Jika dari Bandara Sentani, Papua ke arah Jayapura, menjelang masuk Abepura, ada pertigaan. Di sebelah kiri, ada papan penunjuk warna hijau. Di situ tertulis: Abepura dan Yoka (di bagian kanan papan nama). Jika kita berkendaraan, mulailah memberi lampu sein kanan. Sekitar 100 m lagi Anda akan berbalik arah melalui jalan lain. Itulah jalan menuju Yoka, tempat yang bila orang tua-tua mendengarnya, pasti membayangkan di situlah pernah berdiri dan eksis sekolah sambungan yang sangat disiplin dan berkualitas.
Sebuah papan dari tembok menyambut kita di sebelah kiri jalan. Di situ tertulis: Selamat Datang di Yoka....’’. Jalan sudah tersiram aspal mulus. Di kiri kanan, banyak rumah penduduk. Permanen atau semi permanen. Pohon produktif juga ada. Soalnya, Yoka berada di pinggir danau Sentani yang luas itu.
Memasuki kompleks sekolah, yang tersisa adalah gedung-gedung tua yang tidak dipakai lagi. Sebuah gedung yang dulunya berfungsi sebagai sekolah dan tempat belajar, kini sudah dimanfaatkan sebagai salah satu kantor dinas Kota Jayapura. Gedung-gedung yang lain masih ada. Ada gedung tempat ruang makan, yang kini sudah berubah menjadi lapangan bulutangkis. Di belakang gedung tempat makan itu, hanya ada orang yang tinggal. Mungkin penjaga gedung-gedung yang tinggal jadi saksi bisu kejayaan Sekolah Putra Yoka masa lalu.
Rumah kepala sekolah tidak lagi berpenghuni. Di antara rumah guru dan gedung tempat makan, ada sebatang tiang telepon besi yang kokoh berdiri. Seolah tidak mau hilang begitu saja ditelan masa. Ingin tetap menjadi sejarah bahwa di tempat ini pernah eksis sekolah yang sangat berkualitas.
Beberapa bangunan lain masih tegak. Asrama guru masih ada. Juga tidak berpenghuni. Dia menjadi saksi bisu bahwa para guru yang berjasa pada orang-orang yang kini jadi orang, pernah tinggal di situ. Juga masih ada tempat mandi dan sebagainya. Di tempat inilah, untuk mandi saja, anak didik harus menggunakan komando dan aba-aba dengan menggunakan semprit. Semprit pertama, semua anak didik sudah siap di pinggir danau. Semua harus siap. Semprit kedua, terjun ke danau. Mereka muncul langsung naik lagi ke darat. Semprit ketiga mulai menyabun badan. Semprit berikutnya, terjun lagi. Begitulah disiplin ditegakkan di sekolah ini.
Salah seorang yang kini sudah jadi orang dan pernah belajar di sekolah ini adalah Habel Melkias Suwae. Lelaki kelahiran Tablanusu 28 Mei 1952 ini, sekarang menakodai Kabupaten Jayapura, setelah bagaikan anak tangga menduduki berbagai posisi penting sebelumnya. Habel masuk asrama di sekolah Yoka dalam usia 10 tahun. Itu terjadi setelah dia tamat SR 3 tahun di Tablanusu. Kalau dihitung-hitung dengan wajib belajar sembilan tahun, berarti sudah masuk kelas empat. Saat itu Habel dianggap besar. Kalau dibayangkan sekarang anak seusia mereka dan duduk di kelas empat diasramakan. Tidak biasa kalau kita lihat masa sekarang. Biasa diasramakan setelah melangkahkan kaki ke sekolah menengah tingkat atas (SLTA). Tetapi dulu, memasuki kelas 4, anak-anak di asramakan. Seperti Habel, Messakh Yaung kakak kelas Habel, Dicky H.N.Yakore, teman sekelas Habel, yang kini sebagai Kepala Kampung Mauris Kecil Distrik Demta.
Tinggal di asrama harus bekerja untuk kepentingan bersama. Cari kayu dan membabat rumput adalah rutinitas keseharian di Yoka. Habel masih ingat, satu kejadian yang hingga kini sulit dia lupakan. Suatu hari, bersama anggota kelompoknya, dia pergi membabat rumput. Entah bagaimana caranya, Habel tak ingat jelas, tiba-tiba saja kaki temannya terkoyak tersambar parang tajam yang dia ayunkan. Habel tidak tahu kalau di balik rumput tegak kaki temannya itu. Daging kaki temannya menganga. Habel merasa telah melakukan kesalahan. Menyesal. Tentu saja, tidak disengaja. Teman itu tentu kesakitan luar biasa. Kini, dia sudah meninggal dunia.
Di lain kesempatan, teman-teman dapat hukuman. Ada yang bekerja hari Sabtu. Dia kurang teliti. Ada kabel telanjang berisi strom lolos dari penglihatannya. Seorang temannya mau memperbaiki kabel telepon. Messakh Yaung, kakak kelas Habel berkisah, ternyata kabel telepon itu tersandar di atas kabel listrik. Temannya itu tak sangka itu ada strom. Berbahaya. Tersentuh, anak tersebut menemui ajalnya.
’’Malam-malam kami lari karena ketakutan,’’ kenang Habel.
Disiplin Tinggi
Disiplin di sekolah Yoka, cukup keras. Yang dapat hukuman tetap tinggal di asrama, Yang tidak dapat hukuman boleh pulang. Yang tinggal juga harus kerja, terutama pada saat jam kerja. Sudah habis jam kerja, tiba olahraga, mereka olahraga sedikit, kemudian istirahat dan mandi.
Rutinitas sekolah, setiap kegiatan ada jadwal waktunya. Habis makan, pas Meneer yang datang, mereka minta sesuatu. Pada malam Sabtu, lemari besar, lebar, segala jenis permainan ada di situ. Film-kah, buku cerita-kah, apa saja ada di situ.
’’Jadi malam Minggu, yang tidak distrap (dihukum) dan ke mana-mana, bisa baca cerita-cerita ambil sudah. Malam minggu, lemari permainan dibuka, ’’ kata Dicky H.N. Yakore, 68 tahun, teman sekelas Habel Melkias Suwae di Vervolgschool (VVS) Yoka.
Kalau malas bermain (dadu dan sebagainya), mungkin mereka minta film apa yang sedang diputar di bioskop terkenal. Lewat RRI, mereka minta Meneer itu. Malam Minggu ini, kita mau nonton film ini. Waktu itu, kata Dicky, kita anak-anak senang kan film-film, seperti film koboi, film perang (Perang Dunia II).
’’Sudah, Meneer bilang,’’OK’’,’’ kata Dicky lagi.
Meneer yang bertugas ini ada juga dari unsur ABRI. Dia langsung kontak saja. Tong langsung antar dari Agent, Angkatan Laut Belanda punya kompleks. Mereka tinggal antar ke sana, malam kita putar. Jadi, murid biar dapat hukuman, tidak pulang juga, tetapi hiburannya cukup. Sudah jam istirahat, kita tidur. Jadi seperti istirahat siang, mau baca-baca buku begini, harus tidur. Mandor harian lewat dan begitu dia kembali dan melihat ada yang tidak ada, nama sudah dicatat. Pura-pura tidur, dia tulis. Itu yang menyebabkan kita dilatih untuk hormat kepada yang senior. Sebab, di satu meja ada yang kelas dua dan tiga. Misalnya kalau ada yang kelas tiga menyuruh kelas dua agar mencuci piring, maka tidak ada jalan lain, yang kelas dua harus ambil dan mencuci piring itu. Kalau yang kelas dua melawan, tetap dihukum.
‘’Jadi rasa hormat kepada yang tua, disiplin, kejujuran, memang lewat pendidikan asrama. Itu banyak manfaatnya diperoleh dalam kehidupan sekarang, sehingga membentuk kita sebagai pribadi yang baik. Menghargai sesama dan menghormati sesama,’’ ujar Dicky yang pernah menjabat Staf Perwakilan Provinsi Irian Jaya di Surabaya tersebut..
Perkelahian sering terjadi juga, seperti iri hati, kecemburuan kelompok, seperti anak-anak Sentani dengan anak-anak Pantai (Abe) atau anak-anak Sentani dengan anak-anak Genyem, Nimboran. Itu biasa terjadi. Tetapi kalau sampai perkelahian, berarti kalau mandor harian sudah tahu dan itu dilaporkan ke direktur, mana yang salah hukumannya memang berat. Harus dikeluarkan dari sekolah. Dan, ada yang dikeluarkan. Langsung gulung tikar dan bungkus bantal, pulang. Kalau tidak dengar berturut-turut sampai tiga kali dan keempat masih berbuat lagi, harus gulung tikar bantal dan OK, selamat jalan, selamat pulang.
Ketika mau libur esoknya, siswa dibekali. Dikasih cornet beef satu kaleng, mentega, kismis, roti dua balok. Itu untuk bekal dalam perjalanan. Kita bawa, kata Dicky, dan sehabis libur, kita datang biasanya terima selimut baru, kelambu baru, baju yang baru lagi.
Dari sistem dan cara makan, cara pengaturan asrama yang demikian, tidak ada anak-anak yang berani dan mau tidak tidur siang. Atau yang berani dan mau membuat hal-hal yang bertentangan dengan aturan internal. Sebab, risikonya harus gulung tikar bantal dan pulang kampung. Seorang murid yang tidak bisa tidur siang, harus berusaha sedapat mungkin agar tidur.
Jadi, jadwal itu ketat. Dengan waktunya sekalian. Dan, itu berpindah dari mandor ke meja yang satu ke meja yang lain. Jadi, meja itu berfungsi juga sebagai regu. Regu kerja yang akan bergantian setiap minggu. Peta lokasi VVS itu sudah digambar rapi. Mulai dari pembersihan jalan, pembersihan rumput, dengan membantu direktur dan guru-guru yang lain di rumah, itu juga sudah langsung dijadwalkan. Tinggal di-rolling begitu.
Buku tidak pernah dibeli. Sekolah tidak pernah dibayar. Buku dalam bahasa Belanda. Ada juga dalam bahasa Indonesia (Melayu), tetapi sedikit. Guru-gurunya orang Belanda, ketika pada zaman Belanda. Guru-guru di VVS Yoka itu juga datang dari Ambon. Biasanya ada dua tiga orang. Pada saat Dicky dan Habel belajar, saatnya Belanda harus tinggalkan Papua (dulu, Irian Barat). Seiiring dengan penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Guru-gurunya kemudian digantikan oleh orang Indonesia sendiri. Seperti waktu itu yang terakhir, Pattiasina dari Ambon. Terus ada Pak Guru Fou, Pak Guru Pattipeme.
Habel sendiri mengakui, kehidupan di Asrama Yoka memang serba terjadwal ketat. Tempat tidur harus rapi. Semuanya harus serba diatur. Mereka yang tamat dari sekolah di Yoka langsung melanjutkan pendidikan ke sekolah guru, atau sekolah pamong praja, dan atau sekolah teknik. Itu tidak dipilih, tetapi sesuai dengan nilai. Habel sendiri yang meraih angka 6-7 harus ke sekolah guru.
Kegiatan lain pun menggunakan komando seperti itu. Mulai dari makan. Duduk di meja makan. Perintah berdoa. Mencicipi makan, dan seterusnya. Jangan pernah coba melanggar aturan baku seperti ini. Jika ada yang mencoba membangkang, mandor sudah siap mencatat. Hadiahnya, sanksi. Biasanya disuruh membersihkan kamar mandi dan WC. Jika tidak, disuruh kerja bakti. Pilihan lain, tidak diberi kesempatan menikmati udara di luar asrama selama hari Minggu. Jalan-jalan ke kota, sekadar reakreasi. Melepaskan diri dari kejenuhan hidup di asrama yang serba ketat dan disiplin.
Sekolah memiliki kebun. Para murid juga belajar bagaimana membuat bedeng. Bagaimana menanam sawi, menanam sayur, tomat, merica, dan semangka. Hasil tanaman itu dibawa ke asrama untuk dimakan sama-sama. Hubungan keluar dengan masyarakat setempat tidak ada. Karena ini kelas internal, jadi aturan yang berlaku memang demikian.
Kalau masalah internal, langsung ditangani oleh internal sekolah. Waktu itu mereka bawa ke Toko Juliana. Jadi, masuk sirop, tindis keluar sirop. Susu keluar susu. Ovaltin keluar ovaltin. Tinggal tindis tombol saja.
Messakh Yaung, 60, termasuk kakak kelas Habel di VVS Yoka. Ketika dia duduk di kelas 3, Habel dan Dicky baru masuk. Tetapi, mereka masih sempat berkomunikasi. Pembangunan pendidikan di Papua sebenarnya bermula dari Yoka ini. Maka tak heran, dari VVS ini banyak alumninya jadi orang di kemudian hari. VVS Yoka ini dikhususkan buat laki-laki, sementara untuk perempuan dipusatkan di Genyem.
Ayah tujuh anak dengan 30 cucu dan baru setahun pensiun dari Diklat Provinsi Papua ini, tinggal di Yoka. Habel dan Dicky termasuk angkatan terakhir VVS Yoka. Sebab, setelah tahun 1965, pendidikan diambilalih oleh pemerintah Indonesia. Yaung tamat dari VVS Yoka tahun 1963, pada tahun Habel mulai belajar di sekolah itu.
Pendidikan di Yoka berlangsung mulai pada pukul 07.30 hingga pukul 13.00. Setelah makan siang dan istirahat (tidur), pada pukul 15.00 bangun tidur untuk kerja bakti yang berlangsung mulai Senin hingga Jumat. Bagi yang tidak bekerja, kena hukuman. Potong rambut pun dibagi ke dalam beberapa kelompok dan dilakukan pada sore hari.
Usai kerja bakti pukul 16.30. Para murid masuk asrama, mandi dan makan pada pukul 17.30. Pada malam hari sekitar pukul 19.00-20.00 mulai belajar lagi selama satu jam. Tidak boleh ada yang tidak belajar. Ada yang melanggar, hukuman sudah menunggu. Berulangkali, dan bosan ditegur, harus gulung tikar dan kembali ke orang tua. Murid tinggal bawa surat tembusan untuk orang tuanya. Dikeluarkan dari sekolah. Tidak ada kompromi.
Pada hari Sabtu malam para murid biasanya rekreasi. Rekreasi tidak lain dari bebas belajar malamn. Semua jenis permainan dikeluarkan. Tempat bermain di ruang makan (kini jadi lapangan bulutangkis). Sekali sebulan diizinkan keluar asrama. Itu pun hanya sehari pada hari Minggu saja. Sore hari sudah harus masuk asrama lagi. Terlambat masuk, kembali mandor mencatat. Sanksi sudah menanti. Pada hari Natal para murid dikasih hadiah pakaian satu orang satu.
’’Senang juga dapat hadiah pakaian, meski tidak baru betul,’’ kenang Habel 45 tahun kemudian di lokasi bekas sekolahnya, gedung-gedung tua yang tinggal kenangan, 13 Maret 2008 sore.
Tamatan VVS tiga tahun ada yang ke sekolah ambtenaar. Teman-teman Dicky masih ada yang hidup, seperti Messakh Yakormelena. Pak Youw Sumilena di Distrik Yokari, pejabat Sekretaris Daerah Kota Jayapura juga alumni VVS Yoka. Menurut Messakh Yaung, VVS Yoka merupakan cikal bakal pendidikan di Papua. Oleh sebab itu, alumninya rata-rata menjadi orang. Sayang, bekas VVS Yoka itu tinggal gedung yang jadi saksi bisu mekarnya pendidikan di Papua, 45 tahun silam. Dia lenyap bersamaan dengan beralihnya Papua ke pangkuan Republik Indonesia. Padahal, sistem pendidikannya dulu sangat bagus. Begitu masuk dalam wilayah RI, seluruh sistem pendidikan Belanda jadi sirna. Kini, puing-puing sistem pendidikan Belanda itu tak berbekas sama sekali. Yang tersisa hanyalah gedung-gedung tua yang jadi saksi bisu. (de@r).
Sabtu, 17 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar