Sabtu, 12 Juni 2010

In Memoriam Andi Meriam Mattalatta: Mutiara dari Selatan Telah Tiada

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Kabar duka kembali menyelimuti dunia musik Indonesia. Setelah sebelumnya musisi Pance Pondaag dipanggil Yang Maha Kuasa, menyusul rekan se-angkatannya, Andi Meriam Mattalatta. Almarhumah meninggal dunia di Belanda, Jumat (04/06) waktu setempat atau Sabtu (05/06) waktu Indonesia. Nama lengkapnya Andi Sitti Meriem Nurul Kusumawardhani Mattalatta.
Andi Meriam lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 31 Agustus 1957 dan meninggal di RS Zoetermeer, Zoetermeer, Belanda sekitar pukul 23.00 waktu Belanda atau Sabtu pagi WIB. Pelantun lagu Lenggang Jakarta itu wafat dalam usia 52 tahun, ketika tengah berlibur sekaligus mengunjungi anaknya yang berada di negeri kincir angin tersebut. Saat itu, menurut keterangan, almarhumah tiba-tiba pingsan dan tidak tertolong.
Komposer/pemusik Indonesia, Iskandar menciptakan lagu khusus Andi Meriem dengan judul ‘’Mutiara dari Selatan’’. Agaknya, lagu itu benar-benar memperoleh tempat di hati pecinta music di Indonesia, sehingga sang penyanyinya (Andi Meriem) pun dijuluki sebagai ‘’Mutiara dari Selatan’’.
Hubungan saya dengan Andi Meriem Mattalatta tidak dekat sama sekali. Yang saya tahu pasti, Mer, begitu dia akrab dipanggil, pernah menjadi mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Ketika itu, mahasiswa fakultas ini kuliah di Jl.Sunu. Seingat saya, Mer menjadi mahasiswa kira-kira dua atau tiga tahun di belakang saya. Tetapi, dia tidak terlalu aktif kuliah, karena kesibukannya sebagai seorang selebritis (penyanyi). Kalau dia muncul di kampus selalu menggunakan becak. Dia selalu tampil sederhana. Padahal, ayahnya adalah seorang petinggi di Makassar.
Tidak heran, di dinding kaca sebelah selatan kantor bagian Tata usaha Fakultas Sastra berjejer banyak surat dari penggemarnya. Saya tahu persis banyak surat untuk Mer, karena sebagai anak perantau, saat masuk kampus, jejeran surat yang beramplop dominan warna biru terlebih dahulu dilihat. Nah, pada kesempatan seperti inilah saya tahu begitu banyak surat buat Andi Meriam Mattalatta yang dilayangkan penggemarnya.
Setelah menjadi wartawan Pedoman Rakyat akhir 1976 saya sebenarnya berniat mewawancarai Mer ketika di kampus. Bagaimana pun sebagai selebritis yang mahasiswa Fakultas Sastra Unhas, tentu merupakan berita menarik bagi publik Makassar. Apalagi ketika tahun 1977 selain membantu PR (di samping Identitas Unhas), saya juga sering mengirim tulisan ke Harian Suara Karya Jakarta (hingga 1983), hasil wawancara tersebut dapat saya sharing ke media-media tersebut.
Begitulah kondisinya, setiap Mer muncul di kampus tidak pernah lama. Selesai kuliah, dia tidak seperti mahasiswa lainnya, menyempatkan diri ngobrol dengan teman-teman di kampus. Dia langsung cabut dari kampus. Jadi, hampir tidak pernah saya memperoleh kesempatan menyapanya untuk sekadar wawancara.
Ketika sering mengikuti acara ayahnya, mendiang Mayjen (Purn). H.Andi Mattalatta, selaku wartawan olahraga, -- atas jasa baik Pak H.Abdul Kadir Buloto -- saya sering memperoleh kesempatan hadir dalam acara-acara keluarga H.Andi Mattalatta yang kerap juga Mer hadir. Sebagai seorang wartawan olahraga yang merangkap sebagai fotografer, ayahnya ketika menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pernah mengajak saya meninjau Pulau Salemo di Kabupaten Pangkep.
Perjalanan ke Salemo menggunakan dua speedboat. Satu speedboat dikemudikan Puang, panggilan akrab terhadap Pak Andi Mattalatta, bersama saya. Kami berdua. Boat ini bermesin ganda, masing-masing Yamaha 125 CC. Sebuah boat lainnya sebagai pengawal, juga membawa dua orang.
Saya tidak menghitung berapa lama waktu yang diperlukan ke pulau itu, namun yang jelas, boat bagaikan terbang mengarungi laut pagi yang masih terbilang tenang. Separuh badan boat berada di atas air. Puang memang salah seorang Bapak Ski Air Indonesia dan pernah menjadi atletnya dengan atraksi yang sangat spektakuler ketika masih usia muda. Oleh banyak orang, beliau adalah seorang olahragawan serba bisa. Selain sebagai atlet ski air, juga seorang petinju.
Pada saat pulang, air laut mulai bergelombang. Puang memilih menyusuri perjalanan lebih dekat ke arah pantai. Kecepatan boat separuh dari ketika akan berangkat. Juga sangat goyang, sebab air penuh gelombang. Diterpa angin laut, apalagi hari sudah sore, mata saya sulit dikendalikan. Terkantuk-kantuk. Terkadang mata saya terpejam beberapa saat, kemudian terbuka lagi ketika boat goyang keras karena menghantam gelombang laut yang agak tinggi.
Ketika tiba, Puang berkata.
‘’Tadi kamu tidur, ya. Berani juga,’’ katanya pendek, saat kami berdua kembali ke kawasan POPSA Makassar.
Selepas dari perjalanan laut yang menyenangkan ini, hubungan saya dengan Puang dan keluarganya kian dekat. Sebagai wartawan olahraga, Pak Kadir Buloto nyaris tidak pernah absen mengontak saya untuk meliput. Rata-rata acara tersebut dihadiri Puang. Biasa juga Mer hadir.
Dalam suatu acara peliputan di PON, saya lupa yang ke berapa, Mer hadir ikut men-support tim voli putri Sulsel yang jika tidak salah melawan Irian Jaya (kini Papua). Dia bersemangat berteriak bersama anggota kontingen PON Sulsel lainnya dari pinggir lapangan.
Sehabis pertandingan, hanya satu kalimat yang saya peroleh dari Mer untuk melengkapi berita mengenai kegagalan regu voli Sulsel mengalahkan Irian Jaya itu.
‘’Sayang tim kita kalah,’’ hanya itu kalimat yang dia lontarkan.
Saya tidak kehabisan akal. Meski Mer dikenal irit sekali dengan komentar kepada wartawan, namun suasana selama dia mendukung tim voli Sulsel itu cukup memberi warna terhadap pemberitaan saya keesokan harinya. Mer memang tidak seperti kebanyakan selebritis lainnya yang gampang mengumbar komentar. Jika ada yang mencoba menanyakan kepadanya, dengan senyum khasnya, dia selalu menampik.
‘’Jangan mi saya diwawancarai,’’ begitu katanya suatu saat ketika menyaksikan suatu pertandingan di Jakarta.
Pernah suatu waktu ada acara di Hotel Marannu Makassar, Mer juga hadir. Ketika itu Ibunya masih hidup. Saya lupa acara apa sebenarnya. Namun yang jelas, saya termasuk salah seorang yang ikut dilibatkan dalam acara itu. Tentu saja, sesuai dengan kapasitas saya sebagai wartawan. Mer tampil menyanyi. Saya memotret sepuas-puasnya, suatu kesempatan yang mungkin pertama kali saya peroleh selama ini terhadap aktivitas Andi Meriam. Dan, ketika itulah dia tidak bisa menghindar dari jepretan, seperti yang banyak dia lakukan jika saya mulai mengarahkan moncong kamera ke arahnya.
Jenazah dijadwalkan tiba hari Selasa di Indonesia. Keluarga besarnya telah mempersiapkan pemakaman di pemakaman keluarga Tana Maridi di Kabupaten Barru, Sulsel, 100 km dari Makassar. Mer akan berdampingan dengan pusara kedua orang tuanya.
“Kami berharap dimakamkan di dekat makam ibu dan bapak. Semua kakak yang sedang di Jakarta juga juga telah berembuk dan sepakat dibawa ke Makassar,” kata Andi Soraya, adik bungsu Andi Meriam saat ditemui inilah.com rumah duka di Jalan Ratulangi No 12 Makassar, Sabtu (5/6).
Mer mulai menyanyi sejak kelas 5 SD. Pada tahun 1970 dia meraih juara I Lomba Lagu Pop se-Makassar. Pada tahun 1973, anak kelima (Andi Hermin, Andi Ilhamsyah, Andi Radiah, Andi Faridah, dan Andi Soraya) dari enam bersaudara ini masuk dalam 10 finalis lomba lagu pop se-Indonesia. Sebelum aktif menyanyi, Mer adalah seorang atlet ski air. Bersama kakaknya, Farida, pernah meraih juara I Lomba Ski Air di Makassar.
Andi Meriem dikenal dengan sejumlah lagu yang cukup terkenal di eranya, antara lain: "Hasrat" ciptaan Dadang S. Manaf duet dengan Bob Tutupoly, "Sejuta" ciptaan Guruh Soekarno Putra, "Tiada Tanpa Kesan" ciptaan Ryan Kyoto, "Hari-hari" ciptaan Lea, "Angan Dalam Cinta" ciptaan Ancha VMH, "Wanita" ciptaan Junaedi Salat, "Hidup" ciptaan Oddie Agam, "Malam Tiba" ciptaan Oddie Agam, "Apa Dayaku" ciptaan Sam Bimbo, "Buku Buku" ciptaan Oddie Agam, "Kata Dan Perbuatan" ciptaan Tommy & Marie, "Hello-hello Jumpa Lagi", "Ding Ding Dong", "Andaikan","Bendera Cintaku", "Bimbang", "Bukan Ku Tak Percaya", "Cepatlah Kau Kembali", "Cintaku", "Hasrat Dan Cinta", "Janji" ,"Januari Yang Biru", "Kelabu", "Layu" ,"'Lenggang Jakarta", "Mudahnya Bilang Cinta".
Selamat jalan ‘Mutiara dari Selatan’, semoga abadi dan mendapat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Makassar, 7 Juni 2010.

Dimuat di Harian Tribun Timur 9 Juni 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar