Minggu pertama Mei 2005 saya berada di Yogyakarta lagi. Dalam tiga tahun terakhir ini, saban tahun saya berada di Kota Gudeg tersebut. Urusannya sama, mengurus pencetakan buku. Saat pertama datang tahun 2003, saya bersama Asdar Muis RMS, tetapi dalam dua kali terakhir saya seorang diri. Biasa, sudah tahu jalan.
Ketika keberangkatan saya yang terakhir ini, sehari sebelum kembali ke Makassar – 6 Mei 2005 – tiba-tiba muncul saja keinginan saya memelihara ayam hutan. Masalahnya, saban subuh di hotel tempat saya biasa menginap, suara kokok ayam hutan selalu membangunkan saya dari tidur pulas subuh hari. Bukan hanya itu, bunyi kokok ayam hutan itu selalu mengingatkan saya akan desa kelahiran nun jauh di Bima sana.
Dulu, saat saya masih duduk di sekolah dasar, tiap pagi sering mendengar suara kokok ayam hutan di kaki bukit di belakang rumah. Biasa saya sering mengubernya dengan maksud ingin menangkapnya. Suatu pekerjaan bodoh dan mustahil. Mana mungkin. Ayam hutan mana yang mau membiarkan dirinya ditangkap. Tentu saja dia terus saja berlari, hingga lenyap di antara semak-semak. Selain suaranya indah sekali jika berkokok, juga warna bulunya yang licin merah kehijau-hijauan. Indah nian.
Pemilik hotel tempat saya nginap di Jogjakarta memiliki seekor ayam hutan. Katanya, dia beli dalam kondisi sudah besar. Kalau tidak salah dia beli di Bali. Untuk lolos sampai ke Jogjakarta, dia harus menyogok petugas di bandara Rp 50 ribu. Biasalah, agar bawaan mulus hingga ke pesawat. Keadaannya sudah jinak pula. Bahkan, ketika dipegang-pegang kepalanya, ayam hitam itu diam mematung. Seperti maklum saja kalau dimanja pemiliknya.
‘’Asal dia tidak dikasih kaget. Kalau dia kaget, biasa dia yang memburu tangan kita,’’ komentar putra pemilik hotel.
‘’Saya kepingin sekali mencoba memelihara ayam hutan. Kokoknya asyik dan enak didengar. Khas sekali,’’ kata saya setelah mengutarakan niat ingin memiliki ayam hutan.
Pria yang berumur kira-kira 20 tahun itu menunjukkan kepada saya kalau bibit hasil persilangan ayam hutan dengan ayam kampung dapat ditemukan di Pasar Ngasem, Jogjakarta. Harganya sekitar Rp 75 ribu. Tetapi orang mengenalnya sebagai ayam berkisar.
‘’Semua tukang becak di depan hotel tahu pasar itu. Suruh saja antar ke sana,’’ lelaki itu berpesan.
Saya pun berjalan ke depan hotel. Seorang tukang becak muda, mungkin usianya 25-an tahun, menghadang saya. Dia paling rajin menggoda setiap saya muncul di jalan di depan hotel. Agendanya, menawarkan diri agar saya mau menggunakan jasa roda tiganya jalan-jalan. Tujuannya, kalau bukan ke lokasi pembuatan batik, pasti tempat pembuatan bakpia. Dua tujuan ini paling laris menjadi bahan jualannya. Ongkos yang dia minta Rp 10 ribu pergi pulang. Kalau di Makassar soal tarif masih perlu dimusyawarahkan panjang lebar dan tanggung diskusinya alot.
‘’Saya mau ke Pasar Ngasem!,’’ kata saya.
Mendengar penjelasan saya, lelaki itu langsung memanggil seorang pria setengah umur.
‘’Ini Bapak saya,’’ katanya memperkenalkan.
Saya tidak tahu, mengapa saya diopor kepada ayahnya. Mungkin sang ayah menjelang pukul 11.00 WIB itu belum memperoleh muatan sama sekali, sehingga perlu ‘’disubsidi’’ dengan penumpang yang kebetulan juga saya. Dalam hati saya terbersit, bakal susah payah juga orang tua ini mengayuh becaknya kelak hingga di tujuan dan kembali lagi ke hotel.
‘’Saya bayar berapa, Mas?,’’ kata saya ketika pantat saya menyentuh tempat duduk di becaknya yang empuk dan pakai pegas.
‘’Ah, berapa saja. Kita ini kan sama-sama miskin,’’ katanya sambil kakinya mulai menerjang pedal.
Kalau di Makassar, menawar tarif becak bukan soal yang mudah. Kadang-kadang kita saling tarik urat leher. Kalau tidak cocok, calon penumpang bakal cari becak lain. Tukang becak Makassar juga tak bakal mau mengalah. Di Jogja lain. Mereka tidak ngotot-ngototan. Kata ‘’berapa saja’’ selalu membuat kita menjadi iba. Sebagai penumpang, tak tega juga memberi tarif yang rendah melihat keringatnya yang mengucur. Bahkan, penumpang biasa memberi bonus. Sama dengan kebiasaan saya.
Dia mengayuh becaknya, menyusuri jalan di depan hotel dan membelok di ujung sana. Terdengar desah napasnya kencang, seakan berlomba dengan irama kakinya mengayuh pedal.
‘’Kalau ke sana (maksudnya ke arah Alun-alun) agak menanjak. Lain kalau kembali nanti, enak, menurun,’’ katanya tanpa saya minta. Suaranya terdengar terengah-engah.
Mugianto, nama tukang becak itu, mengaku punya anak tiga. Semuanya laki-laki. Salah seorang di antaranya, adalah yang menawarkan saya kepadanya sebagai penumpang barusan. Seorang lagi, punya angkutan mobil. Yang seorang lagi, bekerja sebagai pelukis di kawasan pemukiman keturunan sultan di dekat Alun-alun Selatan.
Sambil bercerita macam-macam Mugi mendorong becaknya keluar masuk hingar bingarnya kendaraan yang lalu lalang di kota. Terkadang jalan sempit dia terobos. Tiba-tiba saja dia berhenti di depan sebuah tempat orang menjual lukisan. Saya heran. Sebab, tak ada tanda-tanda pasar yang dituju.
‘’Singgah dulu sebentar. Ini lihat-lihat dulu lukisan anak saya,’’ katanya. Saya sejenak kaget, kok dibawa ke sini. Saya kan tak bermaksud mencari lukisan, tetapi bibit ayam hutan.
‘’Nggak, nggak. Saya hanya mau ke Pasar Ngasem dulu mencari bibit ayam hutan, Mas!,’’ sahut saya.
‘’Nggak mau lihat lukisan dulu?’’ katanya minta persetujuan.
‘’Belum. Saya cari ayam hutan dulu. Nantilah bila saya perlukan. Ayo kita jalan, ‘’ pinta saya.
Kami pun terus ke Pasar Ngasem. Sebuah pasar yang sangat kumuh. Dari luar terlihat kandang-kandang burung dan ayam serta binatang bergelantungan. Mugi memarkir becaknya di sebelah kiri . Saya melangkah masuk ke kawasan pasar. Di kiri kanan, macam-macam binatang terpajang. Mulai dari tikus-tikus kecil hingga tupai, bajing, dan musang. Binatang yang hanya pernah saya lihat di dalam buku flora dan fauna saya temukan di sini. Kalau musang pernah saya lihat di kampung waktu kecil, saat mencari jambu biji di pinggir desa. Biasa, binatang ini tidur siang di atas pohon saat saya dan teman-teman menggoyang-goyang pohon jambu di dekatnya. Mendengar ada pohon lain yang bunyi, musang lari turun dan kabur di tengah semak belukar. Kami biasanya hanya mengiringi kaburnya binatang itu dengan teriakan sembari menyebut nama binatang tersebut.
Di sebelah kanan, mata saya sempat tertarik pada beberapa ekor anak ayam kecil. Warnanya unik. Semula saya pikir, anak ayam itu distabilo, sebab warnanya beraneka ragam dan mirip stabilo. Saya pun maklum kemudian, kalau anak-anak ayam itu memang dari jenis tertentu.
Saya pun tiba di los yang menjual bibit persilangan ayam hutan dan ayam kampung. Orang-orang pasar menyebutnya ayam bekisar. Berarti, dia akan dominan ayam kampung. Tidak sama dengan yang di hotel yang masih dominan ayam hutan, terutama dari irama kokoknya.
‘’Masih ada di peternakan,’’ kata salah seorang penjual yang kemudian muncul setelah beberapa menit menghilang dan membiarkan saya duduk melongo seorang diri.
‘’Kalau cocok harga, nanti saya ambilkan,’’ imbuh lelaki itu, setelah sebelumnya sempat berbahasa Jawa dan membuat saya bingung tujuh keliling. Saya pun langsung menginterupsi.
‘’Maaf, bahasa Indonesia saja. Saya nggak ngerti bahasa Jawa, Mas,’’ kata saya, kemudian dia langsung berbahasa Indonesia.
‘’Okey, nanti lain kali saja,’’ kata saya sekaligus menutup hasrat membawa pulang bibit ayam hutan.
Saya pun buru-buru menuju tempat Mugi memarkir becaknya. Dia sudah gelisah menunggu saya yang kelamaan masuk ke pasar. Mugi menyambut saya. Ternyata dia baru saja dapat penjual ayam bekisar dan menawarkan kepada saya.
‘’Oh.. sudah. Saya cari ayam hutan, bukan ayam bekisar,’’ jelas saya ketika seorang lelaki setengah umur mencoba menawarkan jasa informasi mengenai ayam yang hendak dijualnya.
Mugi mengantar saya pulang. Dia masih berusaha menggoda saya agar mau singgah membeli batik atau bakpia dulu. Tapi, saya selalu jawab bahwa saya sudah belanja keduanya malam hari sebelumnya.
‘’Kapan pulang?,’’ Mugi tiba-tiba bertanya.
‘’Besok pagi-pagi,’’ jawab saya.
‘’Nanti saya antar ke stasion,’’ jawabnya polos.
Dalam hati saya pikir, Mugi mengira saya akan pulang naik kendaraan bus atau kereta api, sehingga menawarkan diri mengantar ke stasion.
‘’Oh. Nggak. Saya pulang naik pesawat,’’ kata saya lagi.
‘’Tak kirain naik bus. Atau nanti anak saya yang ‘ngantar’. Dia ada mobil,’’ tawarnya lagi.
‘’Nggak usah. Saya sudah janjian dengan taksi,’’ kata saya lagi.
Saya menangkap, betapa Mugi selalu mempromosikan usaha dan bisnis putra-putranya. Betapa ayah beranak ini secara sinergis saling memberi peluang dan informasi pekerjaan. Awalnya, putranya sendiri yang mempromosikan saya kepada sang ayah. Padahal, sang anak bisa saja melakukannya sendiri. Ini sebuah hubungan primordial ekonomis nepotis yang terjadi di level masyarakat bawah. Kalau di level elite kita tentu sebuah hal yang tidak wajar. Tentu saja, Mugi dan anak-anaknya melakukan interaksi seperti itu betul-betul didorong oleh kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup semata. Bukan karena dalam posisi sudah hidup serba berkecukupan.
Praktik nepotisme buat mereka yang berada pada strata bawah seperti ini mungkin perlu ditumbuhkan demi saling membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, tergambar masih adanya nilai-nilai di dalam masyarakat kita yang bernama jalinan kekeluargaan. Kalau di Makassar, kalau perlu ayah dengan anak atau anak dengan anak saling ‘’membuat perhitungan’’ untuk sebuah rebutan yang bernama kue ekonomi dan kehidupan.
Tak terasa saya sudah sampai di depan hotel lagi. Saya merogoh kantong dan memberinya Rp 15.000, ongkos dia mengayuh becak dari hotel ke Pasar Ngasem pergi pulang.
‘’Terima kasih, Mas. Kalau mau pergi lagi, nanti saya antar,’’ tawarnya mengantar saya memasuki gerbang hotel.
Mugi memang tidak ke mana-mana. Markasnya hanya di depan hotel tempat saya biasa menginap. Nongkrong bersama beberapa pengayuh becak lainnya. Termasuk dua orang anaknya. Dia termasuk salah satu sosok tukang becak Jogja yang saya kira tipenya nyaris sama. Dan, yang pasti, berbeda dengan kebanyakan tukang becak di Makassar.
Jogjakarta, 6 Mei 2005
Sabtu, 17 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar