Nyaris Berkursi Roda ke Pesawat
Puasa Ramadan baru seminggu. Saya ke Jakarta dengan maksud langsung ke Bandung, menghadiri ujian promosi doktor salah seorang teman di Universitas Padjadjaran (Unpad). Teman sesama jurnalis beberapa tahun silam. Dia di Harian Fajar, saya di Harian Pedoman Rakyat (alm.). Syarifuddin SG, nama teman akrab saya itu.
Saya berangkat siang dari Makassar. Rencananya, langsung naik kereta sore dari Gambir ke Bandung. Seperti yang biasa saya lakukan beberapa kali ke Bandung. Entah apa yang mengusik, tiba-tiba saja, pikiran saya ragu ke Bandung. Lama juga saya menimbang-nimbang. Pergi-tidak, pergi-tidak. Saya sudah punya ‘standar’ khusus untuk sesuatu yang meragukan seperti ini. Keputusannya, ‘’jangan lakukan, Jika itu meragukan’’. Sudah banyak fakta terjadi. Tiba-tiba saya batalkan sebuah rencana perjalanan, karena tiba-tiba saja saya menjadi ragu di tengah keputusan melakukan sesuatu. Akhirnya, saya putuskan tidak ke Bandung. Plong.
Pagi tanggal 25 Agustus 2009 saya pun menuju Kantor Pak Radi A.Gany di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Jalan Veteran III. Sambil menunggu waktu pulang bersama beliau ke apartemennya di bilangan Kemayoran, saya pun menyelesaikan pekerjaan koreksi naskah bukunya yang bakal diterbitkan.
Usai acara buka puasa, saya bersama Pak Radi dan Ibu Andi Dahlia Radi menunaikan salat tarawih di Masjid Istiqlal. Masjid yang pertama saya tapaki tahun 1990. Sembilan belas tahun silam. Ketika itu, saya mendampingi Prof.Dr.H.Basri Hasanuddin, M.A. (Rektor Unhas ketika itu) yang diundang menjadi pembawa ceramah peringatan Nuzul Quran di depan Presiden Soeharto. Pembaca ayat-ayat suci Alquran ketika itu adalah Sitti Umrah M.Saleh, yang kebetulan terpilih sebagai Qariah terbaik MTQ RRI/TVRI tahun 1990.
Usai Prof.Basri Hasanuddin membawakan acara di Masjid Istiqlal Jakarta, beredar rumor bahwa kehadirannya tampil di depan Presiden Soeharto di masjid terbesar di Asia Tenggara itu, isyarat bakal dilirik duduk dalam kabinet. Hingga Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998, Prof.Basri tak juga duduk di kabinet. Nanti setelah Kiai H.Abdurrahman Wahid menjabat Presiden RI ke-4, barulah Prof.Basri dilantik sebagai Menteri Koordinator Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin).
Sehabis salat tarawih, kami pulang ke apartemen. Saya tidak langsung tidur. Saya masih membuka laptop kecil yang saya bawa untuk mengoreksi naskah buku Pak Radi. Yang punya buku pun begadang dengan membuka laptop di depan meja kerjanya yang dipadati buku yang berjejer. Ketika Pak Radi pergi istirahat, saya masih duduk sendiri melanjutkan kerja mengoreksi naskah. Sekitar pukul 24.00 saya pergi tidur.
Pasca makan sahur, saya dan Pak Radi masih duduk di depan laptop. Secangkir kopi hitam tegak di depan saya. Menjelang, imsak tiba, gelas itu hanya menyisakan sedikit saja isinya. Ketika Pak Radi pergi tidur, saya masih bertahan mengoreksi naskah. Pukul 05.00 WIB, usai menunaikan salat subuh, saya pergi tidur.
Entah apa sebabnya, pagi-pagi itu, saya cepat bangun. Pukul 06.30 sudah terjaga. Padahal, tidurnya saja baru satu setengah jam silam. Saya langsung pergi mandi pagi. Sekitar`pukul 08.30, Pak Radi mengajak saya ke kantornya. Tentu saja ikut, karena saya baru terbang kembali ke Makassar pada pukul 20.30 dengan Garuda.
Seperti biasa, saya tetap menyertakan tas laptop ke mana pun pergi. Tiba di kantor Pak Radi, kesibukan saya terulang lagi. Menempati salah satu kursi dan meja staf Sekretaris Pak Radi, Sari Dewi, saya kembali mengoreksi naskah buku Pak Radi. Tokh tidak ada kerjaan lain. Tidak makan juga.
Ketika lonceng menunjukkan pukul 12.00, saya berniat menunaikan salat lohor. Saat hendak berdiri, tiba-tiba tubuh saya oleng. Saya mencoba duduk kembali dan berusaha tidur duduk. Ketika terjaga, perasaan oleng bukannya hilang, malah kian menjadi-jadi. Saya mencoba kembali tidur duduk di kursi. Lalu bangun lagi, tetap oleng.
‘’Sari, tampaknya hari ini saya tidak bisa menyelesaikan puasa saya. Jika boleh, saya dicarikan coto,’’ pinta saya kepada staf Sekretaris Pak Radi itu.
‘’Kenapa, Pak?,’’ Sari masih berusaha bertanya, untuk meyakinkan dirinya bahwa saya berada`dalam kondisi kurang fit hari itu.
Saya mencoba menunaikan salat lohor. Nyaris saya jatuh saat menuju kamar kecil Pak Radi ketika hendak berwudu. Dengan susah payah juga salat lohor saya tunaikan.
Begitu usai salat, Sari membawa masuk nasi yang sudah dipesan. Ternyata soto. Saya sikat saja, karena berharap dengan masuknya makanan, ketidakseimbangan perasaan dan tubuh saya bakal hilang. Atau setidak-tidaknya berkurang. Saya pun mengontak istri ke Makassar, memberitahu kondisi kesehatan saya. Ini pertama kali dia memperoleh kabar mengenai gangguan kesehatan saya saat melakukan perjalanan. Dia pun selalu mengontrol saya melalui ponsel dari Makassar. Saya tahu persis, dia sangat gelisah. Lalu lintas komunikasi ponsel kami saat itu sangat sering kala itu.
Ternyata, tidak ada perubahan sama sekali. Pak Radi menganjurkan saya agar berbaring saja di sofa, sementara beliau sendiri sibuk menyelesaikan sisa pekerjaannya hari itu. Berbaring di sofa tamu kantor pejabat negara membuat saya tak tenang. Dalam pikiran saya menggelayut bayangan, bagaimana kalau seandainya anggota Wantimpres yang lain tiba-tiba bertamu ke ruang kerja Pak Radi? Kan tidak santun saya tidur di situ, sementara ada tamu, walaupun saya dalam kondisi tidak fit.
Membaca kegundahan dan kegelisahan saya, pada pukul 15.00 Pak Radi mengajak pulang.
‘’OK, mari kita ke apartemen,’’ ajak Pak Radi.
Saya pun berjalan dengan nyaris sempoyongan, tetapi diusahakan dikuat-kuatkan saja. Agar tidak jatuh, saya mendekati dinding. Sari mengantar saya dengan Pak Radi hingga lift. Di lantai bawah begitu keluar dari lift, masalah baru pula bagi saya. Harus mencari dinding baru sebagai tempat sandaran pada saat berjalan. Demikian hingga tiba di apartemen.
Saya pulas sore, setelah menyetel alarm di ponsel pukul 18.00. Pikiran saya bergumul dengan keputusan membatalkan keberangkatan ke Bandung.
‘’Ternyata benar, feeling saya. Pasti ada apa-apa. Bayangkan, kalau saya pergi ke Bandung dan tiba-tiba saya sakit di sana,’’ gumam saya menjelang pulas sore di apartemen pak Radi.
Saya harus ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta paling lambat pukul 19.00. Saya tidak lagi berbuka puasa dan memenuhi ajakan Pak Radi dan Ibu menemani berbuka puasa tanggal 26 Agustus 2009 itu. Masalahnya, saya sudah buka sejak siang hari.
Albez mengantar saya ke bandara dengan menggunakan taksi, karena Aleng, driver Pak Radi, sudah pulang ke rumahnya. Saya pamit dari Pak Radi dan Ibu dengan iringan kata ‘selamat dalam perjalanan’.
Sepanjang perjalanan di taksi, saya berusaha pulas. Tetapi, tetap saja selalu gagal oleh goncangan taksi yang ngebut. Tiba di terminal II F, tempat keberangkatan Garuda Indonesia, saya meninggalkan taksi di bawah pengawalan ‘ketat’ Albez yang membantu membawakan tas laptop saya yang berisi sehelai handuk dan baju.
‘’Mungkin saya ambilkan kursi roda,’’ kata Albez usai melakukan check in tiket di Garuda. Saya langsung setuju. Albez lenyap, saya duduk menunggu di depan counter Garuda.
Albez muncul dengan seorang karyawan Angkasa Pura, yang mendorong kursi roda. Saya lupa nama pria yang baik hati itu.
‘’Pak, saya ini kurang sehat. Boleh saya diantar ke poliklinik bandara?,’’ pinta saya.
Bapak dari Angkasa Pura itu menggiring kursi roda saya ke arah kiri lokasi check in. Albez ikut dari belakang sembari membawa tas laptop saya. Albez tidak ikut masuk ke ruang poliklinik, karena harus melewati counter Bea Cukai. Melihat saya didorong dengan kursi roda, dua orang petugas BC membiarkan saja calon penumpang Garuda Cengkareng-Makassar itu melewati pintunya.
Tiga petugas medis berjaga di poliklinik. Seorang penumpang, tampaknya, juga baru saja berurusan dengan poliklinik, ketika saya tiba. Dia sedang berdiri. Begitu saya muncul, seorang petugas medis setengah umur langsung mempersilakan saya berbaring di sebuah tempat tidur. Tensi (tekanan darah) saya mau diperiksa. Alat yang digunakan bukan tensimeter yang biasa (yang dilengkapi dengan stateskop), melainkan alat tensi digital yang langsung memunculkan indikator tekanan darah seseorang.
‘’Tensinya 175 per 80, Pak. Tinggi sekali, per-nya rendah,’’ katanya kemudian mencari tablet yang akan diberikan kepada saya. Sebiji tablet saya isap, kemudian didorong dengan segelas air mineral.
‘’Kita tunggu sekitar 20 menit,’’ kata petugas medis itu.
‘’Tetapi, Bapak ini mau boarding pukul 20.00, Bu,’’ kata karyawan Angkasa Pura yang mendorong kursi roda yang saya pakai.
‘’Lapor saja dulu ke counter keberangkatan. Ada satu calon penumpang yang sedang dirawat,’’ petugas medis memberitahu.
Karyawan Angkasa Pura itu pun langsung mengontak gerbang keberangkatan. Saya juga plong mendengar pembicaraan mereka. Artinya, kalau sudah boarding, pasti saya akan tahu dan segera didorong ke pintu keberangkatan.
Hasil pemeriksaan tekanan darah saya kedua menunjukkan, tensi saya turun 140 per 80. Masih rendah. Ibu perawat memberi saya sebungkus plastik kecil tablet. Saya tidak tahu apa namanya. Kemungkinan obat maag. Sebab, mereka menduga saya mengalami penyakit maag. Penyakit yang selama ini saya tidak pernah rasakan. Tetapi, kecurigaan saya terhadap penyakit ini memang sah-sah saja. Soalnya, saya sering terlambat makan. Bahkan, sering tidak makan pada siang hari. Saya mengingat makan, lantaran begitu banyak teman yang mengingatkan agar saya tidak lupa makan.
‘’Apa mau diantar dengan kursi roda hingga ke pesawat, Pak,’’ tanya karyawan Angkasa Pura itu lagi.
‘’Mungkin sampai di pintu keberangkatan saja, Pak. Biarlah tas saya diantar hingga ke dekat pesawat. Nanti saya jalan sendiri sambil bertahan di dinding,’’ kata saya.
Penumpang lain sudah masuk, ketika saya turun dari kursi roda di pintu keberangkatan. Karyawan Angkasa Pura mengambil tas yang sudah diserahkan Albez yang tidak bisa lagi lebih jauh masuk ketika gerbang pemeriksaan terakhir petugas detektor menjelang gate keberangkatan Garuda.
Saya memaksakan diri berjalan menentengi tas seberat sekitar 9 kg itu sembari bersandar di dinding garbarata. Semua sandaran saya pegangi ketika langkah melintas hingga ke dalam pesawat. Mulai dari pintu sampai kursi pesawat.
‘’Dok, saya ini sedikit kurang sehat. Kalau terjadi suatu, saya di belakang, Dok,’’ kata saya ketika tampak sosok dr.Rahmat Latif, Sp.PD, yang kini menjabat Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel duduk di kursi nomor 9C.
Dokter ini dulu adalah mahasiswa peserta mata kuliah dasar umum (MKDU) Bahasa Indonesia yang pernah saya ajari. Bersama dia, ada dua lagi temannya. Seorang di antaranya Gabril Taufik, dan seorang lainnya, kalau tidak salah namnya Jayadin. Semuanya sudah jadi dokter.
Ada kisah lucu, menimpa saya dengan teman Rahmat Latif yang bernama Jayadin itu. Ketika Pekan Orientasi Studi Mahasiswa (Posma) Fakultas Kedokteran Unhas, para mahasiswa baru dibimbing secara tertutup. Tidak boleh diintip oleh orang lain. Saat itu para mahasiswa baru lagi dikumpulkan di Aula Fakultas Kedokteran Unhas Kampus Baraya, di sebelah utara lapangan papan catur. Kebetulan ketua panitianya Rahmat Latief. Yang jaga pintu masuk, Jayadin, salah seorang temannya juga.
‘’Saya mau masuk melihat kegiatan Posma Fakultas Kedokteran,’’ kata saya waktu itu kepada Jayadin. Saya kenal baik dia, cuma mungkin dia lupa dengan saya.
‘’Tidak boleh, Pak. Dilarang!,’’ katanya tegas. Hati kecil saya tertawa kecil, karena dia berhadapan dengan mantan dosen Bahasa Indonesia MKDU-nya dulu. Lagipula, saya juga tahu ketua panitianya adalah bekas mahasiswa saya juga. Kali itu saya datang sebagai reporter Penerbitan Kampus Identitas.
‘’Siapa yang larang?,’’ kata saya tegas.
‘’Ketua Panitia, Pak,’’ katanya lagi.
‘’Siapa ketua panitianya. Tolong panggil ke sini. Saya mau bicara,’’ kata saya semakin yakin, kalau ketua panitianya muncul pasti bakal tidak enak hati melarang saya masuk. Dia pergi setelah memberitahu nama ketua panitianya kepada saya.
Begitu muncul, Rahmat Latif langsung mempersilakan saya masuk ke Aula Kedokteran. Jayadin yang melarang saya masuk tadi pun, tersipu-sipu. Tetapi saya tidak memperlihatkan sikap mempermalukannya.
Begitu duduk di kursi nomor 10 C, saya langsung pulas. Ketika pesawat take off pun, saya tidak rasa. Pembantu Rektor II Unhas Dr.dr.Andi Wardihan Sinrang, M.S. yang ternyata sama-sama terbang dengan saya malam itu (setelah beliau sendiri memberitahu) saya tidak sempat lihat. Rupanya beliau masuk pesawat setelah saya pulas.
Saya terbangun begitu pesawat oleng keras, karena roda-rodanya menapak di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Pikiran baru muncul. Bagaimana saya bisa sampai ke tempat kedatangan dengan aman dalam kondisi seperti orang mabuk begini? Harus bawa tas yang berat 9 kg lagi.
Saya berusaha membiarkan penumpang lainnya turun. Seperti waktu boarding, saya berjalan memanfaatkan memegang kursi dan dinding pesawat dan garbarata. Seorang karyawan Angkasa Pura menegur, ketika langkah saya terus berlanjut melewati lorong jalan keluar ke tempat pengambilan bagasi di lantai II Bandara Sultan Hasanuddin. Saya akhirnya selamat hingga ke kendaraan yang dikemudikan istri yang datang menjemput bersama putri saya Yanti. Malam itu, ibu sebenarnya sudah menyiapkan kartu Askes (Asuransi Kesehatan), karena berniat langsung membawa saya ke Unit Gawat Darurat (UGD) RSUP Wahidin Sudirohusodo.
‘’Mau langsung ke UGD?,’’ tanya istri saya ketika mobil Kijang LGX hitam yang kami tumpangi melaju meninggalkan kawasan Bandara Sultan Hasanuddin lewat tengah malam 26 Agustus 2009 itu.
‘’Nggak usah. Biarlah saya istirahat di rumah,’’ balas saya dengan suara tak bersemangat.
Pada tanggal 26 Agustus 2009 malam atau 27 Agustus dinihari, saya tidur pulas begitu tiba di rumah. Tidak makan malam lagi. Perut hanya terisi nasi dan soto yang disajikan Sari di Kantor Pak Radi pada siang hari. Tetapi, saya merasakan pulas sekali.
Seperti biasa, istri membangunkan saya sarapan pagi. Dia menyediakan saya bubur dan telur setengah matang yang sudah diaduk dengan madu asli Bima yang selalu saya konsumsi. Madu dari kampung tidak boleh kosong di rumah. Kalau persediaan sudah mulai menipis, ponsel akan berdering lagi di rumah adik-adik di Bima. Pada kedatangan KM Tilongkabila, kapal yang menghubungkan Bima-Makassar dua kali sebulan, pesanan itu sudah ada ada. Dititip melalui mahasiswa Bima yang ke Makassar.
Usai melahap habis bubur dan telur setengah matang dicampur madu, keringat saya mengalir turun. Dari kepala, keringat bagaikan disiram dengan air. Menetes di bahu dan membasahi tubuh saya tanpa baju pagi hari itu.
‘’Kenapa ki, Pak? Kenapa ki?,’’ pekik istri saya sembari menangis. Dia – sebagai perawat -- tampaknya melihat perubahan muka saya yang tiba-tiba pucat habis disertai keringat mengucur.
‘’Pak…..Pak…., kenapa ki????.’’ Pekiknya lagi dengan keras, hingga Yanti yang biasanya malas bangun pagi melompat ke luar ke meja makan rumah kami yang sumpek dan kecil.
‘’Nggak apa-apa. Nggak…apa-apa. Bawa saya berbaring,’’ kata saya dengan suara setengah dipaksa.
Istri saya dan Yanti memegangi kedua tangan saya, takut kalau terjatuh. Baru dua tiga langkah kaki saya ayunkan, tiba-tiba seluruh yang saya cicipi pagi hari itu muncrat keluar. Saya muntah. Muntahannya berhamburan di atas lampit (tikar rotan) yang kami pesan di Balikpapan beberapa tahun silam melalui kemanakan istri yang menjadi anak buah kapal (ABK) KM Raniya yang khusus mengangkut mobil dan sepeda motor milik PT Hadji Kalla.
Istri saya langsung berteriak membangunkan Heri (Haryadi) yang paling malas bangun pagi.
‘’Heri, bangun!!! Kasih keluar mobil. Bawa bapak ke rumah sakit segera!!!,’’ kata istri saya.
Hari itu, 27 Agustus 2009 pagi. Puasa baru lewat seminggu. Saya masuk UGD RSUP Wahidin Sudirohusodo. Pertolongan yang diberikan adalah memasukkan cairan melalui infus. Tangan kiri saya digelantungi slang cairan infus. Sepanjang pagi hingga sore, saya masih tergeletak di antara deru perawat mendorong kursi pasien yang baru masuk dan raungan sirene nyaris tiap 10 menit yang membawa pasien baru yang dalam kondisi darurat. Melalui cairan infus, obat – yang saya tidak tahu nama dan jenisnya – dimasukkan untuk mengurangi rasa oleng yang saya idap.
Hari itu, kamar rawat inap penuh. Dokter menyarankan istri saya memasukkan saja bergabung dengan beberapa pasien lain di kamar pasien penyakit dalam. Tetapi, istri saya menolak. Istri saya sempat jengkel juga kepada salah seorang dokter, karena menyuruh menandatangani surat keterangan pulang. Istri saya mengatakan, kalau kondisi saya membaik, lebih bagus jika istirahat di rumah, ketimbang di UGD yang hingar binger dan gaduh. Tampaknya, dokter menanggapi salah. Disangkanya, istri saya mau bawa pulang begitu saja suaminya.
Akhirnya, seorang teman istri saya menganjurkan untuk menitip saya bermalam di ruang rawat inap pasien luka bakar. Ruang ini sebenarnya bukan tempat yang nyaman, Hanya mengurangi sedikit suara gaduh perawat dan pembesuk yang lalu lalang saja. Daripada terusik tak bias tidur, mendingan ‘’disembunyikan’’ di kamar rawat inap pasien luka bakar. Mumpung juga ada yang kosong. Belakangan, ada juga dokter yang menganjurkan agar segera meninggalkan kamar ini. Istri saya menjawab, ini hanya sementara, sambil menunggu ada kamar kosong.
Semalaman (27 Agustus hingga 28 Agustus pagi) saya tidak bias istirahat dengan benar. Seorang pasien luka bakar – satu-satunya yang dirawat—terus menjerit kesakitan dengan suara memilukan saat dokter mencoba member bantuan pengobatan. Kamar pasien luka bakar ini sempitnya luar biasa. Bayangkan saja, tempat tidur dorong, dengan susah payah lewat saat dimasukkan.
Hari menjelang siang, saya akhirnya dipindahkan ke kamar di bagian belakang rumah sakit tipe A itu. Kamar itu berdekatan dengan tempat saya dirawat tahun 2004. Di sini sedikit tenang, meski tetap saja terusik oleh pembesuk pasien penyakit dalam di dekat saya. Seorang mahasiswa tahun terakhir di Fakultas Hukum Unhas yang mengalami paru-paru basah. Dia mengalami gangguan kesehatan itu, karena suka mandi malam sepulangnya dari latihan karate. Dia anak yatim. Ayahnya, seorang karyawan Kopertis IX. Saya kenal ayahnya, karena ketika hidup saya sering ke kantornya meliput berita. Dia meninggal dalam usia sebelum tiba saatnya pensiun.
Setelah seminggu dirawat, saya akhirnya dibolehkan pulang. Tetapi rasa oleng, agaknya belum hilang benar. Saya masih memerlukan bersandar pada sesuatu jika akan berjalan sendiri ke kamar mandi. Saya akhirnya memutuskan istirahat di rumah beberapa hari. Tidak tahan juga nongkrong di rumah terus, akhirnya tepat hari Senin berikutnya (setelah meninggalkan rumah sakit pada hari Jumat), saya mencoba masuk kerja. Baru melangkah naik ke lantai dasar gedung rektorat, perasaan oleng mulai mengganggu saya. Nyaris saya terjengkang ke belakang, seandainya tidak cepat bersandar di tembok.
‘’Mengapa cepat masuk kerja?,’’ tanya salah seorang teman.
‘’Mau tes lapangan saja,’’jawab saya seadanya.
‘’Vertigo ko itu. Kalau jalan seperti orang mabuk,’’ kata Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi, Rektor Unhas, ketika saya masuk melapor sudah masuk kerja.
Mendengar penjelasan Prof.Idrus, saya teringat Asdar Muis RMS. Dia termasuk penderkita vertigo berat. Saya mengontak dia. Asdar menjelaskan, kini vertigonya sudah hilang setelah berobat pada dr.David G.Umbas. Tempat praktiknya di Jl.Dr.Ratulangi, tepat di depan bekas gedung Bioskop Twenty One.
Saya pun mengajak istri ke sana,. Setelah janjian dengan dr.David beberapa hari sebelumnya.
‘’Dia kenal ja ki itu,’’ kata Asdar`meyakinkan saya bahwa pasti juga mengenal dokter syaraf tersebut.
Benar juga, ternyata dokter itu pernah sama-sama dengan saya dalam suatu kepanitiaan di Unhas. Saya lupa panitia apa namanya. Sekitar satu jam saya menunggu. Ketika saya kontak melalui ponsel, dr.David memberitahu dia terjebak macet. Saat itu, Makassar lagi demam macet.
Saya berada pada antrian ke-8. Lama juga menunggu, pikir saya. Baru dua orang dilayani dokter, tiba-tiba perawat perempuan nongol di pintu dan menyebut nama saya.
‘’Pak Dahlan nomor antrian 8, tetapi potong kompas menjadi urutan ke-3,’’ kata dr.David mengawali konsultasi.
‘’Terima kasih, Dok,’’ sahut saya pelan, kemudian menjelaskan kronologis penyakit yang pertama kalinya saya alami itu.
‘’Silakan baring,’’ kata dr.David usai mendengar penjelasan.
Begitu saya baring, dia ‘menangkap’’ kepala saya, lalu memelintirnya ke kanan.
‘’Pusing????,’’ tanya pendek.
‘’Tidak, Dok!,’’ jawab saya diikuti tangannya kembali ‘’menangkap’’ kepala saya dan memelintirnya ke kiri.
‘’Pusing???,’’ tanyanya lagi.
‘’’Tidak, Dok!,’’ sahut saya lagi, kemudian langsung menarik kepala saya hingga tubuh dalam posisi duduk.
‘’Pusing????,’’ tanya dia lagi. Saya kembali menjawab ‘’tidak!!’’.
Dia membaringkan saya, kemudian memasang sesuatu di leher saya. Membiarkan kepala saya sedikit bergantung beberapa saat.
‘’Okey, sudah!,’’ katanya memerintahkan saya bangun. Perasaan saya seperti ringan sekali.
‘’Konsultasinya gratis buat Pak Dahlan. Nanti Pak Dahlan bayar biaya administrasi saja di bawah,’’ katanya, kemudian saya mohon diri.
Dokter David sebenarnya ingin menahan saya agar mendengar sejumlah uneg-uneg-nya. Tetapi, saya menyadari, banyak pasien menunggu.
‘’Saya mohon diri dulu, Dok. Banyak pasien Dokter menunggu di luar,’’ ujar saya sembari menyambar tangannya.
Saya membayar biaya administrasi dengan sedikit pertanyaan.
‘’Tidak ada resep, Mbak?,’’ tanya saya ketika menyerahkan sejumlah uang biaya administrasi.
‘’Oh, tidak ada, Pak,’’ jawab petugas sekretariat Medical Centre itu sebelum saya pamit dari hadapannya dengan segumpal pertanyaan yang tak terjawab.
Dalam perjalanan pulang melintasi Jl.Nusantara (karena akan melalui jalan tol guna menghindari kemacetan Jl.Masjid Raya dan Urip Sumohardjo), saya mengontak Asdar. Menanyakan, apakah dulu pernah diberi resep oleh dr.David atau tidak. Asdar menjawab, pernah dan dia melahap beberapa jenis obat hingga vertigonya lenyap.
‘’Lho, saya tidak dikasih resep, Dar?,’’ kata saya bernada heran.
‘’Masa’. Mungkin vertigonya tidak parah-parah amat,’’ jawab Asdar.
Ternyata setelah kepala saya diplintir dr.David, penyakit vertigo saya memang hilang. Mungkin begitulah cara dokter syaraf menjinakkan penyakit vertigo yang saya alami. Terima kasih dr.David!
Apartemen Kemayoran, Jakarta, 25 Oktober 2009.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar