Sabtu, 17 Oktober 2009

Rahman Pina, Anda Tak Sendiri Oleh M.Dahlan Abubakar Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas

‘Rahman Pina Sebatangkara di DPRD Makassar’’. Demikian judul tulisan AS Kambie, di halaman 3 Harian Tribun Timur, Selasa (29/9). Kalau dilihat dari substansi jumlah anggota Dewan Kota Makassar, judul itu benar-benar membuat kita ’miris’ dan ’prihatin’. Begitu sedikit anggota Dewan yang memiliki prinsip seperti Rahman Pina.
Kasus ini muncul, karena Rahman Pina menolak para anggota Dewan harus ’menuntut ilmu’ berupa pelatihan di Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Seperti dimuat media, kontroversi pandangan Rahman Pina dengan anggota Dewan yang lain telah memicu terjadinya ’disharmoni’ internal oknum di anggota Partai Golkar.
Saya tidak bermaksud membela siapa-siapa, tetapi – meski terlambat -- hanya ingin urun rembuk dan mengemukakan pandangan seputar pelaksanaan pelatihan di Jakarta yang membuat 49 orang anggota Dewan Kota Makassar harus meninggalkan Rahman Pina sebatangkara.
Pelatihan seperti ini sangat penting memang. Para anggota Dewan perlu diinjeksi ’ilmu’ mengenai kelegistasian dalam mengemban tugasnya lima tahun ke depan. Apalagi, banyak di antara mereka adalah muka-muka baru yang harus mulai ’belajar’ dari awal agar pelaksanaan tugasnya ke depan dapat berjalan lancar. Dengan pelatihan seperti ini, mereka akan memperoleh berbagai ’resep’ (kalau dapat dikatakan seperti itu, meski tidak atau belum tentu akan menjadi semacam ’obat’ untuk menyelesaikan masalah) yang digunakan dalam melaksanakan amanah rakyat ke depan.
Namun demikian, dalam melihat kegiatan ini kita harus mempertimbangkan dari berbagai aspek. Pertama, -- sebagaimana diwacanakan Rahman Pina – adalah aspek efisiensi, khususnya berkaitan dengan masalah dana. Dana Rp 416 juta yang digunakan untuk ’menyekolahkan’ 49 orang anggota Dewan bukan dana yang sedikit, di tengah pemerintah saat ini selalu harus efisien menggunakan dana. Saya setuju dengan pandangan Rahman Pina bahwa mendatangkan pembicara dari Jakarta (jika memang yang memiliki kompetensi seperti itu tidak ada di Makassar) jauh lebih efisien ketimbang 49 orang anggota Dewan harus ’boyongan’ ke Jakarta. Banyak hal yang bisa diirit jika pilihan ini yang dapat dijadikan acuan.
Kedua, kita dapat memberdayakan sumber daya manusia lokal yang tentu saja saya yakin tidak kalah dengan kualitas dan kompetensinya dengan yang dari Jakarta. Kita terlalu lama ditanami stigma bahwa mereka yang dari Jakarta itu selalu mampu melihat segala persoalan bangsa. Saya kira tidak selamanya. Soal pembangunan daerah, Makassar pernah menjadi tujuan sejumlah aparatur pemerintah di Indonesia sebagai lokasi pelatihan, ketika Pusat Studi Kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PSKMP) Universitas Hasanuddin melaksanakan berbagai program pelatihan tenaga-tenaga perencana pembangunan/birokrat pemerintah. Ketika jaya-jayanya (tidak bermaksud menyebut sekarang tidak jaya lagi) PSKMP Unhas, peserta pelatihan tidak saja datang dari Kawasan Timur Indonesia yang sudah menjadi kawasan basisnya, tetapi juga ada peserta dari Kawasan Barat Indonesia. Misalnya saja, ada peserta dari Aceh dan Jakarta serta beberapa daerah lainnya di Sumatera dan Jawa. Mestinya, peserta dari kedua daerah itu cukup mengikuti pelatihan serupa di Jakarta yang selama ini menjadi kiblat berbagai pelatihan, termasuk yang dikiblati oleh 49 anggota Dewan Kota Makassar. Tetapi, Makassar bisa tonji.
Saya yakin, sumber daya manusia kita di Makassar tidak kalah dengan yang ada di Jakarta. Kita memiliki banyak pakar di Unhas, UNM, UIN, LAN, dan beberapa perguruan tinggi swasta seperti UMI, Universitas Islam Muhammadiyah, Unismuh, dan sebagainya. Kepakaran mereka juga variatif. Kita tinggal pilih. Pelaksanaan pelatihan di luar Makassar, saya khawatir bisa saja menggiring opini publik kepada adanya anggapan bahwa tenaga sumber daya manusia kita dalam bidang politik dan pemerintahan tidak cukup kapabel. Di Makassar, kita dapat merekrut mereka yang pernah menjadi birokrat dan kini kembali ke kampus misalnya. Para mantan anggota Dewan dan pakar-pakar yang lain, bisa menjadi ’guru’ yang baik bagi para anggota Dewan. Mereka sudah memiliki pengalaman empirik di lapangan yang tentu saja diimbangi oleh kemampuan teoretis yang dimilikinya. Terasa aneh, orang Jakarta malah banyak minta orang lokal/daerah untuk berbicara mengenai daerahnya di Jakarta, sementara anggota Dewan Kota Makassar malah ’menyerahkan diri’ untuk diceramahi oleh orang Jakarta. Mengapa kita tidak memanfaatkan sumber daya manusia kita sendiri – yang juga bertahun-tahun berguru di Jakarta dan luar negeri sekalipun – untuk membekali para wakil rakyat kita?
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan melihat persoalan secara spesifik lokal Makassar, Sulawesi Selatan. Saya yakin, ketika para pembicara merupakan orang-orang birokrat di Jakarta yang menjadi ’guru’ dan ’dosen’ para anggota Dewan Kota Makassar, mampukah mereka melihat persoalan-persoalan spesifik di lokal Sulawesi Selatan dan Makassar khususnya? Kita mestinya harus sadar. Kasus masa lalu tidak terulang lagi. Mengapa pembangunan bangsa dan negara yang sudah berusia 64 tahun merdeka ini ini tetap berjalan pincang? Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia selalu dikeluhkan bagai dianaktirikan. Jawabannya hanya satu, semua masalah di tanah air yang maha luas ini selalu diplot dari ibu kota negara melalui sebuah grand scenario (skenario besar) yang harus diberlakukan dan diterima oleh seluruh daerah dengan latar belakang aspek yang sangat heterogen dan beragam. Baik itu menyangkut aspek geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keamanan. Mustahil skenario yang dipikirkan dari sebuah hotel berbintang di dan oleh orang Jakarta harus diterapkan di daerah-daerah tertinggal macam di Sulawesi hingga Papua yang sama sekali kurang mereka pahami permasalahannya.
Keempat, perlu juga kita pikirkan aspek rasa kepentingan masyarakat. Maksud saya, setidak-tidaknya para anggota Dewan dapat menyelami perasaan rakyat yang sudah memberi kepercayaan kepada mereka dengan mau ’berhidup’ efisien dan ekonomis. Dengan biaya Rp 8,5 juta per kepala untuk akomodasi, transportasi, dan kebutuhan lainnya, jika dilaksanakan di Makassar bisa jauh banyak dana yang bisa diirit. Di Makassar fasilitas hotel sangat memadai. Tenaga sumber daya manusia pun tidak kalah. Mestinya, para wakil rakyat kita lebih memiliki kepekaan untuk memahami riak-riak rasa rakyat yang memilihnya. Belum duduk di kursi panas, rakyat sudah lebih awal dipertontonkan bagaimana wakil-wakil mereka mulai melakukan kegiatan yang bersifat rekreatif dan sebenarnya bisa dilakukan di daerah sendiri.
Kelima, tanpa bermaksud berpretensi macam-macam, jangan sampai ’pelatihan’ semacam ini tidak lebih dari sebuah ’proyek proposal’ pihak tertentu yang harus ngotot dan tidak boleh tidak dilakukan. Saya menangkap ada aroma eksternal yang tertitip melalui pelatihan ini. Perkiraan saya ini boleh benar boleh salah. Saya kembalikan kepada nurani para anggota Dewan Kota Makassar sendiri. Sebab, saya tangkap, apa yang dikemukakan Rahman Pina sebenarnya sangat masuk akal dan wajar-wajar saja. Tidak ada hal yang utopis. Anggota Dewan yang disebut-sebut ala Obama itu, hanya ingin memberi imej (image) agar anggota Dewan Kota Makassar tidak mengkedepankan kepentingan dirinya sendiri. Saya tidak menafikan, pelatihan seperti ini lebih banyak bersifat rekreatif.
Dari rangkaian pengalaman masa lalu, sudah waktunya para anggota Dewan kita mengoreksi diri. Mencoba belajar dari berbagai kerikil masa lalu yang sering menjadi sorotan rakyat. Katakanlah, studi banding versi anggota Dewan. Sebab, rata-rata hasil studi banding tidak pernah ’dilaporkan’ kepada rakyat melalui media. Apa sebenarnya yang dipetik dari studi banding. Lokasi studi banding pun harus dianalisis secara cermat relevansinya. Mungkinkah hasil studi banding itu dapat diterapkan di daerah sendiri?
Saya sangat salut dengan banyaknya pihak yang melakukan studi banding ke Kabupaten Jayapura Papua. Orang tentu akan bertanya memang, mengapa harus jauh-jauh melakukan studi banding ke daerah Papua yang selama ini selalu dikaitkan dengan potret keterbelakangan? Di Kabupaten Jayapura orang bisa belajar. Bagaimana seorang Habel Melkias Suwae, Bupati Jayapura dua periode, berani menyerahkan dana Rp 1 milyar ke masing-masing distrik (kecamatan)-nya per tahun. Harapannya, rakyat distrik yang akan memikirkan apa kebutuhannya sendiri dengan memanfaatkan dana yang ada untuk membangun daerahnya secara masuk akal dengan pengawasan komprehensif. Saya yakin, anggota DPRD di Sulsel belum pernah ke sana, sementara dari Sumatera Barat dan lainnya sudah lebih dulu bertandang.
Akhirnya, buat adinda Rahman Pina, tidak perlu gusar dan gelisah. Anda memang sebatangkara tidak ke Jakarta, tetapi prinsip yang dipegang telah membuat adinda tidak seorang diri. Rakyat tentu akan banyak sependapat dan seprinsip dengan adinda.

Dimuat di Harian Tribun Timur, Makassar, 30 September 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar