Selasa, 25 Mei 2010

SMI, Menang vs Ketergantungan

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Salah satu stasion swasta, Kamis (20/5) malam menggelar sebuah diskusi bertajuk ‘’Sri Mulyani Pemenang’’. Diskusi itu menampilkan tiga sosok pembicara dengan latar belakang berbeda. Pertama, Ikrar Nusa Bakti, salah seorang pakar sosial ekonomi yang cukup vokal ketika pemilihan presiden silam. Tokoh kedua adalah Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar yang juga Ketua Pansus Century. Ketiga, Fuad Bawazir, mantan Menteri Keuangan.
Saya tidak tahu pasti mengapa diskusi tersebut memilih judul seperti itu. Namun yang jelas, saya membaca kuliah umum Sri Mulyani Indrawati (SMI) di Hotel Riz Carlton Jakarta tanggal 18 Mei 2010 malam, yang hardcopy-nya disampaikan oleh seorang teman Kamis pagi, pada akhir orasinya, SMI berkata seperti ini.
‘’Di antara Anda semua yang ada di sini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini. (ada applause yang hadir). Saya merasa berhasil dan saya merasa menang, karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang’’. Ketika mengakhiri kuliah umumnya, berlangsung standing applause, merespons kuliah umum delapan halaman tersebut.
Sangat Bias
Komentar SMI ini sangat bias. Benar-benar sangat bias, kalau tidak dapat dikatakan sebagai ironi bagi ranah politik republik ini saat sekarang. Coba kita simak keberhasilan yang dia definisikan karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang menginginkan SMI tidak di sini. Alamat komentar ini jelas-jelas ditujukan kepada DPR dan siapa pun yang sepakat dengan hasil Sidang Paripurna Pansus Century. SMI gagak didikte dan merasa tampil sebagai pemenang. Luar biasa.
Kemenangannya tidak hanya sampai di situ. Tidak ada pihak mana pun yang mencoba meniupkan kalimat dengan satu kata ‘cekal’ terhadap SMI menjelang keberangkatannya ke Washington untuk menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia per 1 Juni 2010. Padahal, persoalan rekomendasi DPR terkait Kasus Bank Century belum selesai dan SMI (dan Boediono) termasuk dua sosok yang memiliki permasalahan dan bertanggungjawab dalam kasus penggelontoran dana Rp 6,7 triliun ke bank yang disebut sekarat tersebut.
Anehnya, kalau saja sosok lain dalam suatu kasus yang berurusan dengan lembaga tertinggi negara, pasti sudah keluar surat pencekalan. Dan, anehnya lagi, tak terdengar pihak mana pun yang meluncurkan kata ‘cekal’ terhadap SMI yang jelas-jelas sudah mengajukan pengunduran dirinya sebagai Menteri Keuangan lantaran dirangkul Bank Dunia untuk menjabat Direktur Pelaksana di bank global tersebut. Lebih lucu lagi, semua pihak seperti membiarkan scenario ini berhjalan. Seolah terjadi pembiaran,
Bayangkan saja, Komjen Susno Duaji, mantan Kabareskrim yang kini disekap di Sel Brimob Kelapa Dua saja, ditangkap di bandara oleh Polri hanya lantaran mau berobat ke Singapura. Inilah tampang diskiriminasi yang muncul dalam penegakan hukum kita. Belum lagi yang lain.
Yang lebih miris lagi adalah, KPK dan Polri menutup Kasus Century. Rekomendasi DPR terhadap kasus Century ternyata hanya sebuah sandiwara politik di atas tayangan media elektronik belaka. Sebuah sandiwara yang hanya menguras dana milyaran rupiah untuk membayar berbagai kebutuhan Pansus dalam menyibukkan diri dengan tayangan parlemen sedang mengadili para pihak yang terkait dalam kasus tersebut.
Kisah pansus tak bergigi memang bukan baru sekarang. Dulu, ada pansus tentang masalah kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Hasilnya, ya begitu saja. Ribut-ribut awal, kemudian lenyap begitu saja dengan senyapnya pula. Awam kemudian mulai curiga pada wakil yang mereka pilih, jangan-jangan pansus demi pansus hanya sekadar sinetron yang kejar tayang belaka. Alih-alih membereskan masalah penyalahgunaan dana Bank Century, justru yang muncul adalah penggelontoran dana untuk kepentingan pansus.
Apa yang kita lihat sekarang? Kasus Century tidak lagi tayangan utama media elektronik. Mungkin hanya segelintir orang saja yang mengenangnya. Ya, seperti seorang perempuan yang bernama Gayatri yang nyaris dianggap tidak waras lantaran melakukan demo dengan penampilan yang rada langka dan menarik perhatian. Kkasus Century telah tenggelam dilindas oleh berita (selalu) keberhasilan Polri menembak mati dan menangkap orang yang diduga teroris. Aksi penggerebekan tersebut selalu muncul tepat waktu. Saat DPR sedang rebut ribut sesuatu soal masalah. Belum lagi perhatian publik Indonesia tersedot oleh kematian Mama Lauren Handrijck Julien Pasaribu, meninggalnya pencipta lagu Bengawan Solo, Gesang, yang kian membuat publik Indonesia kian jauh meninggalkan dan mengingat Kasus Century. Beruntung di salah satu pojok layar kaca swasta masih ada tertulis’’Mengawal Kasus Century’’. Tetapi, apakah cukup dengan kalimat pendek tiga kata yang jadi spanduk di media elektronik tersebut?
Menang vs Ketergantungan
Meski SMI sendiri tidak mencantumkan pengangkatan dirinya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia sebagai unsure kemenangannya, orang-orang yang kurang membaca konstalasi permainan global, mungkin akan menganggap promosi salah seorang putra (i) Indonesia sebagai suatu prestasi luar biasa. Sebuah kebanggaan yang patut disyukuri. Saya justru sangat prihatin dengan pengangkatan SMI memimpin salah satu posisi di Bank Dunia tersebut.
Saya beralasan, secara umum Indonesia akan mengalami masa ketergantungan yang tidak berujung terhadap Bank Dunia. Saya khawatir, SMI akan menjadi jaminan bagi Bank Dunia untuk mengendalikan Indonesia demi kepentingan globalnya. John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (seri Indonesia terbit 2005) mengatakan, sumbangan Robert McNamara (selaku Presiden Bank Dunia) yang paling besar dan paling menyeramkan kepada sejarah adalah mengendalikan Bank Dunia menjadi agen kekuasaan global pada skala yang tidak pernah sebelumnya disaksikan. Ia juga menjadi teladan.
‘’Kemampuannya untuk menjembatani kesenjangan di antara komponen-komponen utama corporatocracy (sindikasi perusahaan) disempurnakan oleh para penerusnya,’’ kata Perkins.
Dia menambahkan, ‘kami para Economic Hit Man (EHM) mencapai banyak tujuan kami di tempat-tempat seperti Indonesia dan Ekuador’’. Dalam bukunya yang lain, Perkins juga mengatakan bahwa eksistensi Bank Dunia, termasuk International Monetary Fund (IMF), tidak lebih dari perpanjangan tangan Amerika Serikat sebagai upaya ‘memiting’ negara dunia ketiga agar tidak dapat lolos dari jeratan berbagai ketergantungan, jutang misalnya.
Sementara itu, Daniel Estulin dalam bukunya The Bilderberg Group, lebih berani dan terbuka lagi menulis bahwa banyaknya penolakan terhadap pengembangan energi nuklir untuk kepentingan perekonomian di banyak negara dunia ketiga, merupakan konstalasi global yang dikendalikan secara terstruktur oleh sejumlah negara adidaya yang termasuk di dalam kelompok tersebut. Mengapa energi nuklir dihambat dan dicegah kahadirannya, bahkan dengan memanfaatkan LSM lokal negara yang bersangkutan (dengan alasan berbahaya karena dampak kebocoran nuklir), karena jika suatu negara memiliki dan menggunakan energi nuklir, maka akan memperoleh energi yang sangat murah. Ketika energi murah, perekonomian akan berkembang dan negara tersebut akan mengalami kemajuan yang salah satu indikatornya adalah ketersediaan energy listrik yang cukup bagi pembangunan dan beroperasinya sejumlah industry dan infrastruktur lainnya. (Indonesia lagi berteriak dengan kekurangan daya listrik). Ketika suatu negara mampu mengembangkan energi nuklir untuk kepentingan listriknya dan negara mengalamai kemajuan dan ekonominya berkembang, ketergantungan terhadap negara donor akan berkurang, Bahkan hilang sama sekali. Indonesia memperoleh donor dari negara-negara yang masuk dalam Kelompok Bilderberg itu, yakni AS, Jepang, Jerman dan organisasi keuangan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank). Dua lembaga keuangan ini secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh kaki tangan dan negara adidaya.
Saya khawatir dengan kehadiran SMI di World Bank, membuat utang Indonesia akan terus membengkak. Sejak tahun 1997, Indonesia dibelit utang yang lebih kurang separuh dari anggaran negara. Utang tersebut menggerus sekitar 52% dari total penerimaan pajak yang dibayar rakyat senilai Rp 652,0 triliun (data akhir 2009).
Utang pemerintah hingga akhir 2009 tercatat US$ 67,86 milyar atau setara dengan Rp 1.602, 86 triliun, mengalami penurunan hanya Rp 33 milyar lebih (Rp 1.636,74 triliun) pada tahun 2008. Ketua Koalisi Anti Utang, Danny Setiawan sebagaimana dikutip Okezone per 4 Januari 2010 menyebutkan, penurunan rasio utang 30% bukan kabar baik bagi Indonesia, sebab jumlah utang Indonesia terus bertambah seiring dengan penarikan utang baru. Bahkan pada tahun 2010, kata dia, utang Indonesia sudah menyentuh angka Rp 233 triliun. Rasio utang terhadap perekonomian nasional pun sangat besar.
‘’Besarnya utang yang pembayarannya jatuh tempo tahun ini mencapai Rp 130 triliun,’’ kata Danny Setiawan.
Dekan Fakultas Ekonomi UI, Firmansyah mengusulkan agar pemerintah terus mendongkrak penerimaan negara melalui pajak dan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akhir tahun 2009 penerimaan pajak hanya Rp 652,0 triliun. Angka ini dari setoran pajak yang dihimpun Ditjen Pajak yang diperkirakan hanya Rp 549,9 triliun dari target APBN-P 2009. Hanya persoalannya, bagaimana mendongkrak penerimaan pajak kalau wajib pajak masih trauma dengan kasus Gayus. Kalau dulu Ditjen Pajak mengampanyekan, tidak bayar pajak, apa kata dunia, kini justru terbalik. Menilep uang pajak, apa kata dunia???

Menulis dengan Hati

Catatan M.Dahlan Abubakar

Ketika seluruh naskah rampung saya edit dan koreksi, 24 Mei 2010, saat-saat injury time penanganan final touch (sentuhan terakhir) buku ini, saya menemukan di Toko Buku Gramedia Panakkukang sebuah buku bertajuk ‘Jernih Melihat Cermat Mencatat’ Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas, Marthias Dusky Pandoe.
Saya membaca sebagian kecil di halaman-halaman awal buku yang baru terbit Mei 2010 ini. Banyak sekali kata mutiara yang sangat layak diketahui oleh komunitas wartawan (yang belum membaca buku itu) di dalamnya. Saya berpikir – maaf, tanpa mengajukan permohonan mengutip seizin penerbit sebagaimana tertulis di halaman sampul dalam buku – rangkaian kata mutiara ini harus – kalau tidak, wajib – saya tularkan ke komunitas wartawan.
Di dalam buku setebal 377 halaman itu, Pemimpin Umum Harian Kompas, Jacob Oetama, menitipkan pengetahuan yang sangat bermakna bagi mereka yang berprofesi wartawan. Dia terlebih dahulu menjuluki sang penulis buku (Marthias Dusky Pandoe, selanjutnya saya singkat MDP, sesuai inisial di ujung berita Kompas yang ditulis yang bersangkutan) dengan fraternization, yang artinya, mudah kenal dengan figur sumber berita. Saya mengutip istilahnya, bukan karena terhadap seorang MDP saja, melainkan seluruh wartawan pun harus memilikinya.
Kata Jacob Oetama, posisi wartawan yang fraternization seperti itu, memungkinkan dia memiliki keakraban dengan sumber berita. Keakraban merupakan modal untuk memperoleh informasi selengkap mungkin. Awal keakraban adalah kepercayaan, trust.
‘’Keakraban bisa menguntungkan dan merugikan,’’ kata Jacob Oetama lagi.
Menguntungkan, karena informasi apa pun, termasuk yang off the record, yang sifatnya back (ground) information, disampaikan secara utuh, apa adanya, dan lebih lengkap. Karena kedekatan, sumber berita percaya tanpa memberi peringatan off the record, wartawan yang akrab dan kritis dengan narasumber bisa memilih dan memilah mana yang bisa dan tidak bisa dipublikasikan.
Sebaliknya, keakraban pun bisa merugikan. Sebab, bisa menimbulkan vested interest, wartawan tidak bisa membedakan lagi mana informasi yang menjadi berita. Ukuran yang dicapai adalah demi kenyamanan dan keselamatan sumber berita. Masyarakat, publik, dirugikan.
‘’The medium is the message,’’ kata Jacob Oetama, yang memaksudkan bahwa berita senantiasa punya pesan.
Kepentingan masyarakat adalah pegangan utama dan alasan pertama dimuat-tidaknya fakta dan informasi. Prinsip the news that they want to know, juga the news that they ought (seharusnya) to know. Seorang wartawan harus menulis dengan hati.
Lalu, bagaimana sosok jurnalisme yang baik? Wartawan senior Indonesia (kini berusia 88 tahun), H.Rosihan Anwar di dalam buku itu juga menulis dengan mengutip Lee Khoon Choy, seorang wartawan, diplomat, dan Duta Besar Singapura di Jakarta. Tulisan yang dimuat oleh Majalah Hongkong, Asiaweek, 9 Januari 1976 itu memberikan resep bagi jurnalisme yang baik.
Lee, kata Rosihan Anwar berbicara tentang 7 I (tujuh i), yang di dalam bahasa Inggris: interest (minat, perhatian), initiative (inisiatif. prakarsa), inquisitiveness (ingin tahu), ingenuity (kepintaran), insight (wawasan pengertian), inspiration (inspirasi, ilham), Integrity (integritas, kejujuran).
Inilah pegangan dan menjadi tanda-tanda khas dari jurnalisme yang baik. Lee, kata Rosihan, menekankan kepada integritas, kejujuran, dan ketulusan hati. Ini yang diharapkan jadi merek daqn label jurnalisme yang baik. Baik bagi wartawan puya dedikasi dan setia kepada cita-citanya, mengabdi kepada idealisme.
‘’Kalau wartawan-wartawan senior sekarang (seperti saya), diuji, barangkali tidak ada yang lulus ujian, mampu memenuhi ketujuh I (i) itu. Paling banter, hanya satu, dua, dan tiga sifat yang diakui bisa dilekatkan pada diri seorang wartawan yang sudah terkenal luas,’’ seloroh Rosihan Anwar yang ulangb tahunnya (10 mei) sama dengan MDP.
Katanya lagi, zaman sudah berubah. Tahun 2010 ini kita tidak lagi hidup dengan pers pergerakan rakyat, pers nasional yang anti kolonialisme, antiimperialisme Belanda. Pers sekarang coraknya lain, berorientasi pada keuntungan alias profit. Berorientasi bisnis dan dalam sikap perilakunya bersifat pers kapitalis.Itu tidak terhindarkan, karena bagian dari zeithgeist (semangat zaman).
Ilmu tentang tujuh I tersebut merupakan mutiara pengetahuan jurnalisme yang sangat mendasar bagi seorang wartawan Indonesia, terutama bagi mereka yang saat ini sedang menekuni dunia jurnalistik. Terlebih lagi bagi mereka yang kelak akan bergabung ke dunia kuli tinta ini.
Pesan dari Mohammad Natsir yang dikutip MDP pun layak kita simak. Mantan Perdana Menteri ini benar-benar memberikan ilmu yang sangat mendasar bagi MDP, dan juga kepada kita generasi wartawan berikutnya.
‘’Jangan sekali-kali ada berita yang dibantah. Prinsip check and recheck harus dipegang, dan jangan memihak, tetapi berimbang,’’ kata Moh.Natsir yang dikutip MDP pada halaman 7 bukunya.
Natsir juga berpesan, patuhi kode etik, yakni tidak memberitakan sesuatu atau memberitakan sesuatu karena pesdan sponsor. Kalau ada sumber yang harus dirahasiakan cukup pemimpin redaksi yang diberitahu. Diancam hukuman sekalipun tak boleh membocorkan sumber.
‘’….. jangan campuradukkan fakta dan opini,’’ harap Natsir.
MDP yang menjadikan buku adalah guru yang tidak pernah marah, telah menempatkan diri seorang yang sukses tanpa gelar. Bermodalkan hanya tamat sekolah rakyat, dia menjadi wartawan. Liputan pertamanya, dia masih ingat, ketika di bawah bendera sebuah Koran di Jakarta, Keng Po, adalah rapat akbar di kawasan Tanjung Priok Jakarta. Yang jadi pembicara ketika itu adalah Gubernur Bank Indonesia (1953) Mr.Sjafruddin Prawiranegara.
‘’Isinya mengingatkan, Indonesia bakal terancam krisis akhlak jika praktik korupri berikut manipulasi tidak bisa diakhiri. Itu sudah membuktikan korupsi sudah menjadi bagian klasik dari kehidupan negeri ini,’’ tulis MDP.
Nah, apa yang dikemukakan Sjafruddin Prawiranegara 57 tahun silam itu, kini malah membuat pemerintahan republik tercinta ini menjadi ‘kocar-kacir’ oleh berbagai masalah yang kian semrawut.
****
SANG WARTAWAN, Profil 99 Jurnalis Sulawesi Selatan, kini menjadi public, karena sudah terbit menjadi sebuah buku. Kita ingin buku ini menjadi ‘guru yang tidak pernah marah’ (mengutip MDP). Dari isi buku ini, kita dapat mengetahui begitu banyak pengalaman para wartawan yang bergulat dengan idealisme kewartawanan yang tanpa pamrih. Mereka telah menjalani masa-masa sulit dalam menegakkan profesi ini pada masanya. Rentetan pengalaman yang tentu saja tidak akan pernah kembali lagi dalam format yang sama.
Sebagai penulis, saya berharap ambillah hikmah dari pengalaman mereka yang positif dan tinggalkan jika dianggap pengalaman yang kurang berkenan. Mungkin saja, karena era yang berbeda, ada saja pengalaman yang mereka ukir itu tidak pas benar dengan di kekinian kita. Untuk itu, tetaplah kisah mereka ini menjadi bagian sejarah, khususnya sejarah para anggota komunitas wartawan di republik ini dari masa ke masa.

Makassar, 25 Mei 2010.

Naskah ini merupakan 'epilog' dari buku yang saya tulis dan siap naik cetak dengan judul ''Sang WARTAWAN, Profil 99 Jurnalis Sulawesi Selatan'

Kamis, 20 Mei 2010

In Memoriam Fraknlin JH Nanuwasa

Oleh M.Dahlan Abubakar

Sabtu lalu, dua hari sebelum kepergiannya yang abadi, Babe – begitulah Franklin JH Nanuwasa karib disapa – minta sesuatu kepada salah seorang karyawan hotel. Sederhana permintaannya. Dibawa keliling kota Makassar. Sang karyawan tak bermaksud membaca, isyarat apa yang bakal terjadi dengan permintaan Direktur Operasi Hotel Makassar Golden. Yang penting bagi sang karyawan adalah memenuhi permintaan Babe. Membawanya keliling kota. Selesai.
Setelah meninggal dunia, semuanya terungkap bahwa keinginan pria kelahiran Ambon 10 Desember 1952 itu dibawa keliling kota Makassar, boleh jadi isyarat bagi kepergiannya itu.
Babe mestinya berangkat ke Jerman bersama Ibu St.Zaenab, kawan karibnya di SMKN 8 Makassar. Di salah satu negeri gudang pemain bola tersebut, Babe dihajatkan mendampingi para siswa yang melaksanakan studi banding.
‘’Nanti saya menyusul berangkat,’’ begitu Babe menjawab permintaan Zaenab, seperti terungkap dalam pertemuan saya dengan beberapa karyawan Hotel Makassar Golden, Senin (17/5) menjelang tengah malam di gedung PKK Kota Makassar, tempat jasad Babe disemayamkan menjelang diterbangkan ke lokasi persemayamannya yang terakhir di Surabaya, Selasa pagi.
Sama halnya dengan keinginan berkeliling Kota Makassar, kalimat yang berbunyi ‘’saya akan menyusul berangkat’’ pun mengisyaratkan ‘keberangkatan’ Babe ke dunia yang lain. Manusia yang berencana, Tuhan yang menentukan.

Pelopor PSG

Babe, termasuk sosok yang tidak tergantikan oleh siapa pun dalam urusan kuliner di Makassar ini. Kepiawaiannya dalam urusan jasaboga semua orang akui. Sudah lima presiden Republik Indonesia yang bertandang ke Makassar urusan menunya dipercayakan kepada dia sebagai chef-nya.
Keandalannya dalam urusan kuliner, telah menggamit SMKN 8 Makassar menggaetnya sebagai – apapun namanya – yang menjadi inisiator pelaksanaan Program Sistem Ganda (PSG), yakni bentuk bagian kegiatan praktik para siswa di hotel berbintang di luar negeri menjelang mereka menyelesaikan pendidikannya. Saya termasuk sangat intens menerima informasi dari Babe ketika saya aktif sebagai wartawan Pedoman Rakyat, media tertua di Sulsel yang tiga tahun mendahului Babe.
‘’Ada lagi anak-anakku saya mau kirim,’’ begitu kalimatnya yang tak berobyek selalu dia ungkapkan dan membuat saya cenderung terus penasaran.
‘’Nanti pi saya kirim ke emailmu….,’’ dia segera menambahkan begitu rasa ingin tahu mulai ‘mendidih’.
Atas jasa-jasanya ini, banyak peserta PSG yang magang di berbagai hotel berbintang di luar negeri. Yang paling banyak di Singapura. Ada juga di London, Inggris, dan Belanda. Dia sangat bangga kalau anak didiknya memperoleh kepercayaan dan prestasi sebagai the best dalam pemilihan peserta magang terbaik di hotel-hotel tempat mereka PSG.
‘’Anak-anakku dapat prestasi bagus,’’ katanya lagi suatu saat, jika memperoleh kiriman surat elektronik dari anak didiknya yang magang di luar negeri.
Bagi saya sebagai wartawan, Babe memang selalu membuat surprise bagi saya. Dia agaknya mengerti betul selera informasi yang saya perlukan. Informasi yang dia berikan selalu yang terbaik. Tidak jarang malam-malam dia menelepon saya dari Hotel Makassar Golden.
‘’Di mana ko,’’ inilah pertanyaan yang sudah sangat klise buat saya. Tetapi jawabannya selalu menitipkan sesuatu yang membuat saya sangat penasaran. Pasalnya, Babe tidak suka menelepon jika tidak penting. Jadi, kalau saya mendengar pertanyaannya seperti itu, pertanyaan saya juga rada klise juga.
‘’Perkembangan apa lagi yang dialami anak-anak,’’ Tanya saya.
‘’Nanti kau singgah saja di hotel,’’ begitulah Babe mengakhiri setiap percakapan kami, yang berbuntut saya harus menemuinya di salah satu kamar, tempat dia hidup laying hingga akhir hayatnya. Namun, kamarnya tidak pernah sepi dengan anak didiknya yang magang di hotel.
Begitu saya muncul, tawaran pertama yang muncul pun sudah klise.
‘’Kau mau minum apa?,’’ berondongnya.
‘’Biasa… bir hitam,’’ kata saya berkelakar
‘’Tuh.. bikin sendiri. Itu ada gula di sana,’’ katanya sementara tangannya sibuk mengotak-atik komputer mencari file tulisan, informasi yang akan dia print buat saya.
Begitulah rutinitas komunikasi saya dengan Babe dalam kapasitasnya sebagai komunikator dan saya selaku komunikan menurut teori Ilmu Komunikasi. Komunikasi kami seperti ini terhenti setelah saya kurang aktif menulis berita sebelum tahun 2006.
Saya memperoleh info duka ini dari rekan Asdar Muis RMS, Senin malam. Sambil menunggu kendaraan pulang ke rumah dan untuk selanjutnya saya gunakan melayat Babe di gedung PKK, di mailing list, sudah marak sejumlah testimony dari teman-teman yang pernah berinteraksi dengan Babe.

Salah seorang teman yang juga akrab dengan Babe, Canny Watae menulis. "Saya teringat awal-awal kami udarakan program Menu Minggu Ini di Suara Celebes. Suatu kali Babe keasyikan tertawa setelah berinteraksi dgn penelpon. Habis ketawa Babe lupa pakai suara tante We Win....sempat Keluar mi suara aslinya satu dua kata di udara, baru dia tersadar sambil nutup mulut dengan telapak tangan ha..ha..ha... Langsung saya kasih masuk iklan... Babe, babe... Kini ia telah bahagia, mengakhiri sebuah pertandingan besar: kehidupan. "
Lain lagi kisah Nasrullah Nara, Kepala Biro Kompas Makassar (kini).
Nar menulis.
‘’Ketika Bandara Hasanuddin mulai dibuka sebagai bandara onal
internasional awal tahun 1990-an, yang ditandai dgn mendaratnya Silk Air (malaysia), almarhum Babe sempat tersenyum sinis ketika ditanya bagaimana lonjakan wisatawan ke Sulsel. "Apa? Lonjakan? Merambat saja susah, sudah tanya angka lonjakan," begitulah Babe menjawab seraya meloncat sekali untuk memeragakan apa bedanya antara melonjak dan merambat. Met jalan ya Be."

SyahriarTato Lacoste Full "turut berduka,dalam berbagai perjalanan PKK propinsi Sulawesi selatan keluar negeri,saya selalu sekamar dengan almarhum"

Fransiska Monica "Kenangan tak terlupakan, waktu diacaranya babe (menu minggu ini) ada ibu2 yg menang kuis. Sebagai hadiahnya babe buatkan kue dr resep yg hbs dibahas minggu itu yg kemudian dikirim ke sc utk ibu pemenang kuis. Krn tdk tau tu kue buat siapa, kami di ruang tengah dgn asyiknya memotong tu kue,..... Pas masuk mulut, tiba2 pak kamal ke lt 2 menyampaikan kalo di lt 1 ada ibu yg mau ambil kiriman kue dari babe alias tante we win. Dengan muka pucat kami mengembalikan kue yg sdh dipotong ke posisi semula n berterus terang ke ibu di lt 1. Hahaha..... Sorry n slamat jalan be. We lope u full."

Yonggris Lao "Selamat jalan babe.. Semoga kedamaian & terang kebenaran sll menerangi perjalanan spiritual mu.. We love u be.. We love u so much... "

Neny Rosnaini Nemhal "Turut berduka cita atas meninggalnya Babe, semoga beliau mndapat tempat yg layak di sisi_Nya, Amin....."

Rizwan Muchsin mengomentari foto Hendra Nick Arthur.
"teringat kalo liputan d kantor gubernur dan MGH, sosok ini selalu memberikan kue ke para wartawan secara sembunyi-sembuyi... selamat jalan MAESTRO KULINER MAKASSAR ...!!!"

Tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur Makassar, 19 Mei 2010.

Senin, 03 Mei 2010

Siap Tak Siap Harus Terima

Implementasi UU No.14/2008 tentang KIP
Catatan M.Dahlan Abubakar

Kepala Humas Unhas

Ada kegusaran kecil di kalangan para pejabat Hubungan Masyarakat (Humas) perguruan tinggi negeri (PTN) dan Koordinatorat Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) se-Indonesia saat mengikuti Rakornas Kehumasan PTN dan Kopertis 2010 di Surabaya 16-18 April 2010. Kegelisahan ini muncul tatkala Dra.Henny S.Widyaningsih, M.Si., mantan Kepala Humas UI yang kini sebagai Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat tampil membawakan materi dengan topik ‘Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) (No.14/2008) dan Peraturan Komisi Informasi Pusat tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik’’. Bagaimana tidak ‘deg-degan’, UU tentang KIP tersebut 1 Mei 2010 sudah harus diimplementasikan, sementara di sisi lain, belum banyak pihak yang memahami secara detail UU tersebut. Kesan umum, daerah-daerah belum siap secara melembaga, meski sosialisasi sudah dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) segera setelah UU KIP diundangkan 30 April 2008.
‘‘Mulai 30 April 2010, setiap warganegara memiliki hak untuk mendapatkan informasi dari Badan Publik,’’ kata Henny Widyaningsih.
Yang repotnya, pemerintah provinsi tampaknya tidak siap mengimplementasikan UU ini. Indikasinya, dari 33 provinsi di Indonesia, baru Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memiliki pengurus Komisi Informasi Provinsi. Sementara daerah lain, Gorontalo, Jawa Barat, dan Banten baru akan menyusul.
Indonesia sendiri merupakan negara kelima di Asia yang memiliki UU KIP setelah Nepal, Thailand, India, dan Jepang. Di dunia ini baru terdapat 76 negara yang memiliki UU seperti ini. Terbitnya UU ini bagi Indonesia jelas akan membawa pengaruh dan perubahan dalam tata kelola institusi, terutama dalam hal mengelola informasi. Sebab, UU ini merupakan tuntutan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan syarat; adanya akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan tanggungjawab.
Bagi Badan Publik, manfaat keterbukaan informasi adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik dan bersih. Peningkatan fungsi, kualitas, dan kinerja Badan Publik. Menciptakan citra dan reputasi yang positif masyarakat. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.
Hanya saja, implikasi UU tentang KIP ini karena terkait masalah right to know dan right to tell (hak untuk mengetahui dan hak untuk mengatakan), maka terbuka kemungkinan rentannya hubungan antara badan publik yang bertanggungjawab menyediakan informasi dengan pengguna inmformasi publik.
Sesuai pasal 7 UU KIP, kewajiban Badan Publik; Menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi public. Menyediakan informasi public yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien. Membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik. Pertimbangan tersebut memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan Negara. Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
Meskipun ada kewajiban membuka akses bagi setiap pemohon informasi untuk mendapatkan informasi publik, namun ada informasi yang dikecualikan (pasal 17), yakni;
(a) informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum.
(b) Informasi publik yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
(c) Informasi publik yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan Negara.
(d) Informasi publik yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia.
(e) Informasi publik yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional.
(f) Informasi publik yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri.
(g) Informasi publik yang dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir atau pun wasiat seseorang.
(h) Informasi publik dapat mengungkapkan rahasia pribadi.
(i) Memorandum atau surat-surat antarbadan public atau intrabadan publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan.
(j) Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan UU.
Menurut Henny Widyaningsih, problem yang sering dihadapi oleh pengguna informasi adalah; informasi publik tidak tersedia, terlambat diberikan, diklaim rahasia secara sepihak, mekanisme pelayanan informasi publik yang buruk, dan akses informasi public yang asimestris,
Peran Humas
Kesiapan badan publik menjelang 30 April 2010 adalah membenahi website sesuai dengan ketentuan klasifikasi informasi yang sesuai dengan asas informasi dapat diakses secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan sederhana. Mengomunikasikan cara` mengakses informasi publik di badan publik dengan mencantumkan seluruh nama pejabat publik yang bertanggungjawab dan bagaimana menghubungi mereka untuk kebutuhan akses informasi yang mudah.
Badan Publik juga berwewenang untuk uji konsekuensi dan mempertimbangkan kepentingan publik dalam menetapkan informasi yang dikecualikan dengan mengkedepankan prinsip akses maksimum pengecualian terbatas. Memerlukan dukungan dan good will yang penuh dari pimpinan untuk menjadi motivator dan lokomotif dalam keterbukaan informasi.
Kesiapan badan publik menjelang 30 April 2010 adalah menyediakan sarana prasarana, seperti information and technology (IT), media centre, perpustakaan, meja informasi, dan ruang-ruang pengaduan. Mengalokasikan anggaran yang cukup untuk operasional tersebut, Membuat jaringan antar-unit dan antardepartemen atau interdep dalam konteks informasi yang terkait. Membantu pembuatan sistem monitoring dan evaluasi kualitas dan layanan informasi serta pengaduan atau respon atas permintaan informasi yang tidak memuaskan.
Sebagai corong badan publik, Hubungan Masyarakat (Public Relation) dalam KIP berperan, mendorong adanya ketersediaan informasi publik dan mengemas informasi tersebut ke dalam bentuk yang dapat dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat termasuk jurnalis. Memublikasikan klasifikasi informasi publik yang ada di lembaganya agar dapat diakses oleh publik. Jika posisi Humas badan publik diberi otoritas sebagai PPID, maka ada tuntutan peningkatan pemahaman staf Humas mengenai isi UU KIP.
Kemungkinan masalah yang muncul dalam pelaksanaan UU KIP kelak adalah tidak saja yang berkaitan dengan mereka yang tergabung sebagai pekerja pers, tetapi juga selaku pengguna informasi. Mereka yang berhak memperoleh informasi adalah yang mencatatkan diri (sesuai kartu tanda penduduk) sesuai dengan jumlah yang terdokumentasikan.
Menghadapi 1 Mei 2010, saat UU KIP diimplementasikan, tidak ada pilihan lain. Kita harus menerimanya, siap atau tidak siap.
Makassar, 28 April 2010

Pemerintah Global Tanpa Kasat Mata

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Kita tentu masih ingat dengan skandal Watergate pada awal tahun 1970-an yang membuat Richard Nixon terlempar dari kursi Presiden Amerika Serikat. Publik mungkin hanya tahu bahwa kejatuhan Nixon itu lebih karena kasus penyadapan rahasia yang dilakukan terhadap markas partai demokrat di sebuah tempat yang bernama Watergate.
Hingga kini, mungkin kita hanya mengetahui setidaknya tiga tokoh penting di balik terbongkarnya kasus tersebut. Tokoh utamanya adalah seorang yang mengaku bernama Mr Deep Throat, yang setelah 30 tahun teka-teki informan itu terpendam rapi akhirnya terbongkar juga. Dia tidak lain adalah Mark Felt, orang nomor dua di Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat.
Tokoh kedua dan ketiga adalah dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein yang mengungkapkan rahasia itu. Keduanya benar-benar telah memegang rahasia tersebut begitu rapat dan rapi selama tiga dasawarsa. Woodward dan Bernstein membuka rahasia itu setelah Majalah Vanity Fair dan keluarga Felt terlebih dahulu mengungkapkan kepada publik peranan Felt sebagai informan utama kepada dua wartawan tersebut.
''Mark Felt adalah tokoh Deep Throat dan sangat membantu kami dalam liputan Watergate kami,'' kata Woodward dan Bernstein dalam pernyataan bersama mereka di situs The Washington Post.
Istilah Deep Throat sendiri diambil dari judul sebuah film terporno pada era awal 1970-an, yang menggambarkan permainan seksual secara oral. Dan, pengungkapan tokoh Deep Throat ini mengakhiri salah satu misteri politik dan jurnalistik terbesar dalam masa modern dan mengakhiri spekulasi para sejarawan dan politisi selama tiga dasawarsa terakhir mengenai siapa sesungguhnya orang yang dimaksudkan.
Majalah Vanity Fair dalam laporannya mengungkapkan, Felt, kini pensiunan berusia 91 tahun dan tinggal di Santa Rosa, California, menyatakan sendiri kepada majalah itu dan keluarganya bahwa dirinyalah Deep Throat itu. Mark Felt sendiri sudah meninggal dunia dalam usia 95 tahun, tiga tahun silam dan dianggap sebagai pahlawan Amerika.
Informasi tersebut menyetop pengetahuan kita mengenai kasus yang menggemparkan sejarah pemerintahan AS itu sampai di sini. Namun ternyata, yang berperan dalam kejatuhan Nixon adalah David Young, kepala Plumbers, kelompok mata-mata bersifat inter-agensi dengan mental ala Gestapo yang bekerja untuk Unit Penyelidikan Khusus Gedung Putih yang diciptakan Nixon sendiri di bawah John Ehrlichman. Young sebenarnya bekerja di bawah pendiri Bilderberg, yang tak lain adalah Henry Kissinger, yang duduk di Dewan Keamanan Nasional dan ‘menyadap’ Gedung Putih. Kaset rekamannya adalah pemantik kejatuhan Nixon.
Sepak terjang mantan Menteri Luar Negeri AS tersebut terungkap polos dan jelas dalam The Bilderberg Group yang ditulis Daniel Estulin. Buku yang best seller pada 49 negara ini mengisahkan bagaimana sepak terjang organisasi rahasia paling berpengaruh yang mengendalikan dunia saat ini tersebut.
Buku yang diterbitkan tahun 2009 (di Indonesia diterbitkan dan hak terjemahan oleh Daras Book Jakarta) ini merupakan kisah bongkar habis mengenai sepak terjang organisasi yang pertama kali dibentuk di salah satu hotel kota kecil Belanda, bernama Oosterbeek. Hotel yang menjadi tuan rumah pertemuan perdana itu kemudian menjadi stempel organisasi yang merupakan korporasi global para tokoh politik transnasional yang paling berpengaruh di negaranya masing-masing. The Bilderberg Group, kelompok Bilderberg.
Anggota-anggota terpilih dari kelompok ini antara lain:Bill Clinton, Paul Wolfowitz, Henry Kissinger, David Rockefeller, Zbigniew Brzezinski, Tony Blair, dan masih banyak lagi tokoh kepala negara, pebisnis, politikus, bankir, maupun jurnalis dari seluruh dunia. Sesuai lokasi pertemuan tahunan organisasi yang dimulai sejak 1954 hingga 31 Mei-3 Juni 2007, tercatat negara-negara pesertanya adalah Belanda, AS, Jerman Barat (kini Jerman), Denmark, Italia, Inggris, Turki, Swiss, Kanada, Swedia, Prancis, Denmark, Belgia, Austria, Norwegia, Skotlandia, Spanyol, Yunani, Finlandia, Portugal, Irlandia, dan Israel.
Mereka mengadakan pertemuan selalu memilih hotel mewah di suatu tempat di dunia ini dan merumuskan masa depan kemanusiaan menurut selera dan versi mereka. Pertemuan demi pertemuan – di mana pun – haram diliput oleh media. Untuk mengantisipasi kemungkinan menyelinapnya kaki tangan pers, sederet pengawal bersenjata lengkap berjejer sebelum pintu masuk lokasi pertemuan. Memotret lokasi pertemuan bagi seorang wartawan adalah aksi tabu. Tentangan dari para penjaga yang bermuka garang dan galak selalu menguntit ke mana pun se-sentimeter pun para pekerja bergerak di sekitar lokasi pertemuan ‘pemerintah global tanpa kasat mata’’ ini.
Pelacuran Jurnalistik
Bagi AS, organisasi ini selain menjatuhkan seorang presiden (Nixon), juga setidaknya berhasil ‘memilih’ presiden negara adikuasa itu, yakni Jimmy Carter dan Bill Clinton. Pada tahun 1972, sekelompok pria dengan status mencolok bersekutu dalam acara makan malam dengan W.Averell Harriman, pria tua agung dari Partai Demokrat, seorang anggota Bilderberg Group. Fokus diskusi mereka adalah membahas siapa sebenarnya yang kelak dipilih sebagai Presiden AS tahun 1976. Beberapa nama diambil, dan menempati urutan pertama adalah James Earl Carter, Gubernur Georgia yang akrab disapa Jimmy Carter.
Tahun 1973, Rockefeller mengundang Carter makan malam di London agar bisa mengenal Gubernur Georgia yang anak petani kacang itu dengan lebih baik. Singkatnya, seperti yang kita ketahui, Jimmy Carter terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-39 pada tahun 1977. Sayang dia hanya mampu bertahan satu periode setelah dikalahkan oleh si bintang film koboi Ronald Reagan pada tahun 1981 dan memerintah AS selama dua periode.
Bilderberg pun berperan menaikkan Gubernur Arkansas, Bill Clinton menjadi Presiden AS ke-42 pada tahun 1993. Gubernur yang tidak terlalu popular ini, demikian istilah Daniel Estulen terhadap Clinton, menghadiri pertemuan Bilderberg pada tahun 1991 di Baden-Baden, Jerman.
‘’Mengapa North America Free Trade Agreement (NAFTA) adalah prioritas Bilderberg dan kelompok ini membutuhkan Anda,’’ kata David Rockefeller kepada Clinton. Setahun kemudian, Clinton terpilih sebagai Presiden AS.
Tidak hanya Clinton yang Berjaya, Tony Blair pun mampu diangkat kelompok ini menjadi Perdana Menteri Inggris. Blair menghadiri pertemuan kelompok ini tahun 1993, menjadi pemimpin partai tahun 1994, tiga tahun kemudian terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris.
Bilderberg tidak hanya menyetir siapa yang hendak diangkat kepala pemerintah suatu Negara, tetapi juga mampu memegang raja media di AS. Media-media raksasa Amerika Serikat seperti The Washington Post dan New York Times dapat saja menghindar menurunkan berita mengenai Perang Irak yang menghangat pada tahun 2002 dengan memilih judul-judul berita tak menggigit secara serempak. Hal ini disebabkan, organisasi ini juga menanam wartawan di kedua media raksasa ini. Perilaku media seperti ini oleh Estulin disebut sebagai pelacuran jurnalistik.
Sepak terjang kelompok Bilderberg ini identik dengan praktik sebuah pemerintahan global yang menguasai hak hidup manusia sejagat. Praktik mereka berlangsung sangat teorganisasi secara tanpa kasat mata.
‘’Apakah Anda pernah berpikir bahwa nasib Anda, keluarga Anda, anak cucu Anda, bahkan semua orang yang Anda kenal telah ditentukan di meja pertemuan kaum imperialis,’’ tulis Daniel Estulin.
Daniel Estulin adalah seorang jurnalis investigasi kelahiran Rusia yang mengendus Bilderberg Group selama 15 tahun. Buku tentang grup ini sudah diterjemahkan ke dalam 29 bahasa dan diterbitkan di lebih dari 49 negara. Onlinejurnal.com menyebut Estulin menjadi duri bagi anggota Bilderberg Group ini.

Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, Sabtu, 1 Mei 2010