Lelaki Dua Perempuan
Ketika istri pertamanya melahirkan anak kedua, lelaki itu diam-diam menggaet perempuan lain. Menurut informasi, istri barunya itu nya seorang pembantu. Serapat bagaimana pun kisah pernikahan tersebut ditutupi, tokh akhirnya bocor juga. Melly, istri pertamanya tak juga protes. Padahal, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 sudah mengatur. Setiap lelaki yang hendak menikah lagi harus memperoleh persetujuan istri pertama. Itu pun alasannya harus kuat. Misalnya, dalam
Melly yang seorang guru sekolah dasar termasuk perempuan penyabar. Memang ada riak kecil hingga nyaris minta pisah, tetapi mampu diatasi. Kalau pun keduanya memilih hidup pisah, tokh tidak masalah. Melly punya pekerjaan tetap, sebagai pegawai negeri. Anak yang dibiayainya pun baru dua. Memang ada suara, pihak keluarga lelakinya yang selalu mendorong Marlan agar menikah lagi. Tidak jelas apa alasannya.
Dimadu membuat Melly hidup dalam ketenangan yang terpaksa. Pasrah. Nasi sudah jadi bubur. Ibunya yang hidup dari pensiunan almarhum suaminya yang juga guru dan meninggal tahun 1960-an, ikut memberi ketabahan menghadapi hidup aaknya dimadu. Marlan membagi waktu secara adil buat istri-istrinya. Biasa sehabis bekerja di perusahaan pengiriman barang, dia datang istirahat siang di rumah Melly, meski pada malam harinya dia memberi giliran buat
Dua keluarga tersebut hidup dalam kesibukannya masing-masing. Tidak ada saling komunikasi. Bahkan, terkesan terjadi kubu-kubuan. Tak pernah terjadi antara anak-anak dari Melly dan
Pada tahun 1990-an, Marlan sakit. Dia terkena penyakit tekanan darah tinggi. Namun sesekali dia masih bisa masuk bekerja. Kalau sebelumnya, dia masih bisa naik sepeda motor sendiri ke tempat kerjanya, setelah sakit dia selalu dibonceng oleh anak-anaknya yang sudah besar.
Enam tahun silam, penyakitnya bertambah dan aneh. Parkinson. Mirip dengan penyakitnya Muhammad Ali, petinju legendaris berjuluk ‘’si mulut besar’ itu. Bedanya, Muhammad Ali masih bisa ke mana-mana dan menggerak-gerakkan kepalan tinjunya, Marlan justru tidak bisa. Kalau Muhammad Ali berbicara megap-megap, Marlan justru masih mampu mengucapkan kalimat dengan benar, meski sangat pelan. Diserang penyakit, Marlan mengandalkan pengobatan alternatif. Ogah masuk rumah sakit. Bukan tak pernah dibujuk, tetapi sesering itu dia menolaknya. Dia hanya terbaring di rumah. Makan dan buang air berlangsung di tempat pembaringan. Beruntung saat dia tidak mampu lagi bangun-bangun, Melly sudah memasuki pensiun sebagai guru. Jadi, dia punya banyak waktu untuk melayani keperluannya sekaligus merawatnya. Sesekali anak sulungnya bersama Meta, Tuti, memberanikan diri datang menjenguk ayahnya yang terkapar di rumah istri pertamanya. Melly, sabar saja menerima kedatangan anak tirinya. Mau diapa lagi. Tokh Marlan, juga ayah dari mereka.
Sekitar Agustus 2006, Marlan anfal lagi. Badannya lemah sekali. Dia dilarikan di unit gawat darurat rumah sakit. Inilah pertama kali dia berurusan dengan rumah sakit setelah anfal berat. HB-nya langsung drop. Belasan botol cairan infus terpaksa mengalir melalui nadinya dalam tiga minggu terbaring di rumah sakit. Kondisi tubuhnya menurun drastis. Padahal, ketika dia masih sehat, badannya cukup atletis.
Penyakit itu, kata keluarganya, gara-gara pengaruh pola makan yang kurang terawasi. Ketika sehat, makanan penuh kolestrol dia sikat saja. Padahal, melihat kondisi postur badan, mestinya dia mengendalikan pola makannya. Tetapi itu semua sudah terjadi.
Setelah tiga minggu di rumah sakit, Marlan pulang ke rumah Melly. Kembali lagi dia menjalani rutinitas keseharian seperti ketika sebelumnya tidak dapat lagi menjalankan aktivitas. Tiga minggu di rumah sakit hanya mampu mengembali kondisi tubuhnya dapat makan seperti semula. Soal buang air masih dilayani di tempat pembaringan. Makan pun disuapi.
Tanggal 24 Oktober 2006, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri ketetapan pemerintah. Suasana rumahnya sepi saja. Anak-anaknya sibuk melakukan ziarah. Pada hari itu, kata salah seorang putrinya, sudah tujuh hari perut Marlan tidak mau terima nasi. Siang hari selepas perayaan hari Raya, Heni, adik kandung istrinya, datang berziarah. Heni tak menengok Marlan yang terbaring di salah satu kamar lantai bawah rumah berlantai dua tempat tinggalnya bersama Melly.
‘’Janganlah diganggu, mungkin lagi tidur,’’ kata Heni ketika mohon diri pada kakaknya.
Pukul 23.00 hari yang sama, telepon di rumah Heni berdering. Salah seorang putri Marlan menyampaikan bahwa ayahnya dalam keadaan genting. Tak lama kemudian menyusul telepon berikutnya. Dia sudah pergi. Berbarengan hampir pergantian tanggal.
Keesokan pagi, jalan di depan rumah keluarga padat oleh pelayat. Mulai dari seluruh keluarga dan juga sahabat dari anak-anak Melly. Bersama Marlan, Melly dikaruniai 9 anak. Lima laki-laki empat perempuan. Sedangkan bersama Meta, juga sembilan. Seorang anak laki-lakinya meninggal dunia. Tinggal tujuh perempuan dan seorang laki-laki. Mereka sudah besar-besar.
Tanggal 25 Oktober 2006, hari yang sangat mengharukan. Dua keluarga besar berbaur menjadi satu. Tentu, tanpa kehadiran Meta. Mereka berbusana hitam pekat. Tujuh belas orang anak meratapi kepergian ayah mereka. Memberi penghormatan terakhir kali pada pertama kali pertemuan bersama mereka selama ini.
Kurang 30 menit pukul 12.00, jenazah ayah mereka siap dimandikan. Seorang istri, tujuh belas anak berikut beberapa cucu mengerumuni tubuh yang sudah kaku terbungkus kain batik. Sejenak, kain penutup wajahnya disingkap. Anak kedua Melly tak mau lepas mencium wajah ayahnya. Lalu yang lain. Mereka melingkari tubuh yang terbaring kaku itu secara bersamaan. Inilah kesempatan terakhir mereka melihat wajah ayah mereka sebelum dimandikan.
Dua anak laki-laki dari dua istri mengangkat ayah mereka ke ruang lain untuk dimandikan. Saudara-saudaranya hanya bisa mengantarnya dengan tangis. Tujuh anak Meta saling berpelukan menangisi ayah mereka yang lenyap di balik pintu kamar permandian di sayap kiri, bagian utara – rumah. Suara isaknya melebur satu mengiringi sosok jasad kaku itu diangkat ke kamar sebelah. Dua perempuan sepupu sekali Melly yang selama ini sangat getol memrotes kehadiran Meta di kelompok keluarga mereka, diam terpaku. Darah mendidihnya ingin melabrak anak-anak
Kematian orang tercinta mempersatukan mereka menjadi sebuah keluarga besar. Sayang,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar