Jumat, 10 September 2010

Takbiran On the Road Mekah-Jeddah

Oleh M,Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Lebaran menjelang. Pikiran saya terkenang jauh-jauh puluhan tahun silam di kampung halaman. Tatkala masih kecil, pada ujung-ujung tahun 50-an dan awal 60-an menikmati Lebaran di kampung. Juga terkenang sekitar 14 tahun silam, saat sempat berlebaran di tanah asalnya Islam diturunkan Allah Swt, sebagai agama, Arab Saudi. Apa beda berlebaran di kedua tempat itu? Jelas ada.
Dalam penentuan saat Lebaran, di kampung masih menggunakan komunikasi konvensional. Mendengar berita melalui radio. Macam di kampung saya, desa yang paling ujung di Kabupaten Bima, radio pada masa itu adalah barang yang superluks. Tidak banyak yang memilikinya. Bahkan, betul-betul bisa dihitung dengan jari. Setelah kakek saya yang pulang dari menunaikan ibadah haji tahun 1957 – dan almarhum selalu bangga bercerita kepada saya perihal kapal yang ditumpanginya transit di Pelabuhan Makassar dan memberinya kesempatan jalan-jalan di pasar Butung – hanya ada seorang yang punya radio, yakni pejabat gelarang (kepala desa) di desa tetangga.
Jika hendak mengetahui kepastian waktu Lebaran, seorang bilal (robo, dalam bahasa daerah Bima) malam selepas salat isya ke desa tetangga untuk nguping berita radio atau pengumuman pemerintah. Meski robo ini tidak dapat berbahasa Indonesia, namun dia dapat menangkap makna apa yang didengar di radio. Lagi pula, orang-orang yang ikut mendengar bersama dia tokh akan memberitahu kalau Lebaran jadi atau tidak dilaksanakan keesokan harinya.
Tanda Lebaran keesokan harinya adalah ketika robo kembali ke kampung dan serta merta memukul beduk bertalu-talu. Jika robo sudah mulai memukul beduk, maka kami – anak-anak kecil – akan ramai-ramai pergi memukul beduk hingga lewat tengah malam. Rumah saya berdampingan dengan masjid. Letak beduknya sekitar 50 meter saja dari rumah. Kalau terdengar pukulan beduk membangunkan orang memasak sahur, cukup kencang juga suaranya. Jadi, tidak pernah kepagian. Begitu pun saat menjelang Lebaran. Pada malam menjelang Lebaran pun tak terdengar gema takbir, karena pengumuman saat Lebaran justru diketahui menjelang tengah malam. Sekarang enak, sudah ada dan banyak TV.
Dulu, kalau Lebaran di kampung saya tidak ada kue dan ketupat segala. Pada pagi hari orang kampung saya makan normal saja. (Kecuali di kota dan akhir-akhir ini mungkin). Ya kadang-kadang ada juga kue ala kadarnya. Namun yang menarik adalah ketika selesai salat Ied di masjid. Di sepanjang jalan keluar ke jalan raya –kiri, kanan—penuh dengan jejeran para ibu (waktu itu wanita tidak ikut salat Ied, karena masjidnya kecil). Mereka akan menjabati tangan seluruh jamaat yang melintas di depannya. Inilah cara orang-orang kampung saya meminta maaf kepada sesama, meskipun mungkin saat memasuki Ramadan mereka ada yang saling mengunjungi untuk melakukan hal yang sama menjelang berpuasa.
Kalau orang dewasa saling minta maaf, lain pula kami, anak-anak kecil. Ada saja di antara tokoh informal kampung yang membuang uang receh ke udara dan membiarkan anak-anak memperebutkannya. Saya selalu kalah dalam memperebutkan uang receh itu, sehingga memilih minta saja pada ayah yang kebetulan termasuk yang suka melempar uang receh itu. Setelah itu, tidak ada prosesi menyemarakkan Lebaran lagi. Masyarakat kembali ke kehidupan seperti sebelum Ramadan. Ke sawah membawa bekal dan sebagainya.

Tanpa Takbir di Arab

Tahun 1996 saya menunaikan ibadah umrah. Waktu itu rombongan cukup ramai. Di dalam rombongan nyaris lengkap dengan personel dari berbagai latar belakang profesi. Ada kiai, artis, wartawan, birokrat, pengusaha, dan pejabat. Kalau soal berpuasa di Arab, tentu sudah banyak ditulis orang. Mungkin malam Lebaran saja yang sedikit dikisahkan jamaah umrah. Kalau pun ada, hanya untuk konsumsi sendiri. Tidak dalam bentuk dimasukkan ke domain publik, seperti media cetak. Namun sekarang dengan adanya ruang citizen reporter yang disediakan Tribun Timur, kita dapat mengetahui suasana Ramadan di Mekah dan Madinah dari sisi jamaah asal Sulawesi Selatan.
Gema takbir dan tahmid di Mekah – khususnya ketika saya berada`di kota itu – hanya terdengar di dalam masjid dan melalui menara-menara Masjidil Haram. Rombongan kami menggunakan satu bis khusus jalan-jalan ke Jeddah sambil melantunkan takbir dan tahmid. Mungkin juga Arab-Arab yang ada di took-toko pinggir jalan kaget, heran, dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang melaksanakan takbiran on the road itu. Kita hanya jalan-jalan saja, sembari menanti keesokan harinya, saat salah seorang putri Pak Ande Abdul Latif dinikahkan di salah satu sayap Masjidil Haram.
Kembali dari Jeddah, ada seorang teman bikin ulah. Seorang lelaki, keluarga Pak Ande yang tinggal di Surabaya. Saya lupa namanya. Dia membawa sebuah pointer, pen laser yang biasa digunakan untuk menyampaikan presentasi dalam suatu pertemuan. Ketika itu, saya duduk di kursi baris depan. Teman itu mulai menyalakan pointer tersebut dan sinar merahnya dipantulkan di depan sopir yang kebetulan berasal dari Afrika. Saya tahu asal kampungnya, karena melihat warna kulitnya.
Beberapa saat, si sopir tak peduli dengan sinar laser tersebut. Lama-lama akhirnya dia merespons juga. Mungkin dia pikir, pasti sinar ini sesuatu yang luar biasa.
‘’Allah Akbar, Allah Akbar, Lailatul Qadar, Lailatul Qadar…,’’ terdengar suaranya beberapa kali saat bus yang dia kemudi melintas di jalan bebas hambatan antara Jeddah-Mekah yang berjarak sekitar 75 km.
Begitu tiba di hotel di Mekah, teman yang mengerjai si sopir tadi tertawa.
‘’Saya kasih Lailatul Qadar ke sopir,.’’ tukasnya sembari terkekeh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar