Pengantar:
Upacara adat A'dingingi di Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan merupakan sebuah prosesi langka. Selama ini acara tersebut dihadiri kalangan dalam Keammatoaan. Tahun 2000 ini, untuk pertama kalinya upacara tersebut dihadiri kalangan luar Kajang. Untuk melengkapi materi tulisan mengenai acara tersebut, kami perkaya dengan penggalan intisari disertasi Dr.H.Kaimuddin Salle, S.H., M. Hum,(kini Profesor) yang dipertahankan untuk meraih gelar doktor di Unhas tahun 1999. Karya doktor Unhas itu diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan tambahan informasi mengenai kehidupan masyarakat Kajang, khususnya yang hidup di dalam kawasan Ilalang Embaya yang spesifik. Penjelasan Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulsel Ikrar Nurdin dan Koordinator Teknis Pendamping Tanty Thamrin melengkapi laporan ini. Salah seorang Fasilitator Program Kehutanan Multi-Stakeholder Department of International Development (DFID) Machmud Simpoha yang menyaksikan acara A'ndingingi itu juga memberikan komentarnya., ***
Pada tanggal 29 Desember 2000, bertepatan dengan 3 Syawal 1421 H. masyarakat Kawasan Kajang Dalam, Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan (sekitar 251 km dari Kota Makassar ke arah tenggara) menggelar Adat A'ndingingi, yakni upacara adat mendinginkan seluruh alam dan isinya.Kali ini, prosesi adat tersebut digelar Masyarakat Adat Ammatoa Kajang yang didukung KEHATI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Bulukumba, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan.
Upacara ini merupakan penjabaran dari filosofi Pasang ri Kajang yang merupakan pandangan hidup komunitas Amma Toa Kajang, Pasang itu mengandung etika dan norma, baik yang berkaitan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan manusia dengan Pencipta-Nya. Tugas Amma Toa-lah untuk melestarikan Pasang ri Kajang. Dia juga yang menjaganya agar komunitas Amma Toa tunduk dan patuh pada Pasang yang berupakan pandangan yang bersifat mengatur dan tidak dapat diubah, ditambah atau pun dikurangi.
Masyarakat Amma Toa mempertahankan kelestarian lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan yang bersumber dari Pasang ri Kajang, yaitu menganggap bumi ini diciptakan oleh Turie Akrakna (A'ra'na) dengan kelengkapan seperti halnya dengan organ tubuh manusia. Oleh sebab itu, kata Galla Lombo, Baso Tanrialo A.Kahar Muslim yang juga termasuk Pemangku Adat Amma Toa, lingkungan hidup itu harus mendapat perlakuan baik dari penghuninya dengan tetap melestarikannya. Tidak boleh merusaknya (pammali) dan ada ganjaran bagi yang melalaikannya. Hal ini memberikan kemampuan masyarakat Amma Toa mempertahankan kelestarian lingkungan hidupnya, khususnya kelestarian hutannya.
Pasang itu sendiri tidak dapat ditambah karena bersumber dari Turie Akrakna. Kaimuddin Salle (lihat :Bencana Alam, Bentuk Sanksi Pelanggaran Pasang) yang meraih gelar doktor di Unhas dengan menulis disertasi berjudul Kebijakan :Lingkungan Menurut Pasang, Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Amma Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba (Unhas, 1999) menyebutkan, bagi warga masyarakat Keammatoaan, Pasang menempati posisi wahyu dalam agama samawi. Pasang mengandung etika dan norma yang berkaitan dengan perilaku sosial maupun perilaku terhadap lingkungan.
Hutan bagi warga Amma Toa dipercaya sebagai organ bumi yang diciptakan Turie Akrakna untuk menyeimbangkan antara musim hujan dengan kemarau. Kalau hutan kurang, maka hujan akan berkurang. Mata air (tumbusu) akan kering. Dalam Pasang ri Kajang. Kata Baso Tanrialo A.Kahar Muslim, diungkapkan:Punna nitabbangi kajua ri boronga angngurangi bosi, appatanrei tumbusu (kalau kayu ditebang di areal hutan, maka akan mengurangi hujan, meniadakan mata air. Ungkapan lain, Anjoboronga angkotai bosia (hutan itulah yang memanggil hutan.
Hutan dipandang sangat sakral dan karena itu dilarang menebang pohon di dalam hutan, memburu satwanya, dan mencabut rumputnya tanpa seizin Amma Toa. Seorang lelaki Kajang boleh menebang pohon untuk membuat sebuah rumah sekali seumur hidup (kecuali ada bencana yang menimpa) dengan seizin Amma Toa.
Berbagai upacara adat digelar di dalam hutan, misalnya saja Pelantikan Pemimpin Adat Amma Toa, Attunu Passau (upacara permohonan kutukan untuk pelanggar adat), A'nganro (upacara permohonan perlindungan dan berkah), A'ndingingi (upacara mendinginkan seluruh isi alam). Masyarakat Kajang percaya bahwa Tuhan Yang Mahaesa menciptakan alam dan isinya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Mereka yang hidup harus menjaganya agar sumber daya alam itu masih dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang dengan kualitas yang sama.
Kawasan hutan di areal Kajang itu dibagi atas empat, yaitu Borong Simenginganna (bahasa Konjo), yaitu hutan diyakini tercipta bersamaan dengan terciptanya bumi. Statusnya menurut adat merupakan kawasan terlarang. Di kawasan ini sama sekali tidak diperbolehkan dimasuki oleh manusia. Isinya pun tidak boleh diganggu, kecuali para musafir yang tersesat dan masuk ke dalam hutan ini tanpa sengaja diperbolehkan mengambil buah-buahan untuk dimakan. Namun, tidak boleh dibawa keluar.
Borong Karrasaya, yakni kawasan yang dapat dimasuki pada waktu-waktu tertentu dan diizinkan mengambil isi hutan untuk keperluan upacara adat yang selalu dilaksanakan di dalam kawasan hutan ini. Upacara adat A'ndingingi juga dilaksanakan.
Borong Battasaya, di kawasan hutan ini masyarakat boleh mengelolanya secara bersama-sama dan mengambil hasilnya.
Borong Tutabbala, yakni kawasan hutan komunal, hutan milik bersama. Siapa yang menanam dia pula yang mengambil hasilnya. Masyarakat boleh mengambil hasil hutan lainnya seperti madu, buah-buahan, dan lain-lain hanya pada saat musim panen tiba.
Masyarakat adat Kajang mengelola hasil-hasil hutan yang bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menebang pohon hanya diizinkan untuk membangun rumah bagi satu keluarga baru. Pengelolaan hasil-hasil hutan yang bukan kayu berupa tanaman untuk makanan pokok, sayur, buah-buahan dan obat-obatan. Juga termasuk kerajinan sarung tenun Kajang yang memiliki motif spesifik dan kualitas sangat baik, bahannya juga berasal dari tanaman masyarakat sendiri. Ciri masyarakat Kajang adalah sarung dan pakaian yang dikenakan semuanya berwarna hitam.
Ritual A'ndingingi
Prosesi A'ndingingi adalah ritual adat untuk mendinginkan seluruh isi alam, memanjatkan doa agar manusia senantiasa menjaga alam dan isinya dan seluruh usaha manusia untuk menjaga alamnya diberkahi dan dilindungi oleh Tuhan Yang Mahaesa. Pada pelaksanaan upacara adat ini, tidak diperbolehkan bagi masyarakat adat Kajang memasak, mengganggu atau mengusik binatang, karena mereka merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan tidak boleh diganggu. Menurut adat, pada saat manusia menjaga alamnya, maka alam pun akan menjaga manusia.
Acara ini selalu dilaksanakan menjelang setiap pergantian tahun. Total prosesi acara A'ndingingi berlangsung tiga hari berturut-turut, dimulai 27 Desember 2000 dan puncaknya pada 29 Desember 2000 subuh.
Pada tanggal 27 Desember dilaksanakan acara A'battasa Bahung atau prosesi membersihkan sumber mata air yang akan dipergunakan untuk upacara A'ndingingi.
Kamis 28 Desember 2000 dilaksanakan acara pembuatan barung-barung atau baruga sederhana, tempat pelaksanaan upacara. Pada hari ini juga dilaksanakan Appalentenge Ere, atau prosesi mengambil dan mendinginkan air selama semalaman, proses berlangsung sejak tengah malam di Borong Karrasaya.
'' Prosesi tanggal 1 dan 2 Syawal 1421 (27 dan 28 Desember 2000), sifatnya tertutup, hanya dihadiri oleh para pemangku Adat Amma Toa Kajang dan komunitas masyarakat Kajang Dalam,'' kata Ikrar Nurdin.
Undangan (mayarakat umum) yang berasal dari berbagai daerah sudah tiba di kawasan Kajang Luar (Ipantarang Embaya) selepas magrib. Usai santap malam di kediaman Gallak Lombo, Baso Tanrialo A.Kahar Muslim selaku pemangku adat Amma Toa yang menghubungkan masyarakat adat di Kawasan Kajang Dalam dengan masyarakat luar kawasan.
Gallak Lombo terlebih dahulu menanyakan kepada Pemangku Adat Pembawa Kabar apakah izin untuk memasuki Kawasan Kajang Dalam sudah dititahkan oleh Amma Toa. Setelah Pemangku Adat Pembawa Kabar menyilakan, Gallak Lombo didampingi seorang Pemangku Adat yang bertugas menuntun rombongan berjalan beriringan memasuki Kawasan Kajang Dalam dan seterusnya memasuki kawasan hutan keramat dari arah timur dengan mengikuti aba-aba pelaksanaan ritual seperti mengambil satu pucuk daun, kemudian meletakkannya pada batu besar di sisi jalan setapak. Ritual ini dilakukan dua kali selama perjalanan.
Memasuki kawasan upacara tiga orang Pemangku Adat telah menjemput di ujung jalan setapak sebelum berbelok ke kiri untuk memasuki lokasi barung-barung atau baruga sederhana tempat pelaksanaan upacara. Di depan barung-barung telah berdiri lima orang Pemangku Adat yang akan menuntun para undangan ke tempat duduknya dan meminta dengan hormat untuk menonaktifkan kamera dan video recorder.
Barung-barung berukuran kurang lebih 5 x 12 m2, yang terdiri atas dua bagian yang disatukan, berdiri dengan dua pintu masuk dari arah barat dan timur. Pintu masuk yang harus dilewati oleh para undangan terdapat di sebelah barat. Tepat di depan tengah luar dari tiang utama yang menghubungkan dua bagian Barung-barung terdapat perangkat sesajen yang akan dipergunakan dalam upacara adat ini dan dijaga oleh dua orang Pemangku Adat lelaki. Sesajen ini terdiri atas berbagai buah-buahan dan padi ladang. Jenis sesajen terdiri atas ketam hitam yang sudah dikukus sebagai simbol alam sebelum manusia lahir. Ketan putih yang sudah dikukus sebagai simbol alam dunia, tempat manusia hidup sekarang. Ketan merah yang sudah dikukus sebagai simbol alam sesudah manusia meninggalkan dunia ini. Telur yang telah direbus sebagai simbol kehalusan budi yang selaras antara isi hati, isi pikiran, dan kata-perbuatan. Secara fisik, semua bagian dari telur sangat halus dan bersih, walau berbeda warna dan letaknya. Semua hasil ladang dan kebun seperti ubi jalar putih dan merah, pisang dan dihiasi dengan lilin yang terbuat dari daging buah kemiri yang disebut sulu rakrasa. Pelita daging buah kemiri ini adalah alat penerangan sehari-hari di Kawasan Kajang Dalam. Sebab sesuai Pasang ri Kajang di dalam Kawasan Kajang Dalam hanya boleh menggunakan perlengkapan-perlengkapan yang sederhana. Seruas bambu berisi air kelapa sebagai simbol dari keteguhan tekad dan persatuan dan kesatuan, sebagai makna dari Pasang ri Kajang: A'lemo sibatu a'bulo sipappa sipahua manyu siparampe (buah lemon/jeruk sama berbiji, batang bambu beruas-ruas, bila tenggelam akan saling menolong. Intinya pesan ini adalah persatuan dan saling tolong-menolong. Air kelapa sebagai simbol kejernihan hati dan sebagai penawar bagi penyakit.
Di bagian tengah dalam barung-barung, terdapat perangkat upacara yang meliputi air suci yang telah didinginkan selama semalam dalam prosesi Appalentenge Ere, seikat besar tumbuh-tumbuhan yang diambil dari dalam hutam keramat yang dipercaya memiliki khasiat dan seperangkat kapur sirih di atas talam anyaman daun kelapa diletakkan dan dijaga oleh permaisuri Amma Toa dan dua orang perempuan kepercayaannya. Di sekeliling barung-barung terdapat tanah datar kurang lebih dua meter yang dikelilingi oleh hutan alam yang sangat rapat. Di antara pohon-pohon tinggi besar tersebut terdapat 6 jalan setapak untuk masuk keluar dari lokasi barung-barung sesuai dengan 6 arah mata angin. Di arah timur laut jalan setapak yang dilalui para undangan terdapat tempat sesajen yang terbuat dari anyaman daun kelapa seluas 1 x 1 meter dan terletak tepat di bawah pohon besar.
Setelah semua yang hadir duduk tertib di dalam barung-barung di atas tanah yang dialasi desaunan, Wakil Amma Toa memulai Upacara Adat A'ndingingi dengan membaca doa. Amma Toa sendiri tidak hadir dalam prosesi ini, sebab sesuai aturan Pasang ri Kajang adalah Amma Toa tidak boleh meninggalkan kediamannya yang disebut Benteng, sehingga untuk beberapa upacara adat yang dilakukan di luar kediaman Amma Toa, prosesinya selalu dipimpin oleh wakil Amma Toa didampingi oleh Pembicara Amma Toa atau Tu'beko. Semua prosesi dilaksanakan dengan bahasa pengantar bahasa Konjo, bahasa asli masyarakat adat Amma Toa Kajang. Bahasa ini sendiri memiliki banyak kemiripan dengan bahasa-bahasa lain dalam rumput masyarakat adat di Sulawesi Selatan, sehingga para undangan tidak terlalu mengalami kesulitan mengerti arti atau maksudnya.
Puncak acara dilaksanakan Jumat, 29 Desember 2000. Semua undangan yang telah berpakaian hitam-hitam bersiap-siap memasuki Kawasan Kajang Dalam dengan berjalan kaki tanpa alas kaki. Sebelum bergerak, Gallak Lombo terlebih dahulu membacakan aturan-aturan yang harus diikuti selama berada di Kawasan Kajang Dalam dan Hutan Keramat (Borong Karrasaya).
Aturan-aturan itu berupa; tidak boleh membuang ludah sembarangan; tidak melewati daerah yang bukan jalur setapak yang menuju ke Borong Karrasaya, dalam arti menginjak-injak tanaman yang bukan berada pada jalur setapak untuk mempersingkat jarak yang ditempuh; tidak memetik tanaman apa pun selama dalam perjalanan tanpa izin pemimpin rombongan (Gallak Lombo); dan tidak menimbulkan suara gaduh/ribut, berbicara dengan pelan dan pada tempat-tempat tertentu tidak diperbolehkan berbicara.
Pada acara ini dilakukan A'bebese atau prosesi menyiramkan air ke arah empat penjuru mata angin dengan mengelingi semua yang hadir sebanyak tiga kali, dilakukan oleh Tu'nete. Acara ini dimulai sejak subuh, sekitar pukul 05.30. Para undangan diwajibkan berpakaian hitam-hitam, lelaki boleh memakai destar (penutup kepala) atau passapu. Laki-laki pelaksana A'bebese tidak diperbolehkan memakai baju, hanya memakai sarung sebatas pinggang dan destar di kepala, semuanya berwarna hitam. Perempuan memakai baju dan sarung, juga berwarna hitam. Semua yang hadir sesuai tradisi sebaiknya membawa makanan alami yang kemudian akan digunakan untuk sesajen pada keempat penjuru angin. Sebab, di kawasan Kajang Dalam tidak diperbolehkan ada kegiatan masak-memasak selama prosesi berlangsung. Di dalam Borong Karrsaya tidak dibolehkan ada cahaya buatan. Boleh disyuting namun tanpa lampu. Tidak ada kegiatan duniawi di dalam Kawasan Kajang, khususnya di Borong Karrasaya selama prosesi upacara adat ini.
Pada hari terakhir ini, juga dilaksanakan upacara meminta berkah dan doa yang dipimpin langsung oleh Amma Toa yang telah lebih tiba dan bermalam di Borong Karrasaya. Usai upacara berdoa, semua yang hadir di-bacca (diberi tanda di dahi antara kedua mata dan pangkal leher). Ini merupakan isyarat peringatan untuk selalu konsekuen menjaga alam. Pada empat penjuru mata angin yang telah disiram dengan air yang sudah didinginkan itu ritual appalentenge ere ke empat penjuru mata angin dilakukan dengan mengelilingi semua yang hadir sebanyak 3 kali putaran atau 28 kali, diikuti kebasan dedaunan dari berbagai macam tanaman yang diikat menjadi satu dan telah direndam semalaman bersama dengan air suci tersebut. Maksudnya agar pada masa mendatang alam akan kembali dingin (aman, tenteram, dan damai). Menggunakan seikat besar dedaunan maksudnya bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan (Turie Akrakna) sangat bergantung pada alam dan dengan menghormati dan menjaga alam serta isinya, maka diharapkan alam bersahabat dengan manusia dan saling menjaga. Prosesi ini dilaksanakan oleh dua orang Tu'nete yang tanpa mengenakan baju, hanya kain sarung yang dililitkan ke tubuhnya.
Salah seorang dari perempuan kepercayaan permaisuri Amma Toa membawa semacam adonan bedak kuning di dalam wadah mangkok yang kemudian diberi jampi-jampi/doa oleh pemimpin prosesi atau wakil Amma Toa. Adonan inilah yang selanjutnya digunakan sebagai bacca. Usai diberi doa, adonan tersebut dibagi menjadi dua bagian yang masing-masing dibawa oleh masing-masing seorang lelaki dan perempuan, kemudian berkeliling di antara yang hadir untuk a'bacca atau memberi bacca pada dahi dan di pangkal leher yang hadir. Maksud ritual ini adalah agar semua yang hadir selalu jujur pada diri sendiri dan orang lain, dengan menyatukan apa yang ada di pikiran dengan apa yang ada di hatinya.
Prosesi selanjutnya adalah mengumpulkan semua hasil pertanian/kebun masyarakat untuk diberkahi dan didoakan semoga panen mendatang dapat berhasil dan memuaskan. Hasil panen tersebut disimpan dalam wadah yang disebut kappara (semacam tempayan yang dibuat dari anyaman rotan dialasi daun pisang).
Pada acara A'ndingingi ini juga disebarkan biji-biji tanaman sebanyak 3 kali putaran mengelilngi barung-barung. Maksudnya adalah sebagai manusia kita harus selalu ingat untuk selalu terlebih dahulu ''menanam'' bila kita akan ''memanen''.
Prosesi terakhir adalah mencicipi makanan yang telah disediakan bersama-sama. Makanan yang tersedia adalah beras ketan hitam hasil ladang yang telah dikukus dan ditaruh di dalam piring anyaman daun pandan, sedangkan kacang merah kecil dan kacang hijau sebagai sayur. Lauk ikan serta ayam ditaruh di dalam mangkok yang terbuat dari batok kelapa yang dibelah dua. Tempat minumnya adalah batok kelapa dan batok buah bila yang telah dilubangi.
Dengan berakhirnya acara ini, maka tuntas sudah seremoni A'ndingingi. Namun yang hadir masih dapat saling tukar informasi. Umumnya, yang hadir dalam acara ini telah pernah mengikuti acara adat Masyarakat Amma Toa Kajang, yaitu upacara adat Pa'runtu Paknganro si Batu Lino atau upacara adat untuk keselamatan seluruh alam yang dilaksanakan September 1999. Acara yang dilaksanakan itu merupakan tingkatan tertinggi dari rangkaian upacara adat keselamatan yang dilaksanakan setiap 100 tahun.
Seluruh peserta upacara adat meninggalkan lokasi barung-barung dengan mengambil arah ke barat daya dengan tujuan untuk singgah ke Benteng, kediaman Amma Toa. Kediaman Amma Toa ini memiliki luas 10 x 20 m, terdiri atas dua bagian. Pertama, ruang tamu tiga perempat bagian, tempat tikar anyaman bambu untuk duduk. Di sebelah kiri pintu masuk terdapat dapur yang terbuka. Kedua, seperempat bagian yang merupakan bilik Amma Toa. Bilik ini terletak lebih tinggi 30 cm dari ruang tamu dan dibatasi oleh sekat anyaman bambu dengan satu pintu masuk.
Setiba di kediaman Amma Toa, para undangan dipersilakan naik. Rumah Amma Toa adalah rumah panggung yang tiang-tiangnya terbuat dari kayu bitti. Atapnya terbuat dari daun rumbia. Dinding dan lantainya terbuat dari anyaman bambu. Rumah Amma Toa adalah rumah yang paling sederhana bahan bakunya. Sesuai Pasang ri Kajang, bila masyarakat Amma Toa Kajang ditakdirkan untuk kaya, maka Amma Toa adalah orang yang terakhir akan kaya, dan bila ditakdirkan untuk miskin, maka Amma Toa adalah yang pertama akan miskin.
Setelah menunggu sekitar 5 menit, maka Amma Toa melalui wakilnya mempersilakan para undangan masuk ke biliknya yang sangat sederhana. Para undangan kemudian membagi diri menjadi 4 kelompok dan masuk bergantian, karena bilik Amma Toa tidak bisa memuat semua undangan. Usai undangan bertemu Amma Toa, Gallak Lombo lalu berpamitan kepada wakil Amma Toa untuk selanjutnya menuju Kawasan Luar Kajang atau ke kediaman Gallak Lombo. Undangan berjalan beriringan dituntun Gallak Lombo, seperti ketika akan menuju ke Kawasan Kajang Dalam. Di kediaman Gallak Lombo, para undangan kembali dipersilakan santap siang. Santap bersama pada puncak acara A'ndingingi adalah sebagai simbol yang bermakna bersahaja dan kebersamaan. Sekitar pukul 13.00 - 15.00 Wita, satu per satu para undangan meninggalkan Desa Tana Toa Kajang, kembali ke daerahnya masing-masing. (mda).
Dr.H.Kaimuddin Salle, S.H., M.Hum.
Bencana Alam, Bentuk Sanksi Pelanggaran Pasang
Amma Toa dan perangkat-perangkat ''administrasi pemerintahan''-nya (disebut pemangku adat) melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaannya terhadap warganya dalam suatu wilayah tertentu. Kekayaan materil yang berbentuk wilayah Keammatoaan selain memiliki kekayaan materil seperti wilayah kekuasaan, juga memiliki kekayaan inmateril, antara lain Pasang, kegiatan ritual dan seni budayanya.
Sebelum terbentknya wilayah-wilayah kecamatan di Kabupaten Bulukumba sekarang, Keammatoaan termasuk dalam Adatgemeenschap Kajang yang dikepalai oleh seorang Karaeng (raja). Dalam lingkup Kakaraengan Kajang, Keammatoaan tidak mempunyai hubungan struktural subordinasi menurut sistem ketatanegaraan yang lazim dewasa ini.
Ketika Adatgemeenschap Kajang kemudian berubah menjadi distrik dan sekarang menjadi kecamatan, Keammatoaan berkedudukan di Tana Toa. Lingkup wilayah Tana Toa di masa lampau dipastikan jauh lebih luas dari sekarang yang telah mengalami pemekaran menjadi beberapa desa, termasuk pemberian status desa bagi Tana Toa. Pemekaran Tana Toa menjadi lima desa
Data yang ada menunjukkan pada Kepala Desa Tana Toa, luas desa ini 7,1 km2, sedangkan kekayaan material berupa sawah seluas 90 ha, ladang 74 ha dan hutan (dikenal dengan hutan Amma Toa) seluas 317,4 ha. Hutan Amma Toa terdiri atas dia bagian, yaitu Borong Karamaka (hutan keramat) dan Borong Battasaya (hutan perbatasan). Data tentang luas masing-masing hutan itu dianggap kasipalli (pemali, tabu, terlarang) bagi orang luar untuk memasuki kawasan Borong Karamaka. Apalagi kalau bermaksud untuk mengukur dan mencatat luas kawasannya. Kasipalli dan tidak adanya data akurat mengenai hutan, tidak dapat dilepaskan dari Pasang yang tidak tertulis, serta tidak boleh diubah substansinya.
Wilayah Keammatoaan terbagi lagi atas kawasan yang dikenal sebagai Ilalang Embaya dan Ipantarang Embaya. Kata Ilalang dan Ipantarang masing-masing berarti di dalam dan di luar, sedangkan Embaya berarti yang di-emba. Kata emba sendiri menggambarkan sikap perilaku seorang gembala yang sedang menggiring dan mengarahkan gembalaannya ke arah yang dituju. Seorang gembala jarang berada di depan, tetapi gembalaannya tetap berada dalam kelompok yang dapat dikendalikannya. Emba juga mempunyai arti sebagai wilayah yang dikuasai.
Yang termasuk dalam kawasan Ilalang Embaya adalah enam dusun (Sobbu, Benteng, Balambina, Luraya, Tombolo, dan Dusun Baraya). Dusun-dusun inilah yang secara nyata mengikuti (hampir) seluruh aturan adat Amma Toa yang bersumber dari Pasang. Dusun Balagana, Jannaya, dan Kawasan (nama baru Dusun Dagali) yang berbatasan dengan kawasan Ilalang Embaya ditandai dengan adanya pintu gerbang memasuki kawasan Ilalang Emabaya, termasuk kawasan Ipantarang Embaya, yang juga disebut dusun calabai (banci). Pada ketiga dusun itu masih ada aturan adat Amma Toa yang masih dipertahankan, tetapi ada pula yang sudah ditinggalkan atau kurang diikuti oleh warga masyarakat.
Bagi yang menggunakan kendaraan, sebelum memasuki kawasan Ilalang Embaya terlebih dahulu memarkir kendaraanya di depan pintu gerbang. Tidak diperkenankan (kasipalli) memakai kendaraan memasuki kawasan ini.Larangan ini berlaku tanpa pandang bulu. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi. Bagi warga yang berdiam di kawasan ini, akan diusir dari dalam kawasan, sedangkan bagi orang luar sanksinya adalah tidak diperkenankan lagi memasuki kawasan itu. Tidak diperkenankannya kendaraan memasuki kawasan Ilalang Embaya merupakan bukti kebijakan warga Keammatoaan pada pelestarian lingkungan.
Kebijakan membangun rumah yang hampir seragam, baik besarnya maupun bahan yang digunakan, merupakan salah satu dari kebijakan yang bersumber dari Pasang. Bentuk rumah yang seragam akan mengurangi bahan dan biaya yang diperlukan. Bahannya tentu saja pada persiapan awal diharapkan dari pemberian izin menebang pohon dari dalam Borong Battasaya. Walaupun disyaratkan sebelum ada izin menebang satu pohon, diwajibkan menanam dua pohon atau lebih sampai tumbuh dengan baik, tetapi bagaimana pun memenuhi kebutuhan menebang pohon untuk keperluan perumahan akan berpengaruh atas kondisi pepohonan yang tumbuh di kawasan Borong Battasaya.
Letak arah rumah pun seragam. Kalau di kawasan Ilalang Embaya arah bangunan rumah selalu menyamping dari kawasan Borong Karamaka, maka rumah-rumah di kawasan Ipantarang Embaya hampir seluruhnya sudah menghadap ke jalan raya..
Hasil wawancara yang dilakukan Kaimuddin Salle dengan Gallak Beceng dan Puto Batong serta Bate Mangga menyebutkan bahwa setiap warga masyarakat yang ingin membangun bola (rumah), membuka koko (lahan perkebunan), yang dengan demikian memanfaatkan lahan kawasan Ilalang Embaya, harus dengan izin Amma Toa. Kalau telah mendapat izin, kegiatan itu didahului dengan aknganro (selamatan). Bila akan membuka lahan perkebunan yang diperkirakan hasilnya akan melebihi kebutuhan sehari-hari, harus membayar sejumlah uang atau barang (biasanya padi atau jagung) kepada masyarakat sedusun. Pembayaran itu dilakukan melalui Amma Toa. Pembayaran itu sekaligus merupakan pemberitahuan bahwa di lokasi tertentu akan dibuka lahan perkebunan atas izin Amma Toa. Tidak seorang pun dapat menjual lahan yang dikuasainya. Kalau lahan perumahan maupun kebun akan ditinggalkan, maka yang akan mengambilalih cukup membayar sejumlah uang atau barang sebagai pengganti tanaman yang tumbuh di dalam lahan itu. Peralihan harus sepengetahuan Amma Toa. Lahan itu hanya dapat beralih kepada warga masyarakat yang berdiam di kawasan Ilalang Embaya.
Sekadar gambaran saja, berdasarkan data Oktober 1998, penduduk Desa Tana Toa berjumlah 3.517 jiwa, yakni 2.065 mendiami 6 dusun yang masuk dalam kawasan Ilalang Embaya dan 912 jiwa lainnya mendiami kawasan yang termasuk dusun calabai (Ipantarang Embaya). Di desa ini terdapat tiga sekolah dasar dengan masing-masing murid 107 orang, 121 orang, dan satu sekolah dasar lainnya sulit diketahui muridnya, karena bercampur dengan murid dari luar kawasan Ilalang Embaya.
Sekolah lanjutan pertama hanya satu, yakni berstatus negeri dengan jumlah siswa 108 orang, 19 orang (10,76 persen) dari kawasan Ilalang Embaya. Salah seorang siswa kelas 2 adalah cucu Amma Toa, anak Puto Palasa. Jumlah siswa sebanyak itu dari Ilalang Embaya sudah cukup menggembirakan kalau dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah umum (SMU) ada yang ke Kota Bulukumba, bahkan ke Kota Makassar. Tidak diperoleh data mengenai warga kawasan ini yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun ada informasi bahwa putra salah seorang pemangku adat Keammatoaan, yaitu putra Gallak Beceng, termasuk salah seorang yang diwisuda pada Program D-3 Fakultas Teknik Unhas Desember 1998. Saat putra Gallak Beceng diwisuda dan rombongan yang berjumlah sekitar 10 orang, turut menghadirinya dengan pakaian adat Keammatoaan (warna hitam, baik baju, sarung, dan destar yang dipakainya), tanpa ada yang memakai sandal.
Nasihat-nasihat
Pasang - yang berasal dari kosakata bahasa Makassar dan digunakan oleh warga masyarakat Amma Toa - sinonim dengan amanat. Namun ada pula yang menyebutkan, pasang atau pappasang adalah cerita-cerita yang diwariskan lewat proses enkulturasi dan sosialisasi dari generasi ke generasi atau yang tertulis dan tersimpan dalam lontarak.
Pasang bagi bagi masyarakat Amma Toa adalah adat kebiasaan, kepercayaannya, larangan yang berkaitan dengan lingkungannya, menjadilah adat kebiasaan, kepercayaannya larangannya, dan pantangannya. Jadi, Pasang adalah keseluruhan aturan yang harus diikuti oleh warga masyarakat Keammatoaan sejak lahir sampai meninggal dunia Amma Toa adalah penanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Pasang, menjaga agar Pasang dilaksanakan dengan sepenuh hati, dan memberikan sanksi bagi pelanggarnya.
Sebenarnya dalam pembahasan Kaimuddin Salle banyak pendapat mengenai Pasang yang dikutipnya. Dr.H.Laica Marzuki, S.H. misalnya, mengemukakan bahwa pappaseng atau pappasang adalah ungkapan-ungkapan bijak yang dikemukakan oleh para leluhur melalui petuah-petuah lisan. Prof.Dr.MR Andi Zainal Abidin Farid mengemukakan, lazimnya pappasang diucapkan oleh seorang raja pada saat-saat mendekati ajalnya, atau pun pada keadaan sakit, sehingga para raja dari kerajaan lain mendatanginya untuk mendengarkan petuah-petuah dan nasihat-nasihat yang menyangkut segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Lain pula pendapat Prof.Dr.H.M.Arifin Sallatang. Mahaguru yang satu ini berpendapat, sebenarnya teks pasang, baik bentuknya yang berupa mitos, etiologi, legenda, maupun tema dan isinya adalah sesuatu yang dijumpai pada masyarakat mana pun di Indonesia. Hanya saja, bagi masyarakat Kajang, Pasang adalah adat kebiasaan yang mengikuti mereka sejak lahir, saat mulai berbicara, menjelang dan sesudah dewasa, hingga meninggal dunia.
KMA Usop yang menulis Pasang ri Kajang, Kajian Sistem Nilai Masyarakat Amma Toa dalam Agama dan Realitas Sosial (1985) menyebutkan, Pasang adalah keseluruhan, pengetahuan dan pengalaman tentang aspek dan liku-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan dengan lisan oleh nenek motang dari generasi ke negerasi, bersifat dinamis, tidak statis. Sifat dinamisnya itu tampak pada beberapa butir Pasang.
Kadir Ahmad yang menulis tesis di Pascasarjana Unhas (1989) dengan judul Komunitas Ammatowa di Kajang Bulukumba, Studi tentang Kepercayaan dan Pelestarian Lingkungan, berpendapat bahwa Pasang merupakan unsur mutlak dalam sistem kepercayaan warga masyarakat Keammatoaan, yang diartikan sebagai message (pesan), fatwa, nasihat, tuntutan yang dilestarikan turun-temurun sejak manusia pertama sampai sekarang melalui tradisi lisan. (mda)
Membakar Linggis Mencari Pencuri
Salah satu pertanyaan yang selalu muncul di benak setiap orang dan perlu dijawab adalah agama yang dianut warganya. Berdasarkan penjelasan Kepala Desa Taoan Toa (lihat Kaimuddin Salle, 1999) maupun penjelasan Amma Toa dan Puto Beceng , agama yang mereka anut adalah Islam. Namun pelaksanaan ibadah menurut syariat Islam (salat lima waktu, puasa, naik haji) tidak/kurang mereka laksanakan sebagaimana layaknya penganut Islam melaksanakannya. Malah menurut pengamatan Kaimuddin Salle, pada waktu-waktu salat lima waktu, tidak satu rumah pun di kawasan Ilalang Embaya yang menunjukkan tanda-tanda adanya orang yang salat.
Ada empat musallah di Dusun Balambina, Baraya, Tombolok, dan Dusun Sobbu. Namun musallah itu tidak dipergunakan untuk salat Jumat. Masjid Al Tajdid merupakan bangunan pertama di Desa Tana Toa yang didirikan dengan menggunakan batu bata. Dilarang membuat bangunan dari batu bata, sebab menurut Pasang hanya orang mati yang berada dalam kubur yang dikelilingi oleh tanah. Orang hidup kasipalli dalam keadaan yang demikian. Namun bila dikaji lebih jauh, makna kasipalli itu sesungguhnya berkaitan dengan kebijakan yang bersumber dari Pasang untuk melestarikan hutan, Bahan bakar pembuatan batu bata pada umumnya adalah kayu. Semakin banyak batu bata yang diperlukan untuk membantun, berarti semakin banyak kayu yang diperlukan. Bahan bakar kayu yang yang utama dan gampang diperoleh adalah yang berasal dari hutan. Memanfaatkan bahan bakar (kayu), maka kian banyak dan secara perlahan akan merusak hutan. Hutan rusak, berarti akan merusak ekosistem lain, seperti berkurangnya air sungai.
Pembangunan Masjid Al Tajdid terlaksana setelah Abdul Hamid Basma -Kepala Sekretariat Rektor Unhas pada masa Prof.Dr.Ir.Fachrudin - yang dikenal oleh warga masyarakat Keammatoaan sebagai Karaeng Kangkong. Dalam struktur Keammatoaan dia berkedudukan sebagai Moncongbuloa (Anak Karaeng) dan menjelaskan pentingnya masjid itu dibuat dari batu bata dan sekaligus bersedia meletakkan batu pertama masjid itu. Di masjid ini ada pengajian Alquran yang dibina oleh mahasiswa KKN, namun pelaksanaannya terhambat lantaran kurang peminat. Remaja masjid yang dibentuk pun tidak punya kegiatan, bahkan selalu bergantung pada mahasiswa KKN.
Di kawasan Ilalang Embaya tidak diperkenankan menggunakan alat penerangan selain lampu yang terbuat dari pohon karet (sullo gatta), lampu minyak tanah yang terbuat dari kaleng susu yang diberi sumbu (sulo minnyak tana), dan rakrasak yaitu lampu yang bahan bakunya terbuat dari daging buah kemiri (aleurites moluccana) yang ditumbuk dengan serat kapas (gossypium) yang dilekatkan pada rautan bambu.
Kebiasaan di kalangan warga Amma Toa adalah tidak berpuasa lagi tujuh hari sebelum Lebaran Idul Fitri. Menurut informasi, mereka hanya berpuasa pada hari pertama, hari kelimabelas, dan hari terakhir puasa. Selama tujuh hari terakhir mereka sibuk appattasak jerak (membersihkan kuburan). Kebiasaan ini sangat penting dalam kehidupan mereka, karena mereka beranggapan bahwa salah satu kekuatan yang membentenginya dari roh-roh jahat adalah arwah leluhur mereka. Menurut mereka, orang yang telah meninggal dunia lebih dekat pada Turiek Akrakna dibandingkan orang yang masih hidup. Karena kedekatan itulah, hubungan antara manusia dengan para leluhur perlu terus dipelihara dengan mengunjungi dan membersihkan kuburannya.
Ketentuan yang mereka ikuti dalam melaksanakan upacara-upacara ritual, misalnya apparuntuk paknganro, assamaya, attumate, memperlihatkan bahwa sisa-sisa paham animisme dan dinamisme masih menguasai hidup mereka.
Mencari Pencuri
Upacara ritual adat lain yang dilaksanakan Amma Toa adalah attunu panrolik (membakar linggis) dan attunu pasauk (membakar dupa). Membakar linggis dilakukan bila terjadi pencurian kayu di dalam borong (kebun) tanpa diketahui pelakunya. Warga masyarakat Keammatoaan dikumpulkan dan atas perintah Amma Toa, petugas yang ditunjuk, yaitu Puto Duppa Gamaru pun membakar sebatang linggis hingga merah membara. Setiap orang yang hadir diharuskan memegang bagian linggis yang telah panas itu untuk mengetahui siapa pelaku pencurian kayu. Jika yang memegang linggis tidak bersalah, maka ia tidak akan merasakan panasnya linggis. Pada umumnya, setiap kegiatan attunu panrolik diselenggarakan, tidak seorang pun yang merasakan panasnya linggis, yang berarti pelakunya tidak hadir di tempat itu. Meskipun demikian pelaku pencurian yang telah melanggar ketentuan Pasang (yang berarti telah merusak keseimbangan magis) harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka diadakanlah attunu passauk.
Attunu passauk dilakukan oleh Amma Toa bersama pemuka adat di dalam Borong Karamaka, setelah diadakan acara attunu panrolik tanpa hasil. Mendahului acara itu, terlebih dahulu Puto Beceng mengumumkan kepada seluruh warga, setiap hari selama satu bulan penuh tentang akan diadakannya upacara attunu passauk karena adanya pohon yang ditebang di kawasan borong tanpa diketahui pelakunya setelah melalui acara attunu panrolik. Cara penyampaian pengumuman itu, baik dari mulut ke mulut, maupun dengan memukul gendang yang ada di rumah Amma Toa dengan irama tertentu, yang segera pula dimaklumi oleh setiap warga masyarakat Keammatoaan arti pukulan itu.
Dalam tenggang waktu sebulan itu, diharapkan pelaku atau pun orang yang mengetahui perbuatan itu sadar dan segera mengakui perbuatannya atau melaporkan tentang orang yang telah berbuat itu kepada Amma Toa. Bila sampai pada batas waktu satu bulan ternyata tidak ada yang datang mengakui perbuatannya, maka dengan sangat terpaksa diadakan attunu passauk.
Upacara ini dilaksanakan pada tengah malam di bulan purnama di tengah Borong Karamaka, di tempat biasa melakukan assamaya dan appadongkok paknganro. Upacara ini sangat bernuansa magis, sehingga tidak semua orang dapat menghadirinya. Tujuan attunu passauk adalah agar pelaku yang enggan mengakui perbuatannya, yaitu menebang pohon di dalam borong mendapat hukuman Turiek Akrakna berupa musibah yang bisa terjadi secara beruntun. Musibah ini bukan hanya bagi si pelaku, melainkan juga dapat terjadi pada keluarganya, terutama keturunannya. Bahkan, juga pada orang lain yang mengetahui perbuatan itu, tetapi enggan melapor ke Amma Toa. Hanya saja, tidak seorang pun mau membicarakan mereka yang pernah terkena dampak dari attunu passauk. Dasar pertimbangannya adanyalah agar si pelaku hanya menerima hukuman dari Turiek Akrakna saja. Orang lain tidak perlu menambah penderitaannya dengan memper-gunjingkannya.
Menurut Pasang pelaku akan menderita pupuruk sorokau, anrekmo nararangi mata allo, battu ri attang, battu ri ahang, battu ilauk, battu ri aja, kamma lekok raung appucuk tepokmiseng, aklorongi tappumiseng (hidupnya akan melarat sepanjang masa, tidak akan disinari matahari dari segala penjuru bagai daun berpucuk patah, -- bagai tumbuhan merambat -- menjalar akan putus. (mda)
''Kabinet'' Adak Limaya
''Pemerintahan'' Keammatoaan juga dilengkapi dengan perangkat yang terdiri atas beberapa orang pejabat yang bila dalam pemerintahan sebuah negara disebut semacam kabinet.Amma Toa merupakan jabatan tertinggi dalam Keammatoaan. Amma Toa sendiri secara harfiah berarti Bapak yang Tua yang bermakna Ketua atau Yang Dituakan dan Karaeng Tallua (Karaeng yang Tiga) yang untuk selanjutnya bersama-sama dengan Adak Limaya disebut Pemangku Adat
Amma Toa I, diyakini dilantik oleh Turiek Akrakna sebagai orang yang terpilih oleh yang melantiknya, karena memenuhi persyaratan yang kemudian diketahui melalui Pasang dan tanda-tanda alam, sebagai ungkapan kehendak Turiek Akrakna .
Menurut Pasang, persyaratan dasar untuk menjadi Amma Toa adalah jika ia bersifat dan berperilaku, sabbarappi na guru (kesabaran seorang guru), pesonapi na sanro ( pesona seorang dukung/peramal), lambusuppi na karaeng (kejujuran seorang raja)), dan gattangpi na adak (ketegasan memelihara adat).
Yang dimaksudkan dengan sabbarappi na guru, ialah bahwa seorang Amma Toa harus mempunyai kesabaran yang tinggi dan pengetahuan yang luas dalam kaitann dengan Pasang, sehingga mempunyai pula kemampuan menuntun warganya mengetahui isi Pasang. Hal ini berarti bahwa seseorang Amma Toa harus mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi dan kemampuan menghafal dan mengingat bunyi Pasang, membimbing warganya mengetahui isi Pasang. Dalam mengambil tindakan pun harus pula dengan kebijakan apabila terdapat warga masyarakat yang kurang menghayati makna Pasang.
Hasil wawancara Kaimuddin Salle menyebutkan bahwa baik Kepala Desa Tana Toa, para kepala dusun Desa Tana Toa, maupun pemerhati Keammatoaan, misalnya Mansyur Embas, Abdul Hamid Basma, Puang Abdul Hamid Patumbul dan Ismail, ada kesamaan pandangan bagwa agar Pasang itu dapat lestari dan dikenal oleh masyarakat yang lebih luas, maka perlu dituliskan. Mengandalkan daya ingat para pemangku adat, maupun warga masyarakat, akan sangat sulit memberikan jaminan orisinalitas Pasang. Hal itu memungkinkan terjadinya perubahan redaksi Pasang maupun makna dari waktu ke waktu, mapun dari rumusan yang disampaikan oleh warga yang berbeda. Ke depan, Pasang pun ingin diketahui dan dipelajari oleh mereka yang tidak mempunyai kesempatan berkunjung ke tengah-tengah warga masyarakat Keammatoaan.
Pesona na sanro ialah kepiawaian mengobati orang yang sakit, baik sakit fisik (luka, patah, sakit perut, dsb), maupun sakit karena guna-guna atau karena disapa oleh leluhur, atau oleh orang yang sudah meninggal dunia. Kemampuannya juga terutama untuk meramal hari baik untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu, atau meramal masa depan seseorang. Seseorang Amma Toa karenanya adlaah tempat bertanya tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan hari baik dan hari jelek untuk melakukan suatu kegiatan tertentu, baik yang akan dilakukan oleh warga secara perorangan (seperti akkatterek, appabunting). Maupun untuk acara yang akan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh warga masyarakat Keammatoaan (misalnya, abborong, appadongkok/apparuntuk paknganro), tempat bertanya tentang penyakit dan obat dari penyakit yang diderita oleh seorang warga, terutama penyakit yang ada hubungannya dengan perbuatan orang lain (kena doti/sihir) atau penyakit karena teguran orang yang sudah meninggal dunia (kapattaungi = disapa oleh arwah leluhur).
Lambusuppi na karaeng ialah kejujuran seorang raja, yaitu kemampuan melaksanakan tugas kesehariannya sebagai kepala persekutuan hukum atas dasar kebijakan yang bersumber dari Pasang. Sementara gattangi na adak, ialah ketegasan dalam memelihara adat yang bersumber dari Pasang. Ketegasan menjatuhkan sanksi kepada setiap pelanggaran adat tanpa pilih kasih. Amma Toa mengemukakan bahwa menurut Pasang, manna anak talakkullei tauwwa annyikki manuk mate, anggalepek manuk polong, manna anakta punna salai, nipatabai tonji lasa (walaupun anak sendiri kalau berbuat salah harus dihukum). Mengenai masalah ini, Prof.Dr.MR Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa La Pagala Nene Mallomo (dari Sidenreng) pada abad XVI menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri, yang terbukti mencuri sepotong kayu milik orang lain. Ketika ditanya, apa sebabnya dia mempidana mati sang anak, ia menjawab:ade'e temmakeana temma keeppo, artinya hukum adat tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu.
Keturunan tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadi seorang Amma Toa, Pasang mengajarkan bahwa manna raung camba punna ia paklaklanggang, manna tok raung tokka niaparajako (walaupun daun asam - yang daunnya kecil -- tetap dijadikan tempat bernaung, walaupun daun sukun -- yang daunnya lebar - hanya akan dijadikan alas. Makna ungkapan Pasang ini ialah walaupun seseorang berasal dari rakyat biasa (bukan dari keluarga kintarang - orang baik-baik - yang berasal dari keluarga Amma Toa), kalau jadi pemimpin, tetap akan dihormati sebagai pemimpin, sebaliknya walaupun berasal dari keluarga baik-baik (tau kintarang), kalau bukan pemimpin, harus tunduk pada pemimpin yang ada (yang kemungkinannya berasal dari orang biasa).
Syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang Amma Toa adalah; warga asli yang berdiam di kawasan Ilalang Embaya. Warga asli di sini adalah hasil perkawinan dari bapak dan ibu warga Keammatoaan yang berasal dari kawasan Ilalang Embaya; tidak tahu baca tulis; tidak pernah meninggalkan kawasan Ilalang Embaya' dan tau kintarang (turunan baik-baik). Beberapa warga Keammatoaan mengemukakan Amma Toa sekarang ini adalah sosok yang sangat baik, anrek nakaitte-itte (tidak banyak bertingkah) dan selalu berpegang pada Pasang.
Dalam melaksanakan kekuasaannya Amma Toa dibantu oleh anggota ''kabinet'-nya yang disebut Adak Limaya dan Karaeng Tallua. Disebut Adak Limaya karena terdiri atas lima orang pejabat, masing-masing bergelar Gallak, yaitu:
Gallak Pantama (sekarang dijabat oleh Kepala Desa Possitana); pejabat yang mengurus bidang pertanian. Gallak inilah yang memimpin setiap musyawarah adat bersama masyarakat (abborong) untuk menentukan waktu menanam pare (padi), baddok (jagung), penanggulangan gangguan hama tanaman, bencana alam (misalnya kekeringan), dan lain-lain yang memerlukan kesepakatan bersama dengan warga masyarakat.
Gallak Kajang (sekarang dijabat oleh Kepala Kelurahan Tanajaya); pejabat yang memimpin kegiatan adat, termasuk yang bersifat ritual.
Gallak Lombo (sekarang dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa); pejabat yang mengemban tugas pokoknya dalam bidang keamanan, baik dalam kawasan Ilalang Embaya mapun Ipantarang Embaya, termasuk menjaga kelestarian hutan. Pada akhir-akhir ini mungkin karena jabatan ini dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa, Gallak Lombo-lah yang mengantar tamu-tamu yang memasuki kawasan Ilalang Embaya, terutama yang ingin menemui Amma Toa. Menurut Informasi Kepala Desa Tana Toa dan Gallak Puto, Amma Toa banyak didatangi tamu dari Makassar maupun kota-kota di Pulau Jawa, untuk memohon berkah antara lain agar enteng jodoh, mudah memperoleh kekayaan, dapat meraih jabatan yang dikehendakinya, atau terhindari dari musibah karena jabatan yang diembannya.
Gallak Puto (sekarang dijabat oleh Puto Beceng), bertugas sebagai jurubicara )merangkap sebagai sekretaris, menurut istilah Kepala Desa Tana Toa) Amma Toa dan Keammatoaan. Dalam menjalankan tugas ini, Gallak Puto senantiasa berada di rumah Amma Toa dan menguasai Pasang dan segala hal yang berkaitan dengan Keammatoaan. Mungkin akan lebih tepat jika jabatan Gallak Puto ini disebut mencakup segala urusan dalam (internal affairs) Keammatoaan.
Gallak Maleleng (sekarang dijabat oleh Kepala Desa Maleleng), mempunyai tugas pokok di bidang perikanan.
Ada lima butir Pasang mengenai prinsip ideal hubungan antara Amma Toa dengan warganya, dan hubungan antarwarga, yaitu:
1. abbulo sipappak (menyatu bagaikan sebatang bambu)
2. aklemo sibatu (menyatu bagaikan sebuah jeruk)
3. Tallang sipahua, manyuk siparampe (tenggelam saling mengapungkan, hanyut saling membawa ke tepian).
4. Sallu ri ajoka, ammulu ri adahang, nanigaukang sikontu passurona pamarenta (tepat mengikuti alur yang telah ditentukan - pada waktu membajak - dan mengikuti seluruh perintah dari pemerintah).
5. Nanigaukang sikontu passuronna tumabbutayya (melakukan segala kemauan dari seluruh warga masyarakat).
Di antara ajaran-ajaran Pasang ada empat larangan yang dalam suatu sistem hukum dimasukkan dalam Hukum Pidana, yaitu: ako lukkaki (jangan mencuri), ako botori (jangan berjudi), ako panngaddi (jangan berzinah), dan ako pakdongok-dongoki
(jangan memperbodoh orang) . (mda).
Senin, 27 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar