Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Selepas memimpin upacara peringatan HUT TNI pecan lalu, kita dikejutkan oleh keputusan yang tidak lazim seorang presiden. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba-tiba saja membatalkan lawatannya ke Negeri Belanda lantaran ada ancaman penangkapan oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai anggota Republik Maluku Selatan (RMS). Bayangkan, seluruh penumpang sudah ada di pesawat Garuda yang siap menerbangkan mereka belasan jam menuju Negeri Kincir Angin itu. Keputusan Presiden SBY membatalkan kunjungan tersebut mengakibatkan – termasuk para wartawan yang sudah menggadang-gadang menikmati hawa Negeri Belanda – harus gigit jari. Rekaman berita TV yang menggaambarkan para penumpang turun dari pesawat dan berjalan menuju ke gedung Terminal Halim Perdanakusumah Jakarta, menambah ironis pembatalan tersebut.
Saya mengikuti jumpa pers Presiden SBY dilacar kaca dengan saksama. Pembatalan ini – mau tidak mau – berimplikasi pada dua hal. Kesatu, dari sisi positifnya, jelas pemerintah dan bangsa Indonesia tidak dipermalukan di mata dunia akibat ulah sekelompok orang menamakan diri RMS itu. Jika Presiden SBY tidak membatalkan – menurut rekaan saya yang awam ini – boleh jadi citra Presiden SBY akan turun di dunia internasional. SBY paling tidak mau citranya tergerus sedikit pun. Ia konsisten memutuskan membatalkan keberangkatan tersebut.
Kedua, dari sisi negatifnya. Ini jelas banyak. Yang paling pasti, Indonesia seolah-olah mengakui eksistensi RMS, organisasi yang sudah dibubarkan oleh pengadilan tahun 1953 tersebut. Ini jelas menempatkan RMS pada posisi ‘pemenang’. Dia tampil sebagai pemenang, karena berhasil melakukan gertak sambal terhadap seorang presiden dari sebuah negara berpenduduk 220 juta. Jadi, secara tidak langsung, Presiden sendiri telah mengakui keberadaan RMS tersebut.
Dampak lain pembatalan lawatan ini adalah kekecewaan pemerintah Belanda. Bekas penjajah Indonesia 350 tahun itu secara implisit besar kemungkinan menilai Indonesia melecehkan, terutama dalam hal menjaga keselamatan seorang kepala negara sahabat berkunjung ke negeri itu. Mustahil pemerintah tuan rumah membiarkan tamunya diobok-obok oleh separatis macam RMS.
Mestinya, SBY mendengarkan JK. Kata dia, gara-gara pembatalan kunjungan Presiden tersebut secara politis, RMS menjadi terkenal di seluruh dunia.
‘’Isu itu yang perlu dikelola pemerintah,’’ kata Wakil Presiden RI periode 2004-2009 ketika meresmikan satu unit donor darah di sebuah mall di Bekasi, Kamis lalu.
Menurut Kalla yang juga Ketua Umum PMI, pembatalan kunjungan presiden telah menjadi berita besar yang justru menguntungkan RMS. "Dengan berita besar itu nama RMS kembali seperti jadi besar," ujarnya.
Pembatalan itu, imbuh Kalla, menimbulkan akibat positif dan negatif, namun yang perlu adalah bahwa Presiden sebagai simbol negara jangan sampai berurusan dengan pengadilan.
"Pemerintah perlu melakukan berbagai langkah hingga orang bisa melupakan RMS," usul JK.
Menurut ‘Antara’, Presiden Republik Maluku Selatan di pengasingan, John Wattilete, mengatakan keputusan Presiden SBY batal berangkat ke Belanda adalah kemenangan bagi RMS.
"Sebenarnya kami sudah menunggu dia, sehingga bisa berhadapan langsung dan mempertanyakan kekerasan HAM yang dilakukan," katanya kepada sebuah kantor berita asing sebagaimana dikutip ‘Antara’.
"Tapi yang terpenting dari peristiwa ini adalah kemenangan kami."\
Presiden beralasan, ancaman keamanan kunjungan kepala negara adalah hal biasa. Namun dia tidak dapat menerima adanya tuntutan pengadilan internasional yang mencakup penangkapan Presiden RI. Padahal, menurut salah satu situs berita yang saya baca 5 Oktober malam, sebenarnya tidak ada pengadilan mengenai HAM di Indonesia yang dilaksanakan di Negeri Belanda bertepatan dengan lawatan Presiden SBY. Wattilete sendiri mengakui, dia hanya ingin berhadapan langsung dengan Presiden SBY untuk menanyakan masalah HAM di Indonesia, khususnya yang dilakukan di Maluku. Jadi, sebenarnya tidak ada pengadilan seperti itu.
Jika pun Wattilete ingin melakukan unjuk rasa, sudah biasa bagi seorang presiden, tetapi dalam jangka pendek, akan menurunkan citra sang Presiden.
"Kalau sampai digelar pengadilan, (ini) menyangkut harga diri sebagai bangsa," kata Yudhoyono.
Namun, pembatalan lawatan ini dalam jangka panjang akan menimbulkan trauma berkepanjangan bagi pemerintah Indonesia terhadap isu RMS tersebut. Sampai kapan pun, organisasi yang sudah dibubarkan 57 tahun silam tersebut.
Semestinya juga, SBY belajar pada mantan Presiden AS George W.Bush tatkala berkunjung ke Indonesia pada tanggal 20 November 2006. Bagaimana kencang dan derasnya penolakan elemen masyarakat dan LSM atas kunjungan Bush tersebut. Kedatangannya ke Indonesia memunculkan banyak sekali kontroversi yang hampir setiap hari menjadi berita hangat di berbagai media, baik cetak maupun elektroni, meski hanya 5 jam di Bogor.
Waktu yang singkat, tetapi cukup menggencarkan hampir seluruh pelosok daerah di Indonesia. Lebih banyak kontra yang ditimbulkan akibat kedatangan presiden Bush ini.Yang tidak kalah serunya, penolakan berbagai elemen masyarakat itu justru melibatkan paranormal, Ki Gendeng Pamungkas. Termasuk salah seorang yang bertugas manyantet Presiden Bush saat ke Indonesia.
Namun ada yang menyebutkan, Ki Gendeng Pamungkas mengaku menerima 10.000 dolar AS (sekitar Rp 90-an juta) dari utusan Presiden AS George W Bush sebagai kompensasi pembatalan santet terhadap Bush. Pemberian uang itu dilakukan di sebuah restoran di Bogor, Jumat (17/11) atau tiga hari sebelum kedatangan Bush ke Indonesia.
"Saya bertemu dengan enam orang. Mereka adalah paranormalnya Bush," ujar Gendeng. Dalam pertemuan itu, ujar Gendeng, seperti dilansir salah satu situs, mereka mengatakan, Amerika Serikat memang negara yang sudah maju, tetapi mereka memahami keberadaan dunia klenik terutama santet (vodoo). Oleh karena itu, salah seorang dari mereka yang menjadi juru bicara meminta agar Gendeng membatalkan niatnya untuk menyantet Bush.
"Pokoknya saya diminta agar tidak jadi menyantet Bush," ujar Gendeng
Menurut Gendeng, Presiden AS itu separuh percaya dan separuh tidak. "Kata orang yang menemui saya itu, Bush bergetar karena vodoo saya. Karena yang saya lakukan adalah bukan ritual santet Indonesia tapi vodoo asal Haiti. Vodoo mengandung darah ular hitam, burung gagak, dan campuran darah saya. Ada juga bantuan teman saya di kamar mayat, jadi ada darah korban bunuh diri, darah korban kecelakaan," ujarnya.
‘’Saya juga tetap melakukan ritual agar pada saat Bush datang disambut dengan hujan dan petir. Ternyata itu terbukti," katanya.
Setelah pembicaraan alot, akhirnya kedua belah pihak sepakat kalau santet (vodoo) dibatalkan.
"Sebagai imbalannya saya diberi 10.000 dolar AS ditambah pemberian dari pejabat tinggi Indonesia. otalnya ada Rp 100-an juta lebihlah," tambah Gendeng sambil tertawa ngakak.
. Justru yang beredar luas pasca kunjungan Bush itu, Ki Gendeng Pamungkas kewalahan melawan beberapa paranormal Yahudi yang menyertai George W.Bush. Tetapi bekas Presiden AS itu pintar.Ketika turun dari kendaraan yang membawanya dari Bandara Halim Perdanakusumah Jakarta, dia tidak turun dari mobil sebagaimana biasanya, tetapi justru melakukan lompat kodok. Mungkin juga atas nasihat paranormal Yahudi yang mendampinginya. Entahlah.
Tulisan ini dimuat di Harian Fajar Makassar, 9 Oktober 2010
Sabtu, 09 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar