
Mereka menerima pelajaran dari guru lain. Ilmu Bumi. Selagi asyik menjelajah nusantara, tiba-tiba pintu ruang kelas terdengar diketuk.
‘’Silakan masuk!,’’ sang guru yang sedang mengajar menyilakan tamu masuk.
‘’Mm..Mahmud ditunggu di kantor kepala sekolah,’’ Kepala Tata Usaha Sekolah mengutarakan maksudnya.
Di ruang kepala sekolah Mahmud diinterogasi seputar kejadian di kelas, termasuk kata ‘’sialan’’ yang dia ucapkan. Mahmud menjelaskan, dia mengatakan seperti itu, karena kebetulan mendapat urutan tiga belas yang oleh banyak orang disebut sebagai angka sial.
‘’Pada siapa kau katakan itu?,’’ kepala sekolah ingin tahu.
‘’Saya katakan pada diri saya sendiri. Tidak pada siapa-siapa, Pak,’’ jawab Mahmud.
Keesokan pagi, seperti biasa, para siswa berbaris sebelum masuk ke ruang kelas. Khusus kelas Mahmud, ada pemeriksaan ekstra. Sang guru kemarin masih punya tugas lanjut. Memeriksa para siswa yang membawa tugas Prakarya (pekerjaan tangan) masing-masing.
Apel hari itu, untuk awal minggu. Apel hari Senin. Ada juga apel hari Krida namanya. Apel pagi hari Senin merupakan apel gabungan seluruh kelas dilaksanakan di sebelah utara gedung sekolah. Di lapangan yang biasa dipakai bermain bola dan loncat jauh.
Sang guru galak memasuki barisan. Memeriksa satu per satu sisa yang membawa hasil Prakaryanya hari itu. Di barisan Mahmud, sang guru itu berhenti.
‘’Lupa… Pak,’’ kata Mahmud, mengetahui tatapan mata sang guru. Tetapi, jawaban itu tak membuatnya puas.
‘’Eeeehh.. anak bangsat. Anak kurang ajar. Seenaknya saja melanggar dan melalaikan perintah guru!,’’ hardiknya. Mahmud hanya tunduk terpaku saja.
Dia mendekat. Mengangkat tangannya dan terdengar ‘’praaaaak!!!’’. Tangannya melayang ke pipi Mahmud. Para siswa yang lain kaget. Mahmud balik kanan dan langsung kembali ke rumahnya. Sang guru pun meraih sepedanya, juga balik ke rumahnya. Sang guru mengira, Mahmud mungkin akan mengambil sesuatu dan sekaligus ingin menantangnya. Para siswa yang lain terheran-heran menyaksikan kejadian hari itu.
Mahmud kembali. Rupanya dia kembali ke rumah mengambil hasil Prakaryanya. Mungkin juga dia beli di penjual, entahlah. Guru yang ‘bermasalah’’ tadi pun kembali. Dia sudah memasuki halaman sekolah. Lalu dia berjalan memasuki barisan, sementara kepala sekolah dan para guru lainnya berjejer di bagian depan barisan para siswa. Kakinya terus melangkah. Sepertinya kakinya menuntunnya menuju barisan tempat Mahmud berdiri. Tampaknya, Mahmud mengawasi gerakan sang guru itu dengan ekor muridnya.
‘’Mahmud!!!! Lari…..!!!! Lari…!!!!,’’ para siswa berteriak. Sang guru mencabut badik kecil yang terselip di pinggangnya di bagian dalam baju putihnya. Mahmud langsung mengambil langkah seribu. Para siswa berhamburan. Ada yang lari ke jalan raya, ke pinggir saluran irigasi di depan sekolah dan juga ke arah gedung sekolah. Terdengar teriakan kepala sekolah memecah suasana.
‘’Ali…….pegang. Cepaaaaat!!….,’’ teriaknya.
Ali, sang guru itu, sebenarnya berhasil mendekati Mahmud. Tetapi gerakan refleks Mahmud berhasil menepis sabetan badik sang guru dengan sendok nasi, hasil prakaryanya. Kalau saja tidak, mungkin kulitnya sudah sobek. Badik itu terlempar dari pegangan sang guru Ali. Badik pun cepat diamankan para guru yang lain. Pak Ali dengan tubuh terhuyung-huyung lantaran niatnya tidak sampai melukai Mahmud, dipapah menuju ke ruang kelas. Di ruang kelas, dia menangis. Menyesali kegagalannya melampiaskan kemarahannya pada Mahmud.
Para siswa pulang. Tidak ada jam pelajaran hari itu. Mereka pulang membawa kisah tentang adegan tragis di hari Senin itu. Akan halnya dengan Mahmud, hari itu terakhir dia muncul di sekolah. Senin pagi hari itu, mengakhiri cita-citanya melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi.

(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat Sabtu 24 Mei 1975. Naskah ini sudah diedit dan telah dibukukan dalam ''Gadis Takut Hujan'', 2009).

Keripik Donggala, Rasanya Enak, Tinggal Kemasan

Catatan M.Dahlan Abubakar

Kalau orang asing ke Indonesia, mereka selalu berdecak kagum. Mengagumi kekayaan potensi sumber daya alam Indonesia yang berlimpah. Apa yang tidak bisa tumbuh di negara tropis ini. Jika di negaranya mereka hanya menyaksikan buah-buahan berbentuk buah, di sini akan dapat melihat bagaimana buah itu ‘’diproses’’ sejak awal hingga berbuah. Tidak salah jika ada lirik lagu Koes Plus yang melantunkan kalimat-kalimat:’’... Tongkat kayu jadi tanaman’’.
Kekayaan ini menginspirasi Prof.Dr.Ir.Radi A.Gany, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Pertanian mengatakan, dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, tidak perlu ada orang miskin di republik ini.
‘’Sumber daya alam cukup kaya. Mengapa harus miskin. Di sini diperlukan orang cerdas untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam tersebut,’’ kata Radi A.Gany yang didampingi Sekretaris Wantimpres Bidang Pertanian Prof.Dr.Ir.Ambo Ala, M.S. saat berkunjung ke Desa Umbu Tarobo, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, 18 Juni 2009.
Inti gerakan pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan sejumlah kecil orang pintar. Di Bangladesh penggerak ekonomi yang digalang Muhammad Yunus adalah para perempuan miskin. Jika wanita yang memimpin kegiatan ekonomi pasti sukses. Sebab, perempuan selalu memikirkan bagaimana menyejahterakan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.
Kegiatan yang dilaksanakan masyarakat di Desa Umbu Tarobo Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Dinggala, menurut Radi A.Gany, sudah mengarah kepada meningkatkan pendapatan masyarakat secara mandiri.
’’Keripik pisang yang enak rasanya itu tinggal kemasannya yang dibuat bagus,’’ ujar Radi, setelah mencicipi keripik pisang di lokasi Kelompok Tani Sukses Desa Umbu Tarobo. Sembari berharap, masyarakat setempat dapat mengembangkan kegiatan pada kelompok lain dengan usaha yang lain juga.
Di desa ini banyak tumbuh pohon kelapa. Melihat potensi ini, Radi teringat ketika mengunjungi Yogyakarta beberapa waktu lalu. Di kota Gudeg itu ada usaha pemrosesan buah kelapa. Sebutir kelapa dijual dengan harga Rp 1.000. Namun setelah diproses, harga itu akan berlipat ganda. Masyarakat yang bergelut mencapai 200 orang yang dibagi 20 orang per kelompok.
Para petani kelapa itu menjual produk dari kepala dalam beberapa produk. Kesatu, dalam bentuk sabuk yang kelak menjadi bahan pembuatan jok mobil mercy. Kedua, air kelapa dapat menghasilkan minuman segala rasa. Ketiga, tempurungnya bisa dibakar menjadi arang, diekspor menjadi bahan rokok dan atau briket yang setiap kilogram dapat membakar selama enam jam. Keempat, asap cair dapat dijadikan formalin untuk pengawet dan diekspor ke Kanada. Kelima, minyak kelapa sendiri dapat diolah menjadi menjadi sabun.
Satu biji kelapa yang semula hanya dihargai Rp 1.000, membengkak menjadi Rp 9.000 per butir. Bisa dibayangkan, 1.000 biji saja sudah menghasilkan Rp 9 juta. Harga mesin yang digunakan untuk mengolah kepala tersebut berkisar Rp 350 juta.
Ketika mengunjungi Kelompok Tani Sukses di Desa Umbu Tarobo Kecamatan Banawa Selatan, Radi A.Gany mengatakan, kalau keberhasilan yang dicapai kelompok tani ini dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan merupakan bukti keberhasilan usaha kecil mikro. Kalau rakyat sudah mampu mengembangkan perekonomian seperti ini, di Indonesia tidak ada lagi orang miskin.
’’Sumber Daya Manusia kita bagus, potensi daerah ini berlimpah. Kita hanya memerlukan satu dua orang yang bisa menjadi motivator masyarakat berbuat seperti yang dilakukan kelompok ini,’’ ujarnya/
Agus Susilohadi, Ketua Kelompok Tani Sukses itu melaporkan, kelompok tani pimpinannya itu dibentuk 18 April 2002 dengan modal awal Rp 150 ribu. Memiliki anggota 43 orang, kelompok tani ini sekarang sudah memiliki aset Rp 241 juta.
’’Modal awal kami dari anggota. Setiap bulan, para anggota menyetor 1 kg kakao,’’ ujar Agus Susilohadi yang berasal dari Bangil Jawa Timur.
Kini kelompok tani itu sudah memiliki unit usaha simpan pinjam, menjual pupuk bersubsidi dan melayani BMT untuk lima desa dengan total nasabah 112 orang. Usaha lain yang dilakukan adalah penangkaran benih padi guna memperoleh benih bersertifikasi.
‘’Kami juga menjual beras ketika pada musim harga atau persedian beras menipis,’’ ujar Agus.
Khusus usaha keripik pisang yang juga dikembangkan kelompok tani ini, menurut Radi A.Gany, produknya cukup gurih dan enak, namun yang perlu diperhatikan adalah kemasannya.
’’Di Thailand, rasa keripiknya tidak enak-enak amat, tetapi kemasannya sangat menarik,’’ kata Radi yang berkali-kali mencicipi keripik pisang tanduk yang terhidang di piring di depannya. Tidak hanya Radi yang mencicipi produk kelompok ini, tetapi juga seluruh rombongan Wantimpres yang berjumlah tujuh orang, termasuk Sekretaris Wantimpres Bidang Pertanian Prof.Dr.Ir.Ambo Ala.
Keripik pisang produk kelompok Tani di Desa Umbu Tarobo Kecamatan Banawa Selatan ini, selain dipasarkan di Palu, juga sudah menyeberang ke Sulawesi Barat, daerah terdekat Donggala. Menurut Agus Susilohadi, keberhasilan kelompok ini tidak lepas dari peran Kepala Desa Umbu Tarobo Ulfiatin.
Menurut Agus, kelompoknya juga melaksanakan usaha integrasi kakao dan sapi dan membantu empat unit biogas. Sapi dibeli sendiri, sementara kelompok Tani Sukses membantu seng dan paku.
Usaha keripik pisang, merupakan kegiatan agribisnis kelompok. Produk ini dibeli oleh pedagang Tionghoa di Palu yang kemudian menjualnya lagi. Produk ini sudah dipasarkan hingga ke Sulawesi Barat dan Palu sendiri.
Bahan baku keripik pisang adalah pisang tanduk. Agus juga merintis usaha pengembangan keripik talas dan suku. Di Donggala, sukun tidak ada harganya kalau musimnya tiba. Hanya saja, usaha dari sukun ini tidak bisa berkesinambungan, karena ada musimnya.
Konsumsi beras masyarakat Indonesia termasuk yang 139 kg per kapita/tahun termasuk tertinggi di Asia. Orang Jepang, Korea, dan Thailand mengonsumsi beras berkisar 78 kg/tahun per kapita.
’’Kita dapat mengubah tingkat konsumsi beras dengan tetap memenuhi gizi seperti yang dilakukan orang Korea, Jepang, dan sebagainya,’’ kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Pertanian Prof.Dr.Ir.Radi A.Gany di depan Pemkab Donggala.
Anggota Wantimpres berada di Sulteng dua hari, setelah mengunjungi Sulawesi Tenggara sejak Ahad hingga Selasa. Selain Radi A.Gany, dalam kunjungan ke Sultra juga ikut Anggota Wantimpres Bidang Sosial Budaya Prof.Dr.Budisantoso. Maha guru Antropologi UI ini tidak melanjutkan kunjungan ke Sulteng, karena harus kembali ke Jakarta.
Dalam pertemuan dengan Bupati Donggala H.Habir Ponulele dan jajarannya di Kantor Bupati Donggala, sekitar 25 km dari Palu, Radi A.Gany menegaskan, kita dapat mengubah variasi dan komposisi makan dengan mengurangi makan beras. Hanya saja, orang Indonesia belum dikatakan makan kalau belum makan nasi.
’’Kita kebanyakan makan beras. Supaya makan beras dikurangi, harga beras harus mahal.’’ ujar Radi.
Ketika bertemu dengan Wakil Gubernur Sulteng Achmad Yahya, Radi mengatakan, daerah yang berhasil membangun kompetensi banyak yang berhasil menyejahterakan rakyatnya. Ini akan ditentukan oleh sejauh mana kelembagaan dan peraturan-peraturan dalam kaitan dengan pembangunan daerah.
’’Di sisi lain, sejauh mana pemerintah daerha mampu mengembangkan infrastruktur, khususnya dalam bidang pertanian yang menempati posisi sebagai sektor multistruktur pembangunan lainnya,’’ ujar Radi dalam pertemuan di Aula Kantor Gubernur Sulteng di Palu, 19 Juni 2009.
Wakil Gubernur Sulteng Achmad Yahya mengatakan, sektor pertanian menyumbang 47-49% pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Sulawesi Tengah. Yang menjadi tantangan masyarakat Sulteng adalah lemahnya modal kerja pertanian. Susah menerapkan teknologi yang dianjurkan, sehingga berbuntut pada rendahnya produktivitas dan mutu produksi.
’’Pembangunan pertanian pun belum sesuai dengan visi pembangunan ekosistem dan practises,’’ ujar Achmad Yahya.
Masalah lain yang dihadapi, sebut wagub, adalah mengelola rantai produk belum bagus, sehingga terjadi kesenjangan pendapatan. Juga masih ada tantangan dalam menerapkan good agcriculture dan practices operation procedure. Demikian juga dengan terbatasnya infrastruktur, menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi. Pertanian pun belum dikelola secara modern.
’’Pisang kita belum mau dibeli di Malaysia dan Filipina, karena cacad. Begitu pun jeruknya. Padahal, peluang pembangunan pertanian di Sulteng terbuka lebar,’’ kata Achmad Yahya.
Ia mengatakan, Kabupaten Parigi Moutong ditetaokan sebagai kabupaten hortikultura, karena ada durian raja. Durian raja yang dimaksud Wagub Sulteng ini tidak lain dari durian montong yang kini banyak dikembangkan di Sulawesi Selatan.
Bawang Tinombo telah dilepas sebagai jenis unggul nasional. Di dataran tinggi Napu di Poso ada jenis-jenis sayuran. Kawasan sayuran itu terdapat di Londe, Banggai, dan Lembah Palu. Bawang goreng, tidak usah dibilang, sudah cukup kondang. Cabe, tomat, dan anggur pun banyak dari daerah ini.
Pertanian tanaman pangan dalam lima tahun terakhir bertambah naik rata-rata 6,68% hingga 14,21% sejak tahun 2006. Pada tahun 2008, produksi gabah mencapai 985.417 ton, setara dengan 558.400 ton beras. Konsumsi per kapita 136 kg per tahun. Kebutuhan beras penduduk Sulteng yang berjumlah 2,4 juta jiwa mencapai 336.000 ton per tahun, sehingga daerah ini memiliki surplus beras 222.400 ton.
Pemasaran beras selain untuk konsumsi sendiri, juga dikirim ke Kaltim, Gorontalo, Sulut, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Khusus jagung dilego ke Gorontalo. (de@r).




Terusan Khatulistiwa, Ketiga di Dunia

Catatan M.Dahlan Abubakar

Wagub Sulteng mengatakan, pihak Bappenas juga sudah melakukan survei tentang kemungkinan pembangunan Terusan Khatulistiwa sepanjang sekitar 25 km, di lokasi 100 km di sebelah utara Kota Palu. Terusan Khatulistiwa ini diharapkan dapat memperpendek jarak dari barat ke timur dan sebaliknya, sehingga kapal tidak perlu mengelilingi Pulau Sulawesi.
Jika terwujud kelak, ini satu-satunya terusan di Asia, kalau benar-benar terwujud akan menjadi terusan ketiga di dunia setelah Terusan Suez dan Terusan Panama. Terusan ini akan menghubungkan Teluk Tomini dan Selat Makassar. Tujuan di balik pembuatan terusan ini tidak lain untuk memperpendek jalur transportasi laut dari Alur Laut Kepulauan Indonesia, ALKI II dan ALKI III. Rencana ini digagas oleh Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad.
“Sudah ada tiga lembaga internasional yang siap mendanai gagasan itu, yakni UNDP, JICA, dan AGRO,” kata Fadel seperti dikutip salah satu media online. Kita sudah mengundang sejumlah investor dari Singapura dan Hyundai Korea untuk menjajaki pembangunan Terusan Khatulistiwa ini,” ungkap Fadel di kesempatan lain.
Gubernur Sulteng H Bandjela Paliudju mengatakan pembangunan Terusan Khatulistiwa yang memotong daratan sekitar 30 kilometer di wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong, Sulteng. Daerah yang akan memotong leher pulau berbentuk ”K” ini dari Desa Tambu (Kabupaten Donggala) ke Desa Kasimbar (Kabupaten Parigi Moutong). Untuk mewujudkan rencana itu, dibutuhkan dana sedikitnya Rp 3 triliun. Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah di bawah pimpinan Bandjela Palidju, akhir-akhir ini sibuk dengan gagasan ini. Bahkan kabarnya sudah turun anggaran untuk studi kelayakan sebesar 2 milyar rupiah.
Pertanyaannya apakah proyek mercusuar ini bisa mengangkat perekonomian Sulawesi Tengah sebagai jalur terusan? Siapakah sebenarnya yang diuntungkan? Lalu apa pendapat Bupati Parigi Moutong Longki Djanggola? yang lebih dari separuh daratannya berada di Teluk Tomini. Sebagian daerah Parigi Mutong ini akan dipotong untuk membangun terusan tersebut.
”Ini masih wacana, masih perlu didiskusikan dan disosialisasikan,” ujar Longki Djanggola.
Secara prinsip, ia mendukung semua program pengembangan wilayahnya apalagi arahnya bagi peningkatan ekonomi rakyat. Namun, ia menekankan agar terusan itu nanti tidak hanya menguntungkan satu wilayah atau orang per orang.
Belajar dari kasus China, tampaknya akan lebih baik jika anggaran tersebut digunakan untuk memperbaiki infrastruktur jalan menjadi yang lebih baik. Jalan sekarang dipelebar dan kualitas jalannya ditingkatkan. Seperti catatan Dahlan Iskan dalam perjalanan ke China yang bertanya-tanya mengapa perkembangan perusahaan mobil di Tiongkok melejit begitu cepat. Dan bagaimana industri ini bisa membuat industri-industri pendukung lainnya berkembang melebar. Mulai dari industri asesori, cat, kulit, plastik, komponen sampai ke industri ban. Juga bengkel, toko-toko onderdil dan usaha terkait lainnya. Betapa besar ekonomi yang bergerak di sekitar industri mobil ini. Keberadaan jalan tol yang begitu besar tentu harus diakui menjadi salah satu faktor utama penggerak semua itu.
Di Tiongkok saat ini, ke kota mana pun Anda pergi pasti sudah terhubung dengan jalan tol. Kini kita, kalau mau, bisa naik mobil dan selalu di jalan tol dari kota Harbin yang paling utara ke kota Beihai di provinsi Guangxi yang paling selatan. Itu saja berarti sekitar 10.000 km jauhnya. Atau dari timur ke barat yang lebih jauh lagi. Atau dari barat daya ke timur laut dan dari tenggara ke barat laut. Dalam hal strategi jalan tol ini, Tiongkok mengikuti jejak sukses Amerika Serikat.
Maka saya agak heran ketika membaca berita mengenai rencana kerjasama ASEAN untuk membangun jalan kereta api yang akan mengelilingi pulau Kalimantan. Mulai dari Sabah, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Kalbar, Sarawak, Brunai untuk kemudian nyambung lagi ke Sabah. Rencana itu harus benar-benar diubah menjadi jalan tol. Dengan jalan KA, tidak akan membawa nilai tambah apa-apa untuk sebagian besar kawasan yang dilewati. Bahkan dari pengalaman selama ini, kawasan yang dilewati rel KA harga tanahnya jatuh. Sebab rel KA telah membelah kawasan itu menjadi tidak fleksibel. Lalu bandingkan dengan keberadaan jalan tol. Semua kawasan yang dilewati jalan tol harganya naik. Maka kalau ada jalan tol yang mengelilingi Pulau Kalimantan, harga tanah seluruh pulau Kalimantan akan naik. Hal serupa juga terjadi di Sumatera. Saya heran mengapa ada pembicaraan yang serius untuk membangun jalan KA dari Lampung sampai Aceh. Sekali lagi, jalan tol lah yang harus diutamakan. Adanya jalan tol yang membelah pulau kaya itu akan semakin membuat berharga Pulau Sumatera.
Lalu bagaimana terusan khatulistiwa yang memakan banyak biaya ini?
Enam gubernur se-Sulawesi menggagas pembangunan "Terusan Khatulistiwa" yang memotong leher Pulau Sulawesi, guna mendorong percepatan pembangunan di kawasan tersebut.

Gagasan itu mencuat dalam Musyawarah Sulawesi IV--pertemuan dua tahunan enam gubernur dan 69 bupati/walikota se-Sulawesi di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju, mengatakan pembangunan "Terusan Khatulistiwa" yang memotong daratan sekitar 30 kilometer di wilayah Kabupaten Donggala dan Kabupaten Parigi-Moutong, Sulteng, ini akan memperpendek jarak transportasi laut dari wilayah timur Pulau Sulawesi menuju wilayah barat Indonesia, serta ke Filipina dan Malaysia.

Bahkan, lanjut dia, terbuka peluang kalau "Terusan Khatulistiwa" ke depan tidak hanya menjadi jalur lalu-lintas laut nasional yang ramai, tapi juga menjadi jalur internasional yang secara langsung memberi dampak pada pertumbuhan ekonomui wilayah Sulawesi.

"Gagasan ini akan dimatangkan untuk menjadi program bersama melalui Badan Kerjasama Regional Sulawesi," kata dia.

"Namun, sebelumnya akan disusun studi kelayakan melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu," katanya.

Fadel menilai gagasan ini bukan sekadar mimpi yang sulit terwujud, sebab akan memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi daerah dan kawasan, bahkan nasional.

"Kita lihat saja nanti. Tapi, saya optimis dengan dukungan segenap pemerintah dan masyarakat Sulawesi (gagasan ini akan terwujud)," katanya.

Gagasan pembangunan "Terusan Khatulistiwa" yang memotong dari desa Tambu (Kabupaten Donggala) ke desa Kasimbar (Kabupaten Parigi-Moutong) sebenarnya pernah dilontarkan mantan Rektor Universitas Tadulako Palu dan mantan Gubernur Sulteng Prof Drs Aminuddin Ponulele MS pada tahun 1999.

Saat kampanye pemilu 1999 di desa Sausu (Kab.Parigi-Moutong) yang dihadiri Jurkam Nasional Siswono Yudohusodo dan Sofhian Mile, Prof Ponulele yang masih menjabat Wakil Ketua DPD Partai Golkar Sulteng ketika itu menyatakan kalau "Terusan Sulawesi" atau "Terusan Khatuliswa" strategis untuk diadakan, guna memperpendek jarak transportasi laut menuju negara Asia Timur dan Asia Fasifik.

"Tapi ini sebuah ide `gila` sebab membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tolong jangan dulu dipublikasikan," katanya seperti dikutip Antara.

Pulang Kampung Akhir Tahun

Pada tanggal 23 Desember 2009, saya pulang kampung. Sebenarnya tak ada yang istimewa kalau saya pulang kampung. Namanya saja akan bertemu dengan handai tolan di kampung, tetapi saya perjalanan ini selalu membesarkan hati. Saya pernah pulang kampung melalui Jakarta Agustus 2008. Rutenya, Makassar-Jakarta-Denpasar-Bima-Dompu-Bima-Denpasar-Mataram-Denpasar-Jakarta-Makassar. Saya memperoleh kesempatan emas karena bergabung dengan rombongan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) berkekuatan 15 orang.
Kali ini, rombongan terbilang raksasa. Sebelas orang, termasuk adik Nurhayati dan suaminya berikut anaknya, Itja. Dari Makassar, selain saya, istri, dan Heri berikut dua cucu saya, juga saya boyong kakak ipar, dan dua orang kemanakan istri. Hitung-hitung biar mereka tahu dan lihat kampung halaman iparnya nun jauh di sana. Agenda pulang kali ini adalah menghadiri pernikahan adik bungsu saya, Siti Farida, yang dilaksanakan tepat pada tanggal 25 Desember 2009. Sebenarnya, pelaksanaan akad nikah pada tanggal ini, kurang sreg juga, karena bersamaan dengan perayaan hari besar nonmuslim. Namun, ayah saya, tidak melihat hari raya itu, tetapi hari Jumat, hari penting bagi umat muslim setiap minggunya.
KM Tilongkabila buatan Papenberg, Jerman tersebut tepat pukul 13.00 mengangkat sauhnya dari Dermaga Soekarno, Makassar. Hari cerah, pertanda pelayaran akan tenang-tenang saja. Baru saja lepas tanggul penahan ombak Pulau Laelae dan melewati gerbang keluar-masuk kapal, stum Tilongkabila berteriak tiga kali. Membahana ke seluruh penjuru kota Makassar yang dia tinggalkan. Ternyata, itu tanda dia member hormat kepada KM Sinabung yang sedang beringsut mendekati dermaga.
Saya dan keluarga, atas jasa baik salah seorang buruh, setelah anak saya Hery merogoh sakunya sekitar Rp 150 ribu termasuk ongkos angkut bagasi, memperoleh tempat di dek dua, nyaris ujung. Tempat itu sangat lapang. Suhu di dalam kapal terasa menggerahkan. Alat pendingin ruangan yang ketika kapal baru saja diseberangkan ke Indonesia cukup baik, kini sudah tak berfungsi lagi. Kalau pun ada, aluminium pendistribusi hawa sudah tak karuan. Sudah hilang atau mungkin juga copot. Suhu panas benar-benar membuat saya gerah. Apa boleh buat, saya harus buka baju atau paling tidak menyisakan kaos dalam sembari terbaring di atas tempat tidur dek paling bawah di kapal penumpang yang mondar-mandir antara Benoa Bali, Lembar (Lombok), Bima, Labuan Bajo, Makassar, Bau-Bau, Kendari, Kolonedale, hingga Bitung (pergi pulang). Jika dihitung dari Makassar ke selatan hingga kembali lagi ke Makassar, menghabiskan waktu enam hari. Jika berangkat pukul 13.00, tiap Rabu minggu pertama dan ketiga, maka Kamis pagi keesokan harinya, KM Tilongkabila merapat di Labuan Bajo, Flores. Setelah berlayar sekitar tujuh jam, pada sekitar pukul 16.00 dia akan merapat di Pelabuhan Bima. Pelabuhan ini kembali disinggahinya, Ahad siang dalam perjalanan ke Makassar.
Tak tahan dengan suhu gerah, saya memutuskan mandi. Urusan mandi, saya tak pusing-pusing amat. Jika kamar mandi yang tersedia pancuran penuh, di wc saat jongkok pun saya mandi. Hanya satu yang selalu saya ingat jika pergi mandi di kapal penumpang seperti ini, jaga barang berharga. Saya tidak akan pernah membawa celana yang di dalamnya ada dompet dan sejenisnya. Soalnya, pernah kejadian, ketika kami naik kapal penumpang ke Jakarta, menghadiri Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta tahun 2003. Seorang teman pergi mandi dan serta merta membawa celana yang di dalamnya terdapat dompet berisi uang. Saat dia asyik mandi, celana yang berisi dompet tersebut ditarik orang tak dikenal. Apa boleh buat, celananya dibiarkan tergeletak di luar kamar mandi, sementara dompetnya raib. Kami akhirnya patungan menyubisidi teman yang satu ini di Jakarta.
Memasuki wc, keadaannya sedikit masih menyisakan pemandangan yang dulu, sama ketika pada tahun 1986, saya mengikuti peresmian KM Kelimutu di Kupang, NTT. Saya mengikuti pelayaran perdana kapal itu sebagai wartawan harian Pedoman Rakyat Makassar. Perjalanan kala itu, Makassar-Bima hanya ditempuh 15 jam dengan jarak tempuh 225 mill. Saya mencatat habis semua jarak yang ditempuh Kelimutu mulai dari Makassar hingga Kupang. Kondisi kamar kecil Tilongkabila yang masih tersisa adalah bak tempat jongkok. Slang air sudah terganti. Slang asli sudah tidak ada. Slang asli berwarna krem, kini berwarna biru, yang dijual di toko kebanyakan.
Keesokan harinya, saya mandi di kamar yang ada pancurannya. Saya menengok ke atas, astaga, tempat air mengalir turun yang semestinya sudah raib. Tempat air memancar turun terbuat dari mulut botol besar, bekas minuman yang banyak dijual di toko. Air yang turun pun tidak utuh. Terpencar sebagian. Benar-benar anak negeri ini susah sekali memelihara inventaris negara. Di mana-mana anak bangsa memiliki modal dan bakat ‘anarkis’. Bagaimana mungkin pancuran air yang terbuat dari besi tersebut bisa berantakan begitu. Begitu pun bak air di depan kamar mandi yang biasa dipakai penumpang menggosok gigi atau menganbil wudhu, juga sudah rusak sama sekali dan tidak dapat digunakan.
Menyaksikan keberantakan inventaris BUMN ini, saya hanya bisa geleng kepala. Di sana-sini, dinding kapal ada yang mencoretinya. Seperti anak kecil yang baru belajar menulis dan menggambar. Memang susah juga, kapal penumpang ini adalah armada jasa transportasi mudah dan murah yang banyak diminati orang, ketika tidak cukup kemampuan menggunakan jasa tranportasi udara.
Lepas mandi, saya mencoba naik ke dek 6. Melepas matahari yang akan pergi ke peraduannya. Indah sekali. Raja siang itu merah keemasan. Sayang dia ‘malu-malu’, menyembunyikan dirinya di balik awan di ufuk barat. Tetapi saya beruntung sedikit, karena saat menamatkan tugasnya sepanjang hari 23 Desember 2009, saya masih sempat mengabadikannya dengan Kamera Nikan Seri 200 bertele 18mm-200mm. Tak ada ikan lumba-lumba yang bermain sore itu. Mungkin saja, bukan saatnya binatang laut itu muncul bermain. Biasanya, lumba-lumba dapat ditemukan antara pukul 11.00 – 16.00.
Setelah puas bermain kartu domino dengan Hery yang berpasangan dengan Pak Syafei dan saya duet dengan Abdullah, saya memutuskan tidur sekitar pukul 23.00. Semalam suntuk hingga subuh saya akan tidur untuk bangun keesokan hari. Sebab, menurut jadwal, sekitar pukul 07.00 pada tanggal 24 Desember 2009, Tilongkabila akan merapat di Pelabuah Labuan Bajo, Flores.
Tak ada mimpi, yang ada hanya, goyang kiri, goyang kanan, karena suhu panas lantaran pendingin ruangan tak berfungsi, menemani malam saya hingga subuh. Sehabis salat subuh, saya kembali menghempaskan badan. Tidur lagi. Mirip syair lagunya Pak Urip, seniman jalanan yang meninggal nyaris bersamaan waktunya dengan seniman besar W.S.Rendra. Saya membiarkan kemalasan menemani tidur pagi saya yang terasa enak, karena suhu mulai terasa sedikit sejuk.
Menjelang pukul 07.00, pengeras suara kapal berbunyi, setelah semalaman tak henti-hentinya mengumumkan dan merayu penumpang agar mau meluangkan waktunya menonton film di bioskop KM Tilongkabila di dek 6. Pagi ini, pengumumannya bukan lagi mengenai film-film andalannya, melainkan kapal dalam beberapat menit lagi akan merapat di Pelabuhan Labuian Bajo. Tambahan pengumuman, para penumpang lanjutan diminta tidak turun dari kapal, sebab KM Tilongkabila akan segera berangkat menuju pelabuhan tujuan berikutnya, Pelabuhan Bima, setelah seluruh penumpang turun dan naik.
Labuan Bajo, sebuah kota kecil di bibir utara Pulau Flores bagian barat. Beberapa tahun silam, Labuan Bajo adalah kota kecil yang sepertinya sulit sekali berkembang. Kapal Penumpang Pelni, macam Tilongkabila ini, tidak bisa langsung sandar ke dermaga. Para penumpang yang akan naik dan turun harus dijemput-antar oleh perahu motor. Para penumpang kapal turun melalui tangga gantung di sebelah lambung kiri atau kanan kapal. Ya, terserah maunya nakoda. Kini, Tilongkabila sudah dapat merapat. Para penumpang pun tak perlu merogoh kocek tambahan untuk membayar tariff perahu motor yang menjemput dan mengentar mereka. Dengan tangga dorong, penumpang dapat turun dari dek 3 langsung ke pelataran dermaga.
Kota Labuan Bajo mengalami perkembangan yang luar biasa. Ini ditandai oleh banyak bangunan gedung yang tegak dan tumbuh hingga di lereng-lereng gunung. Pada malam hari (ketika dalam perjananan kembali ke Makassar), saya dapat menyaksikan sorot lampu kendaraan yang melaju, membelah kota di kawasan ketinggian. Ini membuktikan bahwa Labuan Bajo termasuk kota yang landscape-nya tidak rata.
Adanya sebuah pelabuhan laut akan selalu meng-create suatu kawasan cepat mengalami kemajuan. Begitu pun halnya dengan Labuan Bajo. Bangunan gedung cepat sekali menyebar terpencar di mana-mana dalam lingkup kawasan yang luas. Dari segi penumpang, Labuan Bajo termasjuk pemasok penumpang kapal penumpang Pelni terbesar kedua, setelah Bima. Kalau Tilongkabila sudah melewati Labuan Bajo, maka penumpang kapal mulai berkurang. Namun kian sangat berkurang lagi begitu melanjutkan perjalanan menuju Lembar, Lombok.
Sekitar pukul 08.00, Tilongkabila melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Bima. Ketika baru saja sekitar 20 m tubuh kapal menjauh dari dermaga, ternyata ada dua orang pengantar yang tak sempat turun. Apa boleh buat, daripada terbawa kapal, keduanya nekad melompat. Terjun ke laut. Karena menjatuhkan diri dari tempat ketinggian, keduanya nyaris tidak muncul. Saat muncul, napasnya terengah-engah. Kabarnya, sebuah perahu motor menyelamatkan keduanya dari kematian yang sia-sia karena kelalaiannya sendiri.
Tilongkabila akan menghabiskan waktu waktu sekitar 7 sampai 8 jam untuk mencapai Pelabuhan Bima. Dulu, sekitar enam agtau tujuh jam. Tetapi kini, seiring dengan usia kapal, jarak tempuh kian bertambah hingga delapan jam.
Pemandangan ke darat, sejak meninggalkan Labuan Bajo, menyusuri pantai utara Pulau Komodo, adalah hamparan tanah bebatuan yang kering. Gunung dan bukit yang tampak, bagaikan kepala manusia yang ditumbuhi rambut yuang jarang. Untung-untung saja tidak botak sama sekali. Dari kejauhan, tampak sebuah kapal, kelihatannya kapal fery yang ketika Tilongkabila merapat ke dermaga sudah bergerak keluar meninggalkan Labuan Bajo. Fery ini bernama Komodo, menghubungkan Pelabuhan Sape, di ujung timur Pulau Sumbawa dengan Pulau Komodo dan Labuan Bajo. Fery ini terkadang dalam seminggu dua kali menyinggahi Pulau Komodo sebelum melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo atau Sape. Lama perjalanan dari Sape ke Komodo menyita waktu tujuh jam. Begitulah lama waktu yang saya tempuh ketika pada tahun 1985 mengunjungi Komodo. Ketika saya kembali dari Komodo ketika itu, hari sudah sore. Fery yang bermuatan mobil dan truk itu, digoreng gelombang yang cukup besar. Sampai-sampai nakoda kapal fery itu harus turun tangan sendiri mengendalikan kapalnya.
Gunung-gunung di kawasan ini, termasuk di Pulau Komodo, tidak begitu hijau. Tampak benar tidak ada upaya penghijauan dilakukan. Mungkin pemerintah menganggap tak perlu, tokh jauh dari pemukiman penduduk. Atau boleh jadi, gunung dan bukit itu memang tidak produktif lagi. Kalau pun dihijaukan hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Di sini, bukan tanah berbatu, melainkan batu bertanah. Artinya, lebih banyak batunya ketimbang tanahnya. Tetapi bisa dipastikan, pada tanah yang datar, pasti subur dan berpotensi ada areal sawah yang luas. Ini terbukti seperti di Reo dan letaknya agak di bagian selatan Flores. Kawasan itu ternyata subur. Padi tumbuh subur dengan letaknya bertingkat-tingkat. Saya pernah melintas dengan pesawat Cassa Merpati dari Kupang ke Bima pada tahun 2000.
Tilongkabila membelah dua pulau. Sangiang di lambung kanan dan Sumbawa di lambung kirinya. Di lambung kiri, adalah pantau utara Pulau Sumbawa bagian timur. Di kawasan ini masuk sebagian Kecamatan Sape dan sebagian lagi Kecamatan Wera. Saya tidak tertarik mengomentari Kecamatan Wera yang dulu menjadi gudang dan hutan jati yang subur, seperti di Tololai. Jati Tololai sangat terkenal. Namun kini, tidak ada lagi jati di kawasan itu. Pengaruh ekonomi global juga sampai di sini, hingga hutan pun jadi korban. Sayang.
Di lambung kanan, untuk kesekian kali saya melintas di dekat Pulau dan sekaligus Gunung Sangiang. Berkali-kali pulang dengan KM Tilongkabila, termasuk mengikuti pelayaran perdana dengan KM Kelimutu tahun 1986, Gunung Sangiang adalah pemandangan yang tidak pernah menjemukan. Ketika peresmian KM Kelimutu, saya melintas malam. Kapal agak goyang, karena gelombang laut yang bersumber dari pertemuan arus dari Laut Flores dengan yang datang dari selatan, Samudera Indonesia yang merupakan laut lepas.
Pulau dan Gunung Sangiang memiliki ketinggian 1.949 m. Gunung ini pernah meletus 11 kali, yakni pada tahun-tahun 1512, 1517, 1821, 1860, 1911, 1912, 1953, 1964, 1965, dan terakhir tahun 1985. Pada letusan 1911, menimbulkan gempa yang hebat, dan menimbulkan kawah di sebelah utara terbelah. Pada letusannya yang terakhir (1985) saya sempat menyaksikan saat melintas dalam perjalanan malam ke Makassar bersama KM Elang, kapal perintis. Gelombang di dekat Pulau Sangiang ini terkenal dan sangat ditakuti pada nelayan. Arusnya juga kencang.
Selepas Pulau Sangiang, mata tersajikan pemandangan wilayah pantai utara bagian timur Pulau Sumbawa yang tidak begitu subur. Pohon-pohon yang tumbuh hijau tampak di lereng-lereng bukit yang tampaknya pada musim hujan dialiri sungai yang airnya bersumber dari mata air gunung.Di bagian yang datar, tegak bangunan rumah dan gedung sekolah. Ketika lonceng saya menunjukkan pukul 14.00, terlihat sekitar 5 sampai 6 ekor lumba-lumba mencoba berlomba dengan gerak kapal di lambung kiri. Saya mencoba menjepretnya, tetapi tidak cukup jelas, karena tidak ada di antara lumba-lumba itu yang mau memperlihatkan atraksinya. Ya, melompat, seperti yang kita dilihat di TV di Afrena Jaya Ancol Jakarta.
Signal telepon selular (ponsel) mulai mengalir. Banyak penumpang memanfaatkan kesempatan melaporkan posisi kapal yang mereka tumpangi. Tidak terkecuali saya juga sempat menelepon Sofwan yang baru saja kembali dari Tanah Suci 13 Desember 2009 dan sudah tiba di Bima pada pagi harinya dari Mataram dengan menumpang bis. Ternyata, di Kota Bima sedang hujan lebat, sementara para penumpang di KM Tilongkabila panasnya tidak ketulungan.
Capek berdiri di dek atas kapal sebelah kiri kian tidak terasa seiring makin dekatnya jarak tempuh. Ketika kapal kian dekat ke Asa Kota (mulut kota) , saya teringat sekitar 38 tahun silam, saat pertama kali ke Makassar menumpang sebuah perahu layar Bugis, pinisi tujuh layar di saat musim barat. Begitu keluar dari Asa Kota, kami harus berlayar dengan ‘’menggergaji’’ menyiasati angin barat agar dapat menjangkau tepat di sebelah utara Gunung Tambora. Belakangan aku tahu, kalau perahu akan ‘’menembak’’ arah Makassar dari arah Gunung Tambora (2.821 m). Gunung ini pernah meletus tiga kali, yakni pada tahun 1815,1819, dan antara 1847-1913. Pada letusan tahun 1815, korban jiwa yang tewas mencapai 92.000. Letusan Gunung Tambora merupakan musibah gempa bumi paling dahsyat yang pernah terjadi di sepanjang sejarah gunung berapi meletus.
Tambora secara geografis administratif masuk bagian Kabupaten Bima, dan menjadi salah satu obyek wisata vulkanis. Daerah ini kaya dengan perkebunan kopi dan juga terkenal dengan madu putih yang harganya mahal. Puncak Gunung Tambora bisa didaki dari lereng bagian barat. Di puncaknya terdapat sebuah kaldera dengan danaunya yang mempunyai dua warna karena proses alami. Lebar bekas letusan itu mencapai 6 km lebih.
Ketika memasuki Asa kota, kapal mulai menurunkan kecepatan. Soalnya, kapal akan bergerak zig zag. Mulut kota itu, tidak cukup luas. Ya, sekitar 1 mill mungkin lebarnya. Kabarnya, di salah satu bagian sebelah kiri (dari arah Makassar), pemerintah Kota Bima berencana membangun Pelabuhan Laut. Tak jelas, pelabuhan lama mau dijadikan apa. Mungkin untuk perahu-perahu layar saja mungkin.
Di dekat Asa Kota, juga kini sedang dipersiapkan lahan untuk membangun PLTU yang terbuat dari batubara. Bagus juga, kalau rencana itu terwujud. Sebab, pemerintah kota tinggal bersinergi dengan Kalimantan juntuk pemasokan batu baranya. Jalan ke Kolo, yang dipersiapkan sebagai pelabuhan laut itu sudah terbangun. Tampak sekali dari atas KM Tilongkabila yang merangkak masuk ke danau Pelabuhan Bima sore, 24 Desember 2009. Perjalanan kali ini berakhir pada pukul 16.00, saat kami menuruni tangga KM Tilongkabila yang meninggalkan Makassar, pukul 13.00, hari kemarin. Jarak dua pelabuhan itu ditempuh selama 27 jam.
Di Pelabuhan sudah menunggu, adik Sofwan, Muslim dan istrinya Naimah yang membawa kedua anak mereka Akil dan Ratu. Barang-barang bagasi kami penuh satu mobil open cup yang dikemudikan Muslim dan ditumpangi bersama dengan istri dan kedua anaknya. Saya dan keluarga dari Makassar, berikut adik Sofwan menumpang bus mini milik STIH Bima. Setelah menempuh jarak sekitar 55 km, kami tiba di kampung halaman pada sekitar pukul 19.00. Orang tuaku menyambut kami dengan penuh gembira. Tetapi, Ibu yang tidak melihat cucunya, Yanti yang dia hadiri pernikahannya dengan Briptu Achmad Amiruddin menangis tersedu-sedu. Habis, di antara ramainya yang hadir, hanya Anty dan Mamat yang tidak tampak di tengah keluarga........

Minggu, 17 Januari 2010

Jumpa Panglima GAM, Titip Istri & Anak

Judul : To See the Unseen
Penulis : Dokter Farid Husain
Editor : Salim Shahab & E.E.Siadari
Penerbit : Health & Hospital
Terbit : Tahun 2007
Tebal : 291 halaman

M.Jusuf Kalla (JK) terhenyak suatu saat. Farid Husain tidak pernah bicara seperti itu sebelumnya. Ke mana pun beliau tugaskan.
‘’Pak, saya ada satu permohonan’’.
‘’Apa itu, Rid?,’’ kata JK
‘’Saya titip anak dan istri, kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan dalam perjalanan saya’’ jawab Farid.
‘’Pasti, Farid,’’ jawab JK setelah penjelasan Farid Husain.
‘’Ada apa kamu berkata begitu?,’’ JK penasaran. Khawatir Farid punya firasat yang kurang baik atas perjalanannya itu.
Farid hanya menjawab dengan tenang dan santai. Dia katakan, tidak ada firasat apa-apa.
Dialog ini mewarnai saat-saat menegangkan menjelang Farid Husain berangkat ke Aceh. Menemui seorang paling didengar bicara dan perintahnya. Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Sofyan Daud.
Farid menyampaikan keinginan itu, setelah berkali-kali berkomunikasi dengan Sofyan Daud. Itu atas jasa baik seorang Mahyuddin. Atas bantuan dialah Farid beberapa kali berbicara dengan Sofyan Daud.
Penggalan dialog ini merupakan salah satu bagian isi buku To See the Unseen, yang ditulis dr.Farid Husain. Pada halaman 125 di bawah judul ‘’Menemui Panglima GAM di Hutan’’, mungkin merupakan bagian yang paling menegangkan dari buku ini. Farid telah menulis bagaikan seorang wartawan mereportase sebuah perjalanan menyabung nyawa. Perjalanan menuju sarang musuh.
Secara khusus saya ingin memberi penekanan bagian ini, karena Farid Husain (dibantu editor) mampu mendeskripsi saat-saat menegangkan perjalanannya. Ketika kita membaca bagian yang ini, seolah-olah para pembaca berada pada posisi Farid Husain. Di bagian awal, Farid mengajak pembaca untuk mengilas balik perjalanannya ke Aceh sebelumnya. Lalu, melapor ke Pak JK dan melakukan perjalanan.
Meski buku ini diberi sub judul ‘Kisah di Balik Damai Aceh’’, namun Farid juga merangkum kronologi perjalanan damai di Poso dan Ambon.
Jika kita simak, jalan berliku memang dilalui Farid membuka perdamaian. Yang saya bayangkan, dokter ahli bedah ini telah menempatkan diri sebagai seorang detektif. Yang melaksanakan pekerjaannya dengan sangat rapi dan tersamar. Bukan hanya itu, dia juga mampu meyakinkan pihak yang diajak berdamai mengikuti jalan pikirannya. Farid mampu melakonkan ini, karena dia menggunakan filosofi seorang dokter. Seolah masalah itu adalah pasien. Menghadapi pasien, mendiagnosanya, dan mencari obat yang tepat untuk menyembuhkan penyakit.
Farid kadang memberi pemahaman seperti ini tatkala bertiga naik Mercy menempuh jarak 100 km bersama Tengku Malik Mahmud dan Zaini Abdullah. Awal-awalnya mereka curiga juga, tetapi lama kelamaan mulai percaya. Sebuah perjuangan yang penuh onak dan duri dari seorang anak bangsa.
Salah seorang yang tidak dapat menyembunyikan kebanggaannya atas tugas Farid Husain ini adalah M.Jusuf Kalla. Banyak pihak berkomentar atas sukses Farid Husain meretas perdamaian ini. Di antaranya, JK berkomentar:
’’Jadi tugasnya (Farid), kalau dari sudut saya sebagai bekas pengusaha adalah menawarkan, menjual dan melaksanakan kegiatan purna jual. Kalau dari sisi dr. Farid sebagaimana dokter bedah, mulai dengan memeriksa, mengambil tindakan dan recovery. Tugas itu selalu dilaksanakan dengan tulus, bertanggung jawab dan dengan gembira, karena itu selalu saja dia dapat menemukan jalan yang kita tidak lihat.”
“Dokter Farid Husain orangnya memang luar biasa. Beliau adalah seorang yang sabar dan jujur serta tidak kenal putus asa dalam usahanya membawa pihak GAM-RI ke meja perundingan sejak dari tingkat permulaan..” (Malik Mahmoud, Mantan Perdana Menteri GAM)
“Saya selalu bangga terhadap perjuangan Rakyat Aceh menghadapi Kolonialisme Belanda di masa lalu. Kebanggan saya akan semakin mantap apabila Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dapat mengamankan Persetujuan Helsinki dalam Kerangka NKRI. ” (Prof. Dr. Muladi, SH Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI)
“Saya tahu betul bagaimana Dr. Farid Husain melaksanakan tugasnya. Baik tugas umumnya sebagai deputi Menkokesra, karena disana ia melakukan koordinasi dengan Departemen Kesehatan, maupun tugas khususnya dalam menjajaki perdamaian Aceh. Bagi saya, Dr. Farid adalah sosok orang yang mampu melaksanakan tugasnya dengan penuh kepercayaan diri dan dedikasi yang tinggi”. (Dr. Achmad Sujudi, Sp.B, MHA, Menteri Kesehatan RI (1999-2004)
“Saat Bapak menjajaki perdamaian di Aceh, beliau tidak banyak cerita secara detail pada kami, anak-anaknya. Beliau begitu ceria, tanpa ada beban dan easy going. Sehingga kami pikir, itu tugas biasa. Setelah selesai semuanya dan kami baca di surat kabar, kami baru sadar, bahwa itu tugas yang berat dan berbahaya. Syukulah bapak selamat. Dan Aceh jadi damai.” (Faradillah Nona Farid Mahasiswi Kedokteran Univ Hasanuddin Makassar)
“Dalam pandangan saya, ada tiga poin yang menyebabkan Pak Farid dapat diterima oleh pihak GAM. Pertama, adalah kesabaran. Yang kedua, beliau tak harapkan hasil atau upah. Ikhlas. Yang ketiga, beliau suka bergaul dengan siapa saja”. (Zakaria Saman, Mantan Menteri Pertahanan GAM.
"Perundingan itu hampir kolaps. Tetapi Farid yang sepanjang hari itu diam saja, kemudian angkat bicara di penghujung hari itu. Dia berkata begini: ’Barangkali lebih bagus bila kita tidak konsentrasi pada hal-hal yang tidak kita setujui melainkan kepada yang sudah kita setujui. Mari kita akhiri dulu hari ini, dan mari kita tidur dan bermimpi yang indah untuk membuat yang terbaik dari apa-apa yang telah kita setujui’. Saya kira apa yang dilakukan oleh Farid adalah benar. Dia bahkan langsung mendapat simpati dari delegasi GAM. Zaini sampai bertepuk tangan dan mengatakan ini adalah kata-kata bagus dari dr Farid. Dan mereka pun setuju untuk mengendapkan masalah gencatan senjata.” (Juha Christensen, Managing Director Interpeace Indonesia
Suatu kebanggaan tersendiri bagi Farid adalah saat bertemu Hasan di Tiro. Pria ini sudah uzur sebenarnya, tetapi malah ke luar teras apartemennya untuk menjemput Farid. Orang-orang sekitar Hasan Tiro heran. Kok bisa-bisanya Hasan Tiro yang selalu mencegah dirinya terkena angin dingin itu keluar ‘’sarang’’-nya untuk bertemu seorang negosiator dari Indonesia yang bernama Farid Husain.
Mungkin lebih lengkap liku-liku perjalanan Farid Husain meretas damai di Aceh kita simak jika membaca bukunya.

M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas.

Euro 2008, Tumbangnya Para Raksasa

Oleh M Dahlan Abubakar
SIWO PWI Sulsel

Hingga Senin (23/6/2009) pagi waktu Indonesia, jelas sudah empat kesebelasan yang maju ke semifinal Piala Eropa 2008. Kepastian empat tim itu -- Jerman, Turki, Rusia, dan Spanyol -- melangkah ke semifinal, menyisakan kesedihan bagi para penjago kesebelasan raksasa yang terjungkal. Kali ini banyak petaruh yang kalah tebak. Bahkan, pada pertandingan penentuan menjelang semifinal, ada petaruh yang berani mengganda 2, saat Rusia berhadapan dengan Belanda. Mereka pegang Belanda. Padahal, mereka lupa bahwa Guus Hiddink yang memoles Rusia hafal betul gerak anak-anak Belanda itu. Hasil akhirnya, Belanda tekuk 1-3 atas tim Beruang Merah itu dalam pertandingan yang sangat memedihkan hati sang penjago tim oranye tersebut.
Setidak-tidaknya ada dua kesebelasan yang sejak awal perhelatan akbar Piala Eropa di Swiss dan Austria ini digelar dan mampu masuk ke semifinal sama sekali tak diperhitungkan, yakni Turki dan Spanyol. Perjalanan Turki tak bagus-bagus amat ketika mengawali turnamen ini. Di Grup A, dia dipecundangi Portugal tanpa balas 2-0 pada pertandingan pertama . Namun orang mulai tidak memandang sebelah mata kesebelasan dari negara Kemal Ataturk ini, ketika menang 2-1 atas Swiss pada tanggal 11 Juni 2008. Turki kemudian belajar banyak dari kemenangan sebelumnya. Dia menang 3-2 atas Ceko pada tanggal 15 Juni 2008. Orang kemudian terhentak kaget ketika Turki menyingkirkan pembunuh raksasa Inggris di akhir pertandingan menjelang gerbang Piala Eropa, Kroasia, dengan angka 3-2 pada tanggal 20 Juni 2008.
Dari tim-tim yang lenggang kangkung ke per delapan final, orang lebih menjagokan Portugal (lantaran terhipnotis oleh kehadiran Cristiano Ronaldo, bintang Manchester United). Penggemar sepakbola Indonesia juga tergoda oleh Kroasia, lantaran dia meraih nilai penuh –-9 – saat lolos di babak pertama. Kesebeasal Kroasia tampil mengagetkan ketika pada hari pertama mengalahkan tuan rumah Austria 1-0. Tetapi kisah keganasan Kroasia bukan saja pada babak awal Piala Eropa 2008 ini, melainkan kesebelasan inilah yang menjadi biang Piala Eropa kali ini tergelar tanpa Inggris. Jadi, Kroasia juga di pertandingan menjelang ke 16 besar Piala Eropa sudah memakan korban raksasa.
Belanda juga termasuk tim raksasa yang dijagokan. Walau terakhir dia menjarai Piala Eropa tahun 1988, tetapi penampilan perdananya menggasak Italia 3-0 di Grup C 9 Juni 2008, membuat mata orang terbelalak. Bagaimana tidak, Italia adalah juara Piala Eropa tahun 1968, ketika pesta sepakbola empat tahunan Eropa itu dilaksanakan di kandangnya. Kala itu, Italia mengalahkan Yugoslavia 2-0 di final, setelah pada pertandingan pertama bermain imbang 1-1. Italia juga pernah sekali sebagai runner up, ketika dikalahkan Perancis pada tahun 2000 2-1 melalui golden goal (gol emas).
Menjelang gerbang final, sudah siap melangkah empat tim. Pada sisi sebelahnya ada Jerman dan Turki yang akan saling menjajal di Stadion Sint Jacob Park, Swiss pukul 02.00 Wita tanggal 26 Juni 2008. Stadion yang diresmikan 25 April 1954 ini mampu menampung 42.500 penonton.
Sementara di Austria, pada jam yang sama tanggal 27 Juni 2008 saling menjajal kesebelasan Rusia dengan Spanyol di Stadion Ernst Happel yang berkapasitas 49.000 kursi. Stadion Ernst Happel sebenarnya dibangun sejak tahun 1931, namun tahun 1986 direnovasi.
Ada yang menarik dari semifinalis ini. Tiga di antaranya adalah para runner up, yakni Turki (Pool A), Jerman (B), dan Rusia Pool D. Hebatnya, Rusia akan menantang juara grupnya sendiri, Spanyol di semifinal.
Jika kita lihat dari akumulasi nilai yang diraih setiap kesebelasan semifinalis, tentu saja di atas kertas, Piala Eropa ini akan direbut Spanyol. Pada pertandingan grup, dia merebut nilai penuh, 9. Dia menggetarkan jala lawan 8 kali dengan kebobolan 4 kali. Tiga kesebelasan lain, sama-sama merebut nilai akhir 6. Produktivitas gol yang mereka lahirkan pun tidak terlalu mencolok. Bahkan Rusia antara membobolkan dan kebobolan imbang, 4-4. Turki memasukkan 5 dan kemasukan 3, sementara Jerman memasukkan 4 dan kemasukan 2.
Kita mencoba memusatkan perhatian pada semifinalis kedua di Stadion Ernst Happel, Rusia dan Spanyol. Sebenarnya partai semifinal nanti merupakan ulangan pertemuan kedua tim tahun 1964, saat Piala Eropa II digelar di Spanyol. Kala itu, Spanyol menang 2-1 atas Rusia yang masih bernama Uni Soviet.
Pada pertemuan keduanya tanggal 10 Juni di Tivoli Neu Stadion Austria, tahun 2008, Spanyol menang telak 4-1 atas Rusia. Pada pertandingan ini, David Villa memborong tiga gol, yakni pada menit ke-26, 44, dan 75 dan menempatkan dia sebagai top scorer Piala Eropa dengan 4 gol hingga per delapan final tuntas bersama dengan pemain Jerman Lukas Podolski. Pemain Rusia Pavlyuchenko dan Hakan Yakin dari Swiss berada di peringkat berikutnya sebagai pencetak tiga gol.
Jadi, berdasarkan perhitungan di atas kertas, Spanyol memperoleh peluang sebagai juara Piala Eropa tahun ini dengan catatan – tentu saja – harus lolos dari hadangan Rusia di semifinal. Namun kesebelasan besutan Guus Hiddink ini tidak dapat dianggap remeh. Kita sudah lihat sendiri bagaimana anak asuhan Marco van Basten dibuat bingung dan sulit menembus pertahanan Rusia, ketika harus pasrah 1-3. Rusia juga memiliki penembak-penembak jarak jauh yang cukup andal. Kalau saja bukan kiper sekelas Van der Sar yang berdiri di bawah palang Belanda, mungkin saja Rusia akan memaksa kesebelasan dari Negeri Kincir Angin itu kecapean memungut si kulit bundar di dalam jalanya.
Rusia yang dulu pernah ‘heboh’ dengan total football-nya, memang telah memikat perhatian pecinta sepakbola tanah air. Bahkan mungkin belahan bumi lainnya, begitu mereka membuat anak asuhan Van Basten tidak berkutik selama 120 menit. Kesebelasan Rusia pada subuh (waktu Indonesia Tengah) per delapan final tersebut mestinya memperoleh banyak peluang mencetak gol, kalau saja Van der Sar yang merupakan penjaga gawang Manchester United itu, tidak cekatan mengantisipasi arah datangnya bola. Meski untuk menyelamatkan gawangnya, dia tak mampu menangkap lengket si kulit bundar.
Dalam sejarah Piala Eropa, Rusia yang ketika tahun 1960 masih bernama Uni Soviet pernah tampil sebagai juara turnamen ini pertama kalinya. Di final yang dimainkan di Perancis, Soviet mengalahkan Yugoslavia yang harus puas sebagai runner up dengan angka 2-1. Prestasi Uni Soviet tidak jelek-jelek amat di Piala Eropa. Dari empat kali masuk final, sekali juara dan tiga lainnya sebagai runner up (1964, kalah 1-2 dari Spanyol, 1972 kalah 0-3 atas Jerman Barat, dan 1988 kalah 0-2 atas Belanda).
Bagi Spanyol, selain track record-nya sebagai juara Piala Eropa tahun 1964 itu, juga pernah tercatat sekali sebagai runner up pada tahun 1984, ketika dikalahkan tuan rumah Perancis 2-0.
Beralih ke partai semifinal pertama, Jerman melawan Turki. Jerman yang ketika masih bernama Jerman Barat, tercatat dua kali menjadi juara Eropa dan sekali setelah berganti nama menjadi Jerman. Pada tahun 1972, Jerman Barat pertama merebut juara setelah mengalahkan Uni Soviet 3-0 saat Belgia menjadi tuan rumah. Lalu ketika Italia menjadi tuan rumah Piala Eropa tahun 1980, Jerman Barat mengalahkan Belgia 2-1. Terakhir pada tahun 1996, Jerman mengalah Republik Ceko melalui golden goal 2-1 tatkala Inggris menjadi tuan rumah. Jerman juga membukukan dua kali runner up Piala Eropa, yakni pada tahun 1976 ketika kalah atas Cekoslowakia melalui perpanjangan waktu di Yugoslavia dan pada tahun 1992 kalah 0-2 atas Denmark ketika Swedia menjadi tuan rumah.
Lalu bagaimana dengan Turki. Dalam sejarah Piala Eropa, kesebelasan negara ini tak sekali pun terekam sebagai tim finalis. Tetapi bola bundar. Di Piala Eropa kali ini, tidak ada yang menyangka kalau Turki yang dikalahkan Portugal 2-0 di di pertandingan pertama Grup A bisa menyikut Kroasia untuk masuk ke semifinal. Kekalahan itu agaknya memberi pelajaran berharga bagi kesebelasan ini dengan membukukan kemenangan 2-1 atas tuan rumah Swiss 11 Juni 2008, menang 3-2 atas Ceko 15 Juni 2008 dan menang dengan angka yang sama atas Kroasia di Stadion Ernst Happel Austria, 20 Juni 2008.
Itulah prediksi di atas kertas empat tim yang berlaga di partai semifinal Piala Eropa tahun ini. Siapa yang juara, tentu baru kita tahu setelah hasil pertandingan semifinal dan final nanti. Tetapi tak kalah menarik kalau kita beranda-andai dengan seabrek data tiap tim yang saya tawarkan ini. Silakan!

Kisah Pindahnya Kampus Unhas ke Tamalanrea

Pada tahun 1973 terjadi banjir besar di Makassar. Kampus Baraya tergenang. Untuk masuk ke Fakultas Pertanian dan sekitarnya, para dosen, pegawai, dan mahasiswa harus menggunakan perahu. Kebetulan juga kala itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Dr.Sjarif Thajeb berkunjuung ke Unhas. Rektor Unhas Prof.Dr.A.Amiruddin sebenarnya hanya berencana minta uang saja untuk membangun dan menimbun jalan ke belakang (ke bagian belakang Kampus Baraya) – setidak-tidaknya meninggikan – bagian kampus yang tergenang itu agar tidak tertutup air lagi. Jumlahnya sekitar Rp 100 juta, sementara anggora Unhas yang disetujui Senat Universitas hanya 80 juta. Habis, kalau setiap hujan turun lebat, banjir, dan orang harus naik perahu ke belakang. Jadi, ceritanya, kalau sudah ditimbun, bagian kampus ini tidak lagi seperti danau.
Pak Amir – begitu Prof. Amiruddin karib disapa – membawa sang Menteri keliling. Pak Amir pula yang menyopiri sendiri mobil landrover buatan Amerika itu membelah banjir. Satu waktu, Pak Amir sengaja membawa landrover itu hingga terjebak ke dalam satu lubang.
’’Saya masukkan ke lubang itu, pak...!,’’ kenang Pak Amir sembari tertawa ditemui di kediamannya Kompleks Baruga Antang, 3 Oktober 2009.
’’Berhenti.., berhenti dulu. Saya mau lihat,’’ sela Sjarif Thajeb, meminta Pak Amir menghentikan kendaraannya.
Pak Sjarif Thajeb melihat keliling. Dia lihat keliling. Yang tampak hanya air yang menyamudera. Rerumputan tenggelam.
’’Ah... tidak ada gunanya. Tenggelam saja uangnya semua di sini. Pindah!,’’ kata Sjarif Thajeb.
Ketika itu, Pak Amir juga pusing, karena baru saja mau minta uang, Senat Universitas mencemoohkan. Pak Amir masih ingat anggota Senat Unhas ngomong-ngomong;’’Mentang-mentang rektor ini dari Malaysia, anggaran kita Cuma Rp 80 juta, dari mana mau ambil uang sekian ratus juta’’.
Di satu sisi kalau ngotot mau memindahkan kampus, Pak Amir bisa dianggap jadi gila. Dianggap gila karena mau memindahkan kampus. Pak Amir diam saja waktu Pak Sjarif Thajeb suruh pindah kampus. Pak Amir langsung saja ke Jakarta. Kebetulan saja yang merencanakan kampus dari Indonesia Pak Amir kenal baik. Dulu sama-sama di ITB dan di Amerika.
Pak Amir mendatangi temannya itu. Pagi-pagi lagi ke rumahnya.
‘’Ngapain Pak Amir pagi-pagi datang ke sini,’’ kata temannya yang Pak Amir sudah lupa namanya.
‘’Eh... saya disuruh pindah kampus oleh Menteri saya. Saya sudah mau buat rencananya, tapi tidak punya duit,’’ kata Pak Amir.
’’Ah... gampang katanya. Pokoknya.. asal you bisa kasih tiket saja ke Makassar dengan stafnya enam pembantu saya. Selama di sana dijamin, saya mau lihat. Beres,’’ katanya.
’’Ya sudah, kalau gitu saya siapkan,’’ sahut Pak Amir.
Temannya itu pun tiba di Makassar yang waktu itu bernama Ujungpandang. Dia membuat rencana. Bagus juga rencana pertamanya. Berapa bulan dia buat.
Setelah itu, Pak Amir mulai pikir mau membeli tanah. Pak Amir ke Bappenas. Di situ ada kenalan baiknya Pak Amir.
’’Eh... saya mau pindahkan kampus disuruh Menteri,’’ Pak Amir memberitahu.
’’Eh... pindahkan kampus, memangnya gampang pindahkan kampus. Buat rencana dulu, dong ,’’ sergah teman Pak Amir di Bappenas.
Pak Amir pun langsung memperlihatkan maket rencana pembangunan kamous yang sudah digarap temannya sesama di ITB itu.
’’Kalau begini, nggak ada persoalan,’’ kata pejabat di Bappenas tersebut setelah melihat maket yang dibawa Pak Amir.
Pak Amir pun langsung diberi dana. Pak Amir menjual lokasi kampus dan gedung Fakultas Sospol di Jl. Ratulangi (di tikungan dengan Jl.Landak). Dana itu dipakai membeli tanah. Hanya harganya jadi mahal. Bahkan, jadi persoalan.Lama membebaskan tanah.
Kemudian Hanya waktu itu, dana tersebut dititipkan di Kota Madya. Sama Ibu Nursinah Sipato S.H. (almh).
Tidak ada orang yang percaya bisa menindahkan kampus. Ketika itu, Sulsel dipimpin Achmad Lamo dan Pemkot dipimpin H.M.Dg.Patompo. Malah Pak Amir sempat ketemu Pak Lamo di Jakarta.
’’Dari mana ambil uang, Pak Rektor,’’ reaksi Pak Lamo mendengar rencana Pak Amir memindahkan kampus.
Kampus bisa dipindahkan, karena Pak Amir selalu memegang prinsip.
’’Kalau ada kesempatan, tangkap dulu, baru mikir. Jangan mikir dulu, baru tangkap. Nanti kesempatan itu bisa hilang’’.
Ada kesempatan membangun kampus, tangkap dulu. Siapa yang mau percaya bisa bangun kampus dulu. (M.Dahlan Abubakar).

Figur ‘Sejuta’ Kapasitas

H.M.Dahlan Abubakar


Pada tahun 1974, baru tiga tahun setelah menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, saya terlibat dalam satu pementasan drama. Judul drama yang akan dipentaskan di depan umum itu, adalah Odysseus. Drama ini disutradarai Jacob Marala yang merangkap sebagai pemeran Odysseus. Selain saya yang berperan sebagai desertir, juga ada Syafri Badaruddin, Fatimah Tawang, dan Taufiqurrahman. Pimpinan produksi adalah Nunding Ram.
Kami latihan habis-habisan dan serius, karena drama ini akan dipentaskan di depan publik. Untuk menonton drama yang akan dipentaskan di panggung terbuka Benteng Ujungpandang itu, undangan harus merogoh kantongnya Rp 1.000. Undangan seharga ini, termasuk mahal saat itu. Sekadar perbandingan saja, untuk menonton film silat Hongkong di bioskop Jaya Jl. G.Bulusaraung, pengunjung hanya merogoh koceknya Rp 100 sampai Rp 200 saja.
Suatu hari, di gedung Dewan Kesenian Makassar (DKM) di Jl. Irian, kami melakukan latihan pengenalan panggung. Di belakang panggung DKM dulu ada layar untuk pemutaran film. Kalau malam, gedung DKM memang berfungsi sebagai bioskop yang sering memutar film. Kebanyakan film silat yang digemari penonton pada masa itu. Pemutaran film istirahat, jika ada pertunjukan drama yang dipentaskan, seperti penyelenggaraan Pekan Festival Teater yang berlangsung setiap malam selama seminggu.
Dalam satu sesi latihan siang, kami kembali muncul di DKM. Waktu itu latihan dirangkaikan dengan simulasi dengan penonton. Tetapi, yang jadi penonton adalah para dramawan dan pengurus DKM. Salah seorang di antara yang hadir adalah Arge. Dia duduk di pentas, di lokasi kami berlatih. Namanya, simulasi, kami harus tampil sesuai petunjuk naskah. Serius dan apa adanya. Tetapi, ada-ada saja yang membuat kami tampil agak grogi. Tiba-tiba saja Jacob Marala memerintahkan kepada saya untuk menyuruh Arge mengambil sepeda. Tentu saja, saya merasa aneh. Apa hubungan sepeda dengan latihan drama yang sedang kami geluti. Tetapi Jacob Marala tetap bersikukuh agar saya tetap melakukan perintahnya.
Saya pun mengikuti perintah. Menyuruh Arge melakukan sepeda. Tentu saja, Arge kaget. Sebagai seorang dramawan dan aktor, Arge tidak kehilangan akal. Merespons perintah saya itu secara teatrikal. Terjadi dialog beberapa saat. Dan, sangat serius. Sebab, saya juga ’melayani’ setiap dialog itu dengan baik. Setelah itu usai, Jacob Marala langsung mendatangi saya.
’’Nah, itu tadi bagus. Harus serius. Itu juga bagian dari drama dan latihan yang kita lakukan sekarang,’’ kata Jacob Marala, yang waktu itu rambutnya gondrong sama dengan saya.
Saya masih ingat benar, setelah peristiwa ’dialog teatrikal’ ini, Arge bangun dan menepuk-nepuk bahu saya.
’’Bagus anak muda,’’ desisnya, kemudian berjalan dengan langkah teratur yang menjadi ciri khas dan sangat dikenal teman-temannya.
Seingat saya, inilah titik dan saat awal saya berkenalan dengan seorang Arge. Pada masa itu, saya sama sekali tidak tahu kalau Arge itu kepanjangan dari nama, Abdurrahman Gega. Pada masa itu, memang banyak tokoh wartawan atau seniman Makassar gandrung memendekkan (menyingkat) namanya. Mungkin biar keren dan gampang diucapkan. Selain Arge, nama-nama lain yang kita kenal disapa pendek adalah Aspar (Aspar Paturusi), Ramto (Ramli Otoluwa), dan sebagainya.
Interaksi saya dengan beliau semakin sering ketika berlangsung diskusi kesenian di DKM. Saya kerap hadir bersama teman-teman mahasiswa Sastra yang lainnya. Ada satu yang tidak dapat saya lupakan dari sosok yang satu ini ketika menyampaikan orasinya, yakni diksinya. Pilihan kata yang digunakan dalam setiap berwacana. Kata yang dia pilih sangat ’dahsyat’ dan selalu memikat. Jika mengingat-ingat, pilihan kata dalam berwacana yang dikemukakan Arge, mengikuti jejak Prof.Dr.Mattulada almarhum. Bedanya, diksi Mattulada cenderung sangat menotok nurani, sementara Arge diksinya bagaikan palu godam yang menohok benak kita.
Waktu terus berjalan, pergaulan berkesenian pun berputar. Interaksi dengan Arge semakin intens, ketika saya masuk dalam lingkaran Pengurus PWI Cabang Sulawesi Selatan. Sebelumnya, pada tahun 1982, meski belum masuk pengurus, saya sudah aktif di jajaran PWI, karena menghadapi Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) I di Semarang tahun berikutnya. Saya termasuk salah seorang atlet (tenis meja). Kemudian, pada tahun 1985, ketika Sulawesi Selatan menjadi tuan rumah Porwanas II, interaksi kami kian sering.
Puncak dari hubungan ini terjadi pada tahun 1988, saat saya dipercayakan sebagai Sekretaris PWI Cabang Sulawesi Selatan, sementara Arge masih dipercaya sebagai Ketua PWI Cabang. Sebagai sekretaris, tentu saja saya memperoleh kepercayaan besar dalam menyelenggarakan roda organisasi wartawan tersebut. Saya ingat benar, bagaimana Pak Arge ’membiarkan’ saya untuk selektif meneken setiap permohonan menjadi wartawan dari begitu banyak permohonan yang masuk. Salah satu kebijakan yang saya rasa akan mencederai perasaan wartawan senior lainnya waktu itu adalah menolak menandatangani permohonan menjadi wartawan dari salah satu pemimpin redaksi. Saya melihat, calon yang diajukan memperoleh kartu PWI adalah anak belasan tahun. Saya menghitung mundur masa pendidikannya, jika saya teken formulirnya, maka dia wartawan paling muda menjadi anggota PWI. Pada usia 17 tahun. Permohonan ini saya tidak loloskan. Saya yakin, Pak Arge sudah tahu dan dilapori masalah ini, karena Pemred media tersebut sudah terbiasa menyampaikan uneg-unegnya.

Sejuta Kapasitas

Sepanjang yang saya tahu, belum pernah ada sosok yang separipurna dia. Pada Arge melekat segala kapasitas. Makanya saya katakan, ’sejuta’ kapasitas, untuk menggambarkan begitu kompleksnya kapasitas yang melekat pada dirinya. Dan, dengan dia mampu melakoni kapasitas-kapasitas yang beragam tersebut dengan baik.
Kapasitas multipredikat, antara lain sebagai wartawan, seniman (penyair), sastrawan, dramawan, penulis skenario, aktor, legislator, dan budayawan. Sebagai wartawan, tentu saja tidak seorang pun yang dapat meragukannya. Dia sudah menjadi wartawan sekitar tahun 1955, saat berusia 20-an. Kala itu, berdua dengan Arsal Alhabsy almarhum, dia mulai menapaki rimba jurnalistik. Arge dengan Arsal (almarhum) tidak dapat diisahkan. Keduanya, bagaikan orang pacaran. Sebab, Arsal, pria tambun itulah yang selalu mendorong Arge menjadi wartawan. Dia pernah malang melintang di berbagai media.
Kapasitas kewartawanannya hingga kini tetap dia pelihara. Dia masih tetap menulis dan mengisi rubrik khusus di harian FAJAR Makassar. Kalau di Jakarta ada Rosihan Anwar, maka di Makassar memiliki Arge. Esei-eseinya menarik disimak dengan kasus-kasus yang ada di sekitar kita. Kasus yang sederhana, disederhanakan, tetapi tidak sederhana.
Memang, beberapa tahun silam, banyak orang awam kurang komunikatif membaca esei yang ditulis Arge. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, eseinya mengalami ’perubahan paradigma’, sehingga enak dibaca. Termasuk masalah yang diangkatnya, tidak lagi berbicara tentang karya Hamlet atau Emile Zola, tetapi lebih membumi ke tanah air sendiri.
Arge adalah seorang teaterawan. Selain menulis naskah teater, dia juga ikut menjadi sutradara. Bahkan, sering menjadi pemain. Karakter dan penjiwaannya dalam berteater sangat kuat. ’Perilaku’ teatrikalnya itulah malah sering mem-virus dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Dalam berdialog, Arge selalu tampil dalam tutur kata yang sangat teatrikal. Kuat sekali. Bahkan, dalam body language (bahasa tubuh)-nya pun selalu berkadar teater.
Puncak kemampuannya berteater ini dia buktikan ketika meraih penghargaan sebagai aktor terbaik dan meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) di Makassar pada tahun 1978. Dia sudah bermain dalam beberapa film yang bernuansa lokal Sulawesi Selatan, seperti Latando di Toraja, Embun Pagi, dan Senja di Pantai Losari.
Arge juga seorang pemuisi, penulis puisi. Beberapa puisinya sudah diterbitkan. Hanya saja, dia tidak seproduktif mendiang Husni Djamaluddin yang akrab disapa panglima puisi. Sajaknya, begitu Pamusuk Eneste dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Penerbit Buku Kompas 2001: 192) – pernah dimuat dalam majalah Horison, Budaya Jaya, dalam antologi ‘Sajak-sajak dari Makassar’ (1974) dan Antologi Puisi ASEAN (Buku I, 1978).
Ketika masih menjadi Ketua PWI Sulsel, Arge terpilih sebagai legislator DPRD Sulsel selama dua periode. Dia kemudian dipromosikan menjadi anggota DPR RI selama satu periode. Pada kesempatan itulah dia manfaatkan untuk berinteraksi dengan sahabat-sahabat wartawan dan senimannya di Jakarta.
Arge kini sering tampil sebagai sosok budayawan. Dengan kapasitasnya itu, memang tidak diragukan lagi dia mampu memikul beban dan kapasitas sebagai salah seorang budayawan Sulawesi Selatan. Dalam usia 73 tahun, Arge masih produktif menulis. Memang, dia wartawan tulen, sosok yang tidak kenal kata pensiun. Seorang wartawan akan purnabakti dengan sendirinya ketika dia berhenti menulis. Tetapi, tidak bagi seorang Arge. Dia akan terus menulis, karena menulis adalah bagian dari batu nisan yang kelak dikenang orang. ***

Sentani, Jayapura, Papua, 23 Januari 2008

Roy Marten dan Detoksifikasi Cepat

Oleh M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas

Aktor kawakan Roy Marten ditangkap polisi ketika sedang pesta shabu-shabu di sebuah hotel di Surabaya, Selasa (13/11) dinihari. Ironisnya, dia ke Surabaya justru diundang Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk memberi testimoni. Di depan Kapolri Jenderal Sutanto dan Ketua Pelaksana Harian (Kalakhar) BNN Komjen Pol I Made Pangku Pastika, Sabtu (10/11), Roy menyampaikan pengakuan dosa sebagai salah seorang yang pernah tersangkut kasus naskoba. Yang sangat ironis lagi, Roy Marten malah ikut meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding) yang menyatakan perang terhadap narkoba.
Begitu antara lain berita Harian Tribun Timur dan sejumlah koran lain di Makassar, Rabu(14/11). Ketika mendengar dan mengetahui Roy Marten kesandung narkoba lagi, saya tiba-tiba teringat suatu hari beberapa tahun silam. Hari itu, Prof. dr. A Husni Tanra, PhD, Sp An secara khusus mengajak saya untuk menyaksikan sebuah ’operasi pelucutan racun narkoba’ di salah satu ruangan di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo. Operasi ini dalam istilah medis disebut ’’rapid detoxification’ atau pelucutan racun (narkoba) secara cepat.
Selaku wartawan, sebelum saya masuk ke ruangan operasi, Prof Husni minta saya ’meneken’ perjanjian tidak tertulis. Ada tiga poin penting yang harus saya pahami dan taati. Kesatu, tidak boleh memotret. Kedua, tidak boleh menyebut nama pasien yang dioperasi. Ketiga, -- yang ini boleh – menggunakan nama samaran terhadap pasien dan mendeskripsi jalannya ’operasi pelucutan’.
Saya jelas tidak mungkin bertahan untuk mengikuti jalannya operasi tersebut sampai tuntas. Soalnya, operasi berjalan antara 12 s.d. 24 jam. Saya mencoba bertahan sekitar 30 menit untuk menyaksikan jalannya operasi dan melihat reaksi pasien ketika operasi mulai bergulir. Yang saya lihat dan ingat bahwa begitu proses detoksasi berjalan, tubuh sang pasien setiap beberapa puluh detik akan tersentak kaget. Ini mungkin merupakan salah satu gambaran betapa beratnya racun narkoba harus berpisah dengan darah sang pasien.
Menurut Prof Husni Tanra, hingga usai detoksasi, racun narkoba di dalam darah (jika berhasil) pasien akan hilang atau berkurang. Akibatnya, darah dan tubuh pasien tersebut tidak bisa lagi menerima jika zat narkoba itu dikonsumsi oleh pasien kemudian. Kalau pun dia mengonsumsinya, rasa enaknya mungkin sudah hilang. Tetapi, secara psihis, rasa ingin sang pasien tidak akan hilang. Jadi, yang diselamatkan adalah membebaskan darah sang pasien dari racun narkoba. Cara detoksasi seperti ini membutuhkan motivasi tanpa henti.
Kemarin, saya menelepon lagi Prof Husni untuk menanyakan bagaimana dengan pasien detoksasinya dulu. Beliau mengatakan, tidak ada laporan yang sampai kepadanya.
Rehabilitasi narkoba, menurut Husni Tanra, selain melalui detoksasi, juga dapat dilakukan melalui obat oral (minum) yang dilakukan secara sadar oleh perorangan. Namun itu memerlukan waktu yang lama. Cara lain adalah dengan motivasi melalui rehabilitasi di tempat khusus dan pesantren. Mereka dinyatakan sembuh jika sama sekali tidak bersentuhan lagi dengan barang haram tersebut.
Mengacu dalam kasus Roy Marten. Memang ada hal yang sumir dalam testimoninya kepada salah satu harian di Jawa Timur. Meski dia berapi-api menyatakan perang terhadap narkoba, tetapi aktor ganteng tersebut tidak mampu memberikan jawaban pasti mengenai apakah dirinya benar-benar sudah bersih dari narkoba. Dia hanya mengakui bahwa perjuangan untuk bersih dari narkoba sangatlah susah.
Roy memang benar. Membebaskan diri dari narkoba benar-benar sangat susah. Seorang yang pernah berurusan dengan barang psikotropika ini tidak akan pernah bebas atau sembuh sepanjang masih terus berhubungan dengan barang haram tersebut. Persoalannya, racun narkoba telah menotok bagian penting dari saraf otaknya.
Roy sebenarnya memiliki niat yang suci ke Surabaya untuk secara jujur menyampaikan testimoninya meninggalkan barang haram tersebut. Tetapi, mengapa Roy Marten yang baru saja berbicara mengenai perang anti narkoba tiba-tiba terjebak lagi dalam kasus pesta narkoba dengan beberapa orang di salah satu hotel di Surabaya itu? Yang pasti, di hotel tempat menginap dia menemukan satu lingkungan yang favourable (menyenangkan) untuk menikmati barang tersebut. Aspek penunjang yang lain, dia bertemu lagi dengan salah seorang teman lamanya di sel tempat dia ditahan sebelumnya.
Jadi, sebenarnya, testimoni tidak menjamin dia akan meninggalkan kebiasaan sebelumnya. Apalagi, bagi mereka yang secara khusus tidak pernah menyampaikan pengakuan dosa di depan publik dan diliput media seperti yang dilakukan Roy Marten. Roy sudah memiliki ketergantungan. Dia sudah tahu dan merasakan enaknya mengonsumsi barang haram tersebut. Ketika menghadapi masalah, itu akan hilang ketika mereka kembali berurusan dengan psikotropika.
Bercermin pada kasus Roy Marten, testimoni dan meneken MoU anti narkoba ternyata tidak akan mampu mengalahkan keinginan mengonsumsi narkoba itu sendiri. Bayangkan, belum cukup 2 x 24 jam pasca testimoni dan MoU diteken, Roy Marten sudah ditangkap lagi. Dia mengatakan kepada pers sebelum ditangkap, pengguna narkoba tidak sepantasnya mendapat hukuman penjara. Rehabilitasi adalah tempat yang tepat untuk seorang pecandu memperbaiki dirinya, bukan penjara. Itu tidak akan menolong.
Statemen Roy Marten sangat benar. Penjara kini ternyata bukan tempat dan pilihan yang tepat sebagai lokasi para pecandu narkoba ’’ditobatkan’’. Soalnya, penjara pun bukan tempat yang steril bagi peredaran dan pengedaran barang haram tersebut. Sudah banyak kita baca dan ikuti di media cetak dan elektronik, akan maraknya transaksi narkoba di balik jeruji besi. Tampaknya, bisnis barang haram ini tidak peduli lagi. Tidak pandang lingkungan. Andaikata di kubur korban narkoba masih bisa menikmati barang psikotropika itu, mungkin ke sana bisnis barang setan ini akan menggebrak. Makanya, ada yang bilang, mereka yang pernah bersentuhan dengan narkoba dan tidak juga berhenti, sama dengan teken mati. Tinggal tunggu waktu saja. !

Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur, 15 November 2007

Pemerintah Tanpa Kasat Mata

Judul : The Invisible Government
Penulis : David Wise & Thomas B Ross
Penerbit : Sketsa
Tebal : 436 halaman
Cetakan : I/2007

‘’Tembakan anti serangan udara Indonesia mengenai pesawat pemberontak Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) B-26 dan dua pesawat pengebom yang kemudian meluncur jatuh ke laut (di Teluk Ambon). Sayap kirinya terbakar api. Pilotnya, seorang warga Amerika yang bernama Allan Lawrence Pope, melompat dengan sukses. Parasutnya terbuka sempurna. Tetapi, saat dia terbang turun ke sebuah karang kecil, parasutnya tersangkut di sebuah pohon kelapa sehingga kaki kirinya patah.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 18 Mei 1958. Pilot berusia 29 tahun itu baru saja menyelesaikan pengeboman dan memberondong landasan udara Pulau Ambon di Maluku. Itu adalah misi berbahaya. Tetapi Pope melaksanakannya dengan baik. Ketika pemerintah Indonesia mengumumkan penangkapannya, Duta Besar AS di Jakarta Howard P.Jones segera menyebut Pope sebagai ‘’warga negara Amerika yang terlibat sebagai seorang tentara bayaran’’.
Dua alinea penggalan kisah tersebut merupakan salah satu bagian dari kisah buku ini yang menggambarkan betapa Amerika Serikat telah melaksanakan suatu operasi yang merupakan bagian dari apa disebut sebagai ‘pemerintah tak kasat mata’ (Invisible Government). Intinya adalah, pemerintah negara adidaya itu melaksanakan suatu operasi terselubung ke berbagai negara di planet ini dengan seolah-olah sang kepala negaranya sendiri tidak tahu apa-apa atau berpura-pura tidak tahu. Operasi ini didalangi oleh Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency).
Di Indonesia, salah satu contoh yang dikemukakan di dalam buku ini adalah keterlibatan Allan Pope sebagai pilot bayaran CIA. Pria yang pernah diancam hukuman mati tetapi kemudian dibebaskan atas ‘’main mata’’ mendiang Presiden John F.Kennedy dengan Soekarno, sebelumnya pernah menjadi pilot untuk tugas operasi di Vietnam Selatan. Dia didekati CIA Desember 1957, lima bulan sebelum tertembak jatuh oleh sebuah kapal patroli Angkatan Laut Indonesia di Teluk Ambon.
Itu adalah salah satu contoh keterlibatan CIA di Indonesia. Dalam catatan lain (lihat Mossad, Behind Every Conspiracy karya Herry Nurdi), CIA juga dituding mendalangi peristiwa Cikini pada tanggal 30 November 1957, ketika 11 orang menemui ajalnya dan 30 orang lainya luka-luka. Dalang peristiwa itu, Kolonel Zulkifli Lubis disebut-sebut sebagai perwira yang tidak senang terhadap Bung Karno. Anehnya, bukti-bukti keterlibatan tokoh yang dikenal sebagai pioner intelijen Indonesia itu sangat kurang dan nyaris lemah.
Masih ada lagi operasi yang ditengarai CIA terlibat sebagai dalang di dalamnya, yakni pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang disebut-sebut didalangi oleh PKI dan didukung oleh suatu Dewan Jenderal. Pada tahun itu, sebuah radio bernama ‘Suara Indonesia Bebas’ saban hari meneriakkan ‘’berontak’’. Radio yang tak jelas lokasinya itu, dipancarkan dengan kemampuan pemancar besar. Tetapi seorang profesor dari University of Phillipine, Roland G Simbulan mengatakan, radio ini berada tepat di jantung Indonesia. Ia menambahkan, tahun 1965 radio pemancar bergerak sangat canggih dengan frekuensi tinggi pada gelombang pendek telah diterbangkan dari pangkalan militer AS di Filipina Tengah (Clark) menuju Jakarta. Atas perintah Direktur Asia Divisi Asia Timur Jauh, William Colby, pemancar tersebut ditempatkan di markas Jenderal Soeharto, di Kostrad.
Dari ketiga operasi terselubung CIA itu sasarannya adalah menjatuhkan Presiden Soekarno. Apakah ketika PRRI/Permesta dengan Allan Pope-nya, Peristiwa Cikini yang ditudingkan kepada Zulkifli Lubis, dan G-30-S/PKI dengan menengarai PKI yang didukung sejumlah perwira TNI, semuanya pada masa pemerintahan Soekarno. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa Soekarno mau digulingkan? Jawabannya singkat, karena Soekarno sudah lebih condong ke Rusia dan RR China yang komunis! AS sangat gusar dengan kondisi ini, sehingga harus melaksanakan aksi untuk menggulingkan Soekarno yang ternyata berhasil pada tahun 1965 itu.
Sengaja saya mengutip contoh-contoh ini agar kita lebih sadar sejarah. Dan kisah Allan Pope tersebut adalah sebagian kecil dari operasi yang dilaksanakan ‘’Pemerintah Tak Kasat Mata’’ Amerika Serikat ke berbagai belahan bumi ini yang tertuang di dalam buku setebal 436 halaman ini. Dari sekian operasinya, memang ada yang mencoreng muka AS sendiri, yakni kisah penyerangan ke Teluk Babi (The Bay of Pigs) Kuba yang gagal total dan kisah keterlibatan dan kegagalan AS di Vietnam Selatan. Tetapi AS tak terhenti oleh sebuah kegagalan. Kegagalan benar-benar dijadikan pelajaran untuk melaksanakan operasi baru yang berhasil. Seperti yang ngotot dia lakukan di Indonesia.
Dengan membaca The Invisible Government yang terbayang kepada kita adalah kekhawatiran yang begitu besar terhadap sejumlah aksi yang terjadi di Indonesia. Nurani kita mengatakan itu tidak benar, tetapi seperti tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti permisif. Yang membuat kita ngeri adalah ketika melihat anak negeri ini menyerang sesama umat lantaran berbeda pemahaman dalam soal agama. Ironisnya, umat Islam dengan mudah menghakimi sesamanya justru di tengah dunia mengecam zionis Israel. Dalam buku Herry Nurdi juga disinggung kaitan antara peristiwa pengeboman Bali dengan keterlibatan CIA dan Mossad. Mengapa mereka terlibat? Keduanya sama-sama Yahudi yang tidak ingin Indonesia berpenduduk mayoritas muslim akan merepotkan kedua negara itu ke depan. Dengan adanya kekacauan di dalam negeri, jelas kita akan sibuk mengurusi masalah internal kita. Tidak punya perhatian dengan masalah global yang sensitive dan berkaitan dengan kedua Negara itu.
Cara kerja mereka (CIA dan Mossad) sangat santun dan beradab. Tapi jangan lengah. Sebab, mereka sendiri pernah berkata:
‘’Cara kerja kami sederhana. Membuat orang merasa bahwa kami adalah sahabat setia mereka. Tapi yang sesungguhnya, kami tak pernah menjadi sahabat mereka’’.
Lalu seorang teman saya, Nuim Khaiyath, Penyiar Radio Australia yang anak Medan tulen dan dua kali bertemu saya (di New Delhi 1982 dan Jakarta 1987) dan memberi kata pengantar buku Herry Nurdi, berkata:’’Waspadalah, kita tidak pernah benar-benar tahu siapa yang duduk di samping kanan dan kiri. Saat kita lengah, mereka akan menikam dan tak meninggalkan jejak untuk dilacak’’.
Tak heran, kalau salah salah satu stasiun TV swasta dalam suatu acara rubrik siangnya selalu meneriakkan:’’Waspadalah! Waspadalah!’’.

M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas