Hari itu, Sabtu, 20 Februari 2010. Inilah hari keempat aku berada di tanah kelahiran untuk mengemban sebuah tugas khusus dari almamaterku, Universitas Hasanuddin Makassar. Bersama seorang adik tingkat di Fakultas Sastra dulu, Dr.M.Ridwan Thaha, M.Sc., aku memperoleh tugas melaksanakan tugas sosialisasi pemberian beasiswa Bidik Misi Unhas 2010 di Kabupaten Bima dan Dompu.
Tugas di Kabupaten Dompu kami laksanakan dengan sukses 18 Februari 2010 di Gedung Kantor Dikpora Kabupaten Dompu. Sekira empat puluh orang – terdiri atas sejumlah guru SLTA dan sebagian besar siswa – hadir pada acara yang berlangsung hingga pukul 12.00 itu.
Hari sudah sore, mengendarai Escudo atas jasa baik Camat Parado, Pak Ibrahim, kami meluncur menuju Bima. Menerobos hujan lebat yang sempat merepotkan gerak laju Escudo, lantaran kaca mobil terkena embun sulit disingkirkan, karena pendingin kendaraan tidak berfungsi. Mobil bergerak bagai meraba-raba, diperlambat lagi oleh ramainya remaja desa yang mandi hujan di tengah jalan negara itu.
Menjelang belokan di Desa Daru, hujan reda. Kendaraan dapat melaju lebih cepat lagi. Kami tiba di Bima sekitar pukul 16.00 dan langsung check in di Hotel La Mbitu, sebuah hotel berlantai tiga di sebelah barat Istana Sultan Bima.
Jadwal sosialisasi di Bima 19 Februari 2010. Seorang teman yang kukontak menyanggupi mengoordinasikan rencana kegiatan itu dengan Kepala Dinas Dikpora Kota Bima. Aku memang pesimis dengan kesiapan Dikpora Kabupaten Bima, karena dalam beberapa kali dikontak, hanya sekali memberi respons, sesuatu yang kurang menggembirakan. Padahal, kami datang membawa berita baik dan bermanfaat bagi anak didik di SLTA Negeri Bima. Kami tidak kecewa dengan respons ini, karena Kabupaten Dompu cukup memberi respons yang baik. Lagipula, Dikpora Kota Bima siap menerima.
Tanggal 19 Februari 2010 pagi, teman Mastorat S.H., M.H., mengontakku melalui ponsel. Staf Dikpora bersedia menerima tim di kantornya, pukul 09.00. Ternyata yang menerima kami adalah Sekretaris Dikpora Kota Bima. Kami menjelaskan maksud kedatangan tim. Sekretaris Dikpora menyanggupi setelah mengontak kepala SMA Negeri 1 Bima agar menjadi tuan rumah pertemuan sosialisasi.
Aku gembira dengan pemilihan sekolah itu. Soalnya, sekolah ini adalah almamaterku. Dulu, masih bernama SMA Negeri Bima, satu-satunya SMA Negeri ketika itu di Bima. Kini sudah banyak. Artinya lebih dari satu. Bahkan, di tiap kecamatan saja ada SMA Negeri.
Acara sosialisasi dihadiri langsung oleh Kadis Dikpora Drs.Alwi Hardy, M.Si. Beliau adalah alumni IKIP Ujungpandang. Kalau tidak salah termasuk ‘anak nakal’ juga di Makassar dulu, karena pernah mendemonstrasi Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dengan melarang mahasiswa berpolitik di kampus.
Tim tinggal aku sendiri, karena Ridwan Thaha sudah kembali ke Makassar pada hari Jumat (19/2). Soalnya, tidak ada penerbangan pesawat Merpati pada hari Sabtu ke Denpasar dari Bima. Dia memperoleh tiket setelah ‘berjibaku kata’ dengan perwakilan perusahaan penerbangan tersebut di Kota Bima.
Mengawali sosialisasi, aku mengatakan, sangat terharu berada di SMA Negeri 1 Bima. Sekolah yang sudah 39 tahun kuimpikan bisa kudatangi. Dalam setiap kepulangan ke Bima, aku hanya dapat melintas di depannya. Memandangi halaman sekolah yang tidak lagi kukenal. Yang sangat berbeda dengan 39 tahun silam.
Ketika hendak meninggalkan almamaterku, aku sempat menyandarkan tangan di tembok, teras depan sekolah yang tidak berubah sama sekali.
‘’Di sinilah, biasanya, Pak Abdullah Tayib (kepala SMA Negeri Bima) memelototi kami yang baru masuk ke halaman pagi hari saat masuk sekolah,’’ kataku bernostalgia.
Pak Dul, begitu biasa kami sapa, berdiri menyandar di situ dengan sangat berwibawa. Sambil mengepulkan asap rokok kretek Bentoel merah yang terpasang di cangklong kecilnya, beliau memandangi seantero bagian depan sekolah. Beliau selalu datang lebih pagi, menunggang sepeda Phoenix warna hijau yang tampak selalu baru. Sepedanya diparkir di depan pintu masuk teras depan gedung. Waktu itu, para guru hanya sedikit yang naik sepeda. Seingatku, Pak Mudjiono yang tinggal di Pertanian Penatoi dan Pak Abubakar Ali, guru olahraga yang tinggal tidak jauh dari sekolah yang pakai sepeda saat itu. Satu-satunya yang naik sepeda motor (Yamaha) adalah Pak Achmad Noor, seorang guru yang sangat kami takuti. Kalau kami yang tinggal di Bima, rata-rata naik sepeda. Ramai-ramai lagi. Beberapa di antara teman kami yang putri naik bemo yang muat 12 orang. Bemo waktu itu baru dua. Salah satu di antaranya milik Toko Sinar Jaya.
Aku sempat mengabdikan diri di depan almamaterku, sekolah yang tentu saja sudah sangat berubah dibandingkan 39 tahun silam. ***
Kepala SD-ku
Minggu, 21 Februari 2010. Inilah hari terakhir aku berada di tanah kelahiran, setelah lima hari melaksanakan tugas sosialisasi pemberian Beasiswa Bidik Misi Unhas 2010 di dua kabupaten, Dompu dan Bima. Malam Minggu, aku bermalam di desa kelahiran, menemani kedua orang tuaku yang setia menyertai kunjungan ke Dompu dan Bima.
Sekitar pukul 09.00 kami meninggalkan Kanca, kemudian singgah pamit pada Pak Ibrahim, Camat Parado yang bersedia meminjamiku kendaraan selama di Bima. Escudo meluncur turun dikemudikan Munir yang setia membawa kami (dengan Dr.M.Ridwan Thaha) merambah Dompu dan Bima tanpa lelah.
Di Tangga, aku mampir pamit dengan Pak Gazali Abdullah, teman se-SMP-ku dulu, yang juga sepupu sekaliku. Aku memang tidak bisa melewati begitu saja rumahnya. Selalu saja aku merasa harus singgah, meskipun sekadar untuk mampir salat atau sekadar minum kopi.
Mobil meluncur ke utara. Melewati bekas sekolah dulu, di sebelah kanan jalan. Sekolah yang tentu saja sudah berubah, status maupun nama. Ayah minta aku mampir sejenak menjenguk seorang teman gurunya, yang juga kepala sekolah dasar-ku dulu. Ia dalam keadaan sakit. Kondisinya tidak bisa lagi bebas berjalan.
Kepala SD-ku, Abdurrahman Siada, seorang lelaki jangkung dengan tubuh sangat atletis. Berbeda sekali dengan kondisinya sekarang. Tiba-tiba saja mantan penjaga gawang kawakan kesebelasan kabupaten (Persatuan Sepakbola Bima, Persebi) itu begitu sangat berubah. Stroke telah mengubah semuanya. Kakinya yang kekar dan siap menghalau jauh si kulit bundar dengan tendangannya sudah mengecil. Tangannya yang tegar dan kerap menyikut bola sudah jauh berbeda dengan sekarang.
Beliau mengenakan celana buntung bertelanjang dada. Bau minyak gosok menusuk hidung. Aisyah, istrinya, menyuruhnya mengenakan baju, tetapi ayahku melarangnya. Membiarkan dia merasa sejuk dengan bertelanjang dada.
Setelah berbasa-basi sejenak, kami mohon izin, karena saya takut terlambat check in di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin. Saya menyelipkan uang alakadarnya ke istrinya, sekadar pembeli obat buat guruku itu.
Dia menjadi idola kami di sekolah dasar dulu. Kira-kira tahun 1964. Kehadirannya tidak saja menjadi idola kami di sekolah, tetapi buat seluruh desa di kawasan Parado. Siapa yang tidak bangga dengan kehadiran seorang kepala SD yang juga penjaga gawang kawakan di kesebelasan kabupaten? Kehadirannya di lapangan selalu dipadati oleh lautan manusia yang hendak menyaksikan kebolehannya mengawal gawangnya. Tidak heran kalau kesebelasan desaku, tak terkalahkan ketika beliau berdiri di bawah mistarnya. Luar biasa.
Beliau tiba mengepalai sekolah di desaku, setahun sebelum aku meninggalkan sekolah dasar di kampungku untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP) di ibu kota kecamatan. Sekolah lanjutan yang menempatkan aku dan teman-teman sebagai angkatan kedua sekolah swasta tersebut.
Kehadirannya, menggantikan H.M.Saleh, kepala sekolah yang berusia mungkin di atas 50 tahun dan bergigi emas yang akan pindah ke sebuah SD di Talabiu kemudian memasuki masa pensiun. Kepala sekolahku yang baru itu, sebelumnya mengajar di Desa Sekuru, kira-kira 20 km dari kampungku. Meski ayahku mengepalai SD di tetangga desaku, tetapi hubungan dengan kepala sekolahku tetap akrab. Bagaikan keluarga. Sering ayah dan aku mampir bermalam di Sekuru, ketika liburan sekolah dan kepala SD-ku ada di rumahnya. Di situlah kami menunggu mobil dari Tente yang akan ke Parado.
Sabtu, 27 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Alhamdulillah ternyata walau lama meninggalkan kampung hlaman ternyata masih terus mengingatnya. SAlam kenal Pak. Saya pernah membaca tulisan Bapak dari beberapa judul yang bapak tulis. itu saya Baca langsung di Rumah Bapak Sendiri di Parado Kanca. saya mantan Mahasiswanya Pak Muslimin AR Effendi tepatnya Alumni Jurusan Sejarah UNM Makassar 2005. saya sekarang mengabdikan diri di SMAN 1 Parado dan saudara Bapak juga satu profesi dengan saya dan mengabdikan diri di SMA ini.
BalasHapusSaya juga begitu salut dengan Orang tuanya Bapak walau umur segitu tua Beliau masih kuat membaca.
Selain di SMAN Parado saya juga aktif mengajar di STKIP Taman Siswa bima dan bertindk sebagai ketua Prodi Sejarah.
Saya punya satu Karya Sejarah yang berjudul "Mathari Terbit di Doro Londa 1942-1945" sebagai pemula saya sangat berharap ada maasukan dan kritik dari bapak karena judul yang saya ambil merupakan judul perlambangan tapi isinya menyangkut pendudukan Jepang di Bima 1942-1945.