Minggu, 13 Juni 2010

Kasus A_LM Masuk Warung K5

Oleh M.Dahlan Abubakar

‘Popularitas’ video mesum pasangan elebritis A-LM yang berhasil menguasai pemberitaan media massa akhir-akhir ini, ternyata menembus ke ranah publik yang paling bawah. Warung makan ikan bakar di pinggir jalan pun menjadi area secara tidak langsung warga mendiskusikan video yang menghebohkan itu. Tidak heran memang, pasangan itu merupakan selebritis papan atas.
Jumat (11/6) sehabis menunaikan ibadah salat Jumat di Jl. Andi Pangerang Petta Rani, saya mampir di sebuah warung makan yang menjual ikan bakar. Warung ini pernah saya singgahi ketika pulang dari salat yang sama beberapa minggu silam. Karena ikan bakarnya enak, meski lokasinya jelas khusus untuk kelas warga kelas menengah ke bawah, tampaknya, membuat saya bersemangat mampir.
Ketika saya nongol, seorang lelaki setengah umur menyapa.
‘’Ayo, mari makan,’’ sapa pria berkacamata itu pendek dan membuat saya yang baru masuk dari tempat terang, belum mampu membedakan, siapa sebenarnya lelaki yang menyambut saya itu. Setelah ‘memory’ saya pulih, baru kemudian terungkap kalau yang menyambut itu adalah seorang maha guru di almamater saya. Saya ingat betul beliau dalam satu hal, yakni pernah menjadi guru saya ketika mengikuti kursus computer klasifikasi words, entah tahun berapa saya sudah lupa. Namun yang jelas, pada kursus yang dilaksanakan di salah satu ruang di jejeran gedung di Pantai Losari tersebut, nilai saya sempurna, A.
Seperti biasa, saya memesan ikan bakar bandeng. Sama dengan teman saya yang guru besar itu. Enak sekali makan tanpa beban, di lingkungan suasana warga biasa. Suasana makan yang selalu memberi perasaan yang sangat khas dalam diri saya. Bukan cuma itu, makan di pinggir jalan seperti ini membuat selera makan saya sedikit ‘menggila’. Berbeda dengan kalau makan di gedung-gedung ber-AC dalam hidangan prasmanan pr4oduksi cathering, selera makan saya lenyap sama sekali.
Baru beberapa suap nasi lenyap dari piring, tiba-tiba empat perempuan dewasa nongol juga di depan kami berdua.Tiga orang mengenakan pakaian non-islami (maksudnya, bukan jilbab). Seorang yang pakai jilbab, wajahnya cukup cantik. Saya menjadi sedikit ‘terganggu’, karena begitu muncul, pandangan matanya tertohok pada retina saya. Mungkin dia merasa mengenal saya. Saya rada seperti itu.
‘’Kira-kira apa yang jadi agenda diskusi empat perempuan di depanku ini nanti,’’ saya berguman.
Belum lama duduk, perempuan yang berjilbab membuka wacana. Astaga, saya kira menyangkut masalah Susno, Gayus, atau meninggalnya Andi Meriem Mattalatta beberapa hari lalu, ternyata justru yang diperbincangkan adalah kasus video mesum pasangan selebriti A-LM.
‘’Aduh, hebatnya itu video. Kayaknya A dan LM,’’ kata si perempuan berjilbab. Yang lain tak memberi reaksi berlebihan. Mungkin malu-malu dengan kami berdua yang duduk di depannya dan lebih dahulu menikmati makan siang.
Tiba-tiba saja professor, teman saya ikut nimbrung dengan wacana para ibu di depannya. Seolah tidak tahan lagi untuk tidak nimbrung.
‘’Tetapi kayaknya bagus juga untuk ibu-ibu,’’ ujarnya.
‘’Maksud Bapak?,’’ sang pemakai jilbab tertarik bertanya balik.
‘’Artinya, bisa mencontoh trik-trik yang ada di video itu biar Bapaknya selalu betah di rumah dan bersemangat,’’ jelas teman saya..
‘’Laki-laki itu tidak bisa dikekang.Berikan dia kepercayaan untuk menjaga dirinya sendiri,’’ kata ibu itu lagi rada filosofis.
‘’Tapi, LM sudah hilang ke Singapura,’’ katanya lagi.
‘’Untuk apa?,’’ tanya saya berpura-pura.
‘’Mau menghilangkan tatoo-nya,’’ jawab perempuan itu segera.
‘’Pasti ada bekasnya,’’ sahut saya.
LM memang memiliki tatoo kelelawar di pinggul kirinya. Tatoo ini dibantah sendiri oleh LM, tetapi seorang pembuat tatoo mengaku pernah didatangi selebriti itu untuk diukir tubuhnya.
Sambil menikmati kepala ikan bakar dan karena asyiknya diskusi, kuah sop yang juga tak kalah enaknya sampai saya lupa cicipi, benak saya terus bergulir memikirkan, kalimat apa gerangan yang bagus menjadi penimbrung dalam diskusi sambil makan dengan para ibu itu. Akhirnya saya dapat satu pertanyaan andai-andai.
‘’Bu, maaf, Bu. Ini seandainya, ya seandainya. Kalau seandainya ibu adalah LM, kira-kira apa yang akan ibu lakukan dengan situasi seperti itu,’’ Tanya saya dengan hati dig dag dug. Saya gusar, jangan-jangan ibu cantik itu akan merasa tersiinggung dengan ucapan saya. Ternyata tidak. Dia merespons baik.
‘’Kalau saya, akan mengaku saja. Tokh video itu milik mereka berdua,’’ katanya.
‘’Terus cukup dengan itu, Bu,’’ usut saya lagi.
‘’Setelah itu mereka menikah baik-baik. Tokh mereka satu-satu (satu duda dan satu lajang),’’ katanya lagi.
‘’Saya rasa-rasanya sepandangan dengan ibu,’’ sahut saya sedikit berempati.
‘’Orang Indonesia itu cepat sekali melupakan kesalahan orang,’’ saya mengimbuhkan, kemudian memberi contoh kasus Maria Eva yang terungkap beradegan hot dengan salah seorang anggota legislatif diri di sebuah hortel. Video yang direkam dengan menggunakan telepon genggam ini sempat menghebohkan publik di negara ini. Setelah kejadian itu, orang semua melupakan keduanya, seiring dengan hilangnya mereka dari peredaran. Namun nama yang perempuan kemudian muncul lagi menyusul hasratnya menjadi calon bupati Sidoarjo, yang tentu saja jelas-jelas ditentang banyak orang, terutama para ulama Jawa Timur.
Para ibu asyik menikmati hidangan makan siang yang mereka pesan, sambil menyilakan dua orang teman pria –rupanya—yang kebetulan duduk di samping jejeran kursi tempat kami duduk. Saat teman saya lebih dahulu pamit setelah membayar ongkos makan kami berdua, ibu cantik itu bertanya kepada saya aetelah mendengar saya mengucapkan ‘’terima kasih, Prof.’’.
‘’Nah, itu. Saya sudah bisa tebak. Bapak itu kerja di mana? Rasanya sering saya lihat,’’ kata sang ibu tersebut.
‘’Beliau salah seorang guru besar di kampus..,’’ saya menjelaskan nama perguruan tingginya.
‘’Kalau bapak?,’’ saya tidak sangka, dia balik bertanya pada saya.
‘’Saya hanya pesuruh dari beliau. Bukan siapa-siapa,’’ kata saya.
‘’Ah,, nggak percaya. Bapak pasti pejabat,’’ katanya tidak percaya.
‘’Apa model saya ini bertampang pejabat, Bu?, Kalaun pejabat, mana mau makan ikan bakar di-kentaki (kentara kaki) seperti ini?,’’ jawab saya.
‘’Iyalah…,’’ ujarnya dengan bahasa gaul.
Saya mohon pamit, karena dalam beberapa menit lagi akan harus ke gedung PWI, mengambil kendaraan sembari menunggu salah seorang mahasiswa saya di Unifa. Hari itu, pukul 13.30 saya harus hadir di kelas mereka.

Makassar, 10 Juni 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar