Minggu, 28 Maret 2010

Merokok, Benci Tapi Rindu

Oleh M.Dahlan Abubakar

Ketika mendengar Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah memfatwakan bahwa merokok itu haram (dari sifatnya makruh yang kita pahami) saya tiba-tiba mengingat masa-masa sulit yang dihadapi ketika masih merokok hingga masuk rumah sakit sampai tiga kali gara-gara merokok.
Saya termasuk perokok kelas berat yang sudah dua atau tiga kali tamat. Ketika menjadi mahasiswa dan masa kreatif saya menulis lagi gila-gilanya (meski menggunakan mesin tik), rasanya tanpa rokok inspirasi mandek. Ketika tiba di rumah kontrakan di Jl.Kandea II dari kantor redaksi Pedoman Rakyat (PR) tengah malam, saya kerap harus berjalan kaki atau naik sepeda lagi untuk mencari penjual rokok jika di tengah perjalanan mengetik stok rokok habis.
Saya ‘tamat’ (baca: berhenti) merokok, setelah jatuh sakit tahun 1981. Dokter mengingatkan, saya harus menalak tiga rokok jika ingin sehat. Istri saya yang juga perawat di RSU Dadi (kini di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo) pun selalu mengingatkan saya agar berhenti total merokok.
Saya memang berhenti merokok, entah berapa lama, ketika tiba suatu saat tiba-tiba mulut saya sulit lagi menahan diri. Awalnya sekadar mencoba-coba saja kembali menyulut rokok, lama kelamaan ketagihan. Bagaikan ada iblis yang menggoda dan merayu agar saya merokok lagi.
Repotnya, (me)rokok itu memiliki filsafat tersendiri, yakni filsafat rokok. Secara umum tidak pernah ada orang yang jatuh miskin karena merokok. Semiskin-miskinnya orang, tetap masih mampu mengepulkan asap rokok. Ini filsafat pertama merokok.
Kedua, merokok itu menciptakan persaudaraan, perkawanan, dan perdamaian. Seorang yang duduk berdekatan dan saling tidak mengenal di halte bus, sering menjadi akrab lantaran urusan merokok. Seseorang tiba-tiba saja menawarkan sebatang rokok kepada seseorang yang dia tidak kenal. Wahana tokok telah menjadikan keduanya saling mengenal setelah tidak saling kenal sama sekali.
Ketika saya sering ke Papua, salah seorang teman bercerita, kalau sebungkus rokok sering menyalamatkan perjalanannya ke daerah-daerah saat dia menjadi sopir truk pengangkut pasir belasan tahun silam. Dalam perjalanan menjajakan pasir di atas truk tersebut, tiba-tiba saja ada sekelompok kecil orang (penduduk asli) menghadangnya. Dalam situasi darurat seperti ini, rokok yang dia kantongi sering menjadi juru selamat. Dengan menyodorkan sebungkus dua rokok, perjalanan boleh dilanjutkan dan perjalanan pulang bakal aman.
Terhadap kasus Papua ini, rokok sebagai penyelamat bisa saja disiapkan oleh tidak saja mereka yang memang merokok, tetapi juga oleh mereka yang tidak merokok. Namun persoalannya adalah posisi rokok itu sebagai penyelamat dalam keadaan darurat.
Ketiga, gara-gara rokok, orang tidak segan-segan meminta rokok kepada temannya yang lain. Bahkan dalam situasi yang ‘tidak sungkan-sungkan’ meminta uang rokok. Dalam posisi yang negatif, beralasankan uang rokok, banyak mobil angkutan daerah yang dihadang oleh sekelompok pemuda ketika mengantar penumpang yang kemalaman melintasi lorong dan jalan kota yang sempit.
Keempat, dari aspek negatif lain, pemberian uang rokok dikategorikan sebagai suap atau korupsi yang permisif. Di tengah masyarakat kita ada model ‘penyuapan’ kecil-kecilan dalam bentuk uang sebagai imbalan terhadap seseorang yang telah melakukan/membantu melaksanakan sesuatu. Judul-judul uang sejenis ini misalnya; ‘uang rokok, uang bensin, uang pulsa, uang capek,’’ dan sebagainya.
Kelima, kenikmatan orang merokok sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hampir semua orang yang merokok tidak mampu menjawab bagaimana ‘wajah’ atau citarasa kenikmatan yang mereka rasakan tatkala mengisap sebatang rokok. Begitu pun ketika menikmati sebatang rokok usai menyantap suatu menu. Nikmatinya bisa lupa utang. Eu…enak tenanggggg..…!
Paruh tahun 1980-an, saya menganulir penamatan merokok. Mereknya macam-macam. Tetapi pada tahun 1999, tengah malam, belum sempat menghabiskan batang terakhir sehabis pulang kantor PR, saya dilarikan ke rumah sakit lantaran tiba-tiba penyakit saya kambuh lagi. Padahal, keesokan malamnya, istri saya akan ke tanah suci, menjadi petugas TKHI sekaligus menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya (setelah tahun 1992).
Ini masa-masa yang sangat berat buat saya dan istri. Saya harus dirawat inap, sementara 12 jam berikutnya sang istri harus masuk Asrama Haji Sudiang untuk kemudian terbang ke Tanah Suci. Dengan linangan airmata, dari ruang gawat darurat RSUP Wahidin dia menelepon sang dokter kelompok terbangnya.
‘’Dokter, suami saya masuk rumah sakit. Saya belum bisa bergabung di asrama haji. Mungkin besok malam saya masuk asrama,’’ suaranya terdengar bergetar kencang, terisak dengan airmata yang mengalir membasahi pipinya.
‘’Mami, berangkatlah ke Tanah Suci. Saya akan baik-baik saja. Ada anak-anak yang menjaga,’’ kata saya dengan suara serak.
Istri saya sepertinya tidak siap menerima perpisahan sebulanan itu. Dia hanya membayangkan bagaimana jika kondisi terburuk menimpa saya. Bagaimana pun, dia tidak pernah lenyap dari samping saya sedetik pun setiap suaminya dirawat seperti ini.Saya terus meyakinkan agar dia tetap berangkat melaksanakan tugas mulia dan memenuhi panggilan-Nya mengunjungi Rumah Allah lagi.
‘’Antarlah saya kembali ke rumah. Nanti secara periodik anak-anak akan mengantar saya ke dokter untuk mengontrol dan berobat,’’ kata saya.
Pagi keesokan harinya, saya memang diantar pulang ke rumah. Istri mengatur semua kebutuhan obat-obatan yang saya perlukan. Mengingatkan segala sesuatu yang tidak boleh saya lakukan. Berpesan kepada anak-anak (cuma dua orang) memperhatikan kebutuhan makan dan obat saya. Tak lupa mengingatkan saya agar jangan terlalu banyak bergerak. Hentikan dulu mengetik (soalnya, istri tahu tangan saya gatal kalau tidak mengetik. Ketika dirawat tahun 1981, masih sempat mengirim berita ke PR dari ruang perawatan rumah sakit).
‘’Membaca boleh,’’ katanya.
Siang hari, saya lupa bulannya, tahun 1999 itu, merupakan masa yang paling berat buat saya dan istri. Dia harus masuk asrama haji, meninggalkan saya yang terkapar di rumah ditemani sepasang anak kami. Saya juga pasrah jika kondisi terburuk terjadi.
Mengenakan sarung dengan kaos oblong putih, saya mengantar istri yang akan menaiki mobil Kijang warna hijau tahun 1988 kami yang akan dia kemudikan sendiri hingga di asrama haji. Dia diantar anak kami yang pria dan sulung. Airmatanya menyungai (men-sungai) ketika menitip pesan kepada puang di depan rumah agar melihat-lihat saya yang dia tinggalkan. Suasana hati sulit dilukiskan ketika istri mencium kening saya menjelang melangkahkan kaki menaiki mobil.
‘’Doakan saya baik-baik saja, Mi,’’ kata saya sebelum mobil yang dia kemudikan terus bergerak dan lenyap di ujung lorong.
Saya berhenti total merokok mulai tahun 1999 itu. Tetapi selera merokok saya nyaris kembali lagi tahun 2002, ketika selama sembilan hari melacak kisah H.Zainal Basrie Palaguna (untuk penulisan bukunya yang kemudian berjudul ‘Jangan Mati dalam Kemiskinan’) di Kalimantan Timur tidur sekamar dengan salah seorang teman yang perokok berat. Saya pikir, ulah coba-coba lagi ini harus saya akhiri sebelum tiba kembali di Makassar. Tidak boleh tidak. Nanti bisa disemprot istri.
Sejak tahun 2002, saya tidak pernah sentuh lagi merokok. Namun apa yang terjadi, pada tahun 2004, ketika asyik mengedit berita salah seorang teman di PR, tiba-tiba saya merasa sakit lagi. Istri saya kontak melalui telepon agar segera ke PR dan membawa saya ke rumah sakit. Saya membaringkan badan di mobil, di kursi pengemudi, sembari menunggu istri tiba dan akan membawa saya ke RSUP Wahidin Sudirohusodo lagi.
Seperti biasa, Unit Gawat Darurat sudah jadi langganan, sembari menunggu ada kamar kosong. Ketika dokter yang biasa memeriksa datang dan melihat saya terkapar, pertanyaannya cuma satu.
‘’Sudah merokok lagi, ya!?’’.
‘’Tidak, Dok!,’’ jawab saya pelan.
‘’Nah, inilah namanya perokok pasif. Mereka yang tidak merokok akan mengalami dampak yang lebih besar ketimbang mereka yang merokok,’’ dokter itu menambahkan.
Meski sang dokter tak menjelaskan, mengapa perokok pasif menerima dampak lebih besar daripada perokok itu sendiri, namun saya maklum. Perokok pasif memperoleh jatah negatif dua kali. Pertama, menghirup asap yang keluar dari mulut/hidung perokok. Kedua, asap itu sudah ‘pulang’ dari dalam tubuh orang lain baru dihisap oleh orang yang tidak merokok. Jadi, dampaknya dobel.
Saya memang baru sadar, bekerja di ruang ber-AC di kantor, dikelilingi oleh mereka yang rata-rata merokok. Jadi, asapnya jadi santapan teman-teman yang lain, lebih khusus yang tidak merokok seperti saya.
Dampak merokok ini pernah dilukiskan melalui kerusakan komponen tubuh dan ditempel di salah satu dinding lantai II Gedung Pascasarjana Unhas. Mengerikan memang (maaf, tidak bermaksud menakut-nakuti perokok). Menurut penelitian, rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 di antaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida.
Menurut Wikipedia, tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru.Sementara nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen (zat yang dapat menimbulkan kanker di jaringan hidup), dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Sedangkan Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek Racun
Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami risiko (dibandingkan yang tidak mengisap asap rokok): 14x menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan; 4x menderita kanker esophagus (kerongkongan, aluran cerna antara tekak dan lambung); 2x kanker kandung kemih; dan 2x serangan jantung. Rokok juga meningkatkan risiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung, serta tekanan darah tinggi.
Menggunakan rokok dengan kadar nikotin rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti kebutuhan akan zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras, lebih dalam, dan lebih lama. Tidak ada batas aman bagi orang yang terpapar asap rokok.
Kini, fatwa PP Muhammadiyah itu hadir dengan serba kekompleksan. Jika orang benar-benar kapok merokok, maka pendapatan melalui cukai rokok yang mencapai sekitar Rp 55 triliun per tahun bakal terganggu. Bukan hanya itu, puluhan ribu karyawan yang menggantungkan hidupnya melalui perusahaan tersebut bakal menganggur.
Bagi saya, kini benar-benar sudah ‘tamat’ merokok dan tak pernah berniat kembali lagi mengepulkan asap dari ujung batang-batang tembakau yang digulung manis dan apik itu. Pernah seorang mantan atasan, yang juga saya posisikan sebagai teman, bertanya.
‘’Mengapa berhenti merokok, Lan,’’ katanya suatu saat.
‘’Bagaimana tidak berhenti merokok, ada orang yang minta sebatang rokok, tetapi justru satu bungkus di-embat semua. Gue bangkrut deh jadinya,’’ kelakar saya. Sahabat kental itu terkekeh dan secara halus mengumpati saya, merasa dirinya di posisi yang dimaksud.

Makassar, 19 Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar