Selasa, 15 Juni 2010

Ayam Tertawa di Pasar Hobi

Ayam jantan berkokok sudah biasa. Juga bukan barang aneh. Tetapi, ayam ‘tertawa’ baru aneh. Lantaran ada ayam bersuara aneh seperti ini, beberapa waktu yang lalu di Parepare dilaksanakan lomba ayam tertawa. Yang hebat lagi, pada saat para ‘pemenang’ diundang maju dan menempati posisi masing-masing dengan predikat juara yang diraihnya, ayam-ayam itu kompak juga memperdengarkan ‘tertawa’-nya yang berkepanjangan.
‘’Kalau yang juara itu, harganya tidak main-main, Pak. Bisa mencapai Rp 15 juta per ekor,’’ kata salah seorang penjual ayam tertawa di Pasar Hobi. Toddopuli, Makassar, ketika dikerumuni belasan mahasiswa peserta English Journalism dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sabtu (12/6) siang.
Kedatangan mahasiswa yang saya pimpin itu, sengaja untuk mengetahui perihal ayam tertawa itu. Menurut sang penjual, ayam yang tertawanya berdurasi sampai 30-60 detik harganya sangat mahal. Kalau pendek, harganya berkisar Rp 1 juta. Ayam sejenis ini ternyata berasal dari Sidrap. Untuk menciptakan ayam yang kelak dapat ‘ngakak’ tidak ada perlakuan khusus. Makanannya biasa saja, seperti yang dijual di pasar-pasar hobi seperti ini.
Dalam kunjungan itu, dua orang mahasiswa juga ‘mewawancarai’ seekor ayam jantan yang juga dikenal ‘suka tertawa’. Ketika ditempatkan di pinggir jalan, dia mogok tertawa. Selidik punya selidik, ada dua penyebab hingga ayam berwarna putih itu mogok tertawa. Pertama, dia kepanasan. Kedua, ternyata ayam itu keenakan dibelai salah seorang dari dua mahasiswa putri yang mencoba ‘’mewawancarainya’.
‘’Pantasan ayamnya tidak mau ‘tertawa’, dari tadi dibelai terus. Dengan pandangan mata menerawang dia tenang saja menikmatinya,’’ kata saya yang disambut tertawa kedua mahasiswa saya itu.
M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Kisah Kehidupan Penjara Masa Kini nan Tak Terceritakan

Judul : PENJARA The Untold Stories
Penulis : Ahmad Taufik
Penerbit : UFUK PRESS
Tebal : 189 halaman
Terbit ; April 2010

Pernah membaca MENGHITUNG HARI karya Aswendo Atmowiloto? Jika pernah, anda tentu akan dapat mengikuti laporan kehidupan penjara dalam kategori ‘soft news’ (berita lembut). Kisah demi kisah yang mungkin akan menyuguhkan perilaku manusia yang terkerangkeng dari aspek yang adem-adem, lunak. Tidak keras-keras amat, meski mungkin ada juga pertarungan hidup mati antarpara narapidana dan tahanan.
Akan tetapi jika membaca PENJARA The Untold Stories, Anda akan disuguhi rentetan hard news (berita keras). Tidak hanya berita-berita keras, tetapi juga satu bentuk produk kerja jurnalistik investigasi yang sangat berhasil. Tulisan-tulisan yang disuguhkan benar-benar memberi pemahaman yang sangat transaparan mengenai sepak terjang kehidupan dalam penjara yang tersembunyi dan tidak terceritakan selama ini.
Sebagai wartawan Majalah TEMPO (1984-1995), Ahmad Taufik bukan sembarang jurnalis. Dia sudah mengantongi seabrek predikat bergengsi sebagai award terhadap kerja profesionalnya di ranah jurnalistik. Soal dia menjadi salah satu penghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, kemudian ke Rutan Salemba, Jakarta, itu perkara lain, juga berkaitan dengan risiko sebagai seorang jurnalis.
Ahmad Taufik menggelar seluruh kehidupan yang tak terbaca di balik terali besi. Mulai dari persekongkolan ‘melarikan’ Edy Tanzil, kisah kehidupan sipir yang rutinitasnya terjebak dalam praktik ‘jeruk makan jeruk’, masalah judi, hingga narkoba.
Penulis juga secara deskriptif mengungkap ‘modus kongkalikong’ yang terjadi di balik penjara. Mulai dari ‘mengubah ayat, jual beli vonis, tahan vonis, penempatan, tahan badan, bebas bersyarat, hingga mengapa aku di situ?. Seluruh sesi ini ujung-ujungnya melibatkan uang. Gila. Sebuah aktivitas ‘perekenomian jahannam’ tak kasat mata yang dilakukan secara menggurita.
Bukan hanya itu, Ahmad Taufik juga menyorot masalah ‘Seks dalam kerangkeng’,’ Dari Polda ke Salemba’. Bagian ini merupakan kisah tersamar yang selama ini tidak banyak dikisahkan orang. Kalau pun diceritakan, hanya sebatas tuturan lisan dari mulut ke mulut. Sebagai seorang jurnalis dengan jam terbang yang sangat meyakinkan, Ahmad Taufik benar-benar telaten mendeskripsikan perilaku bejat yang dilakukan para tahanan di Polda Metro Jaya yang dia saksikan sendiri. Bukan cuma itu, sang penulis juga ‘merekayasa’ situasi agar dapat menyimak dan mengamati secara tersembunyi perilaku tahanan yang sedang melakukan ‘transaksi seksual’ dari balik jeruji besi.
Itulah salah satu masalah yang sangat tabu selama ini, disorot penulis di dalam buku ini. Bagaimana sikap yang sebenarnya pantas dilakukan binatang, tiba-tiba tanpa malu-malu dilakukan oleh seorang manusia yang berpikir waras meski dalam keadaan terkungkung. Saya pun tak sopan merinci kelakuan para tahanan itu. Silakan saja baca bukunya.
Buku ini – tanpa bermaksud mempromosi – memang enak dibaca. Gaya penulisannya mengalir, yang dikemas dalam aliran penulisan features (tulisan khas) yang sarat dan kaya dengan kadar entertain, anekdotis, humoristik, dan terkadang kocak. Banyak diksi yang –terasa vulgar jika dibahasakan sesuai aslinya – mampu ‘disederhanakan’ oleh penulis, namun tetap merepresentasikan gagasan dan pengertian denotatifnya.
Saya tidak bermaksud berlama-lama ‘mencengengi’ isi buku ini, tetapi mungkin ke depan, teman-teman jurnalis yang memiliki pengalaman ‘aneh’ seperti ini, juga layak mengikuti jejak Ahmad Taufik. Menulis pengalaman hidup mereka yang memang ‘untold stories’, kisah yang tak terceritakan. Selamat membaca.

M.Dahlan Abubakar

Minggu, 13 Juni 2010

Kasus A_LM Masuk Warung K5

Oleh M.Dahlan Abubakar

‘Popularitas’ video mesum pasangan elebritis A-LM yang berhasil menguasai pemberitaan media massa akhir-akhir ini, ternyata menembus ke ranah publik yang paling bawah. Warung makan ikan bakar di pinggir jalan pun menjadi area secara tidak langsung warga mendiskusikan video yang menghebohkan itu. Tidak heran memang, pasangan itu merupakan selebritis papan atas.
Jumat (11/6) sehabis menunaikan ibadah salat Jumat di Jl. Andi Pangerang Petta Rani, saya mampir di sebuah warung makan yang menjual ikan bakar. Warung ini pernah saya singgahi ketika pulang dari salat yang sama beberapa minggu silam. Karena ikan bakarnya enak, meski lokasinya jelas khusus untuk kelas warga kelas menengah ke bawah, tampaknya, membuat saya bersemangat mampir.
Ketika saya nongol, seorang lelaki setengah umur menyapa.
‘’Ayo, mari makan,’’ sapa pria berkacamata itu pendek dan membuat saya yang baru masuk dari tempat terang, belum mampu membedakan, siapa sebenarnya lelaki yang menyambut saya itu. Setelah ‘memory’ saya pulih, baru kemudian terungkap kalau yang menyambut itu adalah seorang maha guru di almamater saya. Saya ingat betul beliau dalam satu hal, yakni pernah menjadi guru saya ketika mengikuti kursus computer klasifikasi words, entah tahun berapa saya sudah lupa. Namun yang jelas, pada kursus yang dilaksanakan di salah satu ruang di jejeran gedung di Pantai Losari tersebut, nilai saya sempurna, A.
Seperti biasa, saya memesan ikan bakar bandeng. Sama dengan teman saya yang guru besar itu. Enak sekali makan tanpa beban, di lingkungan suasana warga biasa. Suasana makan yang selalu memberi perasaan yang sangat khas dalam diri saya. Bukan cuma itu, makan di pinggir jalan seperti ini membuat selera makan saya sedikit ‘menggila’. Berbeda dengan kalau makan di gedung-gedung ber-AC dalam hidangan prasmanan pr4oduksi cathering, selera makan saya lenyap sama sekali.
Baru beberapa suap nasi lenyap dari piring, tiba-tiba empat perempuan dewasa nongol juga di depan kami berdua.Tiga orang mengenakan pakaian non-islami (maksudnya, bukan jilbab). Seorang yang pakai jilbab, wajahnya cukup cantik. Saya menjadi sedikit ‘terganggu’, karena begitu muncul, pandangan matanya tertohok pada retina saya. Mungkin dia merasa mengenal saya. Saya rada seperti itu.
‘’Kira-kira apa yang jadi agenda diskusi empat perempuan di depanku ini nanti,’’ saya berguman.
Belum lama duduk, perempuan yang berjilbab membuka wacana. Astaga, saya kira menyangkut masalah Susno, Gayus, atau meninggalnya Andi Meriem Mattalatta beberapa hari lalu, ternyata justru yang diperbincangkan adalah kasus video mesum pasangan selebriti A-LM.
‘’Aduh, hebatnya itu video. Kayaknya A dan LM,’’ kata si perempuan berjilbab. Yang lain tak memberi reaksi berlebihan. Mungkin malu-malu dengan kami berdua yang duduk di depannya dan lebih dahulu menikmati makan siang.
Tiba-tiba saja professor, teman saya ikut nimbrung dengan wacana para ibu di depannya. Seolah tidak tahan lagi untuk tidak nimbrung.
‘’Tetapi kayaknya bagus juga untuk ibu-ibu,’’ ujarnya.
‘’Maksud Bapak?,’’ sang pemakai jilbab tertarik bertanya balik.
‘’Artinya, bisa mencontoh trik-trik yang ada di video itu biar Bapaknya selalu betah di rumah dan bersemangat,’’ jelas teman saya..
‘’Laki-laki itu tidak bisa dikekang.Berikan dia kepercayaan untuk menjaga dirinya sendiri,’’ kata ibu itu lagi rada filosofis.
‘’Tapi, LM sudah hilang ke Singapura,’’ katanya lagi.
‘’Untuk apa?,’’ tanya saya berpura-pura.
‘’Mau menghilangkan tatoo-nya,’’ jawab perempuan itu segera.
‘’Pasti ada bekasnya,’’ sahut saya.
LM memang memiliki tatoo kelelawar di pinggul kirinya. Tatoo ini dibantah sendiri oleh LM, tetapi seorang pembuat tatoo mengaku pernah didatangi selebriti itu untuk diukir tubuhnya.
Sambil menikmati kepala ikan bakar dan karena asyiknya diskusi, kuah sop yang juga tak kalah enaknya sampai saya lupa cicipi, benak saya terus bergulir memikirkan, kalimat apa gerangan yang bagus menjadi penimbrung dalam diskusi sambil makan dengan para ibu itu. Akhirnya saya dapat satu pertanyaan andai-andai.
‘’Bu, maaf, Bu. Ini seandainya, ya seandainya. Kalau seandainya ibu adalah LM, kira-kira apa yang akan ibu lakukan dengan situasi seperti itu,’’ Tanya saya dengan hati dig dag dug. Saya gusar, jangan-jangan ibu cantik itu akan merasa tersiinggung dengan ucapan saya. Ternyata tidak. Dia merespons baik.
‘’Kalau saya, akan mengaku saja. Tokh video itu milik mereka berdua,’’ katanya.
‘’Terus cukup dengan itu, Bu,’’ usut saya lagi.
‘’Setelah itu mereka menikah baik-baik. Tokh mereka satu-satu (satu duda dan satu lajang),’’ katanya lagi.
‘’Saya rasa-rasanya sepandangan dengan ibu,’’ sahut saya sedikit berempati.
‘’Orang Indonesia itu cepat sekali melupakan kesalahan orang,’’ saya mengimbuhkan, kemudian memberi contoh kasus Maria Eva yang terungkap beradegan hot dengan salah seorang anggota legislatif diri di sebuah hortel. Video yang direkam dengan menggunakan telepon genggam ini sempat menghebohkan publik di negara ini. Setelah kejadian itu, orang semua melupakan keduanya, seiring dengan hilangnya mereka dari peredaran. Namun nama yang perempuan kemudian muncul lagi menyusul hasratnya menjadi calon bupati Sidoarjo, yang tentu saja jelas-jelas ditentang banyak orang, terutama para ulama Jawa Timur.
Para ibu asyik menikmati hidangan makan siang yang mereka pesan, sambil menyilakan dua orang teman pria –rupanya—yang kebetulan duduk di samping jejeran kursi tempat kami duduk. Saat teman saya lebih dahulu pamit setelah membayar ongkos makan kami berdua, ibu cantik itu bertanya kepada saya aetelah mendengar saya mengucapkan ‘’terima kasih, Prof.’’.
‘’Nah, itu. Saya sudah bisa tebak. Bapak itu kerja di mana? Rasanya sering saya lihat,’’ kata sang ibu tersebut.
‘’Beliau salah seorang guru besar di kampus..,’’ saya menjelaskan nama perguruan tingginya.
‘’Kalau bapak?,’’ saya tidak sangka, dia balik bertanya pada saya.
‘’Saya hanya pesuruh dari beliau. Bukan siapa-siapa,’’ kata saya.
‘’Ah,, nggak percaya. Bapak pasti pejabat,’’ katanya tidak percaya.
‘’Apa model saya ini bertampang pejabat, Bu?, Kalaun pejabat, mana mau makan ikan bakar di-kentaki (kentara kaki) seperti ini?,’’ jawab saya.
‘’Iyalah…,’’ ujarnya dengan bahasa gaul.
Saya mohon pamit, karena dalam beberapa menit lagi akan harus ke gedung PWI, mengambil kendaraan sembari menunggu salah seorang mahasiswa saya di Unifa. Hari itu, pukul 13.30 saya harus hadir di kelas mereka.

Makassar, 10 Juni 2010.

Sabtu, 12 Juni 2010

In Memoriam Andi Meriam Mattalatta: Mutiara dari Selatan Telah Tiada

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Kabar duka kembali menyelimuti dunia musik Indonesia. Setelah sebelumnya musisi Pance Pondaag dipanggil Yang Maha Kuasa, menyusul rekan se-angkatannya, Andi Meriam Mattalatta. Almarhumah meninggal dunia di Belanda, Jumat (04/06) waktu setempat atau Sabtu (05/06) waktu Indonesia. Nama lengkapnya Andi Sitti Meriem Nurul Kusumawardhani Mattalatta.
Andi Meriam lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 31 Agustus 1957 dan meninggal di RS Zoetermeer, Zoetermeer, Belanda sekitar pukul 23.00 waktu Belanda atau Sabtu pagi WIB. Pelantun lagu Lenggang Jakarta itu wafat dalam usia 52 tahun, ketika tengah berlibur sekaligus mengunjungi anaknya yang berada di negeri kincir angin tersebut. Saat itu, menurut keterangan, almarhumah tiba-tiba pingsan dan tidak tertolong.
Komposer/pemusik Indonesia, Iskandar menciptakan lagu khusus Andi Meriem dengan judul ‘’Mutiara dari Selatan’’. Agaknya, lagu itu benar-benar memperoleh tempat di hati pecinta music di Indonesia, sehingga sang penyanyinya (Andi Meriem) pun dijuluki sebagai ‘’Mutiara dari Selatan’’.
Hubungan saya dengan Andi Meriem Mattalatta tidak dekat sama sekali. Yang saya tahu pasti, Mer, begitu dia akrab dipanggil, pernah menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Ketika itu, mahasiswa fakultas ini kuliah di Jl.Sunu. Seingat saya, Mer menjadi mahasiswa kira-kira dua atau tiga tahun di belakang saya. Tetapi, dia tidak terlalu aktif kuliah, karena kesibukannya sebagai seorang selebritis (penyanyi). Kalau dia muncul di kampus selalu menggunakan becak. Dia selalu tampil sederhana. Padahal, ayahnya adalah seorang petinggi di Makassar.
Tidak heran, di dinding kaca sebelah selatan kantor bagian Tata usaha Fakultas Sastra berjejer banyak surat dari penggemarnya. Saya tahu persis banyak surat untuk Mer, karena sebagai anak perantau, saat masuk kampus, jejeran surat yang beramplop dominan warna biru terlebih dahulu dilihat. Nah, pada kesempatan seperti inilah saya tahu begitu banyak surat buat Andi Meriam Mattalatta yang dilayangkan penggemarnya.
Setelah menjadi wartawan Pedoman Rakyat akhir 1976 saya sebenarnya berniat mewawancarai Mer ketika di kampus. Bagaimana pun sebagai selebritis yang mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, tentu merupakan berita menarik bagi publik Makassar. Apalagi ketika tahun 1977 selain membantu PR (di samping Identitas Unhas), saya juga sering mengirim tulisan ke Harian Suara Karya Jakarta (hingga 1983), hasil wawancara tersebut dapat saya sharing ke media-media tersebut.
Begitulah kondisinya, setiap Mer muncul di kampus tidak pernah lama. Selesai kuliah, dia tidak seperti mahasiswa lainnya, menyempatkan diri ngobrol dengan teman-teman di kampus. Dia langsung cabut dari kampus. Jadi, hampir tidak pernah saya memperoleh kesempatan menyapanya untuk sekadar wawancara.
Ketika sering mengikuti acara ayahnya, mendiang Mayjen (Purn). H.Andi Mattalatta, selaku wartawan olahraga, -- atas jasa baik Pak H.Abdul Kadir Buloto -- saya sering memperoleh kesempatan hadir dalam acara-acara keluarga H.Andi Mattalatta yang kerap juga Mer hadir. Sebagai seorang wartawan olahraga yang merangkap sebagai fotografer, ayahnya ketika menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pernah mengajak saya meninjau Pulau Salemo di Kabupaten Pangkep.
Perjalanan ke Salemo menggunakan dua speedboat. Satu speedboat dikemudikan Puang, panggilan akrab terhadap Pak Andi Mattalatta, bersama saya. Kami berdua. Boat ini bermesin ganda, masing-masing Yamaha 125 CC. Sebuah boat lainnya sebagai pengawal, juga membawa dua orang.
Saya tidak menghitung berapa lama waktu yang diperlukan ke pulau itu, namun yang jelas, boat bagaikan terbang mengarungi laut pagi yang masih terbilang tenang. Separuh badan boat berada di atas air. Puang memang salah seorang Bapak Ski Air Indonesia dan pernah menjadi atletnya dengan atraksi yang sangat spektakuler ketika masih usia muda. Oleh banyak orang, beliau adalah seorang olahragawan serba bisa. Selain sebagai atlet ski air, juga seorang petinju.
Pada saat pulang, air laut mulai bergelombang. Puang memilih menyusuri perjalanan lebih dekat ke arah pantai. Kecepatan boat separuh dari ketika akan berangkat. Juga sangat goyang, sebab air penuh gelombang. Diterpa angin laut, apalagi hari sudah sore, mata saya sulit dikendalikan. Terkantuk-kantuk. Terkadang mata saya terpejam beberapa saat, kemudian terbuka lagi ketika boat goyang keras karena menghantam gelombang laut yang agak tinggi.
Ketika tiba, Puang berkata.
‘’Tadi kamu tidur, ya. Berani juga,’’ katanya pendek, saat kami berdua kembali ke kawasan POPSA Makassar.
Selepas dari perjalanan laut yang menyenangkan ini, hubungan saya dengan Puang dan keluarganya kian dekat. Sebagai wartawan olahraga, Pak Kadir Buloto nyaris tidak pernah absen mengontak saya untuk meliput. Rata-rata acara tersebut dihadiri Puang. Biasa juga Mer hadir.
Dalam suatu acara peliputan di PON, saya lupa yang ke berapa, Mer hadir ikut men-support tim voli putri Sulsel yang jika tidak salah melawan Irian Jaya (kini Papua). Dia bersemangat berteriak bersama anggota kontingen PON Sulsel lainnya dari pinggir lapangan.
Sehabis pertandingan, hanya satu kalimat yang saya peroleh dari Mer untuk melengkapi berita mengenai kegagalan regu voli Sulsel mengalahkan Irian Jaya itu.
‘’Sayang tim kita kalah,’’ hanya itu kalimat yang dia lontarkan.
Saya tidak kehabisan akal. Meski Mer dikenal irit sekali dengan komentar kepada wartawan, namun suasana selama dia mendukung tim voli Sulsel itu cukup memberi warna terhadap pemberitaan saya keesokan harinya. Mer memang tidak seperti kebanyakan selebritis lainnya yang gampang mengumbar komentar. Jika ada yang mencoba menanyakan kepadanya, dengan senyum khasnya, dia selalu menampik.
‘’Jangan mi saya diwawancarai,’’ begitu katanya suatu saat ketika menyaksikan suatu pertandingan di Jakarta.
Pernah suatu waktu ada acara di Hotel Marannu Makassar, Mer juga hadir. Ketika itu Ibunya masih hidup. Saya lupa acara apa sebenarnya. Namun yang jelas, saya termasuk salah seorang yang ikut dilibatkan dalam acara itu. Tentu saja, sesuai dengan kapasitas saya sebagai wartawan. Mer tampil menyanyi. Saya memotret sepuas-puasnya, suatu kesempatan yang mungkin pertama kali saya peroleh selama ini terhadap aktivitas Andi Meriam. Dan, ketika itulah dia tidak bisa menghindar dari jepretan, seperti yang banyak dia lakukan jika saya mulai mengarahkan moncong kamera ke arahnya.
Jenazah dijadwalkan tiba hari Selasa di Indonesia. Keluarga besarnya telah mempersiapkan pemakaman di pemakaman keluarga Tana Maridi di Kabupaten Barru, Sulsel, 100 km dari Makassar. Mer akan berdampingan dengan pusara kedua orang tuanya.
“Kami berharap dimakamkan di dekat makam ibu dan bapak. Semua kakak yang sedang di Jakarta juga juga telah berembuk dan sepakat dibawa ke Makassar,” kata Andi Soraya, adik bungsu Andi Meriam saat ditemui inilah.com rumah duka di Jalan Ratulangi No 12 Makassar, Sabtu (5/6).
Mer mulai menyanyi sejak kelas 5 SD. Pada tahun 1970 dia meraih juara I Lomba Lagu Pop se-Makassar. Pada tahun 1973, anak kelima (Andi Hermin, Andi Ilhamsyah, Andi Radiah, Andi Faridah, dan Andi Soraya) dari enam bersaudara ini masuk dalam 10 finalis lomba lagu pop se-Indonesia. Sebelum aktif menyanyi, Mer adalah seorang atlet ski air. Bersama kakaknya, Farida, pernah meraih juara I Lomba Ski Air di Makassar.
Andi Meriem dikenal dengan sejumlah lagu yang cukup terkenal di eranya, antara lain: "Hasrat" ciptaan Dadang S. Manaf duet dengan Bob Tutupoly, "Sejuta" ciptaan Guruh Soekarno Putra, "Tiada Tanpa Kesan" ciptaan Ryan Kyoto, "Hari-hari" ciptaan Lea, "Angan Dalam Cinta" ciptaan Ancha VMH, "Wanita" ciptaan Junaedi Salat, "Hidup" ciptaan Oddie Agam, "Malam Tiba" ciptaan Oddie Agam, "Apa Dayaku" ciptaan Sam Bimbo, "Buku Buku" ciptaan Oddie Agam, "Kata Dan Perbuatan" ciptaan Tommy & Marie, "Hello-hello Jumpa Lagi", "Ding Ding Dong", "Andaikan","Bendera Cintaku", "Bimbang", "Bukan Ku Tak Percaya", "Cepatlah Kau Kembali", "Cintaku", "Hasrat Dan Cinta", "Janji" ,"Januari Yang Biru", "Kelabu", "Layu" ,"'Lenggang Jakarta", "Mudahnya Bilang Cinta".
Selamat jalan ‘Mutiara dari Selatan’, semoga abadi dan mendapat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Makassar, 7 Juni 2010.

Dimuat di Harian Tribun Timur 9 Juni 2010.