Senin, 27 Juli 2009

Selamat Jalan Rekan Indarto

Kamis (7/5) malam itulah pertemuan saya yang terakhir dengan almarhum. Rabu (6/5) malam saya seperti biasa hadir di Kantor Redaksi Majalah Profiles Mayzonete untuk 'nyetor' naskah. Ya, seperti biasa, kesibukan siang hingga sore hari membuat saya sebagai pembantu (redaktur khusus) Profiles hanya punya waktu malam hari.
''Mana yang lain, To,'' inilah pertanyaan yang mungkin saja sudah sangat klise bagi almarhum. Saban muncul di kantor malam-malam seperti itu, pertanyaan itu saja yang terus bergulir.

Kamis malam itu -- sekitar pukul 22.30 saya menelepon.

''To, saya mampir di kantor, mau samperin buku kecil (judulnya: Hiroshima) yang saya lupa di atas mejanya Mahyuddin Rabu (6/5) malam. Saya tak sempat lagi balik, karena sepeda motor yang saya tunggangi sudah hampir sampai 1/5 jalan yang tersisa ke rumah.
Saya singgah. Kali ini tidak biasanya, karena setiap saya singgah selalu mampir membelikan dia kue atau mie kering. Mungkin karena setengah hari hingga malam ikut Pertemuan Humas dan Depkominfo di Hotel Sahid terkena ''low batteray'' (lobed). Biasa saya singgah mampir membeli mie kering jika sama-sama dengan ibu. Istri saya seperti sangat maklum -- mungkin sudah kebiasaan ketika di Pedoman Rakyat -- selalu mengingatkan saya untuk membeli ''cemilan'' buat teman-teman di kantor. Biasa juga ubi atau pisang rebus dia titip untuk teman-teman di PR dulu.

Malam terakhir itu, seperti biasa, ketika saya mampir, dia duduk di depan komputer kesayangannya. Saya duduk di depan komputer Mahyuddin, tempat saya biasa memindahkan file-file tulisan. Entah mengapa malam itu, saya bertanya.
''Di mana biasa tidur, To!,''

''Itu di sana,'' katanya sembari menunjuk lantai yang diberi alas tikar sekadarnya.
''Nggak banyak nyamuk?,'' tanya saya lagi. Dia tetap saja memencet-mencet mouse komputernya sembari melayani pertanyaan saya.

''Banyak, Terpaksa pakai awutan,'' sahutnya.

Setiap saya datang, dia jarang mengenakan baju. Udara di kantor redaksi memang agak panas. Beda dengan di kantor yang lama, ada pendingin ruangan.

Malam itu, saya hanya sekitar lima menit duduk.

''To, saya balik dulu. Saya sedikit lobed, setelah seharian (setengah hari) ikut seminar di Sahid,'' kata saya memecah keheningan.

''Ya,'' jawabnya pendek sembari berhenti menyulut rokok yang sudah susah dia talak lagi.
Saya tidak pernah menyangka bahwa itulah pertemuan terakhir saya dengan almarhum. Beberapa hari sebelumnya saya pernah dengar, dia pernah pingsan di kantor. Saya prihatin juga mendengarnya. Soalnya ketika di PR dia pernah mengalami kejadian yang sama. Waktu itu malam hari. Dia terjatuh di dapur. Teman-teman berlarian sembari meneriakkan namanya jatuh. Saya langsung refleks, lari ke tempat parkir memundurkan mobil ke dekat tangga turun di bagian belakang untuk menunggu almarhum digotong turun oleh teman-teman untuk selanjutnya di bawa ke rumah sakit.
Bosan menunggu lama, ''pasien''-nya tidak turun-turun, saya pun naik ke kantin. Ternyata almarhum sudah siuman dan duduk sembari menikmati beberapa sendok nasi.
''Kenapa, To,'' teman-teman bertanya ketika dia menarik nafas segar lagi.
''Nggak tahu,'' jawabnya pendek.

Setelah di Profiles baru sedikit terungkap, kalau almarhum memang sedikit ada gangguan penyempitan pembuluh darah.Kesenangan menenggak minuman keras (kadang-kadang kalau diajak temannya), mungkin menjadi penyebab penyakit itu tidak sembuh. Waktu di PR, malam Minggu biasa ada temannya menjemput menggunakan sepeda motor.
Indarto adalah sosok yang tidak pernah menciptakan seteru. Bicaranya terjaga. Kalau tidak diajak bicara, di ruangan bagaikan tidak ada orang saja. Kalau pun dia memulai berbicara, pasti ada sesuatu yang penting. Sama dengan ketika suatu saat, sehabis saya dari Jakarta, saya muncul di kantor menyetor naskah.

''Sudah baca buku Sintong?,'' tanya dia yang tahu betul kalau saya pemburu buku maniak. Apalagi buku-buku yang sempat kontroversial begitu.

''Saya sudah tamat, To. Besok saya pinjamkan,'' saya berjanji dan keesokan harinya saya bawakan.
Dia melahap buku itu hanya tiga hari. Pernah juga saya pinjamkan buku CIA yang tebalnya -- kalau tidak salah -- 1000 halaman. Ketika saya datang lagi untuk meminjamkan buku Sintong, buku CIA pun dia kembalikan.

''Tebal sekali. Juga bagian tulisannya tidak teratur. Setengah mati saya mencari bagian dan halaman buku yang memuat kisah Adam Malik sebagai agen CIA. Padahal, ternyata Pak Dahlan sengaja sudah tanda dengan kertas. Saya kira apa, saya cabut saja,'' katanya panjang lebar sembari tersenyum.

Itulah rekan kita Indarto. Lelaki bujang yang selalu menyejukkan hati. Dia merupakan sosok pendiam yang kita dan saya kenal. Namun di balik pendiamnya, dia termasuk pembaca buku yang maniak. Sudah puluhan buku pilihan yang saya pinjamkan kepadanya. Dan, dia lalap dan lahap habis. Bahkan, setelah dia membaca buku itu, terkadang dia komentari lagi. Itulah Indarto. Kepergianmu benar-benar sangat mengagetkan. Saya sedang di Malino mendampingi mahasiswa yang sedang praktik ketika kabar duka itu berdering di ponsel. Saya katakan kepada Mahyuddin yang memberitahu, saya akan segera meluncur turun ke Makassar, meski saya tahu poros Sungguminasa ke Malino melalui Bilibili diblokade habis oleh penduduk yang ingin jalan itu mulus. Apa boleh buat, saya ingin melihat wajah Indarto yang terakhir sebelum dibawa ke Lamasi Luwu, tempat Indarto akan disemayamkan untuk selama-lamanya sesuai permintaan keluarga.
Saya kebut kendaraan dari Malino setelah meminta izin kepada 36 mahasiswa yang saya antar.
''Saya dulu, teman saya berpulang ke rakhmatullah,'' kata saya.
''Ya, Pak. Hati-hati,'' Bila, salah seorang mahasiswa saya yang kebetulan juga anak dari teman saya (Ma'mun Assyari SH) melepas saya naik kendaran.
Syukur alhamdulillah, setelah menyinggahkan istri, anak, dan cucu di rumah, langsung ke rumah duka di Kantor Redaksi Profiles. Teman-teman sudah menyemut. Saya langsung ke samping jenazah. Keluarganya menyingkapkan sedikit kain penutup kepalanya. Tampak wajah teman Indarto bagaikan orang tidur saja. Senyum tipisnya bagaikan tersisa buat saya, seperti pada pertemuan terakhir kami Kamis malam itu.
Selamat jalan kawan, kau pergi sebatang kara. Tiada keluarga yang menyaksikan tarikan napas terakhirmu, kecuali seorang Mahyuddin dkk yang seperti memiliki ''feeling'' masuk lebih awal (biasanya pukul 11.00-12.00) pukul 10.00, Minggu (10/5) itu. Ternyata, kau masih menyiapkan sedetik waktu untuk Mahyuddin mewakili kami menyaksikan kepergianmu yang abadi...!

M.Dahlan Abubakar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar