Oleh M.Dahlan Abubakar
Tanggal 15 Oktober 2010. Hari sudah gelap, ketika bus City Trans Bandung-Jakarta kapasitas 12 orang yang saya tumpangi terjebak macet di tol Cipularang, belum jauh dari Kota Bandung. Jalan yang sedang giat dipoles ikut menambah panjang macet. Pada ruas jalan masuk Jakarta, kendaraan merambat lambat. Berbeda dengan jalur kanan, ke arah Bandung yang rada` lancar. Mestinya, yang ke Bandung yang macet, karena penduduk Jakarta yang berakhir pekan akan masuk ke Paris van Java itu. Ah, mungkin saja secara kebetulan.
Dalam pulas yang tak sempurna, terasa telepon selular (ponsel) saya bergetar berkali-kali. Tanda ada panggilan masuk. Nada lagu ‘Anging Mammiri’ sengaja saya off-kan agar tidak mengganggu tetangga duduk. Juga pada pagi hari ketika menghadiri ujian promosi doktor putri sulung Prof.Dr.Ir.Radi A.Gany, Andi Nixia Tentiawaru, di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.
‘’Saya dari…, mau tanya sedikit,’’ terdengar suara seorang pria dari seberang sembari menyebut nama medianya.
‘’Masalah apa?,’’ saya bertanya balik.
‘’Mengenai CPNS, Pak,’’ sebutnya.
‘’Ada apa dengan CPNS?,’’ lagi-lagi saya bertanya.
‘’Dalam berita hari ini, Pemprov tidak akan bekerja sama lagi dengan Unhas dalam mengerjakan soal-soal CPNS,’’ sebutnya.
‘’Alasannya?,’’ saya terus bertanya, karena saya tidak mengikuti perkembangan pemberitaan mengenai masalah CPNS tersebut di Makassar. Soalnya, ketika berita itu menyemarak di media Makassar, saya sedang berada di Bandung.
‘’Pemprov katanya menerima banyak keluhan dari masyarakat berkaitan dengan hasil pemeriksaan CPNS di Unhas yang lalu,’’ sang wartawan itu menjelaskan. Saya pun balik berkata dan bertanya.
‘’Tolong klarifikasi dan minta secara rinci dulu pada Pemprov (cq Kepala BKD) seperti apa keluhan itu dan siapa yang mengeluh, masyarakat mana, dan kepada siapa keluhan itu disampaikan. Jika yang mengeluh menyampaikannya ke Pemprov (BKD), mohon disampaikan ke Unhas agar kita dapat memperbaiki diri. Kita cari solusinya agar ke depan pekerjaan ini lebih baik lagi,’’ kata saya tiba-tiba saja menjadi ‘pengkhutbah’. Begitulah gaya saya kalau ada wartawan yang kurang teliti dan sigap menyampaikan pertanyaan. Kadang-kadang saya ceramahi dulu untuk membuat ‘otaknya bekerja keras’ agar mereka dapat memperoleh informasi yang tepat melalui pertanyaan-pertanyaan yang jitu. Masalahnya, sering saya menemukan banyak wartawan yang memburu berita tanpa persiapan skill yang memadai. Banyak hal yang sebenarnya bisa bongkar justru terabaikan.
‘’Pihak BKD tidak bersedia merincinya,’’ beber wartawan tersebut.
‘’Kalau begitu, masalahnya akan buntu. Jangan sampai itu hanya alasan yang dibuat-buat saja untuk tidak lagi mengajak Unhas bekerja sama dalam memproses pembuatan dan pemeriksaan soal tes CPNS,’’ kata saya.
‘’Apa komentar Unhas dengan langkah Pemprov yang akan memilih perguruan tinggi lain dalam melaksanakan pekerjaan pembuatan dan pemeriksaan soal CPNS itu?,’’ tanya dia lagi.
‘’Saya ingin tegaskan, Unhas ini lembaga besar. Bukan lembaga kecil. Bukan pula LSM, melainkan kumpulan orang-orang cerdas. Tentu mustahil Unhas akan mengemis. Soal, Pemprov memilih perguruan tinggi lain untuk bermitra, ya silakan saja. Hanya saja, sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi terbesar `di kawasan Timur Indonesia, dan ‘milik’ masyarakat Sulawesi Selatan, Unhas memiliki kewajiban moral membantu Pemprov jika diminta. Kalau tidak dibutuhkan, jelas Unhas tidak akan mengemis,’’ papar saya panjang.
‘’Langkah-langkah yang dilakukan Unhas?,’’ tanya si wartawan itu lagi.
‘’Unhas bukan pihak yang ber-aksi, dalam arti yang melakukan sesuatu atau membutuhkan, melainkan pihak yang dilibatkan dalam suatu kerja sama. Tidak ada langkah yang akan dilakukan Unhas. Kalau misalnya Pemprov tetap memilih perguruan tinggi lain, silakan saja,’’ sebut saya.
Kompensasi
Jumat (15/10) pagi, pesan pendek mengalir ke ponsel saya. Datang dari adik-adik alumni. Isinya, mengungkapkan rasa tidak puas dengan komentar Pemprov cq Kepala BKD Sulsel berkaitan dengan masalah penerimaan CPNS tahun 2010. Tetapi yang menggelitik saya dan membuat saya ‘berang’ adalah pertanyaan ‘ada apa dengan Unhas?’. Saya menangkap kalimat ini beraroma miring. Seperti menuding ada sesuatu yang mrnyimpang dilakukan Unhas.
Ketika masih di Jalan Tol Cipularang saya sudah menghajatkan untuk menulis dan mengirim naskahnya Jumat malam itu juga ke salah satu media di Makassar. Harapan saya, Sabtu sudah dibaca dan meng-clear-kan persoalan. Tetapi, modem yang saya bawa ‘ngambek’.
Jumat siang, saya tiba-tiba memberanikan diri meng-sms langsung Pak Gubernur Sulsel. Langkah yang pertama kali saya lakukan selama dua tahun Pak Syahrul memimpin Sulsel. Berdasarkan instink jurnalistik saya, masalah ini ‘akan jadi bola liar dan polemik di media jika tidak ‘dimenej’ segera’. Potongan kalimat dalam tanda petik itulah yang saya layangkan ke Pak Gubernur.
‘’Yakinlah tidak ada hal seperti apa yang ada di media. Media terlalu mendramatisir kata2nya Murni. Padahal, saya yakin tidak seperti itu,’’ balas Pak Gubernur.
Saya diam saja membaca balasan sms tersebut. Dalam hati saya yakin, ini akan meledak justru hingga menjelang kedatangan Presiden SBY di Makassar. Sebab, masalah CPNS ini sensitif. Selain di Sulsel saat ini tidak ada berita yang ‘heboh’, masalah CPNS ini akan menjadi berita baru yang menarik. Apalagi sudah saat menjelang pendaftaran. Lagian, ini merupakan kebutuhan banyak pihak. Tidak saja mereka yang bertarung memperebutkan jatah tersebut, tetapi juga orang tua, keluarganya yang juga menginginkan mereka bisa diterima. Tentu dengan banyak cara. Yang sudah lazim adalah membayar dan berkolusi dengan pihak penentu kelulusan.
‘’PR 3, saya mau bicara,’’ tiba-tiba satu kalimat sms pendek masuk lagi ke ponsel saya. Setelah saya perhatikan pengirimnya, ternyata dari Pak Gubernur.Saya pun segera mem-forward (meneruskan) pesan itu ke Pak Nasaruddin Salam, Wakil Rektor III Unhas.
Sekitar pukul 13.00 Wita, Pak Nas menelepon balik saya. Saya pun menjelaskan bahwa Pak Gubernur ingin berbicara langsung dengan Pak Nas melalui telepon.
Setelah komunikasi dengan Pak Nas saya akhiri, Pak Hasrat Arief saya kontak dan menjelaskan permasalahan yang saya terima. Termasuk menjelaskan rincian kalimat yang saya sampaikan ke wartawan ketika dalam perjalanan Bandung-Jakarta. Saya juga minta kepada Hasrat agar secara konfidensial menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan ‘keluhan’ yang disebut dari masyarakat oleh pihak BKD. Meskipun saya sudah maklum bahwa keluhan itu tidak pernah ada. Hanya dibuat-buat sebagai alasan belaka. Ini diperkuat lagi oleh keterangan salah seorang teman, mantan anggota DPRD Sulsel, ketika saya mampir di Warkop Phoenam Jakarta. Teman itu mengatakan (mungkin pengalaman dan informasi yang dia peroleh ketika menjadi anggota Dewan) bahwa kadang-kadang dalam penerimaan CPNS pihak eksekutif meminta 30% jatah itu harus mereka tentukan. Jadi yang diperebutkan itu hanya 60-70% saja.
Apa yang dikemukakan teman itu sebenarnya bukti yang sudah terjadi. Saya sendiri pun pernah dikontak oleh salah seorang anggota DPRD kabupaten yang mengatakan bahwa pihaknya akan mendorong pihak eksekutif untuk tetap memilih Unhas dengan catatan, 10 jatah dari pihaknya bisa dijamin lulus. Waktu itu, saya tidak memberikan jawaban yang pasti, karena memang tidak mungkin.
‘’Nantilah kita lihat, tetapi saya tidak menjamin,’’ kata saya sambil berusaha menutup pembicaraan cepat-cepat.
Masih siang, Pak Nas mengontak saya. Intinya, menanyakan apakah saya bisa bersama beliau bertemu dengan Pak Gubernur Jumat malam di Gubernuran. Saya katakan, sulit saya penuhi, karena pesawat saya terbang pukul 21.30 WIB. Jadi, tiba di Makassar sekitar pukul 01.00 dinihari.
Malam hari ketika sedang menunggu terbang di Bandara Soekarno-Hatta, ponsel saya bergetar lagi. Ternyata telepon dari Tribun Timur. Saya menduga, pasti urusan CPNS lagi. Benar juga. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan membuat saya harus berbicara keras. Apalagi setelah disuntik informasi konfidensial yang disampaikan Hasrat Arief. Sampai-sampai saya mengatakan, kalau misalnya BKD Sulsel tidak mau menjelaskan soal keluhan masyarakat dan tetap menyalahkan Unhas dalam pemrosesan tes CPNS, ‘kita buka-bukaan saja’.
Saya tegaskan juga kepada teman dari Tribun Timur, ‘kalau Pemprov ingin mencari perguruan tinggi lain yang mengerjakan soal CPNS, silakan. Unhas tidak perlu mengemis. Tidak perlu menjadikan keluhan masyarakat sebagai alasan yang dibuat-buat untuk memilih perguruan tinggi lain. Tetapi soal pilihan mitra kerja, itu hak prerogatif Pemprov. Hanya saja Unhas tidak ingin disebut melakukan sesuatu yang membuat masyarakat mengeluh. Unhas selalu bekerja fair dan professional.
Sabtu pagi-pagi Pak Nas menelepon saya. Beliau menjelaskan hasil pertemuan dengan Pak Gubernur semalam. Intinya, Pak Gubernur mengatakan bahwa tidak mungkinlah Pemprov meninggalkan Unhas. ‘’Saya yang menentukan,’’ kata Pak Gubernur membuat yang hadir, termasuk Kepala BKD – katanya -- hanya tunduk terpaku.
Pak Nas juga menjelaskan, bahwa pernyataan saya di Tribun Timur cukup keras dan meminta agar masalah CPNS segera diakhiri di media.
‘’Tadi sudah cukup berimbang,’’ kata Pak Nas menyebut mengenai pemberitaan di Tribun Timur.
Dalam perjalanan di kampus, ponsel saya bordering lagi. Saya terpaksa berhenti untuk mencoba menjawab panggilan tersebut. Ternyata lebih dulu putus. Saya menelepon balik, tidak nyambung. Nada sibuk. Ternyata kemudian, ponsel saya bergetar lagi. Pak Yushar menelepon.
‘’Kenapa kodong, Pemprov. Kok sampai ada ‘mau buka-bukaan’,’’ ujar Pak Yus.
‘’Saya belum baca koran hari ini,’’ sebut saya.
‘’Ada di koran,’’ imbuh Pak Yus, panggilan akrab Kepala Badan Keuangan Pemprov Sulsel itu.
‘’Iya, anak-anak tanya saya tadi malam. Saya tidak tahu persoalan seperti apa berita mengenai CPNS itu, sebab saya sedang di Bandung. Jadi saya jawab apa adanya saja. Tetapi, tadi malam Pak Gubernur sudah bertemu dengan Wakil Rektor III dan saya sudah meminta menghentikan polemik CPNS, ’’ saya menjelaskan lagi.
Pak Yus pun mengerti, sembari mengatakan, ‘’kapan kita ketemu?’’.
‘’Aduh nggak tahu nih. Saya belum lihat jadwal Pak Rektor,’’ sahut saya.
‘’Nanti Selasa-lah kita ketemu,’’ usul pak Yus.
Saya memang berkali-kali membawakan Pak Yus sejumlah buku laris. Saya selalu menitip bukunya itu pada Pak Hakim, staf di kantor depannya. Saya kerap malas menunggu dan mengganggu, karena harus kembali ke kampus secepat mungkin.
Ternyata, heboh berita CPNS ini luar biasa juga. Di mana-mana teman menegur saya gara-gara pemberitaan itu. Itulah risikonya jadi jubir, selalu jadi bubir (buah bibir).
Makassar, 19 Oktober 2010
Senin, 18 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar