Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
‘’Memang dari para pegawai senior istana, tukang kebun yang telah puluhan tahun bekerja, dan dari cerita beredar dari mulut ke telinga-telinga, saya mendapat gembaran adanya hal-hal serem yang sulit dinalar dengan logika. Sebagai yang tidak dikaruniai bisa melihat hal-hal yang tidak kasatmata di Istana, saya tenang saja.
Bahkan, ketika pegawai senior istana beberapa kali bercerita tentang kerapnya ada suara-suara orang berpesta di Istana Merdeka saat menjelang tengah malam tiba, saya hanya mendengarkan. Beberapa teman saya merinding bulu tangannya, tapi saya tenang saja. Maaf, mungkin saya tidak peka.
Seringnya ada suara-suara orang berpesta di Istana Merdeka saat menjelang tengah malam tiba dikatakan oleh pegawai senior istana sebagai salah satu sebab kenapa Pak Beye (Susilo Bambang Yudhoyono) dan keluarga tidak lagi tinggal di sana.
…. Pada awal pemerintahannya yang pertama, Pak Beye dan keluarga tinggal di Istana Merdeka. Tidak setiap hari sepanjang minggu memang karena Pak Beye dan keluarga punya rumah di Cikeas sana yang harus didatangi setiap akhir pekan tiba.
Nah, dengan alasan renovasi lantaran kayu penyangga atap Istana Merdeka dimakan rayap, Pak Beye dan keluarga pindah ke Istana Negara, setelah 1,5 tahun meninggalkan Istana Merdeka’’.
Beberapa alinea kisah di atas inilah yang terungkap di dalam buku ‘’Pak Beye dan istananya’’, salah satu Tetralogi sisi lain SBY yang ditulis oleh Wisnu Nugroho, wartawan Kompas yang selama periode I SBY (dengan JK) meliput kegiatan Istana.
Kisah di dalam buku ini rata-rata menarik, yang menurut Pepih Nugraha – sang editor – tidak termasuk dalam berita penting jika dibandingkan informasi kelas hardnews lainnya. Seluruh isi buku setebal 256 halaman ini pernah dimuat di social blog Kompasiana yang dikembangkan megaportal Kompas.com.
Saya sengaja mengutip penggalan kisah di atas, karena beberapa waktu yang lalu pernah muncul wacana kritis terhadap seringnya iring-iringan kendaraan Presiden SBY memacetkan arus lalulintas kota Jakarta dalam perjalanan dari Cikeas ke Istana Merdeka. Pertanyaan yang muncul kala itu adalah mengapa Presiden tidak tinggal saja di istana biar iring-iringan kendaraan yang ditumpanginya tidak memacetkan lalu lintas kota Jakarta yang macetnya tidak ketulungan itu.
Adakah kaitan kisah serem di Istana Merdeka dan istana Negara itu membuat keluarga Presiden SBY tidak betah tinggal di istana dan lebih memilih tinggal di rumah pribadinya di Cikeas? Jawabannya, boleh ya dan boleh tidak.
Dalam sejarahnya, presiden yang pernah tinggal di Istana antara lain Soekarno, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri. Soeharto lebih banyak tinggal di Jl.Cendana, kediaman pribadinya. Hanya saja, tidak pernah terdengar keluhan akan kemacetan jalan ketika setiap saat Soeharto ke Istana dibandingkan pada masa pemerintahan SBY. Kondisi paling krusial yang pernah terjadi beberapa waktu silam, lantaran iringan kendaraan rombongan orang nomor satu Indonesia itu pernah menimbulkan kecelakaan beruntun di jalan tol.
Wacana presiden harus tinggal di istana tersebut kini bagaikan angin lalu saja. Lewat begitu saja, saat muncul isu dan berita baru yang lebih heboh. Berita dan informasi di republik ini bagaikan di-remote control saja. Tergantung siapa yang memenejnya.
Kembali ke karya Wisnu Nugroho ini, memuat 62 kisah untold stories catatan langsung seorang wartawan yang menghabiskan lima tahun tugas jurnalistiknya di wilayah yang tidak semua orang dapat memperoleh akses. Inu, demikian pria kelahiran Jakarta 6 Mei 1976 dan menjadi wartawan Kompas tahun 2001 ini, mampu memotret informasi yang tidak biasa tetapi menjadi informasi dan pengetahuan yang luar biasa bagi pembaca. Saya pun baru tahu kalau pada masa pemerintahan SBY, mobil merek Kijang tidak boleh masuk Istana, meski ada pejabat negara yang bermobil dinas merek itu.
Buku ini menginformasikan kepada kita – pembaca buku ini – informasi-informasi ringan menarik yang sangat berguna bagi mengetahui keadaan isi dalam istana presiden yang dibangun tahun 1879 tersebut. Informasi yang selama ini belum pernah terungkap sama sekali ke publik secara terbuka. Apalagi melalui jejaring sosial dan kemudian berubah menjadi sebuah buku.
Dari 62 kisah tersebut, Inu membaginya ke dalam enam bab. Bab 1 bertajuk ‘’Tunggangan Istana’’ memuat 15 kisah. Semuanya berkisar segala jenis merek kendaraan yang berkaitan dengan orang (di) dan istana.
Bab 2 ‘Orang Penting’ berisi 11 kisah, tuturan mengenai mereka yang masuk dalam kategori penting. Orang penting di sini termasuk ‘Puan-Puan’ .
Bab 3 Orang Terlupakan’ bertutur 7 kisah mereka yang bertugas di istana dan tidak atau kurang terinformasikan. Mereka yang bekerja dengan oenuh dedikasi dan tanpa pamrih demi kesakralan istana presiden.
Bab 4 ‘Antara Penting dan Genting’ dengan 12 kisah, bersoal mengenai masalah yang penting dan genting. Termasuk yang genting adalah ‘Teror di Bawah Pohon Bodhi’ dan ‘’Dilarang Telanjang di Istana’.
Bab 5 ‘Pernak-Pernik Pak Beye’, 8 kisah yang berkalam mengenai selera sang penghuninya. Mulai dari soal Soto Ayam, batik, HP, lapangan golf, hingga anjing dan Superpuma yang ‘berjaga-jaga’ di Istana.
Bab 6 ‘Istana Punya Cerita’, 9 kisah seputar isi istana. Macam-macam ceritanya. Mulai yang ganjil, kekayaan istana, patung tanpa busana, hingga yang serem di Istana.
Bab ini mungkin dapat menjawab pertanyaan, mengapa keluarga SBY tak betah tinggal di istana. Mau tahu penyebabnya, silakan baca.
Di Gramedia Mall Ratu Indah, buku ‘Pak Beye dan istananya’ pernah dikembalikan ke penyalurnya, karena dinilai tidak menarik. Namun begitu salah satu TV swasta menayangkan hasil wawancara dengan sang penulis beberapa hari lalu, permintaan akan buku ini mengalir deras. Saya perlu meng-indent untuk memperoleh lagi 5 eksemplar buku yang sudah saya tamati tanggal 25 Juli 2010 itu. Selamat membaca!
Kamis, 12 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar