Senin, 27 Juli 2009

Mendulang Pemimpin Sulsel Bermoral Local Genius

Oleh M.Dahlan Abubakar

Pada bulan-bulan terakhir ini, Sulawesi Selatan diterpa deman pemilihan kepala daerah (Pilkada). Nama-nama pasangan pun sudah bermunculan didukung dan membonceng berbagai bendera partai politik. Para pengamat pun mulai mereka-reka dan memprediksi siapa gerangan yang bakal menjadi nakoda Sulawesi Selatan tahun 2008-2013.
Pilkada adalah rutinitas politik lokal lima tahun sekali. Pilkada kali ini agak menarik, karena pertama kali dilaksanakan dengan menggunakan pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, memang terdapat berbagai model pemilihan kepala daerah. Mulai dari yang ditunjuk Presiden atau Gubernur atas usul dari berbagai jalur, pemilihan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sampai mencapai bentuknya yang sangat – dinilai -- demokratis, pemilihan langsung oleh rakyat.
Dari berbagai jenis dan model pemilihan tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Model pertama cenderung otoriter dan selalu mencerminkan keinginan dari atas atau penguasa. Kedua, memperlihatkan dominasi partai politik dan kemampuan menguasai para anggota Dewan yang terhormat. Ketiga, lebih demokratis, meski calon yang terjaring belum dijamin kualitasnya, karena berdasarkan popularitas dan berbagai variabel penentu, misalnya aspek geografis, sentimen politis, etnis, hingga religius.
Dari berbagai kemungkinan variabel tersebut, jelas kita tidak akan mampu menemukan seorang atau lebih pemimpin Sulawesi Selatan yang memiliki acuan persyaratan dasar. Jika variabel-variabel tersebut yang kita akan gunakan dalam mendulang pemimpin daerah ini ke depan, maka sepanjang pergantian pucuk pemerintahan kita akan berputar pada sejumlah sentimen tersebut. Persyaratan-persyaratan tersebut – meski hanya mungkin secara implisit di dalam perilaku politik seorang calon pemimpin – pada pemilihan pemimpin daerah kita ke depan akan terus terkristalisasi berdasarkan karakteristik-karakteristik kepentingan dukungan yang kian jauh dari menghasilkan pemimpin yang bebas dari berbagai pandangan sektarian seperti itu.

Nilai Kebudayaan
Bagi kita di Sulawesi Selatan, sebenarnya persyaratan pemimpin sudah dipatok oleh para pendahulu pada masa silam. Variabel yang menjadi acuan utama pun cenderung tidak bersentuhan dengan berbagai kepentingan sebagaimana layaknya yang kita kenal dan pahami dalam kehidupan masyarakat modern dengan kemajuan teknologi dan informasi sekarang ini.
Dulu -- yang tentu saja sangat berbeda dengan sekarang -- seorang pemimpin selalu lahir dari keinginan rakyat. Kita tengoklah bagaimana seorang bernama La Manussa’ Toakkarangeng. Pada waktu itu, rakyat Soppeng sepakat meminta kesediaannya menjadi Datu Soppeng. Namun, berkali-kali ia menolak, sambil beralasan; cari saja orang lain. Ketika pada akhirnya, harus menerima bujukan rakyat, dia masih meminta waktu untuk pergi berguru, mencari bekal keilmuan yang akan digunakan untuk memikul amanat rakyat Soppeng.
Masih banyak contoh lain sejenis itu yang pernah hidup dalam pemerintahan di daerah ini. Suatu bentuk warisan politik dan kekuasaan yang mungkin saja hingga kini masih bertahan pada segelintir pemimpin pada saat orang mulai berusaha kembali ke akar kebudayaan, menyusul semakin susah menemukan figur pemimpin yang dapat dijadikan panutan secara universal.
Di dalam masyarakat Bugis terdapat sejumlah nilai yang saat ini sudah mulai sulit dan sedikit dipraktikkan dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan berpolitik berbangsa dan bernegara umumnya di daerah ini. Yang umum kita kenal adalah nilai siri na pacce (harga diri). Harga diri cenderung disalahpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, persoalan siri justru pada hal-hal yang cenderung negatif.
Di dalam masyarakat Bugis-Makassar dikenal nilai utama kebudayaan Bugis kejujuran. Dalam bahasa Bugis disebut lempu, identik dengan lurus, lawan dari bengkok. Tetapi menurut Rahman Rahim (Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, 1985) dalam B.F.Matthes (Boegineeshc-Hollandsch Woordenboek, Nijhoff, Den Haag, 1874) pengertian utama kata lempu adalah ikhlas, benar, baik atau adil. Lawan kata itu adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya, dan sejenisnya.
Seorang cendekiawan Luwu, Tociung, saat diminta nasihatnya oleh calon raja (Datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng itu, menawarkan ada empat perbuatan jujur, yakni; memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; dipercaya lalu tak curang, artinya disadari lalu tak berdusta; tak menyerakahi yang bukan haknya; dan tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya sendiri. Baginya, baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
Jika kita telusuri kondisi kita di kekinian, nilai-nilai lempu ini mungkin tidak terlalu banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau kita berbicara dalam kaitannya dengan perpolitikan di tanah air umumnya. Para pemimpin lebih banyak mementingkan diri sendiri, sementara sejumlah kepentingan publik sering terabaikan. Kita melihat dan menyimak, bagaimana beberapa waktu lalu sejumlah anggota DPRD dari suatu daerah berunjukrasa di Jakarta lantaran tunjangannya dibatalkan dan harus mengembalikan tunjangan yang mereka telah terima. Begitu pun yang lainnya, seperti urusan laptop juga ramai dipersoalkan. Sampai-sampai salah seorang pemirsa di salah satu stasiun teve swasta yang berkomentar sinis melalui ruang suara rakyat.
‘’Memangnya, para anggota Dewan mau ‘kembali ke laptop’ seperti Tukul Arwana?,’’ katanya.
Masalah-masalah itu berhubungan langsung dengan kepentingan para pemimpin dan wakil rakyat meski selalu didalihkan demi kelancaran tugas berkaitan dengan urusan rakyat. Sementara jalan rusak, kekurangan air bersih dan semacamnya, tidak pernah dipermasalahkan secara serius.
Masalah kejujuran ini juga berkaitan dengan ketegasan dan kekonsistenan seorang pemimpin. Seorang pemimpin di daerah ini pada masa yang lalu penuh dengan suri teladan yang saat ini sudah susah kita temukan. Kisah yang paling heboh dalam masa pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan adalah apa yang terjadi di Tanah Sidenreng, ketika seorang ayah harus rela menghukum mati anak kandungnya sendiri. Kisah La Pagala Nenek Mallomo (1546-1654), seorang hakim negeri itu yang lahir di Panrenge di sebelah utara Amparita, menurut kacamata saat ini sudah jelas dianggap keterlaluan.
Pada suatu saat masa jabatan Nenek Mallomo, Sidenreng mengalami krisis panen selama tiga tahun. Orang pun segera mencari penyebabnya, terutama di kalangan pembesar dan keluarganya. Namun, orang hampir putus asa menemukannya. Dalam suasana kebingungan, tiba-tiba putra Nenek Mallomo sendiri datang bersimpuh di depan ayahnya.
‘’Tiga tahun silam, pada waktu musim membajak, beberapa mata sisir ‘silaga’-nya (alat yang dipakai membajak) patah. Lalu saya mengambil sebatang kayu kepunyaan tetangga tanpa memintanya terlebih dahulu sebagai pengganti mata sisir yang patah itu. Sampai sekarang hamba belum meminta kerelaan pemiliknya,’’ sang anak pun mengaku.
Mendengar pengakuan sang anak, sang ayah pun bertitah:
‘’Engkaulah rupanya, hai anakku yang telah melanggar pemali sehingga Tuhan menurunkan peringatan yang menimpa rakyat dan bumi Sidenreng. Demi kejujuran, engkau harus menghadap Dewan Pemangku Adat’’. (Lihat La Side,’’Sekelumit Riwayat Hidup Nenek Mallomo’’, Bingkisan, 17 (1968):23-27 dan 18 (1968):9-13 dalam Rahman Rahim).
Kesalahan dan ketidakjujuran tersebut menyebabkan Dewan Pemangku Adat memutuskan hukuman bunuh atas diri sang anak tersebut. Mendengar putusan tersebut, rakyat berbondong datang menghadap Nenek Mallomo.
‘’Sampai hati Tuan menilai nyawa putra Tuanku dengan sebilah kayu,’’ seru rakyat yang datang.
‘’Ade’e temmakke-anak, temmake-epo’(adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu),’’ jawab Nenek Mallompo.
Mengapa dia tega menghukum mati anaknya sendiri. Persoalannya, karena sang anak melanggar nilai kejujuran. Sementara sang ayah memegang nilai alempureng nennia deceng-kapang (kejujuran dan baik sangka). Pada masa kini, jangankan seorang pejabat menghukum anaknya yang bersalah, yang sudah melakukan tindakan kriminal saja malah dibela-bela.
H.D.Mangemba (2002) bahkan memberi judul yang menghimpun sejumlah tulisannya dengan Takutlah Pada Orang Jujur. Di dalam tulisan itu, Mangemba berkisah tentang Karaeng Mattoaya memberi amanah kepada Karaeng Pattingaloang, seorang cendekiawan Bugis yang menguasai sejumlah bahasa (Portugis, Spanyol, Latin). Ada lima pesan Karaeng Mattoaya kepada sang cendekiawan tersebut, yakni, kesatu, kalau hendak melakukan sesuatu pandanglah akan ujung/akhir perbuatan itu. Maksudnya, akibat dari perjuangan tersebut. Kedua, jangan engkau marah jika dimarahi. Ketiga, takutlah kepada orang yang jujur. Kempat, jangan mendengarkan sas-sus (kabar angin). Kelima, engkau baru berselisih, sekiranya engkau dalam kemarahan. Jadi, kejujuran dalam berbuat merupakan salah satu nilai utama dalam kebudayaan Bugis yang telah menjadi acuan dalam berperilaku pemerintahan pada masa yang lalu.
Nilai utama lain dalam kebudayaan Bugis adalah kecendekiaan. Nilai kecendekiaan selalu bersentuhan dengan kejujuran. Dalam percakapan sehari-hari kita tidak asing dengan kata acca yang artinya pandai atau pintar. Nilai ini kini kita kenal dengan kecerdasan inteligensia yang merupakan pasangan dari sejumlah kecerdasan lain, emosional, dan spiritual.
Kepatutan (asitinajang), juga termasuk dalam nilai utama kebudayan Bugis. Nilai mengandung maksud cocok, sesuai, pantas, atau patut. Nilai kepatutan ini, pada masa silam pernah diperlihatkan oleh Latadampare Puang Rimanggalatung.
‘’Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu inginkan kedudukan tinggi, kalau-kalau kamu tidak mampu juga memperbaiki negeri. Nantilah bila dicari baru kamu muncul. Nantilah bila ditunjuk baru kamu meng-ya,’’ kata Puang Rimaggalatung seperti dikutip Rahman Rahim dalam B.F.Matthes.
Jika kita lihat saat ini, adakah pesan-pesan cerdas leluhur ini dipraktikkan dalam kehidupan? Mungkin terlalu jauh dari harapan. Orang malah ramai-ramai memburu jabatan padahal kapasitas dan kompetensinya masih dipertanyakan.
Kebudayaan Bugis juga mengajarkan keteguhan (getteng). Teguh dalam arti, juga setia pada keyakinan. Tociung, menjelaskan ada empat nilai keteguhan, yakni; tak menghianati kesepakatan; tak membatalkan keputusan, tak mengubah kesepakatan; dan jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung.
Orang Bugis-Makassar terkenal dengan soal keteguhannya. Dia pantang surut, seperti kata ungkapan Makassar terkenal Kualleyangna na toaliya (lebih baik tenggelam daripada kembali ke pantai). Dalam kepemimpinan saat ini, nilai keteguhan masih mudah kita temukan, meskipun terkadang sering digoyahkan oleh pengaruh materialistik.
Usaha merupakan akumulasi dari pelaksanaan seluruh nilai yang dikenal dalam kebudayaan Bugis. Tanpa adanya usaha, maka nilai-nilai lain tidak akan teraplikasi secara tepat guna di dalam kehidupan bermasyarakat dan juga berbangsa. Usaha yang kita pahami sekarang mungkin berkaitan dengan jiwa kewirausahaan. Bidang ini juga merupakan bagian dari kebiasaan orang Bugis-Makassar yang sudah terkenal sejak dulu. Siapa yang tidak kenal dengan keperkasaan orang Bugis-Makassar menjelajahi lautan samudra untuk berniaga? Ini sudah dicatat oleh sejarah dari masa ke masa.

Pemimpin Masa Depan
Ukuran seorang pemimpin masa depan saat ini mungkin berbeda dengan variabel pemimpin pada masa lalu. Akan tetapi apa pun model dan harapan yang akan dituntut pada seorang atau banyak pemimpin mendatang secara nurani harus mampu mengamalkan sejumlah nilai utama budaya Bugis. Barangkali, etnis lain pun mengenal nilai-nilai seperti ini, tetapi nilai-nilai budaya Bugis sudah jauh lebih terpublikasi oleh para ahli sejarah dan ketimuran ratusan tahun silam. Nilai-nilai ini merupakan local genius yang masih layak dan patut menjadi bagian dari darah pemerintahan pada masa kini.
Soal visi dan misi merupakan wacana verbal yang akan dilaksanakan oleh seorang pemimpin, tetapi nilai-nilai utama akan menjadi sum-sum kekuasaan untuk menegakkan pemerintahan yang berwibawa dan bermartabat. Nilai-nilai utama Bugis akan mampu menegakkan supermasi hukum. Mampu membangkitkan semangat juang dan rasa malu pada diri setiap anak Bugis-Makassar (dalam lingkup Sulawesi Selatan dan Barat) ke depan.
Salah satu warisan yang patut menjadi acuan dalam berpemerintahan maupun dalam sektor politik adalah perlunya menemukan pemimpin yang dicari oleh rakyat. Dengan kata lain, pemimpin yang benar-benar menjadi pilihan dan memperoleh dukungan mayoritas rakyat. Sama dengan tokoh Puang Rimaggalatung, La Manessa’ Toakkarangeng, dan sebagainya. Pemimpin yang dalam hidupnya mengamalkan nilai-nilai utama budaya yang dianut leluhur pada masa lalu. Kita ingin menemukan pemimpin yang jujur, cendekia, teguh, patut, dan memiliki usaha untuk melaksanakan seluruh nilai tersebut.Saya kira, inilah pemimpin masa depan Sulawesi Selatan yang bermoral local genius. Pemimpin yang berkuasa dan memerintah berdasarkan nilai-nilai budayanya sendiri. Pemimpin yang akan membawa daerah ini, tidak saja gemilang dalam hal potensinya, tetapi juga karena moralitas para pemimpinnya yang memegang teguh budaya leluhurnya sendiri. ***

Naskah ini meraih penghargaan tiga lomba penulisan se-Sulsel 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar