Minggu, 28 Maret 2010

Merokok, Benci Tapi Rindu

Oleh M.Dahlan Abubakar

Ketika mendengar Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah memfatwakan bahwa merokok itu haram (dari sifatnya makruh yang kita pahami) saya tiba-tiba mengingat masa-masa sulit yang dihadapi ketika masih merokok hingga masuk rumah sakit sampai tiga kali gara-gara merokok.
Saya termasuk perokok kelas berat yang sudah dua atau tiga kali tamat. Ketika menjadi mahasiswa dan masa kreatif saya menulis lagi gila-gilanya (meski menggunakan mesin tik), rasanya tanpa rokok inspirasi mandek. Ketika tiba di rumah kontrakan di Jl.Kandea II dari kantor redaksi Pedoman Rakyat (PR) tengah malam, saya kerap harus berjalan kaki atau naik sepeda lagi untuk mencari penjual rokok jika di tengah perjalanan mengetik stok rokok habis.
Saya ‘tamat’ (baca: berhenti) merokok, setelah jatuh sakit tahun 1981. Dokter mengingatkan, saya harus menalak tiga rokok jika ingin sehat. Istri saya yang juga perawat di RSU Dadi (kini di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo) pun selalu mengingatkan saya agar berhenti total merokok.
Saya memang berhenti merokok, entah berapa lama, ketika tiba suatu saat tiba-tiba mulut saya sulit lagi menahan diri. Awalnya sekadar mencoba-coba saja kembali menyulut rokok, lama kelamaan ketagihan. Bagaikan ada iblis yang menggoda dan merayu agar saya merokok lagi.
Repotnya, (me)rokok itu memiliki filsafat tersendiri, yakni filsafat rokok. Secara umum tidak pernah ada orang yang jatuh miskin karena merokok. Semiskin-miskinnya orang, tetap masih mampu mengepulkan asap rokok. Ini filsafat pertama merokok.
Kedua, merokok itu menciptakan persaudaraan, perkawanan, dan perdamaian. Seorang yang duduk berdekatan dan saling tidak mengenal di halte bus, sering menjadi akrab lantaran urusan merokok. Seseorang tiba-tiba saja menawarkan sebatang rokok kepada seseorang yang dia tidak kenal. Wahana tokok telah menjadikan keduanya saling mengenal setelah tidak saling kenal sama sekali.
Ketika saya sering ke Papua, salah seorang teman bercerita, kalau sebungkus rokok sering menyalamatkan perjalanannya ke daerah-daerah saat dia menjadi sopir truk pengangkut pasir belasan tahun silam. Dalam perjalanan menjajakan pasir di atas truk tersebut, tiba-tiba saja ada sekelompok kecil orang (penduduk asli) menghadangnya. Dalam situasi darurat seperti ini, rokok yang dia kantongi sering menjadi juru selamat. Dengan menyodorkan sebungkus dua rokok, perjalanan boleh dilanjutkan dan perjalanan pulang bakal aman.
Terhadap kasus Papua ini, rokok sebagai penyelamat bisa saja disiapkan oleh tidak saja mereka yang memang merokok, tetapi juga oleh mereka yang tidak merokok. Namun persoalannya adalah posisi rokok itu sebagai penyelamat dalam keadaan darurat.
Ketiga, gara-gara rokok, orang tidak segan-segan meminta rokok kepada temannya yang lain. Bahkan dalam situasi yang ‘tidak sungkan-sungkan’ meminta uang rokok. Dalam posisi yang negatif, beralasankan uang rokok, banyak mobil angkutan daerah yang dihadang oleh sekelompok pemuda ketika mengantar penumpang yang kemalaman melintasi lorong dan jalan kota yang sempit.
Keempat, dari aspek negatif lain, pemberian uang rokok dikategorikan sebagai suap atau korupsi yang permisif. Di tengah masyarakat kita ada model ‘penyuapan’ kecil-kecilan dalam bentuk uang sebagai imbalan terhadap seseorang yang telah melakukan/membantu melaksanakan sesuatu. Judul-judul uang sejenis ini misalnya; ‘uang rokok, uang bensin, uang pulsa, uang capek,’’ dan sebagainya.
Kelima, kenikmatan orang merokok sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hampir semua orang yang merokok tidak mampu menjawab bagaimana ‘wajah’ atau citarasa kenikmatan yang mereka rasakan tatkala mengisap sebatang rokok. Begitu pun ketika menikmati sebatang rokok usai menyantap suatu menu. Nikmatinya bisa lupa utang. Eu…enak tenanggggg..…!
Paruh tahun 1980-an, saya menganulir penamatan merokok. Mereknya macam-macam. Tetapi pada tahun 1999, tengah malam, belum sempat menghabiskan batang terakhir sehabis pulang kantor PR, saya dilarikan ke rumah sakit lantaran tiba-tiba penyakit saya kambuh lagi. Padahal, keesokan malamnya, istri saya akan ke tanah suci, menjadi petugas TKHI sekaligus menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya (setelah tahun 1992).
Ini masa-masa yang sangat berat buat saya dan istri. Saya harus dirawat inap, sementara 12 jam berikutnya sang istri harus masuk Asrama Haji Sudiang untuk kemudian terbang ke Tanah Suci. Dengan linangan airmata, dari ruang gawat darurat RSUP Wahidin dia menelepon sang dokter kelompok terbangnya.
‘’Dokter, suami saya masuk rumah sakit. Saya belum bisa bergabung di asrama haji. Mungkin besok malam saya masuk asrama,’’ suaranya terdengar bergetar kencang, terisak dengan airmata yang mengalir membasahi pipinya.
‘’Mami, berangkatlah ke Tanah Suci. Saya akan baik-baik saja. Ada anak-anak yang menjaga,’’ kata saya dengan suara serak.
Istri saya sepertinya tidak siap menerima perpisahan sebulanan itu. Dia hanya membayangkan bagaimana jika kondisi terburuk menimpa saya. Bagaimana pun, dia tidak pernah lenyap dari samping saya sedetik pun setiap suaminya dirawat seperti ini.Saya terus meyakinkan agar dia tetap berangkat melaksanakan tugas mulia dan memenuhi panggilan-Nya mengunjungi Rumah Allah lagi.
‘’Antarlah saya kembali ke rumah. Nanti secara periodik anak-anak akan mengantar saya ke dokter untuk mengontrol dan berobat,’’ kata saya.
Pagi keesokan harinya, saya memang diantar pulang ke rumah. Istri mengatur semua kebutuhan obat-obatan yang saya perlukan. Mengingatkan segala sesuatu yang tidak boleh saya lakukan. Berpesan kepada anak-anak (cuma dua orang) memperhatikan kebutuhan makan dan obat saya. Tak lupa mengingatkan saya agar jangan terlalu banyak bergerak. Hentikan dulu mengetik (soalnya, istri tahu tangan saya gatal kalau tidak mengetik. Ketika dirawat tahun 1981, masih sempat mengirim berita ke PR dari ruang perawatan rumah sakit).
‘’Membaca boleh,’’ katanya.
Siang hari, saya lupa bulannya, tahun 1999 itu, merupakan masa yang paling berat buat saya dan istri. Dia harus masuk asrama haji, meninggalkan saya yang terkapar di rumah ditemani sepasang anak kami. Saya juga pasrah jika kondisi terburuk terjadi.
Mengenakan sarung dengan kaos oblong putih, saya mengantar istri yang akan menaiki mobil Kijang warna hijau tahun 1988 kami yang akan dia kemudikan sendiri hingga di asrama haji. Dia diantar anak kami yang pria dan sulung. Airmatanya menyungai (men-sungai) ketika menitip pesan kepada puang di depan rumah agar melihat-lihat saya yang dia tinggalkan. Suasana hati sulit dilukiskan ketika istri mencium kening saya menjelang melangkahkan kaki menaiki mobil.
‘’Doakan saya baik-baik saja, Mi,’’ kata saya sebelum mobil yang dia kemudikan terus bergerak dan lenyap di ujung lorong.
Saya berhenti total merokok mulai tahun 1999 itu. Tetapi selera merokok saya nyaris kembali lagi tahun 2002, ketika selama sembilan hari melacak kisah H.Zainal Basrie Palaguna (untuk penulisan bukunya yang kemudian berjudul ‘Jangan Mati dalam Kemiskinan’) di Kalimantan Timur tidur sekamar dengan salah seorang teman yang perokok berat. Saya pikir, ulah coba-coba lagi ini harus saya akhiri sebelum tiba kembali di Makassar. Tidak boleh tidak. Nanti bisa disemprot istri.
Sejak tahun 2002, saya tidak pernah sentuh lagi merokok. Namun apa yang terjadi, pada tahun 2004, ketika asyik mengedit berita salah seorang teman di PR, tiba-tiba saya merasa sakit lagi. Istri saya kontak melalui telepon agar segera ke PR dan membawa saya ke rumah sakit. Saya membaringkan badan di mobil, di kursi pengemudi, sembari menunggu istri tiba dan akan membawa saya ke RSUP Wahidin Sudirohusodo lagi.
Seperti biasa, Unit Gawat Darurat sudah jadi langganan, sembari menunggu ada kamar kosong. Ketika dokter yang biasa memeriksa datang dan melihat saya terkapar, pertanyaannya cuma satu.
‘’Sudah merokok lagi, ya!?’’.
‘’Tidak, Dok!,’’ jawab saya pelan.
‘’Nah, inilah namanya perokok pasif. Mereka yang tidak merokok akan mengalami dampak yang lebih besar ketimbang mereka yang merokok,’’ dokter itu menambahkan.
Meski sang dokter tak menjelaskan, mengapa perokok pasif menerima dampak lebih besar daripada perokok itu sendiri, namun saya maklum. Perokok pasif memperoleh jatah negatif dua kali. Pertama, menghirup asap yang keluar dari mulut/hidung perokok. Kedua, asap itu sudah ‘pulang’ dari dalam tubuh orang lain baru dihisap oleh orang yang tidak merokok. Jadi, dampaknya dobel.
Saya memang baru sadar, bekerja di ruang ber-AC di kantor, dikelilingi oleh mereka yang rata-rata merokok. Jadi, asapnya jadi santapan teman-teman yang lain, lebih khusus yang tidak merokok seperti saya.
Dampak merokok ini pernah dilukiskan melalui kerusakan komponen tubuh dan ditempel di salah satu dinding lantai II Gedung Pascasarjana Unhas. Mengerikan memang (maaf, tidak bermaksud menakut-nakuti perokok). Menurut penelitian, rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 di antaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida.
Menurut Wikipedia, tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru.Sementara nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen (zat yang dapat menimbulkan kanker di jaringan hidup), dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Sedangkan Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek Racun
Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami risiko (dibandingkan yang tidak mengisap asap rokok): 14x menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan; 4x menderita kanker esophagus (kerongkongan, aluran cerna antara tekak dan lambung); 2x kanker kandung kemih; dan 2x serangan jantung. Rokok juga meningkatkan risiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung, serta tekanan darah tinggi.
Menggunakan rokok dengan kadar nikotin rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras, lebih dalam, dan lebih lama. Tidak ada batas aman bagi orang yang terpapar asap rokok.
Kini, fatwa PP Muhammadiyah itu hadir dengan serba kekompleksan. Jika orang benar-benar kapok merokok, maka pendapatan melalui cukai rokok yang mencapai sekitar Rp 55 triliun per tahun bakal terganggu. Bukan hanya itu, puluhan ribu karyawan yang menggantungkan hidupnya melalui perusahaan tersebut bakal menganggur.
Bagi saya, kini benar-benar sudah ‘tamat’ merokok dan tak pernah berniat kembali lagi mengepulkan asap dari ujung batang-batang tembakau yang digulung manis dan apik itu. Pernah seorang mantan atasan, yang juga saya posisikan sebagai teman, bertanya.
‘’Mengapa berhenti merokok, Lan,’’ katanya suatu saat.
‘’Bagaimana tidak berhenti merokok, ada orang yang minta sebatang rokok, tetapi justru satu bungkus di-embat semua. Gue bangkrut deh jadinya,’’ kelakar saya. Sahabat kental itu terkekeh dan secara halus mengumpati saya, merasa dirinya di posisi yang dimaksud.

Makassar, 19 Maret 2010.

Usul Nama Universitas Negeri di Bima

Oleh M.Dahlan Abubakar

1. Pendahuluan
Pujangga Inggris, William Shakespeare, pernah berkata, what is a name? Apalah arti sebuah nama? Meski pujangga tersebut mengatakan seperti itu, tetapi dalam konteks ini, kita tidak sepakat dengan Shakespeare. Nama adalah "jimat" untuk mengarungi dunia. Dunia apa saja, termasuk dunia bisnis dan selebritis. Nama merupakan pengenal untuk membedakan sesuatu dengan yang lain. Andaikan tidak ada nama, jelas kita selalu memanggil dan menyapa sesuatu dengan anu, yang kadang-kadang pada kondisi dan situasi tertentu bisa bermakna lain.
Kita memerlukan sebuah nama, karena memang lembaga yang sudah kita gagas dan akan hadir ini harus memiliki nama. Ini merupakan sesuatu keniscayaan. Sebuah lembaga pendidikan harus memiliki nama.
Untuk mengantar diskusi mengenai masalah nama ini, ada baiknya saya sedikit melakukan flashback, memberi sedikit gambaran selintas mengenai kehadiran sebuah universitas negeri di ibu kota kabupaten/kota. Hal ini penting saya kemukakan agar kita memiliki persepsi yang sama dan tidak mempersoalkan lagi bahwa sebuah universitas negeri harus berkedudukan di ibu kota provinsi.

2. PTN di Kabupaten/Kota
Dari sekian banyak universitas negeri di Indonesia, sedikitnya terdapat enam universitas yang berdiri di ibu kota kabupaten/kota. Institut Pertanian Bogor (IPB, didirikan 1 September 1963 setelah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan Peternakan Universitas Indonesia) Universitas Brawijaya (UB, diresmikan 5 Januari 1963) dan Universitas Negeri Malang (UM, berdiri pertama 18 Oktober 1954 dengan nama IKIP Malang) berdiri di Kota Malang. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) berdiri di Kota Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, 10 Februari 1961. Universitas Sebelas Maret (UNS) berdiri di Surakarta (Solo) berdiri tahun 1976, dan Universitas Trunojoyo yang diresmikan paling akhir, 23 Juli 2001 berdiri di Kota Pamekasan Kabupaten Bangkalan, Madura.
Berbicara soal nama, sejumlah universitas di Indonesia menggunakan nama tempat dan tokoh pahlawan setempat. Beberapa universitas yang menggunakan nama berdasarkan:
Nama tempat (geografi): Universitas Negeri Medan, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas Padang, Universitas Negeri Padang, Universitas Riau, Universitas Jambi, Universitas Bengkulu, Universitas Lampung, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Jember, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Tanjungpura Pontianak, Universitas Palangkaraya, Universitas Negeri Makassar, Universitas Negeri Manado, Universitas Mataram, Universitas Nusa Cendana Kupang, dan Universitas Papua Manokwari.
Berdasarkan nama tokoh: Universitas Malikussaleh, Universitas Syiah Kuala (Nanggroe Aceh Darussalam), Universitas Sriwijaya Palembang, Universitas (Sultan Ageng) Tirtayasa Banten, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Universitas Mulawarman Samarinda, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Tadulako Palu, Universitas Haluoleo Kendari, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Pattimura, Universitas Khairun Ternate, dan Universitas Udayana Denpasar,
Nama lembaga: Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan Universitas Pendidikan Negeri Singaraja,
Nama berdasarkan waktu/peristiwa: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Nama berdasarkan flora dan fauna: Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Jadi, begitulah pemberian nama seluruh universitas negeri di Indonesia dengan segala karakteristiknya.

3.Beberapa Nama
Kita pun dapat mengacu pada karakteristik pemilihan nama sesuai dengan nama-nama universitas negeri yang sudah berdiri tersebut. Namun demikian, setiap nama yang kita ajukan jelas harus memiliki latar belakang historis, rekam jejak, dan aspek-aspek lain yang dapat menunjang sebuah nama itu dapat ditetapkan dan dijadikan pilihan. Di antara nama-nama tersebut di atas ada juga yang selain dipilih sebagai nama universitas, juga merupakan nama bandar udara (bandara), misalnya; Hasanuddin, Sam Ratulangi, Pattimura, dan Sultan Khairun.
Berdasarkan pemikiran yang berkembang, nama yang digadang-gadang dan pernah disebut-sebut untuk sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Bima kira-kira adalah:
1. Universitas Negeri Bima
2. Universitas Sultan Abdul Hamid
3. Universitas Sultan Salahuddin
4. Universitas Abdul Kahir
5. Universitas Mbojo
Kita akan mencoba melihat latarbelakang nama-nama tersebut dengan menengok ke belakang, melihat kembali, apa dan bagaimana keempat nama ini telah hadir di sebuah wilayah yang kemudian bernama Bima. Dengan pemaparan latar belakang ini, kita berharap akan muncul dan mengerucut sebuah nama yang kelak akan kita gunakan dan abadikan sebagai ‘cap’ untuk universitas negeri yang akan kita dirikan.
3.1 Sang Bima.
Sang Bima adalah salah seorang putra dari Maharaja Pandu Dewanata. Pandu Dewanata (lihat M.Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara), adalah anak dari Maharaja Tunggal Pandita yang Maharaja Indra Ratu dan disebut-sebut sebagai asal usul raja-raja Luwu dan Sawerigading di Sulawesi Selatan.
Menurut Henri Chambert-Loir, (Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, 2004; 146) Sang Bima bersaudara empat orang. Sepeninggal Maharaja Pandu, Sang Bima mengajak adik-adiknya pergi bermain-main di dunia. Dia pergi ke Gunung Pajajaran di Pulau Jawa, kemudian bersalin nama menjadi Sang Prabu Jaya Lelana.
Secara ringkas, kita semua maklum, Sang Bima berjasa dalam perkembangan politik dan pemerintahan di Kerajaan Bima. Dialah yang berhasil mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat Bima yang terkotak-kotak ke dalam komunitas bernama Ncuhi. Nama Bima sendiri dipopulerkan oleh sejarawan Portugis dan Belanda dengan maksud menghilangkan nama yang melambangkan keaslian Mbojo.
Sebuah hikayat dalam Bahasa Melayu mengisahkan petualangan lima bersaudara Pandawa di Tanah Jawa. Menurut kalimat-kalimat pembukaan hikayat ini pengarangnya seorang dalang bernama Wisamarta, dalam masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah 1696-1731. Dengan demikian hikayat ini diperkirakan dikarang di Bima pada awal abad ke-18. Sebagian naskah hikayat ini ditemukan dalam dokumen yang berasal dari Makassar. Karena itu ada kemungkinan juga Hikayat Sang Bima dikarang di sana. Kini nama Sang Bima mungkin tidak ada dalam nama jalan di kota dan Kabupaten Bima. Kita tidak pernah tahu.
3.2 Sultan Abdul Hamid
Bergelar Mantau Asi Saninu (memiliki istana terbuat dari cermin), Abdul Hamid dilahirkan tahun 1176 H (1762 M) dan wafat 1 Ramadan 1234 H (Juni 1819). Mayatnya dimakamkan di halaman Masjid Kesultanan Bima. Ia dilantik sebagai Sultan Bima dalam usia 11 tahun pada tahun 1187 H (1773 M). Saudaranya, Abdul Mangga (Daeng Pabeta) pernah merebut kekuasan dari Abdul Hamid. Keduanya kemudian rujuk dan saling memaafkan.
Pada tahun 1810, Gubernur Willem Beeth mengundang Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi ke Makassar untuk membuat kontrak baru. Kontrak baru tersebut tidak dapat menolong, sebab pada tanggal 11 September 1811 Belanda takluk kepada Inggris. Bima pun bukan lagi menjadi jajahan Belanda.
Selagi menghirup udara baru yang segar bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial politik, di luar pengetahuan manusia, pada tanggal 11 April 1815 terjadi bencana maha dahsyat, yakni meletusnya Gunung Tambora yang konon kabarnya menewaskan 170.000 jiwa. Meski demikian, Sultan Abdul Hamid berhasil memperoleh bantuan dari berbagai pihak, antara lain dari para pedagang Makassar, Bugis, Maluku, Melayu, dan Banten yang menaruh simpati dan prihatin atas musibah yang dialami Kerajaan Bima. Pedagang asing pun ikut memberi bantuan, seperti Arab, Inggris, China, dan Portugis. Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi mampu memanfaatkan politik dagang bebasnya untuk kepentingan masyarakat Bima, sehingga krisis sosial dan ekonomi yang dialami dapat teratasi.
3.3 Sultan Muhammad Salahuddin
Sultan Bima yang ini bergelar Ma Kakidi Agama. Ia memerintah Kerajaan Bima antara tahun 1915-1951. Putra Sultan Ibrahim ini dilahirkan pukul 12.00 tanggal 15 Zulhijjah 1306 H (sekitar tahun 1888). Dia dilantik menjadi sultan pada tahun 1917. Gelar Ma Kakidi Agama diberikan, karena menjunjung tinggi agama Islam dan memiliki ilmu pengetahuan yang dalam serta luas di bidang agama. Sejak usia 9 tahun, beliau memperoleh pendidikan dan pelajaran agama Islam dari para ulama terkenal, antara lain; H.Hasan Batawi dan Syekh Abdul Wahab, Imam Masjidil Haram Mekkah.
Sultan Salahuddin memiliki koleksi buku-buku agama karangan ulama terkenal dari Mesir, Mekkah, Madinah, dan Pakistan. Di antara buku-buku itu ada yang dikarang oleh Iman Syafi’i. Juga memiliki ilmu Fiqhi dan Qira’ah yang luas.
Sultan Bima yang ini juga menulis kitab yang berjudul Nurul Mubin dan dicetak oleh Siti Syamsiah Solo dan diterbitkan dua kali. Terakhir diterbitkan pada tahun 1942. Di bawah kekuasaannya, bidang pendidikan berkembang maju.
Pada tahun 1921 di masa kepemimpinan Sultan Salahuddin didirikan Hollands Inlands School (HIS), sekolah untuk pribumi, setingkat sekolah dasar sekarang. Setahun kemudian didirikan pula sekolah kejuruan bagi kaum wanita, yaitu Kopschool dipimpin SBS Yulianche.
Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1931 mendirikan sekolah agama yang pertama di Bima, yaitu Madrasah Darul Tarbiyah di Kota Raba. Tiga tahun kemudian, didirikan Madrasah Darul Ulum Bima. Sekolah-sekolah agama dan madrasah pun dibangun di desa-desa demi memajukan pendidikan agama.
Guna menunjang kemajuan Madrasah Darul Ulum Bima, pada tahun 1941, Sultan Salahuddin mendatangkan Syekh Husain Syehab dari Jakarta. Syekh ini kemudian menjadi salah seorang perintis pendirian NU di Bima.
Atas inisiatif permaisuri sultan, 11 September 1944 didirikan Organisasi Keterampilan Wanita yang bernama Rukun Wanita dan kemudian melebur dalam Organisasi Wanita ‘Perwari’ (Persatuan Wanita Republik).
Oleh karena guru-guru HIS rata-rata berkebangsaan Belanda, maka Sultan dan Ruma Bicara mendatangkan guru agama yang berjiwa nasionalis dari Makassar yang bernama Muhammad Said. Guru ini menikah dengan gadis dari desa Ngali yang bernama Kabitia. Hasil perkawinan keduanya melahirkan seorang bernama Natsir, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Dr.H.M.Natsir Said, S.H., mantan Rektor Universitas Hasanuddin Makassar.
Sejak 5 April 1942, kekuasan di Kesultanan Bima sepenuhnya ada di tangan Sultan Muhammad Salahuddin. Mulai saat itulah, Bima menjadi sebuah kesultanan yang berdaulat. Namun pada tanggal 17 Juli 1942, Jepang pertama kali menginjakkan kakinya di Bima dipimpin Kolonel Saito yang seolah-olah bersifat simpatik terhadap rakyat Bima. Kenyataannya, justru tidak lebih sebagai penindas baru bagi rakyat Bima.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu 14 Agustus 1945 menimbulkan kekosongan kekuasan di Indonesia. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, atas nama Bangsa Indonesia.
Pekik kemerdekaan itu ternyata baru terdengar di Bima 2 September 1945. Gubernur Sunda Kecil, I Gusti Ketut Puja mengirimkan utusan untuk menyampaikan berita kemerdekaan itu kepada Sultan Muhammad Salahuddin. Berita gembira itu diikuti pengibaran bendera Sang Merah Putih di depan Istana Bima pada tanggal 31 Oktober 1945. Lima tahun kemudian, 3 November 1950, Presiden RI Soekarno mengunjungi Bima yang ketika itu masih dipimpin Sultan Muhammad Salahuddin.
Sultan Muhammad Salahuddin mangkat di Jakarta pada pukul 22.00 tanggal 7 Syawal 1370 H (11 Juni 1951M) dalam usia 64 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta. Atas permintaan pemerintah pusat – setelah sebelumnya dua tokoh bangsa, H.Agus Salim dan Moh. Natsir sempat mendoakan arwahnya – jenazahnya dibaringkan di Gedung Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta – tempat diproklamasikannya Kemerdekaan RI.
3.4. Putra Abdul Kahir
Nama Abdul Kahir pertama muncul ketika NICA _ystem ke Bima yang dibonceng tentara, Sekutu, Australia. Dia adalah bekas Komandan PETA dengan pangkat Dai Danco dan Haiho yang melakukan perlawanan terhadap kesewenangan NICA. Ia kemudian dipercaya sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut Hilir Ismail (hlm.181), semasa menjadi Komandan PETA, pemerintah Jepang telah memilih empat orang Komandan PETA dari seluruh Indonesia untuk mengikuti pendidikan intelijen di Burma. Mereka adalah antara lain Putra Abdul Kahir, dan Zulkifli Lubis, yang kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh yang ada di belakang Peristiwa Cikini, Jakarta. Sayang, sebelum mereka diberangkatkan, Jepang keburu menyerah.
Sepeninggal ayahnya, Sultan Muhammad Salahuddin, Putra Abdul Kahir tidak sempat duduk di atas hamparan Dipi Umpu Kesultanan (tikar kesultanan), karena _ystem politik dan pemerintahan sudah berubah. Masa kesultanan dan swapraja Bima berakhir, berganti dengan daerah swatantra lalu menjelma menjadi Daerah Tingkat II yang dipimpin Kepala Daerah dengan jabatan bupati.
Putra Abdul Kahir memimpin Kabupaten Bima sepeninggal ayahnya, mulai 2 Oktober 1950 hingga tahun 1967. Beliau kemudian diganti oleh Letkol H.Sudarmadji yang memimpin Kabupaten Bima antara tahun 1967 hingga 1974.
3.5 Mbojo
Nama Mbojo merupakan nama Bima dalam bahasa aslinya. Artinya, ketika seorang warga Bima berbahasa daerah, maka dia akan menggunakan kata Mbojo. Misalnya, nggahi Mbojo, dou Mbojo, dana Mbojo, dan sebagainya.
Menurut cerita orang tua-tua dan ahli-ahli Hadat Bima yang masih hidup sekarang ini (saat wawancara dilakukan), tulis Ahmad Amin (Sejarah Bima, stensilan, 1971) kata Mbojo berasal dari babuju, yaitu tanah yang ketinggian dan merupakan busut jantan yang agak besar. Dalam bahasa Bima disebut dana ma babuju, tempat semayam para raja ketika dilantik dan disumpah. Tanah tempat pelantikan itu, kini terletak di Dara, dekat Kompleks Makam Pahlawan di Bima (1971). Hanya sangat disayangkan, lokasi yang disebutkan itu sudah beralihfungsi sebagai tempat pemujaan.

4. Tawaran Nama

Dari lima nama tersebut, nama Bima digunakan terhadap nama kabupaten dan kota. Nama Bima untuk mengindikasikan kalau seorang warga Bima berbahasa Indonesia (Melayu). Sayang, kita belum mendengar di kota dan kabupaten Bima, adakah nama Jalan Sang Bima. Kalau Toko Bima ada di mana-mana, termasuk di Makassar ini, tepatnya di sebelah timur Makassar Mall sekarang. Nama kereta api juga ada, tetapi merupakan singkatan dari Biru Malam.
Nama Sultan Abdul Hamid, selain ada dalam buku sejarah, juga mungkin nama inilah yang mengilhami Marah Rusli menulis sebuah roman yang menarik berjudul :La Hami. Kita belum tahu pasti, apakah La Hami yang dijadikan judul roman percintaan dan petualangan itu, merupakan representasi dari seorang Sultan Abdul Hamid yang perrnah berkuasa di Bima selama 46 tahun itu. Wassalam bissawwab.
Kemudian nama Sultan Muhammad Salahuddin, selain diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bima, juga merupakan nama Bandar Udara (Bandara) di Palibelo. Penggunaan nama tokoh seperti ini juga digunakan oleh beberapa kota yang kemudian memilih nama tersebut sebagai nama universitas negeri yang didirikan di daerah itu. Misalnya saja Hasanuddin Makassar, Sam Ratulangi Manado, Pattimura Ambon, dan Sultan Khairun Ternate.
Sementara nama Putra Abdul Kahir terkenal ketika Kabupaten Bima memasuki masa pemerintahan sebagai daerah swatantra. Beliau adalah bupati pertama Kabupaten Bima yang selalu dekat dengan rakyatnya. Dalam setiap kunjungan ke desa (seperti disaksikan penulis ketika masa kecil di Kanca, Parado), beliau tak segan-segan naik truk bersama rombongannya jika meninjau suatu desa.
Nama terakhir adalah Mbojo. Hanya saja nama ini pernah direncanakan untuk mendirikan sebuah universitas swasta dengan nama Universitas Mbojo. Menurut salah seorang anggota DPRD Kota Bima, Abdul Latief dalam pertemuan dengan tim (Pendirian Universitas Negeri di Bima) di Kantor Pemerintah Kota Bima, 20 Februari 2010, pada tahun 1981 pemerintah Kabupaten Bima pernah membebaskan tanah beberapa hektar sebagai persiapan membangun sebuah universitas. Namun hingga kini, rencana tersebut tidak pernah terwujud. Anggota Dewan itu berharap, rencana pembangunan atau pendirian universitas negeri di Bima, tidak seperti tahun 1981 itu.
Jika kita melihat nama-nama yang terinventarisasi di atas, maka salah satu nama yang untuk sementara dapat kita keluarkan dari pilihan itu adalah nama Bima. Alasannya, nama Bima akan tetap mengikut pada keempat nama lainnya jika itu menjadi pilihan nama perguruan tinggi negeri yang akan kita bentuk kelak, sehingga pilihan akan seperti sbb:

Universitas Sultan Abdul Hamid Bima
Universitas Sultan Salahuddin Bima
Universitas Putra Kahir Bima
Universitas Mbojo Bima.

Sekarang, terserah forum nama mana yang akan dipilih sesuai dengan rekam jejak masing-masing tokoh dan nama itu. Salah satu nama yang ditawarkan adalah Sultan Salahuddin, juga sudah digunakan untuk memberi nama bandara yang sebelumnya bernama Pelabuhan Udara Palibelo Bima. Meskipun nama itu sudah digunakan untuk nama bandara, mengacu pada beberapa universitas negeri lainya di tanah air, penggunaan nama tersebut juga tidak ada salahnya jika diperuntukkan terhadap nama universitas.
Satu catatan terakhir saya, dalam diskusi yang berlangsung di Makassar, 25 Februari 2010, ada di antara teman warga Bima yang skeptis dengan nama yang cenderung berorientasi lokal. Ketika itu saya tidak menjawab secara langsung komentar tersebut, tetapi yang ingin saya katakan di sini bahwa di mana pun dan apa pun nama sebuah perguruan tinggi, sepanjang itu merupakan perguruan tinggi negeri akan tetapi menjadi alternatif pilihan para lulusan sekolah lanjutan atas. Universitas Hasanuddin Makassar pada awalnya tidak pernah membayangkan kalau sekarang ini dan di kemudian hari akan kewalahan menerima minat peserta dari seluruh Indonesia. Mulai dari Merauke hingga Sabang, dari timur ke barat. Tinggal bagaimana kita membina perguruan tinggi negeri itu hingga dapat berkualitas dan memiliki daya tarik. Ini menjadi tugas kita semua ke depan.

Terima kasih.

Makassar, 25 Maret 2010

Senin, 15 Maret 2010

Awas!, Mossad di Tengah Kita

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Pagi-pagi sekali pada Sabtu pertama Oktober 2005, perwira tugas jaga di Meja Asia markas besar Mossad (Dinas Intelijen Israel) menerima surat elektronik ‘’Kilat’’ dari katsa (perwira kasus, agen lapangan) yang ditempatkan di Jakarta, ibu Kota Indonesia. Surat elektronik tersebut membawa kabar bahwa para pengebom bunuh diri Al-Qaeda kembali menyerang Bali, suatu kawasan wisata populer, membunuh dan melukai lima puluh orang.(Lihat Gideon’s Spies 2, tulisan Gordon Thomas pada halaman 254).
Pada 2 November 2005, sebuah operasi yang diinspirasi oleh Mossad mulai mencapai klimaks di Batu, salah satu kota tropis Indonesia. Sebulan sebelumnya, seorang katsa di Delhi memperoleh informasi bahwa Azhari Husin (Doktor Azahari, pembuat bom kelahiran Malaysia dan tewas di Batu, Malang) pembuat bom Al-Qaeda yang paling berpengalaman, yang juga telah diidentifikasi Mossad sebagai dalang di balik serangan bom Juli di London, sempat berada di Delhi tak lama sebelum sejumlah bom mencabik-cabik Distrik Pahargani di kota itu.
Selama tiga minggu pencarian itu tak berhasil mengungkap jejak salah satu teroris paling dicari-cari di dunia itu. Seorang sayanim – informan -- di Jawa Timur memberitahu pengendalinya bahwa sejumlah orang mengontrak sebuah rumah di kawasan pinggir kota Batu. Dua dari mereka mirip-mirip foto-foto para teroris di suratkabar. Mereka dicurigai berada di balik serangan terhadap sebuah restoran di Bali dan menewaskan dua puluh tiga orang, Hanya dalam beberapa jam, si katsa tiba di Batu. Foto-foto tersebut menampilkan sosok Azahari Husin dan salah seorang pemimin kelompok militan lainnya, Jamaah Islamiyah, yang bernama Noordin Mohammed Top, seorang pembunuh tak kenal kasihan yang berkepribadian serupa dengan Musab al-Zarqawi di Irak. Si sayanim melapor bahwa Noordin M.Top telah meninggalkan Batu pada malam sebelumnya.(hlm 282).
Sengaja saya kutip dua kisah yang berkaitan dengan penanganan aksi teroris di Indonesia dan melibatkan badan intelijen negara asing, Mossad, Israel. Badan intelijen Negara tersebut dikenal sebagai salah satu organisasi mata-mata yang penuh intrik dan operasi yang mematikan. Hingga kini, setelah runtuhnya Uni Soviet dengan badan intelijennya KGB, Mossad menjadi organisasi intelijen paling handal di bumi ini. Negara itu hingga kini belum – dan mungkin tak akan pernah -- membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia lantaran aksinya di negara Palestina. Selama ini, mungkin banyak di antara selalu yakin bahwa warganegara Yahudi tersebut tidak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia yang selama ini belum juga menjalin hubungan diplomatik.
Beberapa waktu yang lalu di Indonesia marak muncul pemuda-pemuda yang menawarkan diri berangkat ke Palestina untuk memerangi Israel yang bertahun-tahun mencaplok Yerussalem, Gaza, dan Tepi Barat. Sebagai persiapan, beberapa komunitas organisasi beladiri berlatih bertarung dengan tangan kosong di Jawa Timur. Langkah mereka itu merupakan persiapan jika suatu saat dikirim ke Palestina. Mereka lupa, bahwa bertarung tangan kosong itu dilakukan jika berhadapan muka dengan musuh. Sementara musuh yang bakal dihadapi justru bertarung dengan mengirim roket dan rudal dari jarak ratusan kilometer. Kalau pemuda-pemuda kita itu dikirim ke sana dan Israel menghadapinya dengan cukup sekali menekan tombol untuk meluncurkan rudalnya, jelas warganegara kita yang memiliki solidaritas tinggi itu akan pulang tinggal nama ke tanah air.
Tidak lama setelah berita persiapan beladiri pemuda-pemuda di Jawa Timur, di sekitar Tugu Monas Jakarta terjadi bentrokan antara salah satu ormas Islam. Yang diserang adalah orang Islam juga. Begitu di beberapa tempat masjid komunitas Ahmadiyah dirusak dan diserang. Di berbagai daerah pun terjadi tawuran antara kampung yang tak kunjung usai. Saya berpikir, tega nian anak bangsa ini kok saling gasak sesama umat, sesama bangsa, sesama warganegara.
Pikiran saya kemudian teringat (mungkin karena kenyang membaca banyak buku tentang mata-mata dan spionase) salah satu bentuk devide et impera (memecah dan mengadu) yang dilakukan oleh Mossad adalah dengan menciptakan situasi agar warga di dalam suatu negara itu saling gosok, saling gesek, dan akhirnya saling gasak, Disharmoni diciptakan sedemikian rupa agar apa yang sedang mencuat dan memanas di tengah mereka (keinginan memobilisasi tenaga untuk ke Palestina dan berjuang melawan Israel) terlupakan dan terpinggirkan. Menjadi panas-panas tahi ayam saja. Yang mereka urus adalah perasaan iri dan dengki terhadap kelompok lain.
Membaca Gordon Spies jilid 2, dugaan saya semakin mendekati kebenaran, karena ternyata di Jakarta tertanam seorang – dan mungkin juga lebih – katsa, seorang petugas kasus dan agen lapangan Mossad, yang dapat dikategorikan sebagai perwira tinggi badan intelijen paling unggul di planet itu. Di Jawa Timur ketika kasus penyerangan kelompok Azahari di Batu, Malang, dia melaporkan ke perwira pengendalinya (katsa) bahwa ada orang tidak dikenal mengontrak sebuah rumah di kota penghasil apel tersebut. Ini pun menggambarkan bahwa betapa Indonesia menjadi ajang beroperasinya anggota mata-mata Negara lain yang justru tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Indonesia dapat menjadi lahan subur bagi beroperasinya personel intelijen asing, khususnya Israel, yang hingga kini belum menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Personel intelijen asing dapat menyaru berbagai macam profesi dan kepentingan. Bisa berlagak menjadi wartawan, wisatawan, ilmuwan, dan sebagainya. Ketika di Jakarta ribut soal NAMRU (Naval American Medicine Research Unit, Unit Penelitian Medis Angkatan Laut AS), saya teringat begitu banyak buku tentang organisasi intelijen berbagai negara melaksanakan penyaruannya. Menurut tuturan berbagai buku yang berkisah tentang dunia mata-mata, NAMRU tidak disangsikan lagi sebagai bentuk penyamaran paling sempurna organisasi intelijen asing di Indonesia. Dan, jangan lupa, di antara orang-orang Amerika itu, Mossad pun menanam personelnya. Mereka tidak tersentuh oleh hukum, karena memiliki kekebalan diplomatik.
Jika para agen Mossad itu masuk ke Indonesia, mereka akan menggunakan negara ketiga. Paspor yang paling banyak mereka gunakan adalah Kanada. Maka tidak heran, beberapa tahun lalu, ditemukan paspor Kanada palsu tetapi asli yang berjumlah sekitar 3000 lembar. Menurut kisah mereka yang berkunjung ke Israel kepada saya, setiap memasuki negara itu, paspor mereka akan diproses lepas dari pandangannya. Menurut catatan salah seorang katsa Mossad yang sakit hati dan mbalelo, Victor Ostrovsky, organisasi intelijen Israel ini memiliki alat untuk mengidentifikasi jenis kertas yang digunakan setiap negara dalam menerbitkan paspornya. Paspor yang mereka keluarkan persis sama dengan aslinya. Jadi, jangan pernah percaya bahwa orang-orang bule yang berkeliaran di berbagai daerah di Indonesia itu adalah murni turis. Apalagi mereka suka memotret kiri-kanan. Itu mesti diwaspadai.
Setiap saya melihat orang asing di Indonesia, khususnya dari negara-negara yang selama ini memiliki hubungan baik dengan Indonesia, tetapi masyarakat kelas menengah seperti mahasiswa cenderung antipati, pikiran yang menggelayut adalah tidakkah mereka itu merupakan perpanjangan tangan organisasi tidak kasat mata negaranya. Dalam struktur di kantor-kantor kedutaan besar, posisi Sekretaris I ditengarai atasan dari sejumlah orang menyaru sebagai diplomat di kantor kedubes dan perwakilan negara asing tersebut.
Yang perlu kita waspadai adalah, jangan mudah terprovokasi oleh adu domba dari pihak-pihak yang tidak jelas. Misalnya, tawuran antara pemuda di suatu kota. Apalagi konflik keras yang bersifat sektarian. Konflik ini yang paling disukai oleh negara-negara asing, khususnya yang menganggap Negara-negara Islam itu sebagai musuhnya. Indonesia termasuk di antaranya.
Kita sudah saksikan, betapa karena alasan memberantas teroris, Indonesia bersedia menerima bantuan keamanan secara tak kasat mata dari AS. Padahal, negara Paman Sam men-subproyekkan tugas itu kepada Mossad, Israel, yang dianggap sangat lihai dan licik dalam mengurusi teroris. Terbukti di Jakarta ada katsa-nya dan di Jawa Timur ada sayanim mereka. Tidak tertutup kemungkinan di kota-kota besar lainnya. Maka, seperti seruan di salah satu TV swasta; Waspadalah! Waspadalah!

Tulisan ini dimuat Harian Fajar 12 Maret 2010