Senin, 12 Juli 2010

In Memoriam Hj Andi Siti Nurhani Sapada:

Oleh M.Dahlan Abubakar

Tepat pukul 23.00 Wita, Minggu (11/7) saya membuka email. Menengok kalau-kalau ada informasi penting, setelah dua hari saya tidak buka di Chiang Mai dan Bangkok Thailand, 10 dan 11 Juli 2010. Astaga, begitu saya mencoba klik email kiriman Kak Udhin Palisuri yang juga terbagi ke sejumlah teman facebook, saya setengah berteriak menanyakan kepada istri.
‘’Mi, Petta Nani meninggal dunia??????,’’ kata saya yang masih berslimut kaget.
‘’Ya, hari Kamis. Kemungkinan dimakamkan di Barru atau Parepare,’’ katanya lagi. Saya terdiam sejenak. Seperti merasa diri berdosa, karena sehabis dirawat di rumah sakit beberapa bulan silam, saya tidak pernah membesuknya lagi di kediamannya.
‘’Habis, Bapak tidak pernah menelepon, jadi tidak pernah kami memberitahu,’’ imbuh istri saya. Ponsel, memang saya matikan, karena selain tidak memasang/buka roaming internasional, juga sengaja saya matikan.
Saya termeenung sejenak. Mengenang masa-masa silam kebersamaan saya dengan almarhumah. Interaksi saya dengan Hj Andi Siti Nurhani Sapada yang akrab saya sapa Petta Nani, nyaris tidak bersekat. Saya bagaikan anaknya sendiri. Terkadang almarhumah tiba-tiba menelepon ke ponsel saya. Pertanyaan pertama yang muncul setiap menelepon adalah, di mana saya berada. Soalnya, setiap Petta Nani, entah kenapa, saya tepat sedang tidak di Makassar. Terkadang di Jakarta, Papua (antara 2007-2008) dan tempat-tempat lainnya.
Beliau mengenal saya kenal ketika saya aktif-aktifnya sebagai wartawan Pedoman Rakyat. Jika ada kegiatan, saya selalu ditelepon dan diberitahu. Apalagi, almarhumah tahu saya dari Fakultas Sastra dan sedikit memiliki rasa seni.
Pada peringatan Ulang Tahun ke-80 tahun 2009, saya pun hadir di Hotel Losari Metro. Almarhumah dilahirkan 25 Juni 1929 di Parepare. Almarhumah gembira sekali ketika itu. Ada Pak A.Amiruddin,Pak Syahrul Yasin Limpo, dan Pak Idrus A Paturusi. Kebahagiaannya berlimpah lagi karena sejumlah anak, cucu, dan teman semasa gadis remajanya juga hadir. Bahkan sempat bernyanyi bersama. Di antara teman akrabnya adalah Drg.Hj Halimah Daeng Sikati. Pada malam itu, Halimah Dg.Sikati sempat bernostalgia masa remaja mereka, di samping menyumbangkan suaranya secara bersama.
Tidak terbayangkan, peringatan ini terakhir yang ramai dihadiri kerabat handai tolan. Bersyukurlah, Petta Nani masih sempat memperoleh bonus usia 81 tahun. Ketika beberapa bulan lalu, beliau dirawat di RSUP Wahidin Sudirohusodo, sebelum ke kampus, saya menyempatkan diri membesuknya. Saya ajak istri sama-sama menjenguknya. Petta Nani selalu berpesan kepadea saya membawa dan memperkenalkan ‘mantan pacar’ku itu kepadanya. Namun selalu saya katakan, ‘’Ibu agak kerepotan, karena sudah dikuasai oleh sepasang cucunya. Satu menit saja tidak lihat neneknya sehabis pulang kantor, pasti ponsel bersering. Jika terlambat pulang akan diwawancarai, bahkan menjurus ke interogasi’’. Dasar cucunya wartawan.
Saya sempat mencium tangannya. Petta Nani selalu berusaha memperlihatkan dirinya sehat. Beliau bangun duduk dan selalu berkelakar mengenai situasinya yang bagaikan dikerangkeng. Beliau selalu ingin merasa bebas, meski kesehatannya tidak memungkinkan. Begitulah ketika usai seminar di Parepare dan mau turun dari rumah panggung di Suppa, Petta Nani agak kewalahan melangkahkan kakinya. Saya yang sudah merasakan bukan orang lain bagi almarhumah, tak sungkan-sungkan membimbingnya turun dari rumah panggung di pinggir pantai itu.
Sama ketika sehabis menelepon dan meminta saya datang ke rumahnya di bilangan Jl.Hertasning, beliau selalu berusaha menyambut saya duduk di kursi tamunya. Kadang-kadang saya minta almarhumah agar istirahat saja. Namun beliau merasa tidak enak kalau saya duduk melongo sendiri sambil melihat foto-foto yang baru dia bikin.
Perjuangkan Pahlawan
Interaksi saya dengan almarhumah agak sering ketika dalam empat tahun terakhir ini gencar melaksanakan berbagai pertemuan dan seminar membahas kisah perjuangan ayahnya, Datu Suppa Toa Andi Makkasau, seorang pejuang dan perintis kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Almarhumah sangat bersemangat mendorong dan memperjuangkan agar ayahnya memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional. Masalahnya, salah seorang pejuang yang lebih muda dari ayahnya, yakni Andi Abdullah Bau Massepe sudah memperoleh gelar tersebut.
Terkadang, almarhumah mengeluh kepada saya perihal perjuangannya menjadikan ayahnya sebagai salah seorang pahlawan dari daerah ini penuh lika-liku. Saya kerap berpikir, inilah amanah yang akan beliau tinggalkan jika saat meninggal dunia cita-cita dan pejuangannya ini belum tertunaikan.
Perjuangan ayahnya tidak sebanding dengan tokoh pejuang pada masanya. Ia tidak pernah mau menyerahkan diri pada penjajah Belanda. Belanda yang takut massa rakyat akan marah bila mendengar darah keturunan raja dan pemimpin serta tokoh pejuangnya tercurah ke bumi, memilih cara lain untuk menghentikan langkah Datu Suppa Toa memimpin rakyat. Konon beliau diikat dan diberati dengan lesung batu lalu dilempar ke laut. Ditenggelamkan dan tentu saja mati pelan-pelain.
Di lokasi yang diperkirakan sebagai tempat ditenggelamnkannya jasad Datu Suppa Toa hidup-hidup selalu dikunjungi Petta Rani dan keluarga setiap datang ke Parepare. Saya pun pernah menyertai kunjungan Petta Nani ke pinggir laut itu, setelah menghadiri seminar mengenai ayahnya, sebagai persiapan pengusulan almarhum sebagai pahlawan.
Kisah penghilangan nyawa Datu Suppa Toa ini nyaris tidak ada yang tahu. Kalau saja Teluk Parepare itu bias mengamuk bahwa di lubuknya telah tumpah darah dari seorang pejuang, mungkin laut itu akan mengirim tsunami pada masa itu dan membunuh penjajah yang ada di pantai.
Menurut Petta Nani, di Teluk Parepare itulah ayahnya bersama para pejuang lain, Andi Mangkau dan Tahir Daeng Tompo mengakhiri hidupnya secara sangat keji. Mereka harus mengabdikan diri demi perjuangan bangsa tanpa pernah tahu kesalahannya dan diadili.
‘’Saya hanya tahu mereka itu punya cita-cita luhur untuk masa depan bangsanya. Mereka juga turut berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia,’’ tulis Petta Nani dalam bukunya Nuansa Pelangi edisi ke-2 yang tersimpan rapi di perpustakaan pribadi saya.
Memang terasa aneh juga kalau Datu Suppa Toa Andi Makkasau tidak dianugerahi gelar pahlawan nasional. Soalnya, ada ‘adik’-nya yang lebih muda, sudah meraih gelar pahlawan nasional. Dan, saya kira merupakan amanah bagi siapa pun yang merasa terkait – termasuk juga saya dan beberapa teman, antara lain Kak Nunding Ram selaku tim perumus seminar di Parapere itu – memikul beban ini. Tentu saja yang sangat kompetensif adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
Saya tidak pernah menyangka, Petta Rani akan pergi pada saat saya tidak ada di Indonesia. Bulan lalu, mungkin juga bertepatan dengan ulang tahunnya ke-81, saya membongkar-bongkar laci dan menemukan selembar foto dua tokoh senitari kondang Sulawesi Selatan, Ny.Ida Joesoef Madjid dan Ny.Hj. Andir Siti Nurhani Sapada sedang berbincang-bincang di kediaman Rektor Unhas (Radi A.Gany, waktu itu) yang menjamu sastrawan besar W.S.Rendra. Saat itu juga hadir Husni Djamaluddin (alm.). Saya tidak pernah punya firasat apa-apa dengan foto-foto ini.
Selamat jalan Petta Rani, semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Amin ya rabbil alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar