Oleh M.Dahlan Abubakar
Dalam hampir dua tahun terakhir ini, komunitas masyarakat Bima di Sulawesi Selatan menggagas berdirinya sebuah perguruan tinggi negeri di Kabupaten Bima. Alasan pendirian perguruan tinggi negeri itu cukup jelas, yakni guna menampung banyaknya minat putra daerah itu yang merantau ke daerah-daerah lain di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Daerah terbanyak yang disasar anak-anak Bima adalah Makassar dan Mataram. Kedua daerah ini memiliki jalur transportasi yang memadai. Makassar dapat dijangkau dengan transportasi kapal laut dua minggu sekali atau melalui transportasi udara dari Bima ke Denpasar baru ke Makassar. Mataram dapat dijangkau dengan bus selama 12 jam perjalanan dan pesawat 1 jam.
Data sementara yang berhasil diidentifikasi oleh tim persiapan menyebutkan, pada tahun 2010 jumlah lulusan SLTA yang diperkirakan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi mencapai 20.000 orang. Jumlah itu bakal mengalir dari seluruh kabupaten/kota di Pulau Sumbawa, Flores, dan Sumba. Dari jumlah itu, diperkirakan tertampung di perguruan tinggi berkisar 7.000 orang. Hal ini disebabkan, gengsi melanjutkan pendidikan di kalangan masyarakat Bima jauh lebih tinggi.
Guna mendukung pendirian PTN tersebut, Wali Kota Bima, H.M.Nur Latif cukup responsif. Atas kerja sama dengan DPRD Kota Bima, dikucurkan dana awal bagi pelaksanaan studi kelayakan (feasibility study). Panitia gabungan yang terdiri atas Pemerintah Kota, DPRD Kota Bima, dan Forum Kajian Wilayah dan Budaya Masyarakat Pulau Sumbawa di Makassar`pun dibentuk dan sudah mulai melaksanakan kegiatan persiapan. Sementara tim di Makassar mempersiapkan perangkat administratif yang diperlukan guna pendirian PTN tersebut.
Nur Latif mengatakan, kehadiran PTN di Bima akan membantu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat di Kota dan Kabupaten Bima. Setiap bulan, setidak-tidaknya Rp 14 milyar dana keluar dari Bima untuk membiayai putra-putrinya yang belajar di berbagai daerah dan kota di seluruh tanah air. Jika saja dana sebesar itu berputar di Bima, jelas akan dapat menggerakkan perekonomian dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kehadiran PTN, selain akan menjadi mitra PTS yang sudah ada dalam kapasitas sebagai pembanding, juga akan menghidupkan aspek perekonomian. Misalnya, transaksi kontrak rumah dan kos akan tumbuh cepat. Toko-toko buku akan hadir dan menyerap tenaga kerja. Penggunaan jasa transportasi pun akan meningkat. Arus uang masuk ke Bima pun jelas mengalir deras. Dan, sekian banyak lagi multiplier effect (manfaat ganda) yang dapat diperoleh dengan kehadiran PTN tersebut.
Soal nama
Di tengah persiapan pendirian PTN itu, masalah yang mencuat ke permukaan adalah soal nama. Pujangga Inggris, William Shakespeare, memang pernah berkata, what is a name? Apalah arti sebuah nama? Meski pujangga tersebut mengatakan seperti itu, tetapi dalam konteks ini, saya tidak sepakat dengan Shakespeare. Nama adalah "jimat" untuk mengarungi dunia. Dunia apa saja, termasuk dunia bisnis dan selebritis. Nama merupakan pengenal untuk membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Andaikan tidak ada nama, jelas kita selalu memanggil dan menyapa sesuatu dengan anu, yang kadang-kadang pada kondisi dan situasi tertentu bisa bermakna lain.
Dari sekian banyak universitas negeri di Indonesia, sedikitnya terdapat enam universitas yang berdiri di ibu kota kabupaten/kota. Universitas Brawijaya (UB, diresmikan 5 Januari 1963) dan Universitas Negeri Malang (UM, berdiri pertama 18 Oktober 1954 dengan nama IKIP Malang) berdiri di Kota Malang. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) berdiri di Kota Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, 10 Februari 1961. Universitas Sebelas Maret (UNS) berdiri di Surakarta (Solo) berdiri tahun 1976, dan Universitas Trunojoyo yang diresmikan paling akhir, 23 Juli 2001 berdiri di Kota Pamekasan Kabupaten Bangkalan, Madura.
Beberapa universitas negeri di Indonesia menggunakan nama berdasarkan: nama tempat (geografi), seperti Universitas Jambi dll, nama tokoh (Universitas Hasanuddin dll.) , nama lembaga (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), dan nama berdasarkan waktu/peristiwa seperti: Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), dan nama berdasarkan flora dan fauna: Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Beberapa Tawaran
Dalam suatu ekspose di Restoran Pualam, Makassar, Kamis (25/2/2010), saya – sebagai naib rekan Drs.Mayong Maman, M.Pd. yang sibuk dengan tugas di kampus – menawarkan satu pemikiran yang berkaitan nama ini mengacu pada karakteristik pemilihan nama sesuai dengan nama-nama universitas negeri yang sudah berdiri di Indonesia. Setiap nama yang diajukan jelas harus memiliki latar belakang historis, rekam jejak, dan aspek-aspek lain yang dapat menunjang sebuah nama itu dapat ditetapkan dan dijadikan pilihan
Berdasarkan pemikiran yang berkembang, nama yang digadang-gadang dan pernah disebut-sebut untuk sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Bima kira-kira adalah:
1. Universitas Negeri Bima
2. Universitas Sultan Abdul Hamid
3. Universitas Sultan Salahuddin
4. Universitas Abdul Kahir
5. Universitas Mbojo
Sang Bima.
Sang Bima adalah salah seorang putra dari Maharaja Pandu Dewanata. Pandu Dewanata (lihat M.Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara), adalah anak dari Maharaja Tunggal Pandita yang Maharaja Indra Ratu dan disebut-sebut sebagai asal usul raja-raja Luwu dan Sawerigading di Sulawesi Selatan.
Menurut Henri Chambert-Loir, (Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, 2004; 146) Sang Bima bersaudara empat orang. Sepeninggal Maharaja Pandu, Sang Bima mengajak adik-adiknya pergi bermain-main di dunia. Dia pergi ke Gunung Pajajaran di Pulau Jawa, kemudian bersalin nama menjadi Sang Prabu Jaya Lelana.
Secara ringkas, kita semua maklum, Sang Bima berjasa dalam perkembangan politik dan pemerintahan di Kerajaan Bima. Dialah yang berhasil mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat Bima yang terkotak-kotak ke dalam komunitas bernama Ncuhi. Nama Bima sendiri dipopulerkan oleh sejarawan Portugis dan Belanda dengan maksud menghilangkan nama yang melambangkan keaslian Mbojo.
Sebuah hikayat dalam Bahasa Melayu mengisahkan petualangan lima bersaudara Pandawa di Tanah Jawa. Menurut kalimat-kalimat pembukaan hikayat ini pengarangnya seorang dalang bernama Wisamarta, dalam masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah 1696-1731. Dengan demikian hikayat ini diperkirakan dikarang di Bima pada awal abad ke-18. Sebagian naskah hikayat ini ditemukan dalam dokumen yang berasal dari Makassar. Karena itu ada kemungkinan juga Hikayat Sang Bima dikarang di sana. Kini nama Sang Bima mungkin tidak ada dalam nama jalan di kota dan Kabupaten Bima. Kita tidak pernah tahu.
Sultan Abdul Hamid
Bergelar Mantau Asi Saninu (memiliki istana terbuat dari cermin), Abdul Hamid dilahirkan tahun 1176 H (1762 M) dan wafat 1 Ramadan 1234 H (Juni 1819). Mayatnya dimakamkan di halaman Masjid Kesultanan Bima. Ia dilantik sebagai Sultan Bima dalam usia 11 tahun pada tahun 1187 H (1773 M). Saudaranya, Abdul Mangga (Daeng Pabeta) pernah merebut kekuasan dari Abdul Hamid. Keduanya kemudian rujuk dan saling memaafkan.
Pada tahun 1810, Gubernur Willem Beeth mengundang Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi ke Makassar untuk membuat kontrak baru. Kontrak baru tersebut tidak dapat menolong, sebab pada tanggal 11 September 1811 Belanda takluk kepada Inggris. Bima pun bukan lagi menjadi jajahan Belanda.
Selagi menghirup udara baru yang segar bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial politik, di luar pengetahuan manusia, pada tanggal 11 April 1815 terjadi bencana maha dahsyat, yakni meletusnya Gunung Tambora yang konon kabarnya menewaskan 170.000 jiwa. Meski demikian, Sultan Abdul Hamid berhasil memperoleh bantuan dari berbagai pihak, antara lain dari para pedagang Makassar, Bugis, Maluku, Melayu, dan Banten yang menaruh simpati dan prihatin atas musibah yang dialami Kerajaan Bima. Pedagang asing pun ikut memberi bantuan, seperti Arab, Inggris, China, dan Portugis. Sultan Abdul Hamid dan Ruma Bicara Abdul Nabi mampu memanfaatkan politik dagang bebasnya untuk kepentingan masyarakat Bima, sehingga krisis sosial dan ekonomi yang dialami dapat teratasi.
Sultan Muhammad Salahuddin
Sultan Bima yang ini bergelar Ma Kakidi Agama. Ia memerintah Kerajaan Bima antara tahun 1915-1951. Putra Sultan Ibrahim ini dilahirkan pukul 12.00 tanggal 15 Zulhijjah 1306 H (sekitar tahun 1888). Dia dilantik menjadi sultan pada tahun 1917. Gelar Ma Kakidi Agama diberikan, karena menjunjung tinggi agama Islam dan memiliki ilmu pengetahuan yang dalam serta luas di bidang agama. Sejak usia 9 tahun, beliau memperoleh pendidikan dan pelajaran agama Islam dari para ulama terkenal, antara lain; H.Hasan Batawi dan Syekh Abdul Wahab, Imam Masjidil Haram Mekkah.
Pada tahun 1921 di masa kepemimpinan Sultan Salahuddin didirikan Hollands Inlands School (HIS), sekolah untuk pribumi, setingkat sekolah dasar sekarang. Setahun kemudian didirikan pula sekolah kejuruan bagi kaum wanita, yaitu Kopschool dipimpin SBS Yulianche.
Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1931 mendirikan sekolah agama yang pertama di Bima, yaitu Madrasah Darul Tarbiyah di Kota Raba. Tiga tahun kemudian, didirikan Madrasah Darul Ulum Bima. Sekolah-sekolah agama dan madrasah pun dibangun di desa-desa demi memajukan pendidikan agama.
Atas inisiatif permaisuri sultan, 11 September 1944 didirikan Organisasi Keterampilan Wanita yang bernama Rukun Wanita dan kemudian melebur dalam Organisasi Wanita ‘Perwari’ (Persatuan Wanita Republik).
Oleh karena guru-guru HIS rata-rata berkebangsaan Belanda, maka Sultan dan Ruma Bicara mendatangkan guru agama yang berjiwa nasionalis dari Makassar yang bernama Muhammad Said. Guru ini menikah dengan gadis dari desa Ngali yang bernama Kabitia. Hasil perkawinan keduanya melahirkan seorang bernama Natsir, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Dr.H.M.Natsir Said, S.H., mantan Rektor Universitas Hasanuddin Makassar.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu 14 Agustus 1945 menimbulkan kekosongan kekuasan di Indonesia. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, atas nama Bangsa Indonesia.Pekik kemerdekaan itu ternyata baru terdengar di Bima 2 September 1945.
Sultan Muhammad Salahuddin mangkat di Jakarta pada pukul 22.00 tanggal 7 Syawal 1370 H (11 Juni 1951M) dalam usia 64 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta. Atas permintaan pemerintah pusat – setelah sebelumnya dua tokoh bangsa, H.Agus Salim dan Moh. Natsir sempat mendoakan arwahnya – jenazahnya dibaringkan di Gedung Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta – tempat diproklamasikannya Kemerdekaan RI.
Putra Abdul Kahir
Nama Abdul Kahir pertama muncul ketika NICA datang ke Bima yang dibonceng tentara, Sekutu, Australia. Dia adalah bekas Komandan PETA dengan pangkat Dai Danco dan Haiho yang melakukan perlawanan terhadap kesewenangan NICA. Ia kemudian dipercaya sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut Hilir Ismail (hlm.181), semasa menjadi Komandan PETA, pemerintah Jepang telah memilih empat orang Komandan PETA dari seluruh Indonesia untuk mengikuti pendidikan intelijen di Burma. Mereka adalah antara lain Putra Abdul Kahir, dan Zulkifli Lubis, yang kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh yang ada di belakang Peristiwa Cikini, Jakarta. Sayang, sebelum mereka diberangkatkan, Jepang keburu menyerah.
Sepeninggal ayahnya, Sultan Muhammad Salahuddin, Putra Abdul Kahir tidak sempat duduk di atas hamparan Dipi Umpu Kesultanan (tikar kesultanan), karena sistem politik dan pemerintahan sudah berubah. Masa kesultanan dan swapraja Bima berakhir, berganti dengan daerah swatantra lalu menjelma menjadi Daerah Tingkat II yang dipimpin Kepala Daerah dengan jabatan bupati.
Putra Abdul Kahir memimpin Kabupaten Bima sepeninggal ayahnya, mulai 2 Oktober 1950 hingga tahun 1967. Beliau kemudian diganti oleh Letkol H.Sudarmadji yang memimpin Kabupaten Bima antara tahun 1967 hingga 1974.
Mbojo
Nama Mbojo merupakan nama Bima dalam bahasa aslinya. Artinya, ketika seorang warga Bima berbahasa daerah, maka dia akan menggunakan kata Mbojo. Misalnya, nggahi Mbojo, dou Mbojo, dana Mbojo, dan sebagainya.
Menurut cerita orang tua-tua dan ahli-ahli Hadat Bima yang masih hidup sekarang ini (saat wawancara dilakukan), tulis Ahmad Amin (Sejarah Bima, stensilan, 1971) kata Mbojo berasal dari babuju, yaitu tanah yang ketinggian dan merupakan busut jantan yang agak besar. Dalam bahasa Bima disebut dana ma babuju, tempat semayam para raja ketika dilantik dan disumpah. Tanah tempat pelantikan itu, kini terletak di Dara, dekat Kompleks Makam Pahlawan di Bima (1971). Hanya sangat disayangkan, lokasi yang disebutkan itu sudah beralihfungsi sebagai tempat pemujaan.
Penutup
Dari lima nama tersebut, nama Bima digunakan terhadap nama kabupaten dan kota. Nama Bima untuk mengindikasikan kalau seorang warga Bima berbahasa Indonesia (Melayu).
Nama Sultan Abdul Hamid, selain ada dalam buku sejarah, juga mungkin nama inilah yang mengilhami Marah Rusli menulis sebuah roman yang menarik berjudul :La Hami. Kita belum tahu pasti, apakah La Hami yang dijadikan judul roman percintaan dan petualangan itu, merupakan representasi dari seorang Sultan Abdul Hamid yang perrnah berkuasa di Bima selama 46 tahun itu. Wassalam bissawwab.
Kemudian nama Sultan Muhammad Salahuddin, selain diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bima, juga merupakan nama Bandar Udara (Bandara) di Palibelo. Penggunaan nama tokoh seperti ini juga digunakan oleh beberapa kota yang kemudian memilih nama tersebut sebagai nama universitas negeri yang didirikan di daerah itu. Misalnya saja Hasanuddin Makassar, Sam Ratulangi Manado, Pattimura Ambon, dan Sultan Khairun Ternate.
Sementara nama Putra Abdul Kahir terkenal ketika Kabupaten Bima memasuki masa pemerintahan sebagai daerah swatantra. Beliau adalah bupati pertama Kabupaten Bima yang selalu dekat dengan rakyatnya. Dalam setiap kunjungan ke desa (seperti disaksikan penulis ketika masa kecil di Kanca, Parado), beliau tak segan-segan naik truk bersama rombongannya jika meninjau suatu desa.
Nama terakhir adalah Mbojo. Hanya saja nama ini pernah direncanakan untuk mendirikan sebuah universitas swasta dengan nama Universitas Mbojo. Menurut salah seorang anggota DPRD Kota Bima, Abdul Latief dalam pertemuan dengan tim (Pendirian Universitas Negeri di Bima) di Kantor Pemerintah Kota Bima, 20 Februari 2010, pada tahun 1981 pemerintah Kabupaten Bima pernah membebaskan tanah beberapa hektar sebagai persiapan membangun sebuah universitas. Namun hingga kini, rencana tersebut tidak pernah terwujud. Anggota Dewan itu berharap, rencana pembangunan atau pendirian universitas negeri di Bima, tidak seperti tahun 1981 itu.
Dari tiga nama, Sultan Abdul Hamid, Sultan Muhammad Salahuddin, dan Putra Abdul Kahir, jika dipilih menjadi salah satu nama perguruan tinggi negeri itu kelak, nama Bima tetap akan melekat di belakang nama-nama itu. Misalnya: Universitas Sultan Abdul Hamid Bima, Universitas Sultan Muhammad Salahuddin Bima, dan Universitas Putra Kahir Bima. Yang sedikit janggal, tetapi mungkin juga sangat komplit jika pilihan itu jatuh pada nama Universitas Negeri Mbojo, Bima.
Sekarang tinggal kita memilih, nama mana yang tepat untuk sebuah universitas negeri yang akan didirikan itu.
Makassar, 25 Februari 2010
Sabtu, 27 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Telah dibuka Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah Panma - NTB
BalasHapusYang tidak kalah dengan PTN atau PTS lainnya
Info : www.panma.ac.id