Kamis, 26 Maret 2009

Resensi Buku

Pemerintah Tanpa Kasat Mata

Judul : The Invisible Government
Penulis : David Wise & Thomas B Ross
Penerbit : Sketsa
Tebal : 436 halaman
Cetakan : I/2007

‘’Tembakan anti serangan udara Indonesia mengenai pesawat pemberontak Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) B-26 dan dua pesawat pengebom yang kemudian meluncur jatuh ke laut (di Teluk Ambon). Sayap kirinya terbakar api. Pilotnya, seorang warga Amerika yang bernama Allan Lawrence Pope, melompat dengan sukses. Parasutnya terbuka sempurna. Tetapi, saat dia terbang turun ke sebuah karang kecil, parasutnya tersangkut di sebuah pohon kelapa sehingga kaki kirinya patah.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 18 Mei 1958. Pilot berusia 29 tahun itu baru saja menyelesaikan pengeboman dan memberondong landasan udara Pulau Ambon di Maluku. Itu adalah misi berbahaya. Tetapi Pope melaksanakannya dengan baik. Ketika pemerintah Indonesia mengumumkan penangkapannya, Duta Besar AS di Jakarta Howard P.Jones segera menyebut Pope sebagai ‘’warga negara Amerika yang terlibat sebagai seorang tentara bayaran’’.
Dua alinea penggalan kisah tersebut merupakan salah satu bagian dari kisah buku ini yang menggambarkan betapa Amerika Serikat telah melaksanakan suatu operasi yang merupakan bagian dari apa disebut sebagai ‘pemerintah tak kasat mata’ (Invisible Government). Intinya adalah, pemerintah negara adidaya itu melaksanakan suatu operasi terselubung ke berbagai negara di planet ini dengan seolah-olah sang kepala negaranya sendiri tidak tahu apa-apa atau berpura-pura tidak tahu. Operasi ini didalangi oleh Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency).
Di Indonesia, salah satu contoh yang dikemukakan di dalam buku ini adalah keterlibatan Allan Pope sebagai pilot bayaran CIA. Pria yang pernah diancam hukuman mati tetapi kemudian dibebaskan atas ‘’main mata’’ mendiang Presiden John F.Kennedy dengan Soekarno, sebelumnya pernah menjadi pilot untuk tugas operasi di Vietnam Selatan. Dia didekati CIA Desember 1957, lima bulan sebelum tertembak jatuh oleh sebuah kapal patroli Angkatan Laut Indonesia di Teluk Ambon.
Itu adalah salah satu contoh keterlibatan CIA di Indonesia. Dalam catatan lain (lihat Mossad, Behind Every Conspiracy karya Herry Nurdi), CIA juga dituding mendalangi peristiwa Cikini pada tanggal 30 November 1957, ketika 11 orang menemui ajalnya dan 30 orang lainya luka-luka. Dalang peristiwa itu, Kolonel Zulkifli Lubis disebut-sebut sebagai perwira yang tidak senang terhadap Bung Karno. Anehnya, bukti-bukti keterlibatan tokoh yang dikenal sebagai pioner intelijen Indonesia itu sangat kurang dan nyaris lemah.
Masih ada lagi operasi yang ditengarai CIA terlibat sebagai dalang di dalamnya, yakni pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang disebut-sebut didalangi oleh PKI dan didukung oleh suatu Dewan Jenderal. Pada tahun itu, sebuah radio bernama ‘Suara Indonesia Bebas’ saban hari meneriakkan ‘’berontak’’. Radio yang tak jelas lokasinya itu, dipancarkan dengan kemampuan pemancar besar. Tetapi seorang profesor dari University of Phillipine, Roland G Simbulan mengatakan, radio ini berada tepat di jantung Indonesia. Ia menambahkan, tahun 1965 radio pemancar bergerak sangat canggih dengan frekuensi tinggi pada gelombang pendek telah diterbangkan dari pangkalan militer AS di Filipina Tengah (Clark) menuju Jakarta. Atas perintah Direktur Asia Divisi Asia Timur Jauh, William Colby, pemancar tersebut ditempatkan di markas Jenderal Soeharto, di Kostrad.
Dari ketiga operasi terselubung CIA itu sasarannya adalah menjatuhkan Presiden Soekarno. Apakah ketika PRRI/Permesta dengan Allan Pope-nya, Peristiwa Cikini yang ditudingkan kepada Zulkifli Lubis, dan G-30-S/PKI dengan menengarai PKI yang didukung sejumlah perwira TNI, semuanya pada masa pemerintahan Soekarno. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa Soekarno mau digulingkan? Jawabannya singkat, karena Soekarno sudah lebih condong ke Rusia dan RR China yang komunis! AS sangat gusar dengan kondisi ini, sehingga harus melaksanakan aksi untuk menggulingkan Soekarno yang ternyata berhasil pada tahun 1965 itu.
Sengaja saya mengutip contoh-contoh ini agar kita lebih sadar sejarah. Dan kisah Allan Pope tersebut adalah sebagian kecil dari operasi yang dilaksanakan ‘’Pemerintah Tak Kasat Mata’’ Amerika Serikat ke berbagai belahan bumi ini yang tertuang di dalam buku setebal 436 halaman ini. Dari sekian operasinya, memang ada yang mencoreng muka AS sendiri, yakni kisah penyerangan ke Teluk Babi (The Bay of Pigs) Kuba yang gagal total dan kisah keterlibatan dan kegagalan AS di Vietnam Selatan. Tetapi AS tak terhenti oleh sebuah kegagalan. Kegagalan benar-benar dijadikan pelajaran untuk melaksanakan operasi baru yang berhasil. Seperti yang ngotot dia lakukan di Indonesia.
Dengan membaca The Invisible Government yang terbayang kepada kita adalah kekhawatiran yang begitu besar terhadap sejumlah aksi yang terjadi di Indonesia. Nurani kita mengatakan itu tidak benar, tetapi seperti tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti permisif. Yang membuat kita ngeri adalah ketika melihat anak negeri ini menyerang sesama umat lantaran berbeda pemahaman dalam soal agama. Ironisnya, umat Islam dengan mudah menghakimi sesamanya justru di tengah dunia mengecam zionis Israel. Dalam buku Herry Nurdi juga disinggung kaitan antara peristiwa pengeboman Bali dengan keterlibatan CIA dan Mossad. Mengapa mereka terlibat? Keduanya sama-sama Yahudi yang tidak ingin Indonesia berpenduduk mayoritas muslim akan merepotkan kedua negara itu ke depan. Dengan adanya kekacauan di dalam negeri, jelas kita akan sibuk mengurusi masalah internal kita. Tidak punya perhatian dengan masalah global yang sensitive dan berkaitan dengan kedua Negara itu.
Cara kerja mereka (CIA dan Mossad) sangat santun dan beradab. Tapi jangan lengah. Sebab, mereka sendiri pernah berkata:
‘’Cara kerja kami sederhana. Membuat orang merasa bahwa kami adalah sahabat setia mereka. Tapi yang sesungguhnya, kami tak pernah menjadi sahabat mereka’’.
Lalu seorang teman saya, Nuim Khaiyath, Penyiar Radio Australia yang anak Medan tulen dan dua kali bertemu saya (di New Delhi 1982 dan Jakarta 1987) dan memberi kata pengantar buku Herry Nurdi, berkata:’’Waspadalah, kita tidak pernah benar-benar tahu siapa yang duduk di samping kanan dan kiri. Saat kita lengah, mereka akan menikam dan tak meninggalkan jejak untuk dilacak’’.
Tak heran, kalau salah salah satu stasiun TV swasta dalam suatu acara rubrik siangnya selalu meneriakkan:’’Waspadalah! Waspadalah!’’.

M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas
‘’PR’’ Akhirnya Tiadakah?


Tepat setahun lalu, saya menulis di kolom ini bertepatan dengan hari jadi Pedoman Rakyat (PR) di bawah judul ‘’Hari Ini Pedoman Rakyat Lahir’’. Pada akhir tulisan, saya mengutip satu penggalan kalimat Will Irwin, salah seorang anggota redaksi New York Sun di dalam sebuah buku berjudul The Art of FACT, a Historical Anthology of Literary Journalism yang ditulis Kevin Kerrane dan Ben Yagoda. Irwin menulis dalam karya monumentalnya yang dimuat di New York Sun bertajuk ‘’The City that Was’’, terhadap gambaran kota San Fransisco yang digoncang gempa hebat tahun 1906 dan porak poranda. ‘’Mungkinkah kota yang menangkap aroma malam-malam Arab itu bisa dibangun kembali? Rasanya semua itu tidak akan kembali sama’’.
Ketika mengutip penggalan tulisan ini, saya masih menaruh harapan besar PR akan seperti Kota San Fransisco itu. Dia akan dapat dibangun kembali, meski mungkin tidak akan pernah sama. Akan berbeda dengan posisi dan peran yang telah dimainkan PR selama bertahun-tahun. Ketika saya ke Soppeng pertengahan Februari 2009 ini, mantan wartawan PR, Sumardy mengatakan, bahwa orang masih mencari media tertua itu. Masih banyak orang mengimpikan kehadirannya, setelah selama nyaris dua tahun tiarap.
Kalau PR terpatri di hati pembaca itu sah-sah saja. Mencoba melupakan sebuah media yang lahir hanya selisih satu setengah tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan tentu terasa sangat sulit. PR kala itu hadir di tengah negara ini sedang digoncang revolusi fisik yang menempatkannya sebagai salah satu media perjuangan. Prof.Dr.Halide mengisahkan kepada saya bagaimana beliau telah ikut menjadi pengedar koran ini kepada orang-orang pada masanya agar tahu gejolak nurani perjuangan para pemuda yang terungkap melalui PR yang semula bernama Pedoman, kemudian Pedoman Wirawan, hingga menemukan nama Pedoman Rakyat hingga akhir kiprahnya .
Menerbitkan kembali PR seperti juga kisah Kota San Fransisco itu tadi, bisa-bisa saja, tetapi jelas akan berbeda dengan dulu. PR telah mencoba hadir dengan modern style ketika sempat beberapa bulan pada akhir tahun 2005 pengelolaan manajemen redaksionalnya dan keperusahaannya dipindahtangankan. Peralihan ini sebenarnya banyak menjanjikan harapan yang sangat positif. Namun selaku mantan pemimpin redaksi dan bergabung dengan media ini sejak akhir 1976, PR malah dibawa keluar dari khittahnya. Media ini menjadi salah satu koran partisan, sesuatu yang dihindari PR sejak lahirnya. Dalam banyak teori yang kita pelajari, media massa yang ideal tidak boleh memihak atau menjadi partisan.
Memang ada jurnalisme partisan yang berkembang di Amerika Serikat pada abad XIX, yakni satu bentuk media yang memihak kepada seseorang atau sesuatu pihak secara berat sebelah. Namun karena peran media harus memikul amanah right to know dari publik, maka jelas boleh dikatakan, sejatinya tidak boleh ada ruang bagi suatu media memperlihatkan dan menempatkan dirinya sebagai alat yang mengusung jurnalistik partisan. Menggiring suatu media yang mengandalkan jurnalisme partisan hanya akan membuka peluang bagi semakin kosongnya publik yang akan mencintai media tersebut. Tampaknya, itulah yang dialami PR ketika tampil beda dalam waktu beberapa belas bulan itu. Dia kehilangan pembaca, apalagi pemasang iklannya, sekitar 60%. Tragis.

Risko bisnis keluarga

PR pada awalnya diterbitkan oleh sebuah firma yang bernama Perak yang tidak lain kependekan dari Pedoman Rakyat. Ketika ada Peraturan Menteri Penerangan tahun 1988 yang mengharuskan seluruh media cetak memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PR) atau dikelola oleh sebuah koperasi, PR pun segera taat pada Permen Menpen tersebut. Salah satu media yang „bandel tidak mau mengikuti Permen itu adalah Mingguan Bawakaraeng pimpinan Ramiz Parenrengi (saya wawancarai beberapa waktu lalu). Akibatnya, Ramiz dengan jantan mengembalikan Surat Izin Terbit (SIT) yang mendasari media itu terbit sejak tahun 60-an kepada Kanwil Departemen Penerangan Sulsel sebagai ‚kaki tangan’ Deppen di tingkat provinsi. Pengembalian SIT sama dengan harakiri, bunuh diri. Waktu itu, bahasa (ragam bahasa Orde Baru) jika suatu media dibreidel, maka istilahnya adalah mengembalikan SIUPP ke pemerintah via Deppen. Jadi, dari segi kebahasaan cara mematikan koran itu sangat ’santun’, tetapi kenyataannya tetap saja tragis.
Untuk memperoleh SIUPP memang tidak mudah. Sebuah perusahaan pers harus mendepositokan dana awal Rp 250 juta. Jumlah ini pada masa itu hanya mampu ada di kocek suratkabar-suratkabar besar, termasuk PR. Kalau sekarang banyak media kecil punya SIUPP itu diperoleh pasca-reformasi setelah Yunus Yosfiah menjadi Menteri Penerangan.
PR pun berganti nama perusahaan yang mengelolanya. Nama PT Media Pedoman Jaya pun tampil sebagai baju yang jadi perusahaan yang menerbitkan media ini. Dalam dokumen akte notaris yang sempat diperlihatkan oleh salah seorang pemegang saham, saya melihat ada hal yang sepengetahuan saya tidak lazim. Perusahaan lama ternyata tidak dilikuidasi ke dalam perusahaan baru yang dibentuk, khususnya menyangkut seluruh asetnya. Saya sempat ’memprotes’ kecil kepada pemegang saham tersebut.
’Sepengetahuan saya, jika ada perusahaan baru yang dibentuk untuk melaksanakan kegiatan perusahaan yang sebelumnya, maka perusahaan lama harus mengalihkan seluruh asetnya ke perusahaan baru. Ini akan menjadi masalah di kemudian hari,’’ jelas saya.
Pemegang saham tersebut justru bergeming bahwa itulah yang benar. Saya pasrah dan bersiap menerima kenyataan apa pun yang bakal terjadi. Di belakang hari, apa yang saya gamangkan justru berkenyataan. Perusahaan baru yang dibentuk tidak bisa berbuat apa-apa dengan hanya mengandalkan manusia-manusia yang sudah mengabdi begitu lama dalam susah dan derita plus beberapa unit komputer. Selebihnya siapa punya? Jelas bukan perusahaan yang baru dibentuk bernama PT tersebut.
Saya tidak bermaksud meratapi sejarah masa lalu PR, tetapi sekadar ingin menuangkan sebuah jeritan nurani yang selama ini hanya bergumam atau sedikitnya dibisikkan ke sejumlah orang. Fenomena ini saya ungkap dengan maksud agar publik yang merasa memiliki PR mafhum dan maklum sejarah akhir perjalanan media yang pernah berjaya ini. Kita memang tidak bisa meratapi masa lalu secara berlarut-larut, kecuali menarik pelajaran dan hikmah untuk berbuat lebih baik lagi ke depan.
Lalu pertanyaan terakhir, bisakah PR seperti kota San Fransisco yang luluh lantak diterjang gempa itu dibangun kembali? Semuanya serba mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin dari sebuah upaya yang dilakukan manusia, kecuali menghidupkan kembali manusia lain yang sudah mati karena ulah manusia itu sendiri. PR bisa dibangun kembali, tetapi akan memakan waktu yang lama. PR harus mulai dari nol lagi dengan driver yang lain. Tetapi kapan?

Makassar, 1 Maret 2009

Lelaki Dua Perempuan

Ketika istri pertamanya melahirkan anak kedua, lelaki itu diam-diam menggaet perempuan lain. Menurut informasi, istri barunya itu nya seorang pembantu. Serapat bagaimana pun kisah pernikahan tersebut ditutupi, tokh akhirnya bocor juga. Melly, istri pertamanya tak juga protes. Padahal, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 sudah mengatur. Setiap lelaki yang hendak menikah lagi harus memperoleh persetujuan istri pertama. Itu pun alasannya harus kuat. Misalnya, dalam lima tahun berturut-turut tidak mampu memberikan anak. Tidak mampu memenuhi kebutuhan suami atau mengalami cacat permanen.

Melly yang seorang guru sekolah dasar termasuk perempuan penyabar. Memang ada riak kecil hingga nyaris minta pisah, tetapi mampu diatasi. Kalau pun keduanya memilih hidup pisah, tokh tidak masalah. Melly punya pekerjaan tetap, sebagai pegawai negeri. Anak yang dibiayainya pun baru dua. Memang ada suara, pihak keluarga lelakinya yang selalu mendorong Marlan agar menikah lagi. Tidak jelas apa alasannya.

Dimadu membuat Melly hidup dalam ketenangan yang terpaksa. Pasrah. Nasi sudah jadi bubur. Ibunya yang hidup dari pensiunan almarhum suaminya yang juga guru dan meninggal tahun 1960-an, ikut memberi ketabahan menghadapi hidup aaknya dimadu. Marlan membagi waktu secara adil buat istri-istrinya. Biasa sehabis bekerja di perusahaan pengiriman barang, dia datang istirahat siang di rumah Melly, meski pada malam harinya dia memberi giliran buat Meta, istri keduanya. Begitulah rutinitas kehidupan Marlan dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Dua keluarga tersebut hidup dalam kesibukannya masing-masing. Tidak ada saling komunikasi. Bahkan, terkesan terjadi kubu-kubuan. Tak pernah terjadi antara anak-anak dari Melly dan Meta saling berkunjung. Jelas tidak mungkin. Malah pernah anak sulung Meta dipukul adik kandung Melly, lantaran menjenguk ayahnya di salah satu rumah sakit. Anaknya juga tidak melawan. Mungkin juga tahu diri.

Pada tahun 1990-an, Marlan sakit. Dia terkena penyakit tekanan darah tinggi. Namun sesekali dia masih bisa masuk bekerja. Kalau sebelumnya, dia masih bisa naik sepeda motor sendiri ke tempat kerjanya, setelah sakit dia selalu dibonceng oleh anak-anaknya yang sudah besar.

Enam tahun silam, penyakitnya bertambah dan aneh. Parkinson. Mirip dengan penyakitnya Muhammad Ali, petinju legendaris berjuluk ‘’si mulut besar’ itu. Bedanya, Muhammad Ali masih bisa ke mana-mana dan menggerak-gerakkan kepalan tinjunya, Marlan justru tidak bisa. Kalau Muhammad Ali berbicara megap-megap, Marlan justru masih mampu mengucapkan kalimat dengan benar, meski sangat pelan. Diserang penyakit, Marlan mengandalkan pengobatan alternatif. Ogah masuk rumah sakit. Bukan tak pernah dibujuk, tetapi sesering itu dia menolaknya. Dia hanya terbaring di rumah. Makan dan buang air berlangsung di tempat pembaringan. Beruntung saat dia tidak mampu lagi bangun-bangun, Melly sudah memasuki pensiun sebagai guru. Jadi, dia punya banyak waktu untuk melayani keperluannya sekaligus merawatnya. Sesekali anak sulungnya bersama Meta, Tuti, memberanikan diri datang menjenguk ayahnya yang terkapar di rumah istri pertamanya. Melly, sabar saja menerima kedatangan anak tirinya. Mau diapa lagi. Tokh Marlan, juga ayah dari mereka.

Sekitar Agustus 2006, Marlan anfal lagi. Badannya lemah sekali. Dia dilarikan di unit gawat darurat rumah sakit. Inilah pertama kali dia berurusan dengan rumah sakit setelah anfal berat. HB-nya langsung drop. Belasan botol cairan infus terpaksa mengalir melalui nadinya dalam tiga minggu terbaring di rumah sakit. Kondisi tubuhnya menurun drastis. Padahal, ketika dia masih sehat, badannya cukup atletis.

Penyakit itu, kata keluarganya, gara-gara pengaruh pola makan yang kurang terawasi. Ketika sehat, makanan penuh kolestrol dia sikat saja. Padahal, melihat kondisi postur badan, mestinya dia mengendalikan pola makannya. Tetapi itu semua sudah terjadi.

Setelah tiga minggu di rumah sakit, Marlan pulang ke rumah Melly. Kembali lagi dia menjalani rutinitas keseharian seperti ketika sebelumnya tidak dapat lagi menjalankan aktivitas. Tiga minggu di rumah sakit hanya mampu mengembali kondisi tubuhnya dapat makan seperti semula. Soal buang air masih dilayani di tempat pembaringan. Makan pun disuapi.

Tanggal 24 Oktober 2006, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ketetapan pemerintah. Suasana rumahnya sepi saja. Anak-anaknya sibuk melakukan ziarah. Pada hari itu, kata salah seorang putrinya, sudah tujuh hari perut Marlan tidak mau terima nasi. Siang hari selepas perayaan hari Raya, Heni, adik kandung istrinya, datang berziarah. Heni tak menengok Marlan yang terbaring di salah satu kamar lantai bawah rumah berlantai dua tempat tinggalnya bersama Melly.

‘’Janganlah diganggu, mungkin lagi tidur,’’ kata Heni ketika mohon diri pada kakaknya.

Pukul 23.00 hari yang sama, telepon di rumah Heni berdering. Salah seorang putri Marlan menyampaikan bahwa ayahnya dalam keadaan genting. Tak lama kemudian menyusul telepon berikutnya. Dia sudah pergi. Berbarengan hampir pergantian tanggal.

Keesokan pagi, jalan di depan rumah keluarga padat oleh pelayat. Mulai dari seluruh keluarga dan juga sahabat dari anak-anak Melly. Bersama Marlan, Melly dikaruniai 9 anak. Lima laki-laki empat perempuan. Sedangkan bersama Meta, juga sembilan. Seorang anak laki-lakinya meninggal dunia. Tinggal tujuh perempuan dan seorang laki-laki. Mereka sudah besar-besar.

Tanggal 25 Oktober 2006, hari yang sangat mengharukan. Dua keluarga besar berbaur menjadi satu. Tentu, tanpa kehadiran Meta. Mereka berbusana hitam pekat. Tujuh belas orang anak meratapi kepergian ayah mereka. Memberi penghormatan terakhir kali pada pertama kali pertemuan bersama mereka selama ini.

Kurang 30 menit pukul 12.00, jenazah ayah mereka siap dimandikan. Seorang istri, tujuh belas anak berikut beberapa cucu mengerumuni tubuh yang sudah kaku terbungkus kain batik. Sejenak, kain penutup wajahnya disingkap. Anak kedua Melly tak mau lepas mencium wajah ayahnya. Lalu yang lain. Mereka melingkari tubuh yang terbaring kaku itu secara bersamaan. Inilah kesempatan terakhir mereka melihat wajah ayah mereka sebelum dimandikan.

Dua anak laki-laki dari dua istri mengangkat ayah mereka ke ruang lain untuk dimandikan. Saudara-saudaranya hanya bisa mengantarnya dengan tangis. Tujuh anak Meta saling berpelukan menangisi ayah mereka yang lenyap di balik pintu kamar permandian di sayap kiri, bagian utara – rumah. Suara isaknya melebur satu mengiringi sosok jasad kaku itu diangkat ke kamar sebelah. Dua perempuan sepupu sekali Melly yang selama ini sangat getol memrotes kehadiran Meta di kelompok keluarga mereka, diam terpaku. Darah mendidihnya ingin melabrak anak-anak Meta tiba-tiba seperti beku. Bersandar di tembok, keduanya bagai boneka. Mata mereka menohok sekelompok anak-anak Meta yang meratap saling berpelukan. Sebuah fenomena kemanusiaan yang tak terbayangkan sebelumnya.

Kematian orang tercinta mempersatukan mereka menjadi sebuah keluarga besar. Sayang, Meta tak bergabung dalam seremoni perkabungan. Termasuk pada tiga hari malam takziah yang padat undangan di rumah duka. Padahal, mungkin saja dua perempuan itu akan rujuk saja, menyusul anak-anak mereka bersatu mengantar kepergian lelaki yang mereka cintai ke pemakaman. Toh, tak ada lagi yang diperebutkan. Lelaki dua perempuan itu sudah pergi. ***