Minggu, 28 Maret 2010

Usul Nama Universitas Negeri di Bima

Oleh M.Dahlan Abubakar

1. Pendahuluan
Pujangga Inggris, William Shakespeare, pernah berkata, what is a name? Apalah arti sebuah nama? Meski pujangga tersebut mengatakan seperti itu, tetapi dalam konteks ini, kita tidak sepakat dengan Shakespeare. Nama adalah "jimat" untuk mengarungi dunia. Dunia apa saja, termasuk dunia bisnis dan selebritis. Nama merupakan pengenal untuk membedakan sesuatu dengan yang lain. Andaikan tidak ada nama, jelas kita selalu memanggil dan menyapa sesuatu dengan anu, yang kadang-kadang pada kondisi dan situasi tertentu bisa bermakna lain.
Kita memerlukan sebuah nama, karena memang lembaga yang sudah kita gagas dan akan hadir ini harus memiliki nama. Ini merupakan sesuatu keniscayaan. Sebuah lembaga pendidikan harus memiliki nama.
Untuk mengantar diskusi mengenai masalah nama ini, ada baiknya saya sedikit melakukan flashback, memberi sedikit gambaran selintas mengenai kehadiran sebuah universitas negeri di ibu kota kabupaten/kota. Hal ini penting saya kemukakan agar kita memiliki persepsi yang sama dan tidak mempersoalkan lagi bahwa sebuah universitas negeri harus berkedudukan di ibu kota provinsi.

2. PTN di Kabupaten/Kota
Dari sekian banyak universitas negeri di Indonesia, sedikitnya terdapat enam universitas yang berdiri di ibu kota kabupaten/kota. Institut Pertanian Bogor (IPB, didirikan 1 September 1963 setelah menjadi Fakultas Kedokteran Hewan Peternakan Universitas Indonesia) Universitas Brawijaya (UB, diresmikan 5 Januari 1963) dan Universitas Negeri Malang (UM, berdiri pertama 18 Oktober 1954 dengan nama IKIP Malang) berdiri di Kota Malang. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) berdiri di Kota Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, 10 Februari 1961. Universitas Sebelas Maret (UNS) berdiri di Surakarta (Solo) berdiri tahun 1976, dan Universitas Trunojoyo yang diresmikan paling akhir, 23 Juli 2001 berdiri di Kota Pamekasan Kabupaten Bangkalan, Madura.
Berbicara soal nama, sejumlah universitas di Indonesia menggunakan nama tempat dan tokoh pahlawan setempat. Beberapa universitas yang menggunakan nama berdasarkan:
Nama tempat (geografi): Universitas Negeri Medan, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas Padang, Universitas Negeri Padang, Universitas Riau, Universitas Jambi, Universitas Bengkulu, Universitas Lampung, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Jember, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Tanjungpura Pontianak, Universitas Palangkaraya, Universitas Negeri Makassar, Universitas Negeri Manado, Universitas Mataram, Universitas Nusa Cendana Kupang, dan Universitas Papua Manokwari.
Berdasarkan nama tokoh: Universitas Malikussaleh, Universitas Syiah Kuala (Nanggroe Aceh Darussalam), Universitas Sriwijaya Palembang, Universitas (Sultan Ageng) Tirtayasa Banten, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Universitas Mulawarman Samarinda, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Tadulako Palu, Universitas Haluoleo Kendari, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Pattimura, Universitas Khairun Ternate, dan Universitas Udayana Denpasar,
Nama lembaga: Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan Universitas Pendidikan Negeri Singaraja,
Nama berdasarkan waktu/peristiwa: Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Nama berdasarkan flora dan fauna: Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Jadi, begitulah pemberian nama seluruh universitas negeri di Indonesia dengan segala karakteristiknya.

3.Beberapa Nama
Kita pun dapat mengacu pada karakteristik pemilihan nama sesuai dengan nama-nama universitas negeri yang sudah berdiri tersebut. Namun demikian, setiap nama yang kita ajukan jelas harus memiliki latar belakang historis, rekam jejak, dan aspek-aspek lain yang dapat menunjang sebuah nama itu dapat ditetapkan dan dijadikan pilihan. Di antara nama-nama tersebut di atas ada juga yang selain dipilih sebagai nama universitas, juga merupakan nama bandar udara (bandara), misalnya; Hasanuddin, Sam Ratulangi, Pattimura, dan Sultan Khairun.
Berdasarkan pemikiran yang berkembang, nama yang digadang-gadang dan pernah disebut-sebut untuk sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Bima kira-kira adalah:
1. Universitas Negeri Bima
2. Universitas Sultan Abdul Hamid
3. Universitas Sultan Salahuddin
4. Universitas Abdul Kahir
5. Universitas Mbojo
Kita akan mencoba melihat latarbelakang nama-nama tersebut dengan menengok ke belakang, melihat kembali, apa dan bagaimana keempat nama ini telah hadir di sebuah wilayah yang kemudian bernama Bima. Dengan pemaparan latar belakang ini, kita berharap akan muncul dan mengerucut sebuah nama yang kelak akan kita gunakan dan abadikan sebagai ‘cap’ untuk universitas negeri yang akan kita dirikan.
3.1 Sang Bima.
Sang Bima adalah salah seorang putra dari Maharaja Pandu Dewanata. Pandu Dewanata (lihat M.Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara), adalah anak dari Maharaja Tunggal Pandita yang Maharaja Indra Ratu dan disebut-sebut sebagai asal usul raja-raja Luwu dan Sawerigading di Sulawesi Selatan.
Menurut Henri Chambert-Loir, (Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, 2004; 146) Sang Bima bersaudara empat orang. Sepeninggal Maharaja Pandu, Sang Bima mengajak adik-adiknya pergi bermain-main di dunia. Dia pergi ke Gunung Pajajaran di Pulau Jawa, kemudian bersalin nama menjadi Sang Prabu Jaya Lelana.
Secara ringkas, kita semua maklum, Sang Bima berjasa dalam perkembangan politik dan pemerintahan di Kerajaan Bima. Dialah yang berhasil mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat Bima yang terkotak-kotak ke dalam komunitas bernama Ncuhi. Nama Bima sendiri dipopulerkan oleh sejarawan Portugis dan Belanda dengan maksud menghilangkan nama yang melambangkan keaslian Mbojo.
Sebuah hikayat dalam Bahasa Melayu mengisahkan petualangan lima bersaudara Pandawa di Tanah Jawa. Menurut kalimat-kalimat pembukaan hikayat ini pengarangnya seorang dalang bernama Wisamarta, dalam masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah 1696-1731. Dengan demikian hikayat ini diperkirakan dikarang di Bima pada awal abad ke-18. Sebagian naskah hikayat ini ditemukan dalam dokumen yang berasal dari Makassar. Karena itu ada kemungkinan juga Hikayat Sang Bima dikarang di sana. Kini nama Sang Bima mungkin tidak ada dalam nama jalan di kota dan Kabupaten Bima. Kita tidak pernah tahu.
3.2 Sultan Abdul Hamid
Bergelar Mantau Asi Saninu (memiliki istana terbuat dari cermin), Abdul Hamid dilahirkan tahun 1176 H (1762 M) dan wafat 1 Ramadan 1234 H (Juni 1819). Mayatnya dimakamkan di halaman Masjid Kesultanan Bima. Ia dilantik sebagai Sultan Bima dalam usia 11 tahun pada tahun 1187 H (1773 M). Saudaranya, Abdul Mangga (Daeng Pabeta) pernah merebut kekuasan dari Abdul Hamid. Keduanya kemudian rujuk dan saling memaafkan.
Pada tahun 1810, Gubernur Willem Beeth mengundang Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi ke Makassar untuk membuat kontrak baru. Kontrak baru tersebut tidak dapat menolong, sebab pada tanggal 11 September 1811 Belanda takluk kepada Inggris. Bima pun bukan lagi menjadi jajahan Belanda.
Selagi menghirup udara baru yang segar bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial politik, di luar pengetahuan manusia, pada tanggal 11 April 1815 terjadi bencana maha dahsyat, yakni meletusnya Gunung Tambora yang konon kabarnya menewaskan 170.000 jiwa. Meski demikian, Sultan Abdul Hamid berhasil memperoleh bantuan dari berbagai pihak, antara lain dari para pedagang Makassar, Bugis, Maluku, Melayu, dan Banten yang menaruh simpati dan prihatin atas musibah yang dialami Kerajaan Bima. Pedagang asing pun ikut memberi bantuan, seperti Arab, Inggris, China, dan Portugis. Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi mampu memanfaatkan politik dagang bebasnya untuk kepentingan masyarakat Bima, sehingga krisis sosial dan ekonomi yang dialami dapat teratasi.
3.3 Sultan Muhammad Salahuddin
Sultan Bima yang ini bergelar Ma Kakidi Agama. Ia memerintah Kerajaan Bima antara tahun 1915-1951. Putra Sultan Ibrahim ini dilahirkan pukul 12.00 tanggal 15 Zulhijjah 1306 H (sekitar tahun 1888). Dia dilantik menjadi sultan pada tahun 1917. Gelar Ma Kakidi Agama diberikan, karena menjunjung tinggi agama Islam dan memiliki ilmu pengetahuan yang dalam serta luas di bidang agama. Sejak usia 9 tahun, beliau memperoleh pendidikan dan pelajaran agama Islam dari para ulama terkenal, antara lain; H.Hasan Batawi dan Syekh Abdul Wahab, Imam Masjidil Haram Mekkah.
Sultan Salahuddin memiliki koleksi buku-buku agama karangan ulama terkenal dari Mesir, Mekkah, Madinah, dan Pakistan. Di antara buku-buku itu ada yang dikarang oleh Iman Syafi’i. Juga memiliki ilmu Fiqhi dan Qira’ah yang luas.
Sultan Bima yang ini juga menulis kitab yang berjudul Nurul Mubin dan dicetak oleh Siti Syamsiah Solo dan diterbitkan dua kali. Terakhir diterbitkan pada tahun 1942. Di bawah kekuasaannya, bidang pendidikan berkembang maju.
Pada tahun 1921 di masa kepemimpinan Sultan Salahuddin didirikan Hollands Inlands School (HIS), sekolah untuk pribumi, setingkat sekolah dasar sekarang. Setahun kemudian didirikan pula sekolah kejuruan bagi kaum wanita, yaitu Kopschool dipimpin SBS Yulianche.
Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1931 mendirikan sekolah agama yang pertama di Bima, yaitu Madrasah Darul Tarbiyah di Kota Raba. Tiga tahun kemudian, didirikan Madrasah Darul Ulum Bima. Sekolah-sekolah agama dan madrasah pun dibangun di desa-desa demi memajukan pendidikan agama.
Guna menunjang kemajuan Madrasah Darul Ulum Bima, pada tahun 1941, Sultan Salahuddin mendatangkan Syekh Husain Syehab dari Jakarta. Syekh ini kemudian menjadi salah seorang perintis pendirian NU di Bima.
Atas inisiatif permaisuri sultan, 11 September 1944 didirikan Organisasi Keterampilan Wanita yang bernama Rukun Wanita dan kemudian melebur dalam Organisasi Wanita ‘Perwari’ (Persatuan Wanita Republik).
Oleh karena guru-guru HIS rata-rata berkebangsaan Belanda, maka Sultan dan Ruma Bicara mendatangkan guru agama yang berjiwa nasionalis dari Makassar yang bernama Muhammad Said. Guru ini menikah dengan gadis dari desa Ngali yang bernama Kabitia. Hasil perkawinan keduanya melahirkan seorang bernama Natsir, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Dr.H.M.Natsir Said, S.H., mantan Rektor Universitas Hasanuddin Makassar.
Sejak 5 April 1942, kekuasan di Kesultanan Bima sepenuhnya ada di tangan Sultan Muhammad Salahuddin. Mulai saat itulah, Bima menjadi sebuah kesultanan yang berdaulat. Namun pada tanggal 17 Juli 1942, Jepang pertama kali menginjakkan kakinya di Bima dipimpin Kolonel Saito yang seolah-olah bersifat simpatik terhadap rakyat Bima. Kenyataannya, justru tidak lebih sebagai penindas baru bagi rakyat Bima.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu 14 Agustus 1945 menimbulkan kekosongan kekuasan di Indonesia. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, atas nama Bangsa Indonesia.
Pekik kemerdekaan itu ternyata baru terdengar di Bima 2 September 1945. Gubernur Sunda Kecil, I Gusti Ketut Puja mengirimkan utusan untuk menyampaikan berita kemerdekaan itu kepada Sultan Muhammad Salahuddin. Berita gembira itu diikuti pengibaran bendera Sang Merah Putih di depan Istana Bima pada tanggal 31 Oktober 1945. Lima tahun kemudian, 3 November 1950, Presiden RI Soekarno mengunjungi Bima yang ketika itu masih dipimpin Sultan Muhammad Salahuddin.
Sultan Muhammad Salahuddin mangkat di Jakarta pada pukul 22.00 tanggal 7 Syawal 1370 H (11 Juni 1951M) dalam usia 64 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta. Atas permintaan pemerintah pusat – setelah sebelumnya dua tokoh bangsa, H.Agus Salim dan Moh. Natsir sempat mendoakan arwahnya – jenazahnya dibaringkan di Gedung Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta – tempat diproklamasikannya Kemerdekaan RI.
3.4. Putra Abdul Kahir
Nama Abdul Kahir pertama muncul ketika NICA _ystem ke Bima yang dibonceng tentara, Sekutu, Australia. Dia adalah bekas Komandan PETA dengan pangkat Dai Danco dan Haiho yang melakukan perlawanan terhadap kesewenangan NICA. Ia kemudian dipercaya sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut Hilir Ismail (hlm.181), semasa menjadi Komandan PETA, pemerintah Jepang telah memilih empat orang Komandan PETA dari seluruh Indonesia untuk mengikuti pendidikan intelijen di Burma. Mereka adalah antara lain Putra Abdul Kahir, dan Zulkifli Lubis, yang kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh yang ada di belakang Peristiwa Cikini, Jakarta. Sayang, sebelum mereka diberangkatkan, Jepang keburu menyerah.
Sepeninggal ayahnya, Sultan Muhammad Salahuddin, Putra Abdul Kahir tidak sempat duduk di atas hamparan Dipi Umpu Kesultanan (tikar kesultanan), karena _ystem politik dan pemerintahan sudah berubah. Masa kesultanan dan swapraja Bima berakhir, berganti dengan daerah swatantra lalu menjelma menjadi Daerah Tingkat II yang dipimpin Kepala Daerah dengan jabatan bupati.
Putra Abdul Kahir memimpin Kabupaten Bima sepeninggal ayahnya, mulai 2 Oktober 1950 hingga tahun 1967. Beliau kemudian diganti oleh Letkol H.Sudarmadji yang memimpin Kabupaten Bima antara tahun 1967 hingga 1974.
3.5 Mbojo
Nama Mbojo merupakan nama Bima dalam bahasa aslinya. Artinya, ketika seorang warga Bima berbahasa daerah, maka dia akan menggunakan kata Mbojo. Misalnya, nggahi Mbojo, dou Mbojo, dana Mbojo, dan sebagainya.
Menurut cerita orang tua-tua dan ahli-ahli Hadat Bima yang masih hidup sekarang ini (saat wawancara dilakukan), tulis Ahmad Amin (Sejarah Bima, stensilan, 1971) kata Mbojo berasal dari babuju, yaitu tanah yang ketinggian dan merupakan busut jantan yang agak besar. Dalam bahasa Bima disebut dana ma babuju, tempat semayam para raja ketika dilantik dan disumpah. Tanah tempat pelantikan itu, kini terletak di Dara, dekat Kompleks Makam Pahlawan di Bima (1971). Hanya sangat disayangkan, lokasi yang disebutkan itu sudah beralihfungsi sebagai tempat pemujaan.

4. Tawaran Nama

Dari lima nama tersebut, nama Bima digunakan terhadap nama kabupaten dan kota. Nama Bima untuk mengindikasikan kalau seorang warga Bima berbahasa Indonesia (Melayu). Sayang, kita belum mendengar di kota dan kabupaten Bima, adakah nama Jalan Sang Bima. Kalau Toko Bima ada di mana-mana, termasuk di Makassar ini, tepatnya di sebelah timur Makassar Mall sekarang. Nama kereta api juga ada, tetapi merupakan singkatan dari Biru Malam.
Nama Sultan Abdul Hamid, selain ada dalam buku sejarah, juga mungkin nama inilah yang mengilhami Marah Rusli menulis sebuah roman yang menarik berjudul :La Hami. Kita belum tahu pasti, apakah La Hami yang dijadikan judul roman percintaan dan petualangan itu, merupakan representasi dari seorang Sultan Abdul Hamid yang perrnah berkuasa di Bima selama 46 tahun itu. Wassalam bissawwab.
Kemudian nama Sultan Muhammad Salahuddin, selain diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bima, juga merupakan nama Bandar Udara (Bandara) di Palibelo. Penggunaan nama tokoh seperti ini juga digunakan oleh beberapa kota yang kemudian memilih nama tersebut sebagai nama universitas negeri yang didirikan di daerah itu. Misalnya saja Hasanuddin Makassar, Sam Ratulangi Manado, Pattimura Ambon, dan Sultan Khairun Ternate.
Sementara nama Putra Abdul Kahir terkenal ketika Kabupaten Bima memasuki masa pemerintahan sebagai daerah swatantra. Beliau adalah bupati pertama Kabupaten Bima yang selalu dekat dengan rakyatnya. Dalam setiap kunjungan ke desa (seperti disaksikan penulis ketika masa kecil di Kanca, Parado), beliau tak segan-segan naik truk bersama rombongannya jika meninjau suatu desa.
Nama terakhir adalah Mbojo. Hanya saja nama ini pernah direncanakan untuk mendirikan sebuah universitas swasta dengan nama Universitas Mbojo. Menurut salah seorang anggota DPRD Kota Bima, Abdul Latief dalam pertemuan dengan tim (Pendirian Universitas Negeri di Bima) di Kantor Pemerintah Kota Bima, 20 Februari 2010, pada tahun 1981 pemerintah Kabupaten Bima pernah membebaskan tanah beberapa hektar sebagai persiapan membangun sebuah universitas. Namun hingga kini, rencana tersebut tidak pernah terwujud. Anggota Dewan itu berharap, rencana pembangunan atau pendirian universitas negeri di Bima, tidak seperti tahun 1981 itu.
Jika kita melihat nama-nama yang terinventarisasi di atas, maka salah satu nama yang untuk sementara dapat kita keluarkan dari pilihan itu adalah nama Bima. Alasannya, nama Bima akan tetap mengikut pada keempat nama lainnya jika itu menjadi pilihan nama perguruan tinggi negeri yang akan kita bentuk kelak, sehingga pilihan akan seperti sbb:

Universitas Sultan Abdul Hamid Bima
Universitas Sultan Salahuddin Bima
Universitas Putra Kahir Bima
Universitas Mbojo Bima.

Sekarang, terserah forum nama mana yang akan dipilih sesuai dengan rekam jejak masing-masing tokoh dan nama itu. Salah satu nama yang ditawarkan adalah Sultan Salahuddin, juga sudah digunakan untuk memberi nama bandara yang sebelumnya bernama Pelabuhan Udara Palibelo Bima. Meskipun nama itu sudah digunakan untuk nama bandara, mengacu pada beberapa universitas negeri lainya di tanah air, penggunaan nama tersebut juga tidak ada salahnya jika diperuntukkan terhadap nama universitas.
Satu catatan terakhir saya, dalam diskusi yang berlangsung di Makassar, 25 Februari 2010, ada di antara teman warga Bima yang skeptis dengan nama yang cenderung berorientasi lokal. Ketika itu saya tidak menjawab secara langsung komentar tersebut, tetapi yang ingin saya katakan di sini bahwa di mana pun dan apa pun nama sebuah perguruan tinggi, sepanjang itu merupakan perguruan tinggi negeri akan tetapi menjadi alternatif pilihan para lulusan sekolah lanjutan atas. Universitas Hasanuddin Makassar pada awalnya tidak pernah membayangkan kalau sekarang ini dan di kemudian hari akan kewalahan menerima minat peserta dari seluruh Indonesia. Mulai dari Merauke hingga Sabang, dari timur ke barat. Tinggal bagaimana kita membina perguruan tinggi negeri itu hingga dapat berkualitas dan memiliki daya tarik. Ini menjadi tugas kita semua ke depan.

Terima kasih.

Makassar, 25 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar