Kamis, 11 Februari 2010

Memalukan, Guru Palsukan Ijazah

Oleh M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Menjelang masuk ke acara peringatan HUT ke-6 Harian Tibun Timur di Hotel Clarion, Makassar, 10 Februari 2010 malam, saya bertemu dengan Prof.Dr.Arismunandar, Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM). Salah satu masalah yang ditanyakan Taufik, wartawan Tribun Timur yang menyambut saya, dalam masa-masa menunggu masuk ke ruang acara, adalah seputar rumor (waktu itu) adanya oknum di Sulsel yang memalsukan ijazah UNM untuk melamar menjadi guru. Saya kaget juga mendengar rumor tersebut.
Prof.Arismunandar mengatakan, kalau itu benar, biar pun mereka lulus diterima menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS), jelas akan sangat memalukan. Bagaimana mungkin mereka menjadi guru kalau perilaku dan perbuatannya merusak citra dirinya sebagai guru. Bagaimana dengan muridnya kelak, jika para gurunya lulus menjadi guru karena perbuatan yang tidak terpuji seperti ini.
Memalsukan ijazah sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh kelima oknum guru di Kabupaten Jeneponto itu untuk ijazah UNM saja, melainkan juga beberapa waktu yang lalu, ada yang memalsukan ijazah di Universitas Hasanuddin. Salah seorang mahasiswa yang sebenarnya belum selesai di salah satu fakultas di Unhas tiba-tiba saja sudah mengantongi ijazah dan dinyatakan lulus sebagai CPNS. Usut punya usut ternyata yang bersangkutan ada hubungan dengan salah seorang pejabat yang berurusan dengan penerimaan CPNS itu.
Dengan kasus ini dan kasus terkait lainnya yang berhubungan dengan penerimaan CPNS di Sulsel, urusan ijazah ini menjadi sangat penting dan memerlukan tenaga dan staf penyaring yang tangguh dan jeli. Setidak-tidaknya setiap Badan Kepegawaian Daerah (BKD) memiliki nomor kontak Bagian Akademik setiap perguruan tinggi di Sulsel ini yang kelak dapat digunakan untuk mengecek keaslian fotocopy ijazah-ijazah tersebut kalau-kalau ada indikasi meragukan. Jika mungkin, daftar pejabat perguruan tinggi ini sudah tersimpan baik di dalam database kabupaen/kota setempat.
Ini menjadi penting agar kasus pemalsuan ijazah ini dapat diantisipasi dan dicegah lebih dini. Kelima guru yang dinyatakan lulus di Kabupaten Jeneponto dengan memalsukan ijazah tersebut telah menggunting kesempatan kelima peserta tes lain untuk posisi yang sama dan mungkin saja layak menempati posisi tersebut dengan bermodalkan ijazah yang tentu saja asli.
Munculnya kasus ijazah palsu dalam setiap penerimaan CPNS tersebut memberi kesan bahwa kadang-kadang orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih khusus lagi bagi mereka yang menjadi CPNS, terlebih untuk posisi guru yang kelak akan berdiri di depan kelas dan menjadi contoh dan teladan bagi para murid dan siswanya. Sangat ironis, jika mereka (yang kelima orang) itu lolos tanpa terdeteksi dan berdiri di depan kelas dan memberi petuah dan wejangan kepada para muridnya harus berbuat baik, jujur, dan segala macam sifat yang baik. Padahal, di hati sanubarinya bergejolak perasaan bersalah telah merebut predikat tersebut dengan cara tak terpuji.
Saya menyimak di harian ini (Tribun 12/2) bahwa empat dari kelima pemalsu ijazah tersebut adalah perempuan. Saya tidak yakin niat mereka sendiri melakukan pelanggaran tersebut. Setidak-tidaknya ada orang lain. Mungkin juga salah seorang teman prianya yang tergabung ke dalam kelompok pengguna ijazah palsu tersebut.
Mengapa kasus seperti ini terulang lagi? Barangkali, masalah yang terjadi selama ini kita terlalu cepat dan mudah melupakan sesuatu. Mungkin juga ini disebabkan oleh begitu banyaknya isu penting yang muncul, sehingga isu lama kerap bagaikan terbang tertiup angin saja. Buntutnya, kita tidak tahu lagi nasib yang bersangkutan. Sama juga dengan kasus salah seorang peserta tes CPNS di Takalar tahun kemarin yang memalsukan ijazah Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, hingga kini tidak jelas apa sanksi yang dijatuhkan kepadanya. Siapa tahu, bisa saja dia diam-diam sudah punya meja di salah satu kantor instansi di kabupaten tersebut. Siapa yang tahu. Media massa perlu terus menguntit kasus mereka.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat dituntut harus lebih sensitif merekam dan ‘mencium’ adanya kejanggalan seperti ini. Jika tidak, pelanggaran seperti ini akan menjadi sangat permisif. Dibiarkan dan tidak diperhatikan, sementara di posisi lain justru akan mengorbankan mereka yang telah ‘berdarah-darah’ melengkapi persyaratan CPNS dengan data yang sangat asli.
Kasus CPNS Lain
Sedikit keluar dari kasus Jeneponto, saya juga ingin memberi perhatian secara umum kepada seluruh kabupaten/kota dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi pada penerimaan CPNS. Ada satu kabupaten di Sulsel yang kebetulan pemeriksaan lembaran jawaban komputer (LJK)-nya diperiksa di Unhas. Salah seorang dinyatakan lulus, malah diklaim oleh nama lain yang justru dinyatakan tidak meraih nilai tertinggi di dalam hasil scoring nilai. Alasannya, yang memiliki nomor tes yang lulus itu adalah dirinya, sementara di database nama lain.
Saya sengaja men-stress masalah ini, karena tampaknya ada upaya dari pihak BKD dan Inspektorat setempat meluluskan yang memperoleh nilai yang di luar database dengan alasan bahwa yang memiliki nomor tes sudah mengaku nomornya berbeda dengan yang di database. Namun, dalam pertemuan dengan pihak Rektor Unhas 25 Januari 2010, Unhas tetap berpatokan pada nomor tes dan nama pada database.
Pertanyaan memang bisa muncul. Mengapa tidak mengacu kepada nama dan nomor tes untuk dicocokkan dengan nama dan nomor di database? Jawabannya, jika nama, maka kemungkinan besar (berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu) akan banyak yang menggunakan nama tersebut dengan alasan yang tidak jelas. Mungkin saja, pemilik nama itu pintar. Dan, panitia sudah yakin dengan kerja BKD akan meng-in put nama dan nomor di database dan di kartu tes itu sama. Jika nomor, jelas jika ada peserta lain yang memalsukan atau menyontek, tidak akan pernah tahu nomor tes yang disontek.
Pertanyaan lain yang muncul, mengapa nama dan nomor di database dan di kartu tes berbeda? Ini harus dijawab dulu. Ada apa. Kalau pihak BKD setempat mengubahnya, mengapa tidak dilaporkan ke pembuat soal, pemeriksa, dan peranking nilai? Dakam hal ini Unhas. Mengapa dan ada apa? Mungkin BKD lupa, database akan menjadi acuan internasional dan pedoman terakhir bagi penentuan pemberian scoring nilai peserta.
Dalam pertemuan yang berlangsung alot di ruang kerja Rektor Unhas dan sampai pihak sang pejabat Inspektorat kabupaten membawa-bawa nama Tuhan, sebenarnya kasus ini tidak akan selesai tanpa kebesaran hati pihak panitia penerimaan CPNS setempat menerima hasil pengumuman berdasarkan database. Ketika pertemuan ini mengisyaratkan jalan buntu dan berputar-putar saja, salah seorang panitia pemeriksa CPNS di Unhas kemudian bertanya kepada BKD yang bersangkutan. Ini pertanyaan pamungkas yang akan menyelesaikan masalah.
‘’Apakah database itu sah atau tidak?,’’ tanya anggota panitia itu.
Suasana hening terjadi. BKD tidak menjawab. Mengapa tidak menjawab. Ada apa? Kalau database sah, hasilnya sesuai hasil scoring yang dikeluarkan Unhas. Kalau database tidak sah, seluruh yang dinyatakan lulus batal dengan sendirinya.
Salah seorang teman LSM menelepon saya bahwa kasus CPNS ini kian tidak berujung. Pihak pejabat setempat malah menggiring permasalahan menjadi mentah lagi. Konon, mereka memerlukan hanya ada satu nama yang ditetapkan di dalam surat terakhir yang dikirim Unhas. Padahal, di dalam surat yang dikirim LPPM Unhas ke Gubernur Sulsel C.q. Kepala BKD Sulsel tanggal 27 Januari 2010 dan ditembuskan ke Rektor Unhas, Bupati Bulukumba, Ketua DPRD Bulukumba, Kepala BKD Bulukumba, dan LSM dari Bulukumba sudah jelas dinyatakan tetap memperkuat perankingan yang mengacu kepada database peserta dari BKD Bulukumba dan itu sudah final. Kalau persoalan ini mentah lagi, ada apa dan mengapa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar