Di Pusat Perfilman Umar Ismail, 23 Juni 2009, M.Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan peranannya dalam perdamaian di Ambon ( Kompas 24/6). Dalam orasi singkatnya, dia mengatakan, selain dia -- dalam kapasitas Menko Kesra --, juga hadir Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang didampingi Kapolri Jenderal Da’I Bachtiar, Kasum TNI Letjen Djamari Chaniago, Asop Kasum TNI Mayjen Adam Damiri, dan Manyjen Syafri Syamsuddin. Ketika SBY memutuskan kembali ke via Ternate, Jakarta, JK didampingi Dr.Hamid Awaluddin, dan dr.Farid Husain memilih tetap tinggal di Kota Ambon yang kala itu masih ‘mendidih’. Kota Ambon sudah dikapling berdasarkan komunitas dengan latar belakang dendam yang membara.
Saya hadir pada acara di Pusat Perfilman Umar Ismail itu, karena salah satu buku yang dibahas di pertemuan itu, Dendam Konflik Poso yang ditulis Dr.Hasrullah, M.A., dosen Fisip Universitas Hasanuddin dan diterbitkan Penerbit Gramedia, penyuntingannya dari disertasi menjadi buku dipercayakan kepada saya. Tetapi bukan karena acara launching buku itu yang menarik saya mengomentari keterlibatan JK ini, melainkan karena saya termasuk salah seorang wartawan yang ikut memilih tinggal di Kota Ambon pada tahun 26 Januari 2002 itu bersama JK, Hamid Awaluddin, dan Farid Husain.
Sebagai seorang wartawan (Pedoman Rakyat Makassar yang sudah almarhum), bersama salah seorang wartawan lain ketika di Ambon memiliki ruang gerak sangat terbatas. Jelas kami tidak bisa leluasa di tengah suasana kota yang masih menerapkan jam malam. Saya mengambil jalan aman saja. Setelah pertemuan antara para pihak yang bertikai dengan JK, SBY, Kapolri, dan Pemprov Maluku dan berlangsung sangat alot dan ’panas’ di kediaman Gubernur Maluku pada siang hari, saya bersama bersama teman wartawan Fajar, menuju ke depan Masjid Al Fatah untuk mengirim berita melalui kantor redaksi Harian Ambon Ekspres.
Ternyata ketika kami pergi mengirim berita ke Makassar, JK, Hamid Awaluddin, dan Farid Husain bergerak memasuki pemukiman nonmuslim di salah satu bagian kota Ambon tanpa mobil dan personel pengawal bersenjata sama sekali. Setahu saya, JK, Hamid Awaluddin dan Farid Husain tidak memiliki pengawal khusus dalam lawatan itu. Soalnya, beliau bukan menteri yang menangani masalah keamanan dan pertahanan. Kalau sebagai menteri koordinator tentu hanya ada ajudannya, Yogi yang anggota Polri membawa sepucuk pistol.
Mengapa JK berani menerobos barikade dan masuk ke daerah konflik dengan menolak disertai pengawal? Dari segi keamanan, seorang menteri memasuki daerah yang masih berkobar dalam dendam konflik adalah tabu. Tidak boleh ada pejabat negara tanpa pengawalan ke mana pun dia pergi, apalagi ke daerah konflik.
Secara berkelakar, JK selalu mengatakan,’’Saya punya kegiatan bisnis juga di Ambon, jadi mereka kenal saya. Dan, tidak mungkin orang Ambon membunuh saya’’.
’’Kalau bawa pengawal, nanti dibilang penakut,’’ JK mengungkapkan kembali alasannya dalam pertemuan di Gedung Perfilman Usmar Ismail dua hari lalu itu. Tetapi tidak hanya itu, JK selalu melakukan sesuatu dengan keyakinan tinggi, tanpa ragu-ragu, menghadapi orang yang sedang marah dan memanggul senjata sekalipun.
Hamid Awaluddin pada bagian tulisannya ’Meluncur Tanpa Mobil Pengawal’’ di buku ’’Perdamaian Ala JK, Poso Tenang, Ambon Damai’’ yang diterbitkan Grasindo (2009) menulis panjang mengenai langkah nekat JK ini.
’’Tak dinyana, JK tiba-tiba minta dipinjami mobil karena ingin ke kawasan yang diklaim masing-masing pihak yang bertikai sebagai jurisdiksinya. Gubernur Saleh Latuconsina panik sekali mendengar keinginan JK tersebut. Gubernur Latuconsina mendesak saya agar meyakinkan JK supaya tidak ke kawasan yang diinginkan.
’’Rencana beliau sebisa mungkin ditunda dulu, Pak Hamid. Saya sendiri sulit membayangkan apa yang bakal terjadi di sana. Tempat itu masih sangat panas dan tidak bisa ditebak. Jalan menuju ke sana saja masih rawan, apalagi lokasi itu. Di jalan menuju tempat itu ‘kan setiap hari masih ada penembakan. Bagaimana mungkin saya membiarkan Pak Menteri ke sana. Tolonglah Pak Hamid agar Pak Menteri tidak ke sana,’’ pinta Gubernur Latuconsina penuh iba di kediamannya.
Tidak ada yang mampu mengubah pikiran, tak ada yang kuasa menahan kehendak JK. Ia tetap ingin ke sana. Saya sendiri sudah pernah menyampaikan saran Gubernur Latuconsina kepada JK karena malam sebelumnya, JK sudah memberitahu saya tentang keinginannya itu. Lagipula, saya tahu watak JK yang sulit diubah jika ia yakin apa yang hendak dilakukannya itu benar.
Suasana pun kian panik. Pihak keamanan akhirnya terpaksa mengikuti keputusan JK. Namun, ada syaratnya. JK harus diiringi oleh sejumlah mobil pengawal dengan tim keamanan untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Gubernur pun setuju ide itu. Lagi-lagi, ide tersebut kandas di tangan JK.
’’Tidak perlu ada mobil pengawal dan tim keamanan. Negeri ini aman, kok,’’ kata JK.
Pihak keamanan ternyata tak kehabisan akal juga. Mereka mundur untuk tidak menyiapkan mobil pengawal dan pasukan pengamanan buat JK. Tetapi, mereka menyiapkan penembak mahir yang disebar secara diam-diam. Untuk itu, sebelum JK berangkat, para penembak mahir tersebut diterjunkan lebih dahulu ke lapangan.
Mendengar ide ini, JK sekali lagi, menolak.
’’Saya sudah bilang, saya ini wakil pemerintah yang harus menjamin keamanan dan rasa aman setiap warga di Ambon ini. Saya harus memberi contoh bahwa saya berjalan tanpa pengawal dan penembak mahir ke mana pun, dan itu aman. Bagaimana mungkin Anda mengatakan bisa mengamankan Ambon kalau Anda sendiri belum apa-apa sudah merasa tidak aman. Pengawalan dan pasukan keamanan adalah tanda tidak amannya kota ini. Ini yang membuat orang takut dan trauma. Ini semua yang membuat rakyat selalu merasa tertekan. Kita jalan tanpa itu semua,’’ tegas JK.
Akhirnya memang, dua mobil kijang meluncur tanpa iringan kendaraan lain. JK disertai Mayjen Polisi Simatupang, saya, dr.Farid Husain, dan ajudan JK. Tampak sekali ketegangan di rumah dinas Gubernur siang itu, saat mengiringi kepergian kami. Semua mata memandang ke JK dan mobil yang hendak dipakai. Semua mengiringi kepergian JK dengan harap-harap cemas. Kelihatan semua pasukan keamanan yang mengitari rumah Gubernur siang itu, diinstruksikan agar tetap siaga, kendati tidak harus mengiringi kepergian JK.
Sebelum berangkat, JK bertanya pada ajudannya.
’’Yogi kamu bawa senjata, ’kan? Ada berapa pelormu di dalam?’’.
Spontan Yogi yang dari kepolisian itu menjawab.
‘’Ada pistol, Pak. Saya punya lima butir peluru,’’ katanya.
‘’Ya, itu cukup mengamankan kita kalau ada apa-apa,’’ jawab JK.
Mendengar JK berkata begitu, Mayor Jenderal Pol.Simatupang menambahkan.
’’Saya juga membawa pistol dengan peluru, Pak’’.
’’Nah, apalagi ini. Jauh dari cukup untuk men gamankan kita semua,’’ tambah JK.
Di atas mobil, terus terang, saya berpikir tentang keselamatan saya kalau sesuatu terjadi. Berbagai pikiran kelabu datang di benak saya. Semuanya bermuara pada bayangan tentang sesuatu yang bisa saja terjadi dan menyangkut keselamatan kami dalam perjalanan.
Ketika tiba di masjid, JK mencoba menggoda saya.
’’Hamid, kamu jangan takut. Ada dua orang yang bawa pistol. Sebelum ada yang menembak kamu, lebih dulu ini dua polisi menembak kepala mereka. Ini polisi terlatih dan terdidik untuk menembak, sementara mereka amat amatiran. Sudahlah, bismillah kita akan aman,’’ kata JK meyakinkan.
Singkat kisah, JK dan rombongan tiba di kediaman Uskup Mandagi yang amat disegani dan memiliki pengaruh serta wibawa di kalangan Kristen. Ternyata sang Uskup sedang tidur siang. Para petugas di kediaman Uskup geger Menko Kesra datang. JK membiarkan Uskup tak diganggu dan membiarkan dirinya menunggu sembari mengobrol dengan teman-teman rombongan.
Mereka yang di sekitar kediaman Uskup merasa memperoleh berkah ditandangi Menko Kesra. Mereka juga mengatakan, tidak ada orang yang akan mengganggu JK di tempatnya. Kalau ada yang ganggu, ’kan kita tidak akan damai nantinya,’’ sahut mereka.
Pertemuan tersebut ternyata sangat menyejukkan. Uskup sendiri merasa senang dan tidak menyangka JK mau mendatangi kediamannya. JK juga minta Uskup mendorong terciptanya perdamaian di Ambon.
Lepas dari Uskup, JK dan rombongan kecilnya ke Masjid Taqwa (Al Fatah?), pusat komunitas muslim. Di masjid ini sudah menunggu Kiai Haji Wahab. Ratusan orang menyemut menyambut JK yang kemudian membawanya masuk ke masjid. Kunjungan JK ke Uskup agaknya sudah tersebar luas juga. Mereka pun heran kok JK berani masuk ke sana.
’’Ini semua karena Allah,’’ kata JK.
Usai salat, JK langsung ke sebuah ruangan di samping masjid, bertemu para tokoh Islam. Tujuannya sama dengan yang di Uskup, mendorong umat mau melakukan dialog dengan komunitas Kristen. Ternyata mereka menyambut dengan antusias.
’’Amiin..,’’ sambut mereka, sampai ada yang tiba-tiba bertakbir ’’Allah akbar, Allah akbar’’.
Ternyata keasyikan saya dan teman mengirim berita tersebut bermasalah. Kami tidak boleh lagi tembus ke kediaman Gubernur Maluku, tempat kami menginap bersama JK, karena sudah masuk jam malam. Memang sempat terjadi dialog antara saya dengan teman-teman wartawan Ambon Ekspres. Mereka menjawab, daerah yang dilalui sudah berada di kawasan kelompok lain. Apalagi, kami adalah pendatang dan bukan dari kelompok mereka.
’’Lantas apa solusinya?,’’ tanya saya mulai gusar, takut dicari JK dan Farid Husain. Sebab, kalau hilang dan HP kami tidak dapat dihubungi bisa-bisa dianggap hilang.
’’Solusinya hanya satu,’’ kata kawan itu.
’’Apa itu?,’’ sergap saya ingin tahu.
’’Tunggu sampai pagi!,’’.
’’Ha..., jadi kami harus bermalam?,’’ sahut saya yang belum juga reda kagetnya.
’’Ya. Tidak ada jalan lain. Bisa juga, kalau ada mobil pengawal khusus yang datang menjemput,’’ katanya lagi.
Saya berpikir, bermalam, jelas membuat gelisah JK dan Farid Husain, karena dalam beberapa jam kami tidak kembali ke penginapan pasti dicari. Bisa-bisa kami dianggap hilang. Yang terjadi, kalau dianggap hilang, mungkin bakal ada mobil pengamanan yang datang mencari. Kalau meminta mobil pengawal, bagaimana caranya? Sama-sama sulitnya.
Saat pikiran buntu menemukan jalan keluar ke kediaman Gubernur, saya keluar di jalan raya di depan Masjid Al Fatah. Jalan di depan masjid ini tak pernah sepi waktu itu, meski suasana Kota Ambon masih panas. Kalau kita melihat suasana para penjual durian dan sebagainya di depan masjid itu, seolah-olah suasana tegang di Kota Ambon tidak pernah terjadi. Penduduk saling bercanda dan gembira melakukan transaksi jual-beli. Tentu saja, yang melakukan transaksi adalah dari komunitas yang sama.
Pusing dengan situasi yang ada, mata saya tiba-tiba melihat iring- iringan mobil parkir di halaman Masjid Al Fatah. Saya berlari ke halaman masjid, mencari tahu siapa gerangan pejabat tersebut. Ternyata, JK dan Farid Husain yang baru saja bertemu dengan para jamaah masjid tersebut dan siap meninggalkan masjid. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Langsung berlari ke kantor redaksi Ambon Ekspres untuk memberitahu teman Fajar agar segera naik ke salah satu mobil rombongan JK. Benar juga, kami melompat naik ke mobil Pak Hamid Awaluddin dan dr.Farid Husain.
’’Lan, you dari mana?,’’ sapa dr.Farid Husain yang sudah akrab dengan saya sejak awal di Unhas.
’’Habis kirim berita di Ambon Ekspres,’’ sahut saya ketika kendaraan mulai memasuki daerah demarkasi. Suasananya memang sangat mencekam. Memang sepintas tidak ada orang yang berkeliran, tetapi percayalah bahwa di dekat pagar dan pintu halaman rumah sekian banyak pasang mata dalam siaga satu mengawasi orang yang melintas.
Setiba di kediaman gubernur, ternyata JK, Hamid dan Farid Husain melanjutkan pertemuan dengan kelompok muslim. Saya dan teman Fajar hanya mengikuti dari luar ruang pertemuan, karena acara berlangsung tertutup. Ketika lonceng menunjukkan pukul 01.00 Waktu Indonesia Timur, terdengar satu ledakan keras dari salah satu bagian Kota Ambon. Suaranya menggelegar terdengar sangat jelas, karena kediaman Gubernur Maluku berada di daerah ketinggian. Saya yakin, JK, Farid Husain, dan peserta pertemuan di dalam ruangan mendengar ledakan keras itu. Tetapi, pertemuan berjalan terus.
Saya tidak berusaha mengikuti pertemuan itu hingga tuntas, karena selain tertutup, juga deadline berita sudah berlalu beberapa jam. Tokh, kalau mau meminta informasi tentang hasil pertemuan, saya dan Fajar dapat lakukan keesokan hari sebelum kembali ke Makassar atau sekalian di atas pesawat.
Pertanyaan yang muncul kala itu di kalangan awam adalah, mengapa seorang JK yang Menko Kesra harus mengurus konflik. Bukankah ini merupakan porsi Menko Polkam. Dalam perjalanan dengan pesawat Fokker 28 Athirah, yang selalu menerbangkan beliau, saat saya juga ikut meliput perjalanannya, JK selalu mengatakan bahwa persoalan konflik ini pemicu (triger)-nya adalah ketidakadilan, terutama masalah kesejahteraan. Pada tahun 2003, kata JK, terdapat 2 juta pengungsi di Indonesia dan itu merupakan jumlah pengungsi terbesar di dunia. Kalau masalah kesejahteraan sudah teratasi, pasti tidak akan terjadi konflik. Makanya, akar permasalahannya harus dicari dan baru dicari solusi penyelesaiannya. Dan, selama ini kita hanya melihat permasalahan yang muncul, sering mendiagnosa apa pemicunya. JK memang beruntung, selalu bisa mendiagnasa suatu masalah sebelum mengambil tindakan. Mungkin ini juga berkah kehadiran seorang Farid Husain yang dokter ahli bedah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar