Sabtu, 09 Oktober 2010

Satu Jam Antri di Ngurah Rai

Oleh M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas

Pada tanggal 11 Juli 2010 pagi saya terbang nonstop dari Bangkok, Thailand ke Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali. Selama empat jam – tiba pukul 14.45 Wita -- pesawat A330 milik perusahaan penerbangan Thai Airways menawarkan suasana yang sangat nyaman, terutama seat yang lapang.. Tentu sangat berbeda dengan penerbangan domestik Indonesia yang kebanyakan menggunakan pesawat dengan tempat duduk (seat) berlorong satu dan saling berdesakan ketika boarding. Mungkin takut tidak kebagian tempat kabin barang.
Pesawatl jenis A330 itu Thai Airways gunakan juga untuk melayani penerbangan domestic, seperti Bangkok-Chiang Mai (jarak 564 km) dengan lama terbang sekitar 1 jam. Konon kabarnya, Garuda juga baru mau melirik pesawat jenis ini.
Empat hari di Negeri Gajah Putih mengikuti Konferensi Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia dan se-Thailand di Chiang Mai memberi banyak informasi yang menarik buat saya yang sudah dua kali mengunjungi negara itu. Yang pasti, kasus konflik yang didalangi kelompok Kaos Merah (pendukung mantan PM Thailand Taksin Shinawatra) April silam telah membuat perekonomian negara itu terganggu. Khususnya untuk sektor pariwisata.
Hanya ada untungnya sedikit. Thailand menempatkan pariwisata sebagai sumber pendapatan terbesar kedua setelah sektor pertanian. Namun, tetap saja kunjungan wisatawan ke negara itu yang menipis telah memukul industri perhotelan. Hotel-hotel, kata salah seorang pemandu wisata yang mengantar rombongan kami, Juli ini memberikan potongan harga yang sangat gila, antara 50 sampai 70%. Suatu diskon yang tidak akan pernah diperoleh wisatawan sebelum kerusuhan Kaos Merah terjadi.
Kini Thailand berusaha bangkit dari keterpurukan kunjungan wisatawan. Meski belum diperoleh data resmi, menurut Somphorn, pemandu wisata rombongan kami, para turis mulai banyak berkunjung. Yang menarik, pelayanan publik di Bandara Internasional Suvarnabhumi Bangkok terhadap pendatang sangat nyaman. Tentu sangat tidak adil membandingkan Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok yang merupakan bandara ibu kota negara dengan Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar Bali yang terletak di ibu kota provinsi.
Sekadar sebuah catatan perbandingan saja, sebagai bandara ibu kota negara, Suvarnabhumi – khusus pada gerbang keberangkatan dan kedatangan internasional – counter pelayanan keimigrasian dan tiket cukup ‘berlimpah’. Kalau kita melihat banyak dan melimpahnya calon penumpang yang akan terbang, jelas para petugas tersebut akan kewalahan melayani manusia semembludak itu.. Tetapi, karena begitu banyak counter pelayanan, seorang pengatur antrean tidak terlalu kewalahan menghadapi calon penumpang. Setiap orang hanya dilayani tidak cukup satu menit. Bahkan mungkin hanya setengah menit.
Pukul 14.45 saya dan teman-teman mendarat di Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali. Bandara ini merupakan pintu masuk udara internasional demikian banyak wisatawan ke Bali. Sudah bukan rahasia umum, Provinsi Bali mengandalkan perekonomian daerah dari sektor pariwisata. Data tahun 2009 menyebutkan, jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata meningkat, menerobos prediksi yang hanya mematok 1,8 juta orang. Naik menjadi 2,1 juta orang. Hingga lima bulan pertama tahun 2010, jumlah kunjungan wisata sudah mencapai 953.073 orang, meningkat dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 870.029 orang.
Kunjungan wisatawan yang meningkat itu, langsung atau tidak, jelas mempengaruhi pendapatan masyarakat. Sekitar 51% pengaruh sektor wisata ini terhadap pendapatan masyarakat. Pendapatan per kapita masyarakat juga meroket menjadi Rp 36.733.181, gara-gara sektor pariwisata.
Melihat potensi kunjungan wisata dan pengaruhnya terhadap perekonomian maupun pendapatan per kapita, sangatlah ironislah jika kita melihat pelayanan di Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar. Kita dapat membayangkan, bagaimana sebuah bandara internasional dengan jumlah kunjungan wisatawan paling padat di Indonesia hanya membuka tiga counter pelayanan imigrasi.
Penulis dan rombongan penumpang Thai Airways hari itu memerlukan waktu satu jam baru selesai melewati counter imigrasi lantaran terbatasnya gerbang dan petugas yang melayani. Pelayanan satu jam seperti ini mungkin biasa saja mungkin bagi sebuah bandara macam di Denpasar. Namun, yang saya rasa janggal, bagaimana mungkin Bali menggembar-gemburkan dirinya sebagai Pulau Wisata dunia dengan pelayanan di Bandara Ngurah Rai yang demikian payah seperti itu.. Reynald Kasali yang tampil di salah satu layar kaca Senin (12/7) malam juga menyoroti pelayanan di Bandara internasional ini yang tidak terkoordinasi.
Dengan panjang antrean tidak sampai dari 10 m, saya harus menunggu selama 1 jam baru melewati counter. Saya menghitung jumlah orang pada barisan saya tidak lebih dari 30 orang. Itu berarti, petugas imigrasi itu membutuhkan waktu 2 menit untuk melayani seorang penumpang. Padahal, pekerjaan tersebut bisa lebih cepat menjadi satu menit. Apalagi yang diperiksa adalah dokumen bagi warganegara sendiri yang baru pulang dari luar negeri.
‘’Mungkin juga warganegara sendiri berpotensi dan dicurigai menjadi anggota teroris, sehingga diperlukan pemeriksaan yang lama,’’ kata saya kepada salah seorang teman, sekadar membunuh kebosanan menunggu tuntasnya antrean.
Terasa benar bagi warganegara Indonesia yang baru kembali dari luar negeri setelah menikmati pelayanan di Bandara asing dengan pelayanan di negeri sendiri. Pemeriksaan di Bangkok bukan main ketatnya. Segelas air minuman kemasan yang terselip di dalam kue kotak yang tak sempat saya teguk di hotel terpaksa harus ditahan dan dibuang ke tong sampah. Meski saya sangat kecewa dengan perlakuan seperti ini, namun tetap enjoy karena diperlakukan dengan sangat santun dan ramah..
Bagaimana dengan di Indonesia? Tidak usah bertanya. Pengguna jasa yang sudah jatuh bagai ketimpa tangga pula. Sudah segelas air minum seperti itu dicekal, kerap diberi imbalan muka tak bersahabat pula. Terkadang pemeriksaan berlebihan dan terkesan sangat mengada-ada secara diskriminatif. Mereka yang sudah terbiasa beroperasi di daerah bandara seolah memperoleh dispensasi lewat begitu saja di counter imigrasi. Ya, sama dengan yang saya lihat ketika satu jam antre di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Minggu (11/7)..Mungkin pengelola bandara di Indonesia perlu pergi studi banding ke beberapa bandara yang sudah terkenal disiplin, tetapi dengan pelayanan yang tidak membuat bĂȘte.
Salah seorang teman seperjalanan saya heran ketika check in di Bandara Chiang Mai dan Bangkok tidak membayar airport tax. Padahal, di setiap bandara di Indonesia pungutan seperti itu merupakan bayaran wajib setiap penumpang pesawat.
‘’Karena di Chiang Mai dan Bangkok tidak ada instansi penguasa bandara yang suka pungut pajak seperti itu,’’ kelakar teman tersebut sembari menyebut nama instansi di Indonesia itu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar