Sabtu, 17 Oktober 2009

Rebonding dan Brekele

Pada tanggal 11 s.d. 14 Mei 2005 saya ke Gorontalo. Agendanya, mengikuti Rapat Kerja Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri Kawasan Timur Indonesia yang juga dirangkaikan dengan Pertemuan Silaturrahmi Duta Besar dan Berkuasa Penuh RI untuk Jepang Abdul Irsan, S.H. dan Masyarakat Gorontalo. Sore hari menjelang malam acara silaturrahmi, saya dengan Pak Radi A.Gany iseng-iseng naik bentor – becak motor. Ceritanya mau keliling kota Gorontalo.
Gorontalo termasuk kota bentor. Harga sebuah bentor berkisar 17 juta rupiah. Bentor produksi Gorontalo ini sudah banyak diekspor ke luar Gorontalo. Di Sulsel, Wajo termasuk salah satu daerah pengimpor becak bermotor tersebut. Kendaraan ini bisa dibongkar pasang. Jika pemiliknya mau naik motor, maka becaknya dicopot. Begitu pun kalau pemiliknya mau narik lagi dia pasang menjadi bentor.
Bercelana pendek, Pak Radi sudah langsung duduk di atas bentor ketika saya muncul dari balik pintu hotel. Becak motor itu milik salah seorang warga Gorontalo. Kalau tidak salah ingat, namanya Abdullah.
Kota Gorontalo, dulu kota sepi. Pada tahun 1995, saat saya melintas dalam perjalanan merambah Trans Sulawesi untuk menghadiri Hari Pers Nasional 1995 di Manado, kota itu masih adem-adem ayem membangun. Dia bagaikan sebuah kampung besar yang terus berselimutkan kehidupan rakyat pedesaan. Habis, kue pembangunan masih mengharap belas kasihan dari Manado sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Apalagi, Gorontalo terbagi dua, sebagai kotamadya dan kabupaten.
Keistimewaan kota ini adalah banyak memiliki warisan bangunan lama, zaman Belanda. Terutama, rumah pendek tempat tinggal controleur dulu. Hingga kini, rumah peninggalan masa lalu itu tetap saja dibiarkan sesuai aslinya. Hanya cat saja yang diperbaharui.
Provinsi Gorontalo yang merupakan pecahan Sulawesi Utara, memiliki luas 12.215,45 km. Luas lahan yang ada 463.649 ha dengan penduduk 885.554 jiwa. Tak cukup 1 juta jiwa. Namun soal pertumbuhan ekonomi, Gorontalo paling tinggi di Sulawesi. Pada tahun 2001, pertumbuhannya mencapai 5,3 % lalu naik menjadi 7 % pada tahun 2004. Hingga Mei 2005, pertumbuhannya sudah mencapai 7,3 %. Bahkan menurut catatan Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi Gorontalo sudah menyentuh angka 8 %.
Tanggal 11 Mei 2005 sore, saya dan Pak Radi hanya ingin jalan-jalan saja. Sebenarnya saya sudah merebahkan badan di tempat tidur, ketika ponsel saya berdering. Ternyata, ada panggilan dari bos yang mengajak jalan-jalan naik bentor.
Sepanjang jalan, Abdullah tak henti-hentinya bercerita. Dia mencoba menjadi sales. Tentu mengenai potensi kotanya. Termasuk keluarganya ketika kami tanya. Pendapatannya per hari. Biasalah, penumpang banyak saja mau tahunya. Saat ditanya siapa nama gubernurnya, dia jawab dengan benar. Begitu pun ketika ditanya nama wali kotanya. Dia juga hapal. Kalau di Makassar tukang becak yang dicecar pertanyaan seperti itu sudah kalang kabut menjawab. Kalau pun dia mampu, jawabannya sudah pasti salah.
Pada setiap gedung besar, Abdullah pasti menjelaskan fungsi gedung tersebut. Hari kian sore, ketika bentor terus melaju ke arah pelabuhan. Bau pelabuhan kian dekat, karena pada batang satu sungai yang mengalir di tengah kota parkir beberapa perahu nelayan. Kendaraan laut itu tertahan sebelum jembatan, karena tiangnya terlalu tinggi dan tidak bisa lolos di kolong jembatan.
Menjelang pelabuhan, mata saya dan Pak Radi tertumbuk pada sejumlah papan nama. Di situ tertulis Salon Rebonding. Tulisan yang tertera di depan bangunan sederhana ini berjejer di kiri kanan jalan.
‘’Mengapa di sebut rebonding? Itu ada juga brekele?,’’ tanya Pak Radi.
Saya yang sedikit sok tahu karena sering menonton iklan di tayangan TV menjawab. Rebonding jika para gadis ingin memperlurus rambutnya. Akan halnya brekele, saya cuma ingat seorang sepupu yang kuliah di Teknik Unhas pernah dipanggil seperti itu, saat rambutnya lagi keriting. Jadi, brekele, kalau seseorang ingin mengeriting rambutnya.
Banyak perempuan duduk-duduk di depan salon mereka. Mereka melepaskan pandangan ke arah kami yang mungkin mereka tahu adalah orang pendatang.
‘’Mungkin mereka tahu kalau kita orang baru,’’ kata Pak Radi.
‘’Barangkali, karena mereka melihat kita memang orang baru di sini,’’ jawab saya.
Abdullah terus mengegas bentornya. Saat hendak membelok lalu mendaki, di sebelah kiri ada bangunan seperti tanki-tanki bundar raksasa.
‘’Itu Pertamina, Pak!’’ kata Abdullah.
‘’Kita akan ke daerah Pelabuhan Gorontalo,’’ imbuhnya lagi, menambah gas mendaki jalan aspal yang mulai bopeng-bopeng.
Kami ‘mendarat’ di sisi kiri pelabuhan. Sore itu, tanda-tanda hiruk pikuk suasana malam di pelabuhan mulai terasa. Kios-kios pinggir jalan mulai memutar lagu dangdut. Beberapa laki-laki yang ditemani perempuan dengan dandanan minor parkir di luar kios. Sesekali sang perempuan menggoda mereka yang melintas di dekatnya. Kebanyakan naik sepeda motor.
Bentor kian mendaki.Di bagian yang mulai menurun, Abdullah menghentikan bentornya.
’’Kita di sini saja,’’ katanya.
Kami turun. Saya mengabadikan sisi kiri kawasan pelabuhan, tempat kapal sandar. Letaknya beberapa kilometer di seberang sana. Mungkin ada 2 atau 3 km dari tempat kami berdiri. Tak lama kemudian, sepasang muda mudi turun dari bentor pula. Mereka lalu menuruni tangga beton di pinggir pelabuhan. Di bawah sana ada batu-batu besar alami. Tampaknya biasa jadi tempat duduk orang yang melepas lelah. Sepasang sejoli itu lenyap dari tatapan mata kami. Keduanya hilang di balik batu besar itu. Bersembunyi dari pandangan banyak orang. Biarlah malam memagutnya dalam kemaksyukan kasih sayang. Kami pun kembali naik bentor. Hari kian gelap.

Gorontalo, 11 Mei 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar