Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel
Salah satu stasion swasta, Kamis (20/5) malam menggelar sebuah diskusi bertajuk ‘’Sri Mulyani Pemenang’’. Diskusi itu menampilkan tiga sosok pembicara dengan latar belakang berbeda. Pertama, Ikrar Nusa Bakti, salah seorang pakar sosial ekonomi yang cukup vokal ketika pemilihan presiden silam. Tokoh kedua adalah Idrus Marham, Sekjen Partai Golkar yang juga Ketua Pansus Century. Ketiga, Fuad Bawazir, mantan Menteri Keuangan.
Saya tidak tahu pasti mengapa diskusi tersebut memilih judul seperti itu. Namun yang jelas, saya membaca kuliah umum Sri Mulyani Indrawati (SMI) di Hotel Riz Carlton Jakarta tanggal 18 Mei 2010 malam, yang hardcopy-nya disampaikan oleh seorang teman Kamis pagi, pada akhir orasinya, SMI berkata seperti ini.
‘’Di antara Anda semua yang ada di sini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini. (ada applause yang hadir). Saya merasa berhasil dan saya merasa menang, karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang’’. Ketika mengakhiri kuliah umumnya, berlangsung standing applause, merespons kuliah umum delapan halaman tersebut.
Sangat Bias
Komentar SMI ini sangat bias. Benar-benar sangat bias, kalau tidak dapat dikatakan sebagai ironi bagi ranah politik republik ini saat sekarang. Coba kita simak keberhasilan yang dia definisikan karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang menginginkan SMI tidak di sini. Alamat komentar ini jelas-jelas ditujukan kepada DPR dan siapa pun yang sepakat dengan hasil Sidang Paripurna Pansus Century. SMI gagak didikte dan merasa tampil sebagai pemenang. Luar biasa.
Kemenangannya tidak hanya sampai di situ. Tidak ada pihak mana pun yang mencoba meniupkan kalimat dengan satu kata ‘cekal’ terhadap SMI menjelang keberangkatannya ke Washington untuk menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia per 1 Juni 2010. Padahal, persoalan rekomendasi DPR terkait Kasus Bank Century belum selesai dan SMI (dan Boediono) termasuk dua sosok yang memiliki permasalahan dan bertanggungjawab dalam kasus penggelontoran dana Rp 6,7 triliun ke bank yang disebut sekarat tersebut.
Anehnya, kalau saja sosok lain dalam suatu kasus yang berurusan dengan lembaga tertinggi negara, pasti sudah keluar surat pencekalan. Dan, anehnya lagi, tak terdengar pihak mana pun yang meluncurkan kata ‘cekal’ terhadap SMI yang jelas-jelas sudah mengajukan pengunduran dirinya sebagai Menteri Keuangan lantaran dirangkul Bank Dunia untuk menjabat Direktur Pelaksana di bank global tersebut. Lebih lucu lagi, semua pihak seperti membiarkan scenario ini berhjalan. Seolah terjadi pembiaran,
Bayangkan saja, Komjen Susno Duaji, mantan Kabareskrim yang kini disekap di Sel Brimob Kelapa Dua saja, ditangkap di bandara oleh Polri hanya lantaran mau berobat ke Singapura. Inilah tampang diskiriminasi yang muncul dalam penegakan hukum kita. Belum lagi yang lain.
Yang lebih miris lagi adalah, KPK dan Polri menutup Kasus Century. Rekomendasi DPR terhadap kasus Century ternyata hanya sebuah sandiwara politik di atas tayangan media elektronik belaka. Sebuah sandiwara yang hanya menguras dana milyaran rupiah untuk membayar berbagai kebutuhan Pansus dalam menyibukkan diri dengan tayangan parlemen sedang mengadili para pihak yang terkait dalam kasus tersebut.
Kisah pansus tak bergigi memang bukan baru sekarang. Dulu, ada pansus tentang masalah kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Hasilnya, ya begitu saja. Ribut-ribut awal, kemudian lenyap begitu saja dengan senyapnya pula. Awam kemudian mulai curiga pada wakil yang mereka pilih, jangan-jangan pansus demi pansus hanya sekadar sinetron yang kejar tayang belaka. Alih-alih membereskan masalah penyalahgunaan dana Bank Century, justru yang muncul adalah penggelontoran dana untuk kepentingan pansus.
Apa yang kita lihat sekarang? Kasus Century tidak lagi tayangan utama media elektronik. Mungkin hanya segelintir orang saja yang mengenangnya. Ya, seperti seorang perempuan yang bernama Gayatri yang nyaris dianggap tidak waras lantaran melakukan demo dengan penampilan yang rada langka dan menarik perhatian. Kkasus Century telah tenggelam dilindas oleh berita (selalu) keberhasilan Polri menembak mati dan menangkap orang yang diduga teroris. Aksi penggerebekan tersebut selalu muncul tepat waktu. Saat DPR sedang rebut ribut sesuatu soal masalah. Belum lagi perhatian publik Indonesia tersedot oleh kematian Mama Lauren Handrijck Julien Pasaribu, meninggalnya pencipta lagu Bengawan Solo, Gesang, yang kian membuat publik Indonesia kian jauh meninggalkan dan mengingat Kasus Century. Beruntung di salah satu pojok layar kaca swasta masih ada tertulis’’Mengawal Kasus Century’’. Tetapi, apakah cukup dengan kalimat pendek tiga kata yang jadi spanduk di media elektronik tersebut?
Menang vs Ketergantungan
Meski SMI sendiri tidak mencantumkan pengangkatan dirinya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia sebagai unsure kemenangannya, orang-orang yang kurang membaca konstalasi permainan global, mungkin akan menganggap promosi salah seorang putra (i) Indonesia sebagai suatu prestasi luar biasa. Sebuah kebanggaan yang patut disyukuri. Saya justru sangat prihatin dengan pengangkatan SMI memimpin salah satu posisi di Bank Dunia tersebut.
Saya beralasan, secara umum Indonesia akan mengalami masa ketergantungan yang tidak berujung terhadap Bank Dunia. Saya khawatir, SMI akan menjadi jaminan bagi Bank Dunia untuk mengendalikan Indonesia demi kepentingan globalnya. John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (seri Indonesia terbit 2005) mengatakan, sumbangan Robert McNamara (selaku Presiden Bank Dunia) yang paling besar dan paling menyeramkan kepada sejarah adalah mengendalikan Bank Dunia menjadi agen kekuasaan global pada skala yang tidak pernah sebelumnya disaksikan. Ia juga menjadi teladan.
‘’Kemampuannya untuk menjembatani kesenjangan di antara komponen-komponen utama corporatocracy (sindikasi perusahaan) disempurnakan oleh para penerusnya,’’ kata Perkins.
Dia menambahkan, ‘kami para Economic Hit Man (EHM) mencapai banyak tujuan kami di tempat-tempat seperti Indonesia dan Ekuador’’. Dalam bukunya yang lain, Perkins juga mengatakan bahwa eksistensi Bank Dunia, termasuk International Monetary Fund (IMF), tidak lebih dari perpanjangan tangan Amerika Serikat sebagai upaya ‘memiting’ negara dunia ketiga agar tidak dapat lolos dari jeratan berbagai ketergantungan, jutang misalnya.
Sementara itu, Daniel Estulin dalam bukunya The Bilderberg Group, lebih berani dan terbuka lagi menulis bahwa banyaknya penolakan terhadap pengembangan energi nuklir untuk kepentingan perekonomian di banyak negara dunia ketiga, merupakan konstalasi global yang dikendalikan secara terstruktur oleh sejumlah negara adidaya yang termasuk di dalam kelompok tersebut. Mengapa energi nuklir dihambat dan dicegah kahadirannya, bahkan dengan memanfaatkan LSM lokal negara yang bersangkutan (dengan alasan berbahaya karena dampak kebocoran nuklir), karena jika suatu negara memiliki dan menggunakan energi nuklir, maka akan memperoleh energi yang sangat murah. Ketika energi murah, perekonomian akan berkembang dan negara tersebut akan mengalami kemajuan yang salah satu indikatornya adalah ketersediaan energy listrik yang cukup bagi pembangunan dan beroperasinya sejumlah industry dan infrastruktur lainnya. (Indonesia lagi berteriak dengan kekurangan daya listrik). Ketika suatu negara mampu mengembangkan energi nuklir untuk kepentingan listriknya dan negara mengalamai kemajuan dan ekonominya berkembang, ketergantungan terhadap negara donor akan berkurang, Bahkan hilang sama sekali. Indonesia memperoleh donor dari negara-negara yang masuk dalam Kelompok Bilderberg itu, yakni AS, Jepang, Jerman dan organisasi keuangan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank). Dua lembaga keuangan ini secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh kaki tangan dan negara adidaya.
Saya khawatir dengan kehadiran SMI di World Bank, membuat utang Indonesia akan terus membengkak. Sejak tahun 1997, Indonesia dibelit utang yang lebih kurang separuh dari anggaran negara. Utang tersebut menggerus sekitar 52% dari total penerimaan pajak yang dibayar rakyat senilai Rp 652,0 triliun (data akhir 2009).
Utang pemerintah hingga akhir 2009 tercatat US$ 67,86 milyar atau setara dengan Rp 1.602, 86 triliun, mengalami penurunan hanya Rp 33 milyar lebih (Rp 1.636,74 triliun) pada tahun 2008. Ketua Koalisi Anti Utang, Danny Setiawan sebagaimana dikutip Okezone per 4 Januari 2010 menyebutkan, penurunan rasio utang 30% bukan kabar baik bagi Indonesia, sebab jumlah utang Indonesia terus bertambah seiring dengan penarikan utang baru. Bahkan pada tahun 2010, kata dia, utang Indonesia sudah menyentuh angka Rp 233 triliun. Rasio utang terhadap perekonomian nasional pun sangat besar.
‘’Besarnya utang yang pembayarannya jatuh tempo tahun ini mencapai Rp 130 triliun,’’ kata Danny Setiawan.
Dekan Fakultas Ekonomi UI, Firmansyah mengusulkan agar pemerintah terus mendongkrak penerimaan negara melalui pajak dan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akhir tahun 2009 penerimaan pajak hanya Rp 652,0 triliun. Angka ini dari setoran pajak yang dihimpun Ditjen Pajak yang diperkirakan hanya Rp 549,9 triliun dari target APBN-P 2009. Hanya persoalannya, bagaimana mendongkrak penerimaan pajak kalau wajib pajak masih trauma dengan kasus Gayus. Kalau dulu Ditjen Pajak mengampanyekan, tidak bayar pajak, apa kata dunia, kini justru terbalik. Menilep uang pajak, apa kata dunia???
Selasa, 25 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar