Kamis, 26 Maret 2009

‘’PR’’ Akhirnya Tiadakah?


Tepat setahun lalu, saya menulis di kolom ini bertepatan dengan hari jadi Pedoman Rakyat (PR) di bawah judul ‘’Hari Ini Pedoman Rakyat Lahir’’. Pada akhir tulisan, saya mengutip satu penggalan kalimat Will Irwin, salah seorang anggota redaksi New York Sun di dalam sebuah buku berjudul The Art of FACT, a Historical Anthology of Literary Journalism yang ditulis Kevin Kerrane dan Ben Yagoda. Irwin menulis dalam karya monumentalnya yang dimuat di New York Sun bertajuk ‘’The City that Was’’, terhadap gambaran kota San Fransisco yang digoncang gempa hebat tahun 1906 dan porak poranda. ‘’Mungkinkah kota yang menangkap aroma malam-malam Arab itu bisa dibangun kembali? Rasanya semua itu tidak akan kembali sama’’.
Ketika mengutip penggalan tulisan ini, saya masih menaruh harapan besar PR akan seperti Kota San Fransisco itu. Dia akan dapat dibangun kembali, meski mungkin tidak akan pernah sama. Akan berbeda dengan posisi dan peran yang telah dimainkan PR selama bertahun-tahun. Ketika saya ke Soppeng pertengahan Februari 2009 ini, mantan wartawan PR, Sumardy mengatakan, bahwa orang masih mencari media tertua itu. Masih banyak orang mengimpikan kehadirannya, setelah selama nyaris dua tahun tiarap.
Kalau PR terpatri di hati pembaca itu sah-sah saja. Mencoba melupakan sebuah media yang lahir hanya selisih satu setengah tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan tentu terasa sangat sulit. PR kala itu hadir di tengah negara ini sedang digoncang revolusi fisik yang menempatkannya sebagai salah satu media perjuangan. Prof.Dr.Halide mengisahkan kepada saya bagaimana beliau telah ikut menjadi pengedar koran ini kepada orang-orang pada masanya agar tahu gejolak nurani perjuangan para pemuda yang terungkap melalui PR yang semula bernama Pedoman, kemudian Pedoman Wirawan, hingga menemukan nama Pedoman Rakyat hingga akhir kiprahnya .
Menerbitkan kembali PR seperti juga kisah Kota San Fransisco itu tadi, bisa-bisa saja, tetapi jelas akan berbeda dengan dulu. PR telah mencoba hadir dengan modern style ketika sempat beberapa bulan pada akhir tahun 2005 pengelolaan manajemen redaksionalnya dan keperusahaannya dipindahtangankan. Peralihan ini sebenarnya banyak menjanjikan harapan yang sangat positif. Namun selaku mantan pemimpin redaksi dan bergabung dengan media ini sejak akhir 1976, PR malah dibawa keluar dari khittahnya. Media ini menjadi salah satu koran partisan, sesuatu yang dihindari PR sejak lahirnya. Dalam banyak teori yang kita pelajari, media massa yang ideal tidak boleh memihak atau menjadi partisan.
Memang ada jurnalisme partisan yang berkembang di Amerika Serikat pada abad XIX, yakni satu bentuk media yang memihak kepada seseorang atau sesuatu pihak secara berat sebelah. Namun karena peran media harus memikul amanah right to know dari publik, maka jelas boleh dikatakan, sejatinya tidak boleh ada ruang bagi suatu media memperlihatkan dan menempatkan dirinya sebagai alat yang mengusung jurnalistik partisan. Menggiring suatu media yang mengandalkan jurnalisme partisan hanya akan membuka peluang bagi semakin kosongnya publik yang akan mencintai media tersebut. Tampaknya, itulah yang dialami PR ketika tampil beda dalam waktu beberapa belas bulan itu. Dia kehilangan pembaca, apalagi pemasang iklannya, sekitar 60%. Tragis.

Risko bisnis keluarga

PR pada awalnya diterbitkan oleh sebuah firma yang bernama Perak yang tidak lain kependekan dari Pedoman Rakyat. Ketika ada Peraturan Menteri Penerangan tahun 1988 yang mengharuskan seluruh media cetak memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PR) atau dikelola oleh sebuah koperasi, PR pun segera taat pada Permen Menpen tersebut. Salah satu media yang „bandel tidak mau mengikuti Permen itu adalah Mingguan Bawakaraeng pimpinan Ramiz Parenrengi (saya wawancarai beberapa waktu lalu). Akibatnya, Ramiz dengan jantan mengembalikan Surat Izin Terbit (SIT) yang mendasari media itu terbit sejak tahun 60-an kepada Kanwil Departemen Penerangan Sulsel sebagai ‚kaki tangan’ Deppen di tingkat provinsi. Pengembalian SIT sama dengan harakiri, bunuh diri. Waktu itu, bahasa (ragam bahasa Orde Baru) jika suatu media dibreidel, maka istilahnya adalah mengembalikan SIUPP ke pemerintah via Deppen. Jadi, dari segi kebahasaan cara mematikan koran itu sangat ’santun’, tetapi kenyataannya tetap saja tragis.
Untuk memperoleh SIUPP memang tidak mudah. Sebuah perusahaan pers harus mendepositokan dana awal Rp 250 juta. Jumlah ini pada masa itu hanya mampu ada di kocek suratkabar-suratkabar besar, termasuk PR. Kalau sekarang banyak media kecil punya SIUPP itu diperoleh pasca-reformasi setelah Yunus Yosfiah menjadi Menteri Penerangan.
PR pun berganti nama perusahaan yang mengelolanya. Nama PT Media Pedoman Jaya pun tampil sebagai baju yang jadi perusahaan yang menerbitkan media ini. Dalam dokumen akte notaris yang sempat diperlihatkan oleh salah seorang pemegang saham, saya melihat ada hal yang sepengetahuan saya tidak lazim. Perusahaan lama ternyata tidak dilikuidasi ke dalam perusahaan baru yang dibentuk, khususnya menyangkut seluruh asetnya. Saya sempat ’memprotes’ kecil kepada pemegang saham tersebut.
’Sepengetahuan saya, jika ada perusahaan baru yang dibentuk untuk melaksanakan kegiatan perusahaan yang sebelumnya, maka perusahaan lama harus mengalihkan seluruh asetnya ke perusahaan baru. Ini akan menjadi masalah di kemudian hari,’’ jelas saya.
Pemegang saham tersebut justru bergeming bahwa itulah yang benar. Saya pasrah dan bersiap menerima kenyataan apa pun yang bakal terjadi. Di belakang hari, apa yang saya gamangkan justru berkenyataan. Perusahaan baru yang dibentuk tidak bisa berbuat apa-apa dengan hanya mengandalkan manusia-manusia yang sudah mengabdi begitu lama dalam susah dan derita plus beberapa unit komputer. Selebihnya siapa punya? Jelas bukan perusahaan yang baru dibentuk bernama PT tersebut.
Saya tidak bermaksud meratapi sejarah masa lalu PR, tetapi sekadar ingin menuangkan sebuah jeritan nurani yang selama ini hanya bergumam atau sedikitnya dibisikkan ke sejumlah orang. Fenomena ini saya ungkap dengan maksud agar publik yang merasa memiliki PR mafhum dan maklum sejarah akhir perjalanan media yang pernah berjaya ini. Kita memang tidak bisa meratapi masa lalu secara berlarut-larut, kecuali menarik pelajaran dan hikmah untuk berbuat lebih baik lagi ke depan.
Lalu pertanyaan terakhir, bisakah PR seperti kota San Fransisco yang luluh lantak diterjang gempa itu dibangun kembali? Semuanya serba mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin dari sebuah upaya yang dilakukan manusia, kecuali menghidupkan kembali manusia lain yang sudah mati karena ulah manusia itu sendiri. PR bisa dibangun kembali, tetapi akan memakan waktu yang lama. PR harus mulai dari nol lagi dengan driver yang lain. Tetapi kapan?

Makassar, 1 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar