Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Pagi-pagi sekali pada Sabtu pertama Oktober 2005, perwira tugas jaga di Meja Asia markas besar Mossad (Dinas Intelijen Israel) menerima surat elektronik ‘’Kilat’’ dari katsa (perwira kasus, agen lapangan) yang ditempatkan di Jakarta, ibu Kota Indonesia. Surat elektronik tersebut membawa kabar bahwa para pengebom bunuh diri Al-Qaeda kembali menyerang Bali, suatu kawasan wisata populer, membunuh dan melukai lima puluh orang.(Lihat Gideon’s Spies 2, tulisan Gordon Thomas pada halaman 254).
Pada 2 November 2005, sebuah operasi yang diinspirasi oleh Mossad mulai mencapai klimaks di Batu, salah satu kota tropis Indonesia. Sebulan sebelumnya, seorang katsa di Delhi memperoleh informasi bahwa Azhari Husin (Doktor Azahari, pembuat bom kelahiran Malaysia dan tewas di Batu, Malang) pembuat bom Al-Qaeda yang paling berpengalaman, yang juga telah diidentifikasi Mossad sebagai dalang di balik serangan bom Juli di London, sempat berada di Delhi tak lama sebelum sejumlah bom mencabik-cabik Distrik Pahargani di kota itu.
Selama tiga minggu pencarian itu tak berhasil mengungkap jejak salah satu teroris paling dicari-cari di dunia itu. Seorang sayanim – informan -- di Jawa Timur memberitahu pengendalinya bahwa sejumlah orang mengontrak sebuah rumah di kawasan pinggir kota Batu. Dua dari mereka mirip-mirip foto-foto para teroris di suratkabar. Mereka dicurigai berada di balik serangan terhadap sebuah restoran di Bali dan menewaskan dua puluh tiga orang, Hanya dalam beberapa jam, si katsa tiba di Batu. Foto-foto tersebut menampilkan sosok Azahari Husin dan salah seorang pemimin kelompok militan lainnya, Jamaah Islamiyah, yang bernama Noordin Mohammed Top, seorang pembunuh tak kenal kasihan yang berkepribadian serupa dengan Musab al-Zarqawi di Irak. Si sayanim melapor bahwa Noordin M.Top telah meninggalkan Batu pada malam sebelumnya.(hlm 282).
Sengaja saya kutip dua kisah yang berkaitan dengan penanganan aksi teroris di Indonesia dan melibatkan badan intelijen negara asing, Mossad, Israel. Badan intelijen Negara tersebut dikenal sebagai salah satu organisasi mata-mata yang penuh intrik dan operasi yang mematikan. Hingga kini, setelah runtuhnya Uni Soviet dengan badan intelijennya KGB, Mossad menjadi organisasi intelijen paling handal di bumi ini. Negara itu hingga kini belum – dan mungkin tak akan pernah -- membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia lantaran aksinya di negara Palestina. Selama ini, mungkin banyak di antara selalu yakin bahwa warganegara Yahudi tersebut tidak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia yang selama ini belum juga menjalin hubungan diplomatik.
Beberapa waktu yang lalu di Indonesia marak muncul pemuda-pemuda yang menawarkan diri berangkat ke Palestina untuk memerangi Israel yang bertahun-tahun mencaplok Yerussalem, Gaza, dan Tepi Barat. Sebagai persiapan, beberapa komunitas organisasi beladiri berlatih bertarung dengan tangan kosong di Jawa Timur. Langkah mereka itu merupakan persiapan jika suatu saat dikirim ke Palestina. Mereka lupa, bahwa bertarung tangan kosong itu dilakukan jika berhadapan muka dengan musuh. Sementara musuh yang bakal dihadapi justru bertarung dengan mengirim roket dan rudal dari jarak ratusan kilometer. Kalau pemuda-pemuda kita itu dikirim ke sana dan Israel menghadapinya dengan cukup sekali menekan tombol untuk meluncurkan rudalnya, jelas warganegara kita yang memiliki solidaritas tinggi itu akan pulang tinggal nama ke tanah air.
Tidak lama setelah berita persiapan beladiri pemuda-pemuda di Jawa Timur, di sekitar Tugu Monas Jakarta terjadi bentrokan antara salah satu ormas Islam. Yang diserang adalah orang Islam juga. Begitu di beberapa tempat masjid komunitas Ahmadiyah dirusak dan diserang. Di berbagai daerah pun terjadi tawuran antara kampung yang tak kunjung usai. Saya berpikir, tega nian anak bangsa ini kok saling gasak sesama umat, sesama bangsa, sesama warganegara.
Pikiran saya kemudian teringat (mungkin karena kenyang membaca banyak buku tentang mata-mata dan spionase) salah satu bentuk devide et impera (memecah dan mengadu) yang dilakukan oleh Mossad adalah dengan menciptakan situasi agar warga di dalam suatu negara itu saling gosok, saling gesek, dan akhirnya saling gasak, Disharmoni diciptakan sedemikian rupa agar apa yang sedang mencuat dan memanas di tengah mereka (keinginan memobilisasi tenaga untuk ke Palestina dan berjuang melawan Israel) terlupakan dan terpinggirkan. Menjadi panas-panas tahi ayam saja. Yang mereka urus adalah perasaan iri dan dengki terhadap kelompok lain.
Membaca Gordon Spies jilid 2, dugaan saya semakin mendekati kebenaran, karena ternyata di Jakarta tertanam seorang – dan mungkin juga lebih – katsa, seorang petugas kasus dan agen lapangan Mossad, yang dapat dikategorikan sebagai perwira tinggi badan intelijen paling unggul di planet itu. Di Jawa Timur ketika kasus penyerangan kelompok Azahari di Batu, Malang, dia melaporkan ke perwira pengendalinya (katsa) bahwa ada orang tidak dikenal mengontrak sebuah rumah di kota penghasil apel tersebut. Ini pun menggambarkan bahwa betapa Indonesia menjadi ajang beroperasinya anggota mata-mata Negara lain yang justru tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Indonesia dapat menjadi lahan subur bagi beroperasinya personel intelijen asing, khususnya Israel, yang hingga kini belum menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Personel intelijen asing dapat menyaru berbagai macam profesi dan kepentingan. Bisa berlagak menjadi wartawan, wisatawan, ilmuwan, dan sebagainya. Ketika di Jakarta ribut soal NAMRU (Naval American Medicine Research Unit, Unit Penelitian Medis Angkatan Laut AS), saya teringat begitu banyak buku tentang organisasi intelijen berbagai negara melaksanakan penyaruannya. Menurut tuturan berbagai buku yang berkisah tentang dunia mata-mata, NAMRU tidak disangsikan lagi sebagai bentuk penyamaran paling sempurna organisasi intelijen asing di Indonesia. Dan, jangan lupa, di antara orang-orang Amerika itu, Mossad pun menanam personelnya. Mereka tidak tersentuh oleh hukum, karena memiliki kekebalan diplomatik.
Jika para agen Mossad itu masuk ke Indonesia, mereka akan menggunakan negara ketiga. Paspor yang paling banyak mereka gunakan adalah Kanada. Maka tidak heran, beberapa tahun lalu, ditemukan paspor Kanada palsu tetapi asli yang berjumlah sekitar 3000 lembar. Menurut kisah mereka yang berkunjung ke Israel kepada saya, setiap memasuki negara itu, paspor mereka akan diproses lepas dari pandangannya. Menurut catatan salah seorang katsa Mossad yang sakit hati dan mbalelo, Victor Ostrovsky, organisasi intelijen Israel ini memiliki alat untuk mengidentifikasi jenis kertas yang digunakan setiap negara dalam menerbitkan paspornya. Paspor yang mereka keluarkan persis sama dengan aslinya. Jadi, jangan pernah percaya bahwa orang-orang bule yang berkeliaran di berbagai daerah di Indonesia itu adalah murni turis. Apalagi mereka suka memotret kiri-kanan. Itu mesti diwaspadai.
Setiap saya melihat orang asing di Indonesia, khususnya dari negara-negara yang selama ini memiliki hubungan baik dengan Indonesia, tetapi masyarakat kelas menengah seperti mahasiswa cenderung antipati, pikiran yang menggelayut adalah tidakkah mereka itu merupakan perpanjangan tangan organisasi tidak kasat mata negaranya. Dalam struktur di kantor-kantor kedutaan besar, posisi Sekretaris I ditengarai atasan dari sejumlah orang menyaru sebagai diplomat di kantor kedubes dan perwakilan negara asing tersebut.
Yang perlu kita waspadai adalah, jangan mudah terprovokasi oleh adu domba dari pihak-pihak yang tidak jelas. Misalnya, tawuran antara pemuda di suatu kota. Apalagi konflik keras yang bersifat sektarian. Konflik ini yang paling disukai oleh negara-negara asing, khususnya yang menganggap Negara-negara Islam itu sebagai musuhnya. Indonesia termasuk di antaranya.
Kita sudah saksikan, betapa karena alasan memberantas teroris, Indonesia bersedia menerima bantuan keamanan secara tak kasat mata dari AS. Padahal, negara Paman Sam men-subproyekkan tugas itu kepada Mossad, Israel, yang dianggap sangat lihai dan licik dalam mengurusi teroris. Terbukti di Jakarta ada katsa-nya dan di Jawa Timur ada sayanim mereka. Tidak tertutup kemungkinan di kota-kota besar lainnya. Maka, seperti seruan di salah satu TV swasta; Waspadalah! Waspadalah!
Tulisan ini dimuat Harian Fajar 12 Maret 2010
Senin, 15 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar