Sabtu, 17 Oktober 2009

Menengok' Makassar dari Bandar Seri Begawan Catatan M.Dahlan Abubakar Dari Brunei Darussalam

Selama tiga hari, antara 28 s.d. 30 November 2008, di ibu kota Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, berlangsung BIMP EAGA Friendship Games VI. Dalam 'pesta sukan' tiga hari itu, dipertandingkan tujuh cabang olahraga. Saya tidak ingin berbicara mengenai olahraga secara 'ansich' dalam wacana ini, tetapi sedikit mencoba menggambarkan betapa pembangunan fasilitas olahraga dan situasi kehidupan keseharian di negara dengan penduduk sekitar 380 ribu lebih orang tersebut berlangsung.
Bandar Seri Begawan adalah ibu kota negara, sementara Makassar adalah ibu kota provinsi. Dalam hal populasi penduduk, luas wilayah, jelas Makassar jauh lebih unggul. ''Keunggulan'' yang lain, kehidupan masyarakat yang sangat tidak tertib pun kita miliki. Makassar jauh lebih luas dibandingkan Kota Bandar Seri Begawan.
Meskipun prestasi olahraga Brunei Darussalam di kawasan ASEAN saja, tidak bagus-bagus amat, namun negara ini cukup berbangga mampu menyediakan fasilitas olahraga yang sangat memadai bagi penduduknya. Tentu kiya tidak bisa tiru. Pemeliharaan fasilitas olahraganya juga luar biasa. Fasilitas olahraga hampir ditemukan di setiap jengkal tanah lapang. Yang lebih hebat lagi, fasilitas olahraga maupun perumahan berada di tengah-tengah hutan yang asri dan terjaga. Sepintas lalu, bahkan mungkin memang seperti itu, Brunei Darussalam justru dibangun di tengah kawasan hutan di bagian utara barat daya Pulau Borneo. Jalan-jalan kota menawarkan pemandangan hutan yang sangat elok. Hutannya benar-benar menjadi paru-paru kota.

Sebelum ke Brunei Darussalam, kekhawatiran yang muncul dalam benak saya adalah kesulitan angkutan umum. Masalahnya, penduduknya tidak memerlukan angkutan umum, karena rata-rata penduduk memiliki mobil pribadi. Seorang pejabat Brunei, Mohd.Kamransah bin Hj Lamat yang bekerja di Jabatan Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, pernah mengantar saya ke Stadion Nasional Hassanal Bolkiah menunggang mobil pribadi merek 'Ford' dengan harga lebih dari satu milyar rupiah. Kamransah juga bertindak sebagai Manajemen Tim ''Majra Football Club'', sebuah kesebelasan di Kota Bandar Seri Begawan.

Brunei Darussalam, meski wilayahnya tak begitu luas, hanya 576 km2, tetapi negara Hassanal Bolkiah itu boleh bangga. Negara ini ogah menerima Ringgit Malaysia sebagai alat pembayaran, meskipun bertetangga dengan negara bagian Malaysia, Labuan dan Sabah di sebelah utaranya. Nilai kurs dollar Brunei jauh lebih tinggi ketimbang Ringgit Malaysia. Kurs Brunei dijual pada kisaran Rp 8.000 per dollar Brunei. Sementara 1 Ringgit Malaysia dijual pada kisaran Rp 3.500. Selain itu, harga barang di Malaysia lebih murah ketimbang di Brunei. Fotocopy untuk selembar saja dikenakan 25 sen, berarti sekitar Rp 2.000. Ini gila. Di Indonesia fotocopy hanya 100 atau 150 perak per lembar.
Yang lucu, harga bahan minyak malah justru lebih mahal di Brunei. Padahal, negara ini kaya minyak. Bahan bakar sejenis premium harganya $ 1,2. Hitung saja, berarti Rp 9.600 per liter (dengan kurs Rp 8.000/dollar Brunei). Bayangkan dengan di Indonesia yang Rp 6.500 dan bakal turun lagi menjadi Rp 6.000 per liter pada tanggal 1 Desember 2008. Tidak heran kalau Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengatakan bahwa harga BBM premium di Indonesia termurah di ASEAN. Harga itu pun dan yang kini diturunkan menjadi Rp 6.000, malah didesak turun lagi oleh beberapa gelintir mahasiswa yang berdemo di Makassar
.
Masalah lain yang selalu menjadi bahan decak kagum kami (kontingen Sulsel) di Brunei Darussalam adalah tata tertib berlalu lintas. Kita nyaris tak menemukan polisi lalu lintas di jalan. Juga sedikit, dan nyaris tidak ada sepeda motor yang lalu lalang. Sepeda motor yang ada justru ukuran besar. Untuk urusan Formula3, menurut istilah Mirdan, salah seorang dosen UNM.

Saya menemukan banyak polis, ketika terjadi satu 'accident' (kecelakaan lalu lintas) pada sebuah persimpangan jalan. Di setiap pertigaan selalu ada kalimat ''beri laluan'', maksudnya dahulukan yang berjalan lurus. Meskipun jarak kendaraan yang mau memotong jalan itu masih tiga ratus meter, namun yang bergerak lurus selalu diberi kesempatan dulu. Begitu pun dengan pejalan kaki. Tentu saja, di Brunei, pengemudinya sudah terdidik, sehingga pantas menunggang mobil mewah. Kalau di Makassar, mobilnya mewah, tetapi masih suka buka kaca mobil lalu membuang sampah di jalan raya. Dia hanya takut, kalau kebetulan sedang mengantar orang yang dia segani, macam majikan.
Kita tentu sulit meniru Brunei, tetapi setidak-tidaknya ada yang bisa dipelajari. Misalnya, tertib berlalu lintas, kebersihan, dan urusan lingkungan hidup. Di Makassar, hutan sebagai paru-paru kota hanya terdapat di Unhas dan Kantor Gubernur Sulsel. Yang lain juga ada hutan, tetapi ''hutan gedung''.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar