Sabtu, 09 Oktober 2010

Meneliti Monyet Karaenta

Oleh M.Dahlan Abubakar

Jauh-jauh dari Italia sana, Cristina Sagnotti datang ke Sulawesi Selatan untuk meneliti monyet. Sudah empat bulan dia di Indonesia. Tiga bulan di antaranya dia habiskan di Sulawesi Selatan. Di kawasan Taman Nasional Karaenta, Maros, km 56 Makassar-Watampone, dia melakukan penelitian tentang monyet.
Mengapa memilih Sulawesi Selatan dan Indonesia sebagai lokasi penelitian mahasiswa Universitas Torvergata, Italia ini? Jawabannya sederhana dan juga sangat tidak sederhana. Sederhana, karena enam tahun silam dia pernah datang ke Indonesia sebagai turis. Di antara kunjungannya itu, beberapa hari dia manfaatkan waktu plesirnya ke Tana Toraja. Pada masa itu dia merasa sangat enjoy berada di Indonesia. Yang tidak sederhana adalah, Sulawesi memiliki sedikitnya 7 jenis monyet endemik yang berada di satu pulau (Sulawesi) dan tidak ditemukan di tempat lain mana pun di jagat ini. Di Sulawesi ini ada kelompok monyet jinak. Itulah. yang dijadikan objek penelitiannya itu berdasarkan arahan pembimbingnya, Monica Carosi, Ph.D.
Setiap subuh, Cristina sudah meluncur ke lokasi penelitiannya di Km 56 Makassar-Watampone, dibonceng sepeda motor. Sebab, setiap pukul 06.00 dia harus sudah berada di habitat monyet Karaenta. Terkadang setiap hari dia lebih dulu hadir di lokasi, tempat dia meneliti sejumlah monyet betina. Dia harus berjalan 3-4 km untuk menjangkau lokasi dia melaksanakan penelitian.
Komunitas monyet yang dia teliti 33 ekor. Tetapi kerap juga yang muncul kurang dari jumlah itu. Yang diteliti adalah perilaku monyet, terutama yang betina. Ada sebelas ekor monyet betina yang dijadikan sampel. Setiap monyet diberi nama. Ada namanya – maaf hanya untuk membedakan saja -- Ramlah, Dina, Novi, Putri, Ayu, Bulan, Titin, Lani (bukan Luna), Caca, Sri, dan Eli, Masalahnya sekarang, sampelnya itu tinggal empat ekor, yakni Novi, Putri, Titin, dan Ramlah. Ramlah memiliki anak, sehingga tidak bisa ;lagi diteliti. Dia lebih sibuk mengurus anaknya. Kemungkinan posisinya diganti Bulan. Mereka yang sudah beranak tidak mau lagi melakukan hubungan biologis.
Monyet Karaenta tidak takut lagi pada orang. Tiap pagi, Cristina bersama ranger (penjaga hutan) – terkadang sampai tiga orang – pagi hari sudah menyediakan jagung untuk makan monyet. Jagung itu disimpan di suatu tempat (Cristina menyebut struktur) dan sebuah tempat yang ada timbangannya untuk mengetahui berat monyet yang diteliti. Sebab mustahil menangkap monyet-monyet itu untuk ditimbang. Di tempat timbangan itu ada jagung, sehingga pada saat dia mengambil jagung, sekalian dia naik di timbangan.
Jika Cristina terlambat tiba di lokasi, sering monyet sudah lebih dulu tiba. Soalnya, dia sudah tahu bakal ada makanan pagi. Ini bakal merepotkan, karena Cristina tidak bisa menempatkan timbangan untuk mengetahui berat mereka.Waktu itu, perempuan Italia itu saban hari membawa jagung. Tetapi kini, mungkin dia akan ubah menjadi dua kali seminggu. Tiap Senin dan Jumat. Tetapi Cristina akan mengubahnya lagi menjadi setiap hari. .Satu dengan timbangan dan satu tanpa timbangan. Ada monyet yang selalu naik ke timbangan, tetapi yang lainnya takut. Dulu, ketika awalnya, ada monyet betina malu naik ke timbangan.
Kalau Cristina lebih dulu tiba, maka dia akan lebih mudah memasang alat bantu penelitian, seperti timbangan dan meninggu dengan kamera. Jika monyet belum ada, para ranger yang akan memanggil dengan siutan. Tak lama, binatang yang disebut-sebut ‘awal asal manusia’ itu akan muncul.
Setelah para monyet itu makan, mereka akan pergi. Cristina kerap mengikuti ke mana mereka pergi. Tujuannya, untuk melihat perilaku binatang tersebut. Melihat dan meneliti monyet yang melakukan suelling (bersenggama) dan berkelompok. Terkadang sampai sejauh 5-6 km dan pukul 18.00 baru dia kembali ke penginapannya di Kompleks Kampus III Unhas di Km 65, kediaman pak Azis. Yang juga diteliti adalah sexual behavior dan ekologi monyet tersebut. Cristina menggunakan alat bantu GPS (Geo Position System) untuk melihat dan memantau monyet-monyet itu.
Setelah dipakai, alat berupa tempat menyimpan jagung dan timbangan disimpan di gua. Keesokan harinya diambil lagi.Pada awalnya, Cristina menghabiskan 1 kg jagung, kini 3 kg. Kalau 1 kg, jika ‘bos’ (monyet jantan yang bertubuh besar) ada, dia makan semua jagung yang disediakan,. Yang lainnya tidak kebagian.
‘’Saya mau kurangi sedikit demi sedikit,’’ kata Cristina yang baru tiga bulan belajar bahasa Indonesia pada Pak Azis, pengelola Kampus III Unhas di Maros itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar