Implementasi UU No.14/2008 tentang KIP
Catatan M.Dahlan Abubakar
Kepala Humas Unhas
Ada kegusaran kecil di kalangan para pejabat Hubungan Masyarakat (Humas) perguruan tinggi negeri (PTN) dan Koordinatorat Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) se-Indonesia saat mengikuti Rakornas Kehumasan PTN dan Kopertis 2010 di Surabaya 16-18 April 2010. Kegelisahan ini muncul tatkala Dra.Henny S.Widyaningsih, M.Si., mantan Kepala Humas UI yang kini sebagai Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat tampil membawakan materi dengan topik ‘Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) (No.14/2008) dan Peraturan Komisi Informasi Pusat tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik’’. Bagaimana tidak ‘deg-degan’, UU tentang KIP tersebut 1 Mei 2010 sudah harus diimplementasikan, sementara di sisi lain, belum banyak pihak yang memahami secara detail UU tersebut. Kesan umum, daerah-daerah belum siap secara melembaga, meski sosialisasi sudah dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) segera setelah UU KIP diundangkan 30 April 2008.
‘‘Mulai 30 April 2010, setiap warganegara memiliki hak untuk mendapatkan informasi dari Badan Publik,’’ kata Henny Widyaningsih.
Yang repotnya, pemerintah provinsi tampaknya tidak siap mengimplementasikan UU ini. Indikasinya, dari 33 provinsi di Indonesia, baru Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memiliki pengurus Komisi Informasi Provinsi. Sementara daerah lain, Gorontalo, Jawa Barat, dan Banten baru akan menyusul.
Indonesia sendiri merupakan negara kelima di Asia yang memiliki UU KIP setelah Nepal, Thailand, India, dan Jepang. Di dunia ini baru terdapat 76 negara yang memiliki UU seperti ini. Terbitnya UU ini bagi Indonesia jelas akan membawa pengaruh dan perubahan dalam tata kelola institusi, terutama dalam hal mengelola informasi. Sebab, UU ini merupakan tuntutan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan syarat; adanya akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan tanggungjawab.
Bagi Badan Publik, manfaat keterbukaan informasi adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik dan bersih. Peningkatan fungsi, kualitas, dan kinerja Badan Publik. Menciptakan citra dan reputasi yang positif masyarakat. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.
Hanya saja, implikasi UU tentang KIP ini karena terkait masalah right to know dan right to tell (hak untuk mengetahui dan hak untuk mengatakan), maka terbuka kemungkinan rentannya hubungan antara badan publik yang bertanggungjawab menyediakan informasi dengan pengguna inmformasi publik.
Sesuai pasal 7 UU KIP, kewajiban Badan Publik; Menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi public. Menyediakan informasi public yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien. Membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik. Pertimbangan tersebut memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan Negara. Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.
Meskipun ada kewajiban membuka akses bagi setiap pemohon informasi untuk mendapatkan informasi publik, namun ada informasi yang dikecualikan (pasal 17), yakni;
(a) informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum.
(b) Informasi publik yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
(c) Informasi publik yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan Negara.
(d) Informasi publik yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia.
(e) Informasi publik yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional.
(f) Informasi publik yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri.
(g) Informasi publik yang dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir atau pun wasiat seseorang.
(h) Informasi publik dapat mengungkapkan rahasia pribadi.
(i) Memorandum atau surat-surat antarbadan public atau intrabadan publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan.
(j) Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan UU.
Menurut Henny Widyaningsih, problem yang sering dihadapi oleh pengguna informasi adalah; informasi publik tidak tersedia, terlambat diberikan, diklaim rahasia secara sepihak, mekanisme pelayanan informasi publik yang buruk, dan akses informasi public yang asimestris,
Peran Humas
Kesiapan badan publik menjelang 30 April 2010 adalah membenahi website sesuai dengan ketentuan klasifikasi informasi yang sesuai dengan asas informasi dapat diakses secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan sederhana. Mengomunikasikan cara` mengakses informasi publik di badan publik dengan mencantumkan seluruh nama pejabat publik yang bertanggungjawab dan bagaimana menghubungi mereka untuk kebutuhan akses informasi yang mudah.
Badan Publik juga berwewenang untuk uji konsekuensi dan mempertimbangkan kepentingan publik dalam menetapkan informasi yang dikecualikan dengan mengkedepankan prinsip akses maksimum pengecualian terbatas. Memerlukan dukungan dan good will yang penuh dari pimpinan untuk menjadi motivator dan lokomotif dalam keterbukaan informasi.
Kesiapan badan publik menjelang 30 April 2010 adalah menyediakan sarana prasarana, seperti information and technology (IT), media centre, perpustakaan, meja informasi, dan ruang-ruang pengaduan. Mengalokasikan anggaran yang cukup untuk operasional tersebut, Membuat jaringan antar-unit dan antardepartemen atau interdep dalam konteks informasi yang terkait. Membantu pembuatan sistem monitoring dan evaluasi kualitas dan layanan informasi serta pengaduan atau respon atas permintaan informasi yang tidak memuaskan.
Sebagai corong badan publik, Hubungan Masyarakat (Public Relation) dalam KIP berperan, mendorong adanya ketersediaan informasi publik dan mengemas informasi tersebut ke dalam bentuk yang dapat dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat termasuk jurnalis. Memublikasikan klasifikasi informasi publik yang ada di lembaganya agar dapat diakses oleh publik. Jika posisi Humas badan publik diberi otoritas sebagai PPID, maka ada tuntutan peningkatan pemahaman staf Humas mengenai isi UU KIP.
Kemungkinan masalah yang muncul dalam pelaksanaan UU KIP kelak adalah tidak saja yang berkaitan dengan mereka yang tergabung sebagai pekerja pers, tetapi juga selaku pengguna informasi. Mereka yang berhak memperoleh informasi adalah yang mencatatkan diri (sesuai kartu tanda penduduk) sesuai dengan jumlah yang terdokumentasikan.
Menghadapi 1 Mei 2010, saat UU KIP diimplementasikan, tidak ada pilihan lain. Kita harus menerimanya, siap atau tidak siap.
Makassar, 28 April 2010
Senin, 03 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar