Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Pada tahun 1996, saya menunaikan ibadah umrah, setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1992. Bersama Biro Perjalanan Haji dan Umrah Tiga Utama saya dan sejumlah anggota rombongan lainnya sempat menikmati hari-hari terakhir Ramadan di Mekkah dan Madinah Arab Saudi. Rombongan waktu itu cukup banyak. Jika tidak salah sekirtar 40 orang. Pas satu bus lebih sedikit.
Di antara rombongan – karena Pak Ande Abdul Latief akan menikahkan salah seorang putrinya di Masjidil Haram – sangat lengkap. Ada kiai (di antaranya, Prof.Dr.Halide, Zainuddin MZ, Muhammad Nur Iskandar SQ), para artis (di antaranya Dewi Yull, Dorce Gamalama, Nia Daniati, Henny Sanjaya, Firman Tomtam, dll), Prof.Dr.H.Basri Hasanuddin, M.A., Pak Iqbal Latanro, dan sejumlah wartawan, di antaranya Husain Abdullah, Fahmy Miyala, Aidir Amin dan lain-lain.
Yang menarik,setelah pesawat Garuda Indonesia Boeing 747 take off dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 17.00 WIB, Rakyat Indonesia yang menunaikan ibadah puasa, selalu berbuka dengan berpedoman pada saat tenggelamnya matahari. Rombongan kami terbang ke barat searah dengan pergerakan matahari yang akan kembali ke peraduannya. Kapan matahari hilang dari angkasa.
Para anggota rombongan mulai gelisah. Para kiai pun jadi sasaran dan serbuan pertanyaan penumpang yang menjalankan ibadah puasa. Kapan baru berbuka puasa jika berpatokan pada terbenamnya matahari. Wong mataharinya tidak lenyap-lenyap. Lewat jendela, saya menyaksikan matahari masih bersinar terang ketika pesawat diperkirakan sudah meninggal wilayah udara Indonesia (berdasarkan lama terbang). Para kiai juga bingung menjawab pertanyaan para penumpang. Akhirnya disepakati berbuka puasa berpatokan pada perhitungan waktu (jam). Kemungkinan besar, kami berbuka puasa tepat di sebelah timur Srilanka.
Tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah menggunakan kendaraan bus kami langsung menuju Madinah. Pagi hari pertama di Madinah, kami melaksanakan ziarah. Yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika di aya mencoba berpose dengan latar belakang masjid yang menjadi kiblat pertama salat umat Muslim tersebut. Lagi asyik berhaya, tiba-tiba Nia Daniati berlari dari belakang dan mepet sama saya (waktu itu, Nia Daniati sudah cerai dengan suaminya yang dari Brunei Darussalam, he..he..). Saya enjoy saja lagi, meski puasa saya mungkin ‘terusik’.
Di pasar Kurma, saya jadi deg-degan lagi. Pasar ini memang tidak pernah saya tandangi ketika menunaikan ibadah haji tahun 1992. Hanya beberapa orang saja yang turun dari bus. Seingat saya, beberapa orang artis juga turun. Yang membuat saya sedikit tak enak, begitu masuk ke pasar kurma, tiba-tiba saja Henny Sonjaya menggandeng saya.
‘’Hen.. ini Tanah Arab. Haram laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bergandengan tangan,’’ protes saya sama Henny.
‘’Mas, daripada saya digaet dan digandeng Arab……,,’’ tangkis Henny yang membuat saya tidak dapat berbuat apa-apa. Saya tidak – maaf – enjoy digandeng artis hitam manis tersebut soalnya di Tanah Arab dan dalam bulan Ramadan lagi . Yang membuat saya tidak enak, ada atasan saya (Prof.Basri Hasanuddin) di atas bus. Nanti beliau bilang apa dengan kelakuan bawahannya (saya Kepala Humas waktu itu dan sampai sekarang juga).
Tidak lengkap jika tidak mengisahkan acara buka puasa di Masjid Nabawi. Sudah banyak diketaui orang (yang pernah Ramadan di Madinah dan Mekkah), berbuka puasa di kedua kota suci ini sangat mengesankan. Nikmatnya luar biasa, meski tanpa nasi seperti kebiasaan orang Indonesia.
Ketika para jamaah mendekati Masjid Nabawi, sudah ada sejumlah orang yang menadah jamaah dan mengarahkannya ke kaplingnya masing-masing. Kebanyakan mereka ini adalah temus (tenaga musiman) dari Indonesia juga. Mereka inilah yang mengarahkan jamaah-jamaah yang datang agar memenuhi kapling (tikar) yang mereka sediakan. Saya memperhatikan, tiba di dalam masjid, malah jamaah yang sudah diarahkan tadi justru direbut lagi oleh penjemput yang di dalam masjid hingga satu kapling penuh.
Berbuka puasa di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram menggunakan korma yang setengah matang (warna kuning) plus the Arab atau air zamzam. Juga ada sekefrat roti. Hidangan itu sudah ada di depan tempat duduk masing-masing jamaah. Setiap orang tidak perlu mengintervensi bagian orang lain, sebab untuk dia sendiri lebih dari cukup. Korma setengah matang ditempatkan digelas-gelas plastik kerap tidak habis disikat, karena keburu azan. Berbuka dengan bahan seperti ini mampu menahan perut beberapa jam, sebelum makanan pokok nasi menyusul.
Yang hebat, begitu acara buka puasa selesai diikuti suara azan, kontan tikar-tikar plastik berikut isinya diangkat dalam sekejap. Tidak ada bekas makanan yang tertinggal. Sangat praktis, efektif, dan bersih. Kalau kita di Indonesia harus minta campur tangan sapu ijuk segala
Memasuki Mekkah kami beruntung dapat berbuka di luar kota Mekkah. Mengapa saya katakan beruntung, karena dapat menyaksikan lenyapnya matahari dan cerahnya angkasa di tanah Arab menjelang dan saat magrib. Saya berpikir, para pegawai Sara’ Arab Saudi memang lebih mudah menyaksikan awal bulan ketimbang di Indonesia. Mereka cukup keluar saja dari kota Mekkah untuk meneropong angkasa guna memastikan bulan baru muncul. Kalau di Indonesia, harus naik gunung dan bukit, mencari daerah ketinggian untuk mengeker bulan. Untung-untung kalau cerah, tetapi Indonesia sebagai wilayah tropis yang terbagi oleh dua musim (hujan dan kemarau), kendala awan lebih banyak ditemui.
Sopir & Lailatul Qadar
Prosesi pernikahan putri Pak Ande berlangsung di salah satu sayap Masjidil Haram pada pagi hari. Pada malam Lebaran selepas salat Isya, kami menumpang satu bus jalan-jalan ke Jeddah (jaraknya sekitar 75 km dan ditempuh sekitar satu jam lebih sedikit, karena kendaraan bergerak dalam kecepatan tinggi). Di Mekkah tidak ada orang takbir keliling macam di Indonesia. Takbiratul ihram hanya terdengar menggema di dalam Masjidil Haram dan melalui pengeras suara di menara-menaranya. Suasana jalan kota biasa-biasa saja (pada waktu itu, sebelum terjadi pembangunan Kota Mekkah seperti sekarang ini, sesuai yang saya baca dan lihat di media).
Dalam perjalanan pulang dari Jeddah, seorang teman membuat usil dengan mengusik sopir bus yang kebetulan (dari warna kulit dan posturnya) tampaknya berasal dari Afrika..Di tengah suara takbiratul ihram tanpa henti di atas bus, teman itu, keluarga Pak Ande yang kebetulan tinggal di Surabaya, menyalakan sinar laser malalui pointer ( yang biasa dipakai saat membawakan presentasi). Cahaya merah yang bergerak liar tepat jatuh di depan sopir. Awal-awalnya sopir tak memberi respon. Lama kelamaan, mungkin dia berpikir ada cahaya aneh, akhirnya terdengar suaranya merespons cahaya merah yang bergerak liar terse but.
‘’Allah Akbar..Allah Akbar, Lailatul Qadar…Lailatul Qadar…,’’ pekiknya sembari mengemudi mobil dalam kecepatan tinggi.
Para penumpang bus, termasuk saya, tidak pernah tahu penyebab sopir meneriakkan kata-kata itu. Bahkan saya sendiri menganggap biasa saja, karena kami memang sedang dalam takbiratul ihram bareng. Nanti setelah turun dari bus baru ketahuan, kalau salah seorang teman telah mengerjai si Afrika itu. Ada-ada saja.
Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, 8 September 2010.
Jumat, 10 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar