Sabtu, 17 Oktober 2009

Jaringan Pencopet

Kapal Bengawan masih beringsut pelan. Stom yang terakhir masih ditunggu menggemanya. Waktu merangkak perlahan menuju rembang petang. Stom terakhir yang ditunggu pun menggema. Mengirim raungnya ke seantero kota. Mengabarkan kapal akan segera meninggalkan dermaga. Bengawan menuju Surabaya.
Kulemparkan pandanganku jauh merayapi pinggir dermaga Soekarno. Memandangi Pabrik Terigu yang tidak ubahnya sebagai Patung Liberty di depan Kota New York, Amerika Serikat. Tetapi, pabrik ini salah satu ’tower’ tertinggi di Kota Anging Mammiri saat itu. Pembangunannya saja aku ingat benar. Saat musim barat tiba, pembangunannya jalan terus. Seorang senior yang satu pondokan denganku pernah bekerja di situ.
Kugeser pandanganku jauh lagi. Menyusuri Pantai Losari yang kian mengecil. Kini dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang dituturkan oleh para penyair daerah ini tentang pantai yang disebut kursi terpanjang di dunia itu. Tampaknya bukan hanya memperindah-indah pantai belaka. Seindah sendu kata seniman. Tetapi memang kenyataan. Betul-betul indah buat pandangan mata.
Aku bersyukur, dapat memandangi pantai itu tidak pada saat para seniman mengelu-elukannya dalam puisi. Tidak pada saat para penyanyi mendendangnya dalam syair-syair lagu. Andaikan aku tidak meninggalkan pantai itu sekarang, mungkin aku bisa menatapnya hingga disaksikan matahari terbenam. Fenomena alam yang selalu menjadi taruhan Pantai Losari. Akan kuteteskan tinta hitam di atas kertas putih polos. Lalu menjelma menjadi tuturan hati, seperti juga para seniman itu.
Tetapi, aku sadar. Kepergianku inilah yang membuatku dapat menyaksikan pantai ini. Pantai tempat penduduk kota bersantai pada sore dan malam hari. Berjalan santai pada pagi hari. Tak terasa, tanganku melambai. Selamat tinggal Makassar dan Pantai Losariku.
KM Bengawan telah jauh meninggalkan Laelae. Samalona pun apatah lagi. Di sebelah kanan lambungnya, Pulau Kodingareng dan Barranglompo terlampaui. Pikiran pun berpaling ke sisa perjalanan yang masih dua hari satu malam. Menjadi tamu Kota Buaya yang bisa saja menjadi ’buaya’ bagi diriku yang pertama kali menginjakkan kaki. Memikirkan kisah kawan-kawan. Cerita tentang tukang copet dan jaringannya di Kota Pahlawan itu. Kisah ini kadang-kadang membuatku ciut. Tetapi aku sudah putuskan berangkat ke Jakarta. Rencananya, turun dari KM Bengawan di Tanjung Perak Surabaya. Selanjutnya, biar irit dan banyak dilihat, naik kereta ke Jakarta.
Dua hari diayun gelombang hingga melintasi Masalembo, tak terasa. Ketika mentari nongol di ufuk timur, Bengawan merapat di Tanjung Perak. Aku berkemas dengan barang apa adanya yang kubawa. Niatku naik taksi menuju stasiun kereta di Gubeng. Berharap, dapat kereta pada kesempatan pertama. Sembari menyulut sebatang rokok Fortuna kesenanganku, aku melangkah meninggalkan gerbang pelabuhan.
Dari arah yang berlawanan, seorang lelaki setengah umur berjalan ke arahku. Aku sudah mulai berpikir macam-macam. Mungkin inilah kisah teman-teman tentang Surabaya itu. Cerita tentang tukang copet. Dia berjalan tunduk, sepertinya pura-pura tidak memperhatikanku. Atau itu sekadar menipu lawan saja. Aku juga cuek. Tibat-tiba dia berhenti tepat di depanku.
‘’Selamat pagi, Pak!,’’ ucapnya datar.
Aku sempat gemetar. Apa gerangan dia menyapaku, padahal dia tidak mengenalku. Sebagaimana seorang manusia, aku harus menjaga hubungan insaniah dengan dia.
’’Ya, selamat pagi, Pak!,’’ kataku rasanya setengah dipaksa.
’’Bapak bapak dari mana dan mau ke mana?,’’ dia bertanya lagi.
’’Saya dari Ujungpandang mau ke Jakarta,’’ jawabku lagi.
’’Oh...dari Makassar ya?,’’ ulangnya seperti tidak mempercayai pendengarannya. Dia agaknya lebih suka pakai Makassar ketimbang kata Ujungpandang yang baru dipakai mengganti nama ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1971 itu. Aku curiga, seorang anggota keluargaku mungkin mengenal orang ini dan meneleponnya supaya menjemput sembari menjelaskan ciri-ciriku. Ah, mungkin saja perkiraanku saja. Atau boleh jadi seperti itu benar.
’’Kalau begitu, kita sama-sama. Satu suku,’’ jelasnya.
’’Jadi, bapak dari Ujungpandang juga?,’’ aku pura-pura tanya sekadar menyakinkan bahwa yang ngomong di depanku adalah orang baik-baik dan tidak mungkin merepotkanku.
’’Ya, betul,’’ sahutnya.
Langsung kujabat erat tangannya. Kami berdiam dan terkesima beberapa saat. Aku sendiri seperti memperoleh semangat baru dalam perjalanan yang semula kuramalkan bakal penuh dengan liku-liku ini. Aku juga mulai merasa aman, karena ada teman dari suku yang sama.
’’Kalau Bapak tanya Daeng Talli di sini, tentu semua orang di sekitar akan kenal. Saya punya banyak teman di sini. Beruntung tadi, saya lebih dulu bertemu Bapak. Kalau tidak, bisa-bisa teman saya yang lain akan bertemu. Dan, ceritanya bisa timbul salah pengertian,’’ katanya panjang lebar.
’’Ya, syukur, Pak,’’ kata lega.
’’Tetapi di Makassar saya dipesan agar sedapat mungkin bertemu dengan yang namanya Dg.Talli, yang ternyata Bapak sendiri,’’ sambungku lagi.
’’Ya, syukurlah kita bertemu lebih awal,’’ imbuhnya, kemudian memanggil sebuah taksi. Kami sama-sama menuju Stasiun Gubeng yang terletak di dekat Museum Kapal Selam (Mumkasel). Aku tidak curiga dengan jasa baiknya, karena sempat terlontar sapaan dalam bahasa daerah. Biasanya, pantang orang sesama asal tidak akan mengganggu satu sama lainnya kalau dia tahu.
Harian kian sore, ketika kami tiba di Gubeng. Dia mengulurkan tangan, membayar ongkos taksi. Aku kalah cepat dengan dia. Dia mengajakku menuju loket. Belum sempat dia menerima tiket, tiba-tiba dua orang bertubuh tegap merapat ke Dg.Talli.
’’Ini teman kita dari Makassar,’’ Dg.Talli memperkenalkanku kepada dua lelaki yang baru muncul.
’’Bantu ambilkan teman kita ini satu tiket Jakarta,’’ Dg.Talli memerintahkan salah seorang di antaranya. Keduanya terlihat sangat patuh. Kelihatannya Dg.Talli adalah orang yang sangat berwibawa di depan mereka. Kami masih berdiri berdua, sementara dua lelaki itu lenyap di balik kerumunan calon penumpang.
Tidak lama keduanya muncul dengan selembar tiket. Aku mengulurkan uang seharga yang tertera di tiket. Tetapi Dg.Talli cepat menahan tanganku.
’’Jangan. Nggak usah. Selama Bapak di sini, tanggungan saya. Tidak usah khawatir,’’ Dg.Talli berkata.
Aku makin bingung. Mengapa aku mendapat pelayanan yang begitu istimewa dari orang yang tidak kukenal. Hanya bermodalkan seasal belaka?
’’Kalian berdua, atur dan jaga baik-baik teman kita ini sampai di tujuan,’’ kembali Dg.Talli berpesan kepada kedua lelaki kekar itu.
Aku tidak berusaha memahami kalimat tersebut. Yang dapat kutangkap dan kumaknai bahwa aku akan aman saja selama perjalanan ke Jakarta.
Aku menyalami tangan Dg.Talli lama. Bagaikan tidak mau kulepas. Kucium tangannya sembari mengucapkan terima kasih.
’’Terima kasih jai dudu, Daeng!,’’ kataku dalam bahasa Makassar.
Kukatakan juga, terima kasih atas bantuannya yang sulit kubalaskan dengan cara apa pun. Dia melepas langkahku menaiki kereta.
Kereta mulai bergerak. Kian lama, roda-rodanya menderu, menjauh meninggalkan Stasiun Gubeng dan Dg.Talli yang baik hati itu.
Pada trayek pertama, kereta akan transit di Semarang. Dua lelaki kekar yang kemudian menjadi teman-temanku, sebentar-sebentar datang dan hilang. Silih bergenti mereka muncul. Seolah mengawal dan menjagaku secara aplosan.
Ketika kereta merangkak memasuki kota di pantai utara Jawa Tengah, Semarang, hari sudah menjelang pagi. Aku tidak menyaksikan indahnya perjalanan malam karena tertidur pulas. Hanya kelap-kelip lampu pijar di desa-desa yang dekat dengan rel kereta api yang bersinar di tengah kelamnya malam.
Kereta akhirnya berhenti di Semarang. Salah seorang teman yang bersamaku dari Surabaya, datang ke dekat tempat dudukku. Dia memperkenalkan salah seorang teman barunya. Yang ternyata akan menjadi temanku berikutnya.
’’Teman kita ini akan mendampingi Bapak hingga Cirebon. Saya sampai di sini dan akan kembali ke Surabaya,’’ kata teman dari Surabaya itu. Aku merogoh kocek sekadar ingin memberinya uang rokok. Tetapi dia menolak dengan mengatakan, ’bos’ sudah atur semua untukku.
’’Salam hormat saya pada Daeng,’’ ujarku. Dia mengangguk, kemudian menuruni kereta.
Begitulah yang terjadi. Kereta melanjutkan perjalanan. Teman yang baru diperkenalkan di Semarang datang menemuiku sejenak, kemudian hilang lagi. Dialah yang menjadi temanku berikutnya hingga Cirebon mungkin. Soalnya, kereta ini akan singgah lagi di kota itu.
Begitu kereta berhenti, teman yang dari Semarang datang menemuiku lagi.
’’ Ini teman kita akan menemani Bapak hingga Jakarta. Saya kembali ke Semarang lagi,’’ katanya pendek sembari memperkenalkan teman barunya kepadaku. Lagi-lagi aku berusaha memberikan uang rokok, tetapi ditolak dengan keras sambil mengatakan bahwa aku sudah menjadi tanggungjawab mereka bersama bosnya di Surabaya.
’’Tugas saya adalah menemani Bapak hingga tujuan akhir,’’ katanya tanpa diminta.
’’Terima kasih. Saya sudah sangat merepotkan Bapak-bapak selama perjalanan ini,’’ kataku.
’’Ini sudah menjadi tugas kami jika ada petunjuk dari bos di Surabaya,’’ dia menjelaskan lagi.
Aku pun mulai bisa menangkap sedikit eksistensi mereka. Tetapi aku enjoy saja. Tak pusing. Yang penting perjalanan ke Jakarta aman-aman saja.
Kereta bergerak lagi. Perjalanan ke Jakarta akan makan waktu sekitar 5 jam. Aku turun di Stasiun Gambir di dekat Tugu Monas. Ketika kereta berhenti, teman yang dari Cirebon datang mendekat. Lagi-lagi seperti yang terjadi di Semarang. Dia membawa seorang teman baru lagi dan memperkenalkannya kepadaku.
’’Ini teman kita yang punya Jakarta. Nanti, Bapak akan diantar ke tujuan terakhir bersama dia. Saya menunggu kereta lagi kembali ke Cirebon,’’ katanya.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan berusaha memberinya sekadar pembeli rokok, tetapi ditolaknya mentah-mentah. Sama dengan teman-temannya yang lain di Cirebon dan Semarang. Tampaknya ada doktrin tak tertulis mungkin dari ’bos’-nya untuk tidak menerima imbalan apa pun dariku.
Lantai atas Stasiun Gambir kutinggalkan bersama teman baruku dari Jakarta. Satu tasku dia tenteng. Aku membawa satu tas lain yang lebih kecil. Dia memanggil taksi dan meminta mengantarku ke penginapan di kawasan Cikini. Dia ingin mengantarku sampai di tujuan, tetapi kukatakan, cukup sampai di sini dengan alasan aku tahu alamat yang dituju bersama sopir taksi. Dia sebenarnya ngotot mau mengantar, tetapi kujelaskan berulang-ulang. Bantuan selama sejak turun dari kereta di Gambir sudah sangat luar biasa bagiku. Aku juga sampaikan terima kasih dan mohon maaf. Aku tahu, dia mau ikut bersamaku untuk membayar ongkos taksi, seperti juga dilakukan bosnya Dg.Talli terhadapku dari Tanjung Perak ke Stasiun Gubeng.
‘’Saya mengucapkan terima kasih sudah membantu. Mohon sampaikan salam hormat saya buat bos di Surabaya. Katakan, saya sudah sampai dengan selamat di Jakarta tanpa kesulitan apa-apa,’’ ujarku.
Kami pun saling jabat tangan haru. Berpisah entah kapan lagi bertemu.
Taksi meluncur memecah keramaian ibu kota, menyisakan sebuah pertanyaan besar. Ya, mengenai Dg.Talli dan ’’teman-temannya’’.

Cerpen ini pernah dimuat di Pedoman Rakyat 19 November 1976 dan sudah diedit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar