Jumat, 10 September 2010

Lailatul Qadar

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Pada tahun 1996, saya menunaikan ibadah umrah, setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1992. Bersama Biro Perjalanan Haji dan Umrah Tiga Utama saya dan sejumlah anggota rombongan lainnya sempat menikmati hari-hari terakhir Ramadan di Mekkah dan Madinah Arab Saudi. Rombongan waktu itu cukup banyak. Jika tidak salah sekirtar 40 orang. Pas satu bus lebih sedikit.
Di antara rombongan – karena Pak Ande Abdul Latief akan menikahkan salah seorang putrinya di Masjidil Haram – sangat lengkap. Ada kiai (di antaranya, Prof.Dr.Halide, Zainuddin MZ, Muhammad Nur Iskandar SQ), para artis (di antaranya Dewi Yull, Dorce Gamalama, Nia Daniati, Henny Sanjaya, Firman Tomtam, dll), Prof.Dr.H.Basri Hasanuddin, M.A., Pak Iqbal Latanro, dan sejumlah wartawan, di antaranya Husain Abdullah, Fahmy Miyala, Aidir Amin dan lain-lain.
Yang menarik,setelah pesawat Garuda Indonesia Boeing 747 take off dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 17.00 WIB, Rakyat Indonesia yang menunaikan ibadah puasa, selalu berbuka dengan berpedoman pada saat tenggelamnya matahari. Rombongan kami terbang ke barat searah dengan pergerakan matahari yang akan kembali ke peraduannya. Kapan matahari hilang dari angkasa.
Para anggota rombongan mulai gelisah. Para kiai pun jadi sasaran dan serbuan pertanyaan penumpang yang menjalankan ibadah puasa. Kapan baru berbuka puasa jika berpatokan pada terbenamnya matahari. Wong mataharinya tidak lenyap-lenyap. Lewat jendela, saya menyaksikan matahari masih bersinar terang ketika pesawat diperkirakan sudah meninggal wilayah udara Indonesia (berdasarkan lama terbang). Para kiai juga bingung menjawab pertanyaan para penumpang. Akhirnya disepakati berbuka puasa berpatokan pada perhitungan waktu (jam). Kemungkinan besar, kami berbuka puasa tepat di sebelah timur Srilanka.
Tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah menggunakan kendaraan bus kami langsung menuju Madinah. Pagi hari pertama di Madinah, kami melaksanakan ziarah. Yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika di aya mencoba berpose dengan latar belakang masjid yang menjadi kiblat pertama salat umat Muslim tersebut. Lagi asyik berhaya, tiba-tiba Nia Daniati berlari dari belakang dan mepet sama saya (waktu itu, Nia Daniati sudah cerai dengan suaminya yang dari Brunei Darussalam, he..he..). Saya enjoy saja lagi, meski puasa saya mungkin ‘terusik’.
Di pasar Kurma, saya jadi deg-degan lagi. Pasar ini memang tidak pernah saya tandangi ketika menunaikan ibadah haji tahun 1992. Hanya beberapa orang saja yang turun dari bus. Seingat saya, beberapa orang artis juga turun. Yang membuat saya sedikit tak enak, begitu masuk ke pasar kurma, tiba-tiba saja Henny Sonjaya menggandeng saya.
‘’Hen.. ini Tanah Arab. Haram laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bergandengan tangan,’’ protes saya sama Henny.
‘’Mas, daripada saya digaet dan digandeng Arab……,,’’ tangkis Henny yang membuat saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya tidak – maaf – enjoy digandeng artis hitam manis tersebut soalnya di Tanah Arab dan dalam bulan Ramadan lagi . Yang membuat saya tidak enak, ada atasan saya (Prof.Basri Hasanuddin) di atas bus. Nanti beliau bilang apa dengan kelakuan bawahannya (saya Kepala Humas waktu itu dan sampai sekarang juga).
Tidak lengkap jika tidak mengisahkan acara buka puasa di Masjid Nabawi. Sudah banyak diketaui orang (yang pernah Ramadan di Madinah dan Mekkah), berbuka puasa di kedua kota suci ini sangat mengesankan. Nikmatnya luar biasa, meski tanpa nasi seperti kebiasaan orang Indonesia.
Ketika para jamaah mendekati Masjid Nabawi, sudah ada sejumlah orang yang menadah jamaah dan mengarahkannya ke kaplingnya masing-masing. Kebanyakan mereka ini adalah temus (tenaga musiman) dari Indonesia juga. Mereka inilah yang mengarahkan jamaah-jamaah yang datang agar memenuhi kapling (tikar) yang mereka sediakan. Saya memperhatikan, tiba di dalam masjid, malah jamaah yang sudah diarahkan tadi justru direbut lagi oleh penjemput yang di dalam masjid hingga satu kapling penuh.
Berbuka puasa di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram menggunakan korma yang setengah matang (warna kuning) plus the Arab atau air zamzam. Juga ada sekefrat roti. Hidangan itu sudah ada di depan tempat duduk masing-masing jamaah. Setiap orang tidak perlu mengintervensi bagian orang lain, sebab untuk dia sendiri lebih dari cukup. Korma setengah matang ditempatkan digelas-gelas plastik kerap tidak habis disikat, karena keburu azan. Berbuka dengan bahan seperti ini mampu menahan perut beberapa jam, sebelum makanan pokok nasi menyusul.
Yang hebat, begitu acara buka puasa selesai diikuti suara azan, kontan tikar-tikar plastik berikut isinya diangkat dalam sekejap. Tidak ada bekas makanan yang tertinggal. Sangat praktis, efektif, dan bersih. Kalau kita di Indonesia harus minta campur tangan sapu ijuk segala
Memasuki Mekkah kami beruntung dapat berbuka di luar kota Mekkah. Mengapa saya katakan beruntung, karena dapat menyaksikan lenyapnya matahari dan cerahnya angkasa di tanah Arab menjelang dan saat magrib. Saya berpikir, para pegawai Sara’ Arab Saudi memang lebih mudah menyaksikan awal bulan ketimbang di Indonesia. Mereka cukup keluar saja dari kota Mekkah untuk meneropong angkasa guna memastikan bulan baru muncul. Kalau di Indonesia, harus naik gunung dan bukit, mencari daerah ketinggian untuk mengeker bulan. Untung-untung kalau cerah, tetapi Indonesia sebagai wilayah tropis yang terbagi oleh dua musim (hujan dan kemarau), kendala awan lebih banyak ditemui.
Sopir & Lailatul Qadar
Prosesi pernikahan putri Pak Ande berlangsung di salah satu sayap Masjidil Haram pada pagi hari. Pada malam Lebaran selepas salat Isya, kami menumpang satu bus jalan-jalan ke Jeddah (jaraknya sekitar 75 km dan ditempuh sekitar satu jam lebih sedikit, karena kendaraan bergerak dalam kecepatan tinggi). Di Mekkah tidak ada orang takbir keliling macam di Indonesia. Takbiratul ihram hanya terdengar menggema di dalam Masjidil Haram dan melalui pengeras suara di menara-menaranya. Suasana jalan kota biasa-biasa saja (pada waktu itu, sebelum terjadi pembangunan Kota Mekkah seperti sekarang ini, sesuai yang saya baca dan lihat di media).
Dalam perjalanan pulang dari Jeddah, seorang teman membuat usil dengan mengusik sopir bus yang kebetulan (dari warna kulit dan posturnya) tampaknya berasal dari Afrika..Di tengah suara takbiratul ihram tanpa henti di atas bus, teman itu, keluarga Pak Ande yang kebetulan tinggal di Surabaya, menyalakan sinar laser malalui pointer ( yang biasa dipakai saat membawakan presentasi). Cahaya merah yang bergerak liar tepat jatuh di depan sopir. Awal-awalnya sopir tak memberi respon. Lama kelamaan, mungkin dia berpikir ada cahaya aneh, akhirnya terdengar suaranya merespons cahaya merah yang bergerak liar terse but.
‘’Allah Akbar..Allah Akbar, Lailatul Qadar…Lailatul Qadar…,’’ pekiknya sembari mengemudi mobil dalam kecepatan tinggi.
Para penumpang bus, termasuk saya, tidak pernah tahu penyebab sopir meneriakkan kata-kata itu. Bahkan saya sendiri menganggap biasa saja, karena kami memang sedang dalam takbiratul ihram bareng. Nanti setelah turun dari bus baru ketahuan, kalau salah seorang teman telah mengerjai si Afrika itu. Ada-ada saja.

Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, 8 September 2010.

Takbiran On the Road Mekah-Jeddah

Oleh M,Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Lebaran menjelang. Pikiran saya terkenang jauh-jauh puluhan tahun silam di kampung halaman. Tatkala masih kecil, pada ujung-ujung tahun 50-an dan awal 60-an menikmati Lebaran di kampung. Juga terkenang sekitar 14 tahun silam, saat sempat berlebaran di tanah asalnya Islam diturunkan Allah Swt, sebagai agama, Arab Saudi. Apa beda berlebaran di kedua tempat itu? Jelas ada.
Dalam penentuan saat Lebaran, di kampung masih menggunakan komunikasi konvensional. Mendengar berita melalui radio. Macam di kampung saya, desa yang paling ujung di Kabupaten Bima, radio pada masa itu adalah barang yang superluks. Tidak banyak yang memilikinya. Bahkan, betul-betul bisa dihitung dengan jari. Setelah kakek saya yang pulang dari menunaikan ibadah haji tahun 1957 – dan almarhum selalu bangga bercerita kepada saya perihal kapal yang ditumpanginya transit di Pelabuhan Makassar dan memberinya kesempatan jalan-jalan di pasar Butung – hanya ada seorang yang punya radio, yakni pejabat gelarang (kepala desa) di desa tetangga.
Jika hendak mengetahui kepastian waktu Lebaran, seorang bilal (robo, dalam bahasa daerah Bima) malam selepas salat isya ke desa tetangga untuk nguping berita radio atau pengumuman pemerintah. Meski robo ini tidak dapat berbahasa Indonesia, namun dia dapat menangkap makna apa yang didengar di radio. Lagi pula, orang-orang yang ikut mendengar bersama dia tokh akan memberitahu kalau Lebaran jadi atau tidak dilaksanakan keesokan harinya.
Tanda Lebaran keesokan harinya adalah ketika robo kembali ke kampung dan serta merta memukul beduk bertalu-talu. Jika robo sudah mulai memukul beduk, maka kami – anak-anak kecil – akan ramai-ramai pergi memukul beduk hingga lewat tengah malam. Rumah saya berdampingan dengan masjid. Letak beduknya sekitar 50 meter saja dari rumah. Kalau terdengar pukulan beduk membangunkan orang memasak sahur, cukup kencang juga suaranya. Jadi, tidak pernah kepagian. Begitu pun saat menjelang Lebaran. Pada malam menjelang Lebaran pun tak terdengar gema takbir, karena pengumuman saat Lebaran justru diketahui menjelang tengah malam. Sekarang enak, sudah ada dan banyak TV.
Dulu, kalau Lebaran di kampung saya tidak ada kue dan ketupat segala. Pada pagi hari orang kampung saya makan normal saja. (Kecuali di kota dan akhir-akhir ini mungkin). Ya kadang-kadang ada juga kue ala kadarnya. Namun yang menarik adalah ketika selesai salat Ied di masjid. Di sepanjang jalan keluar ke jalan raya –kiri, kanan—penuh dengan jejeran para ibu (waktu itu wanita tidak ikut salat Ied, karena masjidnya kecil). Mereka akan menjabati tangan seluruh jamaat yang melintas di depannya. Inilah cara orang-orang kampung saya meminta maaf kepada sesama, meskipun mungkin saat memasuki Ramadan mereka ada yang saling mengunjungi untuk melakukan hal yang sama menjelang berpuasa.
Kalau orang dewasa saling minta maaf, lain pula kami, anak-anak kecil. Ada saja di antara tokoh informal kampung yang membuang uang receh ke udara dan membiarkan anak-anak memperebutkannya. Saya selalu kalah dalam memperebutkan uang receh itu, sehingga memilih minta saja pada ayah yang kebetulan termasuk yang suka melempar uang receh itu. Setelah itu, tidak ada prosesi menyemarakkan Lebaran lagi. Masyarakat kembali ke kehidupan seperti sebelum Ramadan. Ke sawah membawa bekal dan sebagainya.

Tanpa Takbir di Arab

Tahun 1996 saya menunaikan ibadah umrah. Waktu itu rombongan cukup ramai. Di dalam rombongan nyaris lengkap dengan personel dari berbagai latar belakang profesi. Ada kiai, artis, wartawan, birokrat, pengusaha, dan pejabat. Kalau soal berpuasa di Arab, tentu sudah banyak ditulis orang. Mungkin malam Lebaran saja yang sedikit dikisahkan jamaah umrah. Kalau pun ada, hanya untuk konsumsi sendiri. Tidak dalam bentuk dimasukkan ke domain publik, seperti media cetak. Namun sekarang dengan adanya ruang citizen reporter yang disediakan Tribun Timur, kita dapat mengetahui suasana Ramadan di Mekah dan Madinah dari sisi jamaah asal Sulawesi Selatan.
Gema takbir dan tahmid di Mekah – khususnya ketika saya berada`di kota itu – hanya terdengar di dalam masjid dan melalui menara-menara Masjidil Haram. Rombongan kami menggunakan satu bis khusus jalan-jalan ke Jeddah sambil melantunkan takbir dan tahmid. Mungkin juga Arab-Arab yang ada di took-toko pinggir jalan kaget, heran, dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang melaksanakan takbiran on the road itu. Kita hanya jalan-jalan saja, sembari menanti keesokan harinya, saat salah seorang putri Pak Ande Abdul Latif dinikahkan di salah satu sayap Masjidil Haram.
Kembali dari Jeddah, ada seorang teman bikin ulah. Seorang lelaki, keluarga Pak Ande yang tinggal di Surabaya. Saya lupa namanya. Dia membawa sebuah pointer, pen laser yang biasa digunakan untuk menyampaikan presentasi dalam suatu pertemuan. Ketika itu, saya duduk di kursi baris depan. Teman itu mulai menyalakan pointer tersebut dan sinar merahnya dipantulkan di depan sopir yang kebetulan berasal dari Afrika. Saya tahu asal kampungnya, karena melihat warna kulitnya.
Beberapa saat, si sopir tak peduli dengan sinar laser tersebut. Lama-lama akhirnya dia merespons juga. Mungkin dia pikir, pasti sinar ini sesuatu yang luar biasa.
‘’Allah Akbar, Allah Akbar, Lailatul Qadar, Lailatul Qadar…,’’ terdengar suaranya beberapa kali saat bus yang dia kemudi melintas di jalan bebas hambatan antara Jeddah-Mekah yang berjarak sekitar 75 km.
Begitu tiba di hotel di Mekah, teman yang mengerjai si sopir tadi tertawa.
‘’Saya kasih Lailatul Qadar ke sopir,.’’ tukasnya sembari terkekeh.