Catatan M.Dahlan Abubakar
Ketika seluruh naskah rampung saya edit dan koreksi, 24 Mei 2010, saat-saat injury time penanganan final touch (sentuhan terakhir) buku ini, saya menemukan di Toko Buku Gramedia Panakkukang sebuah buku bertajuk ‘Jernih Melihat Cermat Mencatat’ Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas, Marthias Dusky Pandoe.
Saya membaca sebagian kecil di halaman-halaman awal buku yang baru terbit Mei 2010 ini. Banyak sekali kata mutiara yang sangat layak diketahui oleh komunitas wartawan (yang belum membaca buku itu) di dalamnya. Saya berpikir – maaf, tanpa mengajukan permohonan mengutip seizin penerbit sebagaimana tertulis di halaman sampul dalam buku – rangkaian kata mutiara ini harus – kalau tidak, wajib – saya tularkan ke komunitas wartawan.
Di dalam buku setebal 377 halaman itu, Pemimpin Umum Harian Kompas, Jacob Oetama, menitipkan pengetahuan yang sangat bermakna bagi mereka yang berprofesi wartawan. Dia terlebih dahulu menjuluki sang penulis buku (Marthias Dusky Pandoe, selanjutnya saya singkat MDP, sesuai inisial di ujung berita Kompas yang ditulis yang bersangkutan) dengan fraternization, yang artinya, mudah kenal dengan figur sumber berita. Saya mengutip istilahnya, bukan karena terhadap seorang MDP saja, melainkan seluruh wartawan pun harus memilikinya.
Kata Jacob Oetama, posisi wartawan yang fraternization seperti itu, memungkinkan dia memiliki keakraban dengan sumber berita. Keakraban merupakan modal untuk memperoleh informasi selengkap mungkin. Awal keakraban adalah kepercayaan, trust.
‘’Keakraban bisa menguntungkan dan merugikan,’’ kata Jacob Oetama lagi.
Menguntungkan, karena informasi apa pun, termasuk yang off the record, yang sifatnya back (ground) information, disampaikan secara utuh, apa adanya, dan lebih lengkap. Karena kedekatan, sumber berita percaya tanpa memberi peringatan off the record, wartawan yang akrab dan kritis dengan narasumber bisa memilih dan memilah mana yang bisa dan tidak bisa dipublikasikan.
Sebaliknya, keakraban pun bisa merugikan. Sebab, bisa menimbulkan vested interest, wartawan tidak bisa membedakan lagi mana informasi yang menjadi berita. Ukuran yang dicapai adalah demi kenyamanan dan keselamatan sumber berita. Masyarakat, publik, dirugikan.
‘’The medium is the message,’’ kata Jacob Oetama, yang memaksudkan bahwa berita senantiasa punya pesan.
Kepentingan masyarakat adalah pegangan utama dan alasan pertama dimuat-tidaknya fakta dan informasi. Prinsip the news that they want to know, juga the news that they ought (seharusnya) to know. Seorang wartawan harus menulis dengan hati.
Lalu, bagaimana sosok jurnalisme yang baik? Wartawan senior Indonesia (kini berusia 88 tahun), H.Rosihan Anwar di dalam buku itu juga menulis dengan mengutip Lee Khoon Choy, seorang wartawan, diplomat, dan Duta Besar Singapura di Jakarta. Tulisan yang dimuat oleh Majalah Hongkong, Asiaweek, 9 Januari 1976 itu memberikan resep bagi jurnalisme yang baik.
Lee, kata Rosihan Anwar berbicara tentang 7 I (tujuh i), yang di dalam bahasa Inggris: interest (minat, perhatian), initiative (inisiatif. prakarsa), inquisitiveness (ingin tahu), ingenuity (kepintaran), insight (wawasan pengertian), inspiration (inspirasi, ilham), Integrity (integritas, kejujuran).
Inilah pegangan dan menjadi tanda-tanda khas dari jurnalisme yang baik. Lee, kata Rosihan, menekankan kepada integritas, kejujuran, dan ketulusan hati. Ini yang diharapkan jadi merek daqn label jurnalisme yang baik. Baik bagi wartawan puya dedikasi dan setia kepada cita-citanya, mengabdi kepada idealisme.
‘’Kalau wartawan-wartawan senior sekarang (seperti saya), diuji, barangkali tidak ada yang lulus ujian, mampu memenuhi ketujuh I (i) itu. Paling banter, hanya satu, dua, dan tiga sifat yang diakui bisa dilekatkan pada diri seorang wartawan yang sudah terkenal luas,’’ seloroh Rosihan Anwar yang ulangb tahunnya (10 mei) sama dengan MDP.
Katanya lagi, zaman sudah berubah. Tahun 2010 ini kita tidak lagi hidup dengan pers pergerakan rakyat, pers nasional yang anti kolonialisme, antiimperialisme Belanda. Pers sekarang coraknya lain, berorientasi pada keuntungan alias profit. Berorientasi bisnis dan dalam sikap perilakunya bersifat pers kapitalis.Itu tidak terhindarkan, karena bagian dari zeithgeist (semangat zaman).
Ilmu tentang tujuh I tersebut merupakan mutiara pengetahuan jurnalisme yang sangat mendasar bagi seorang wartawan Indonesia, terutama bagi mereka yang saat ini sedang menekuni dunia jurnalistik. Terlebih lagi bagi mereka yang kelak akan bergabung ke dunia kuli tinta ini.
Pesan dari Mohammad Natsir yang dikutip MDP pun layak kita simak. Mantan Perdana Menteri ini benar-benar memberikan ilmu yang sangat mendasar bagi MDP, dan juga kepada kita generasi wartawan berikutnya.
‘’Jangan sekali-kali ada berita yang dibantah. Prinsip check and recheck harus dipegang, dan jangan memihak, tetapi berimbang,’’ kata Moh.Natsir yang dikutip MDP pada halaman 7 bukunya.
Natsir juga berpesan, patuhi kode etik, yakni tidak memberitakan sesuatu atau memberitakan sesuatu karena pesdan sponsor. Kalau ada sumber yang harus dirahasiakan cukup pemimpin redaksi yang diberitahu. Diancam hukuman sekalipun tak boleh membocorkan sumber.
‘’….. jangan campuradukkan fakta dan opini,’’ harap Natsir.
MDP yang menjadikan buku adalah guru yang tidak pernah marah, telah menempatkan diri seorang yang sukses tanpa gelar. Bermodalkan hanya tamat sekolah rakyat, dia menjadi wartawan. Liputan pertamanya, dia masih ingat, ketika di bawah bendera sebuah Koran di Jakarta, Keng Po, adalah rapat akbar di kawasan Tanjung Priok Jakarta. Yang jadi pembicara ketika itu adalah Gubernur Bank Indonesia (1953) Mr.Sjafruddin Prawiranegara.
‘’Isinya mengingatkan, Indonesia bakal terancam krisis akhlak jika praktik korupri berikut manipulasi tidak bisa diakhiri. Itu sudah membuktikan korupsi sudah menjadi bagian klasik dari kehidupan negeri ini,’’ tulis MDP.
Nah, apa yang dikemukakan Sjafruddin Prawiranegara 57 tahun silam itu, kini malah membuat pemerintahan republik tercinta ini menjadi ‘kocar-kacir’ oleh berbagai masalah yang kian semrawut.
****
SANG WARTAWAN, Profil 99 Jurnalis Sulawesi Selatan, kini menjadi public, karena sudah terbit menjadi sebuah buku. Kita ingin buku ini menjadi ‘guru yang tidak pernah marah’ (mengutip MDP). Dari isi buku ini, kita dapat mengetahui begitu banyak pengalaman para wartawan yang bergulat dengan idealisme kewartawanan yang tanpa pamrih. Mereka telah menjalani masa-masa sulit dalam menegakkan profesi ini pada masanya. Rentetan pengalaman yang tentu saja tidak akan pernah kembali lagi dalam format yang sama.
Sebagai penulis, saya berharap ambillah hikmah dari pengalaman mereka yang positif dan tinggalkan jika dianggap pengalaman yang kurang berkenan. Mungkin saja, karena era yang berbeda, ada saja pengalaman yang mereka ukir itu tidak pas benar dengan di kekinian kita. Untuk itu, tetaplah kisah mereka ini menjadi bagian sejarah, khususnya sejarah para anggota komunitas wartawan di republik ini dari masa ke masa.
Makassar, 25 Mei 2010.
Naskah ini merupakan 'epilog' dari buku yang saya tulis dan siap naik cetak dengan judul ''Sang WARTAWAN, Profil 99 Jurnalis Sulawesi Selatan'
Selasa, 25 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar