Seiring dengan waktu terus bergulir, ada perkembangan yang kurang bagus menimpa perempuan di Tanah Papua. Mereka, meski dilahirkan dengan kodrat yang berbeda dengan laki-laki, namun dalam perkembangan berikutnya, perempuan Papua telah banyak mendominasi sejumlah aktivitas di sektor kehidupan yang semestinya dilakukan laki-laki. Makanya, perempuan negeri paling timur Indonesia ini selalu dijuluki sebagai sosok pekerja keras. Hanya sayang, di balik posisinya sebagai penopang kehidupan keluarga, mereka masih sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Fenomena inilah yang memicu pemikiran Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M. melontarkan gagasan untuk melakukan penelitian mengenai eksistensi perempuan Papua. Ide ini agaknya ‘nyambung’ saat suatu pertemuan di ruang bupati, juga hadir Ir.Ana Saway, Kepala Dinas Pertanian dan Dra.Yuliana Yoku, Kadis Pendidikan dan Pengajaran. Pertemuan – dua birokrat perempuan Papua -- itu berlangsung 25 Januari 2008.
Pokok perbincangan yang menarik, kata Prof.W.I.M.Poli, selain perempuan Papua adalah pekerja keras dan mengalami ‘’domestic violence’’ (kekerasan dalam rumah tangga) dari suami, juga dalam pekerjaan pengolahan sagu, pria yang memotong pohon sagu, perempuan yang mengolahnya. Tidak hanya itu, perempuan pula yang memikulnya ke rumah. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan pula yang menghidangkannya di meja makan. Partisipasi pria lebih rendah dari partisipasi perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga di Papua, bukan rahasia umum lagi. Hanya saja, penyebabnya sangat variatif. Boleh jadi, misalnya saja saat mereka pulang berjualan dan punya uang, di tengah jalan dicegat suami yang minta duit. Uang diambil untuk minum alkohol. Pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ribut lagi.
Perempuan Papua termasuk kelompok yang jika berusaha lebih berhasil jika dibandingkan laki-laki. Contoh ini ditunjukkan oleh salah seorang nasabah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Irian Santosa, Ibu Loisa Lies Wally, yang terpilih sebagai pengusaha kecil terbaik tingkat nasional tahun 2007.
Sosok perempuan Papua tidak hanya sampai di sini. Pada masa Belanda berkuasa di Papua, sekolah putri (Meisjesschool) dan sekolah putri lanjutan (meisjes vervolgschool), banyak alumni kemudian menjadi tokoh penggerak perubahan. Salah satu meisjesschool ada di Genyem yang didirikan tahun 1952. Ada juga di Serui dan Yoka. Istri Gubernur Papua Barnabas Suebu, adalah salah seorang jebolan sekolah putri itu. Ada juga kakak perempuan Habel Melkias Suwae yang kini bermukim di Belanda.
Menyikapi keinginan tersebut, Prof.W.I.M.Poli yang sudah menulis beberapa buku dari Kabupaten Jayapura melihat ada hal yang menarik dari perbincangan tersebut. Akhirnya diputuskan, akan membuat sebuah buku mengenai perempuan. Langkah awal yang dilakukan mahaguru kelahiran NTT ini adalah melacak informasi mengenai perempuan Papua di dunia maya. Tak sulit bagi Prof.W.I.M. Poli untuk menemukan informasi itu. Pasalnya, beliau paham – selain bahasa Inggris – juga bahasa Belanda.
Langkah awal yang dilakukan sudah jalan. Diperoleh data bahwa di Arsip Nasional RI kemungkinan ada informasi yang layak dijadikan referensi. Ke ibu kota Prof.Poli pergi ditemani penulis. Meski data yang diperoleh tidak maksimal, namun sudah cukup untuk mendukung penulisan buku mengenai perempuan di Tanah Papua itu. Maka, untuk sementara penelitian yang kelak menjadi buku ini bertajuk ‘’Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua di Kabupaten Jayapura’’.
Pada tanggal 29 Juli 2008, tim peneliti (Prof.W.I.M.Poli, Dr.Bulkis, dan penulis) terbang ke Papua. Perjalanan meneliti soal perempuan Papua mulai dilakukan. Pada malam hari, beberapa saat setelah tiba di Hotel Tahara Sentani, tim mengadakan rapat kilat. Agendanya, menyamakan persepsi dan titik tolak dalam menggali informasi. Tiga masalah mendasar yang harus digali adalah: Apa yang dikatakan, apa yang diinginkan, dan apa yang dilakukan. Inilah tiga pokok masalah yang akan digali dari tiap informan.
Hari masih pagi, ketika Bung Alberth Wangloan muncul di hotel 30 Juli 2008. Agenda pertama adalah bertemu dengan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M. di kantornya. Sudah lama.kami tak bertemu beliau. Apalagi pria kelahiran Tablanusu Depapre 28 Mei 1952 itu, habis menjalani operasi ringan di kakinya. Lagi pula, Prof.WIM dan penulis, ingin memperkenalkan anggota baru dalam tim, yakni Dr.Bulkis.
Seperti biasa, pertemuan dengan Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae (HMS) selalu menawarkan kesejukan. Senyum sang bupati dan tawanya yang renyah, sering membuat dia lupa mengakhiri pertemuan. Atensinya juga luar biasa, saat mengikuti satu demi satu kata dan kalimat yang dikemukakan Prof.W.I.M. Poli. Dalam situasi seperti ini, Albert, Bulkis, dan penulis, hanya menjadi pendengar setia. Pertemuan ini sekaligus melaporkan bahwa kegiatan penelitian mengenai buku perempuan Papua will be start.
Dari Sentani, kami meluncur masuk Jayapura. Jaraknya sekitar 35 km. Jarak sejauh itu, ditempuh sekitar 1 jam lebih kurang. Kondisi lalu lintas poros jalan negara ini sangat padat. Tetapi Bung Alberth Wangloan yang sudah akrab dengan Xenia biru benhurnya, tahu betul kapan harus tancap gas dan tidak. Sasaran kami adalah SMA Gabungan.
Sekolah ini pada tanggal 9 Agustus 2001 merayakan tahun emasnya, 50 tahun. Berbagai alumni dan mantan pengajar, baik dari Indonesia, maupun Belanda juga hadir. Perayaan yang sebenarnya harus dilaksanakan 25 Agustus 2001, didahului seminar pada tanggal 23 Agustus 2001. Salah seorang mantan murid yang hadir dan memberikan sambutan adalah Freddy Numberi, yang kini menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.
Salah seorang mantan siswa sekolah itu, Paschalis Fau’ubun dari Kei masih dapat dikontak di Jayapura. Hari itu kami memburu alamatnya. Lelaki yang akrab disapa ‘Pas’ ini tidak sempat bertemu muka dengan kami, tetapi putrinya berhasil menghubungkan dia dengan Prof.W.I.M. Keduanya berkomunikasi akrab laksana kawan yang sudah lama saling kenal. Yang menarik, keduanya juga berbahasa Belanda yang membuat kami bertiga (Alberth, Bulkis, dan penulis) hanya bengong saja mendengarnya. Pas beristrikan perempuan Belanda bernama Corrie. Diputuskan, kami akan bertemu dengan Pas pada hari berikutnya.
Pertemuan dengan Pas kemudian, lebih banyak bersoal tentang masalah pendidikan (yang juga akan diteliti). Kami juga mengaitkan komentarnya mengenai topik perempuan Papua yang sedang diteliti.
Sangat dihargai
Siang tanggal 30 Juli kami mampir di Gedung Tabita, lokasi kantor PKK Kabupaten Jayapura. Prof.W.I.M. ‘menggaet’ seorang perempuan berusia 62 tahun. Namanya, Milka W.Wally. Di Gedung itu, mantan murid Sekolah Putri Genyem ini sedang mengajari beberapa perempuan Papua menjahit dan membuat kerajinan. Yang diajar rupanya bermalam di kantor itu.
Dia tinggal di asrama di Padang Bulan, dekat dengan Kantor Pusat Pembinaan Pengembangan Wanita (P3W) Papua. Milka W.Wally pernah dikirim belajar di Sekolah Pekerja Wanita di Magelang.
Ketika ditanya soal kekerasan terhadap perempuan, Milka Wally menjawab tergantung dari setiap orang. Bisa juga dilihat dari apa latar belakang penyebabnya. Apakah kekerasan itu ada kaitannya dengan mas kawin yang begitu besar disediakan laki-laki, sehingga seenaknya saja melakukan kekerasan terhadap perempuan? Dia menjelaskan, pada tahun 1969 perempuan Sentani pernah berkumpul. Agenda pertemuan adalah menghendaki agar hak mas kawin dihilangkan dan diganti saja. Persoalannya kemudian, dikhawatirkan bisa menimbulkan kecemburuan sosial lantaran mas kawin merupakan bagian dari adat. Meski diakui, masih ada mas kawin dalam bentuk benda.
Hari sudah sangat sore, 30 Juli, kami harus mengadakan pertemuan dengan sejumlah perempuan di kediaman Bapak Rex, mantan Ketua DPRD Kabupaten Jayapura. Sekitar sepuluh orang perempuan hadir dalam pertemuan ini, termasuk Ketua PKK Kabupaten Jayapura, Ny.Kostafina Bonay, istri Bupati Jayapura.
Dalam pertemuan ini, mereka berbicara polos dan sangat informal. Prof.W.I.M. memuji pertemuan ini, karena para perempuan itu bisa dengan bebas mengeluarkan komentarnya tanpa sekat-sekat formal.
‘’Dari sisi adat, perempuan sangat dihargai. Jika istri orang diganggu, dia (laki-laki) harus membayar mahal,’’ kata Abina Wusanggu, yang tampil berbicara pertama.
Hanya saja, kata dia, dalam pembagian warisan, masih menggunakan sistem patrialhat. Perempuan hanya memiliki hak pakai, karena ketika dia akan kawin, maka haknya ada di suaminya.
Apa yang dilakukan perempuan Papua? Dalam skop yang lebih kecil, misalnya di kampung, mereka sudah memiliki tugas dan tanggungjawab. Abina Wusanggu memberi contoh, jika ada pesta adat, perempuan tanpa disuruh dia menyiapkan makanan dan melayani tamu. Sekarang, perempuan sama-sama dengan laki-laki. Ada yang duduk jadi pejabat, meski masih bisa dihitung dengan jari (di Kabupaten Jayapura, sedikitnya ada tiga atau empat perempuan yang menjabat Kepala Dinas di antaranya: Ana Saway, Kepala Dinas Pertanian, Dra.Maria Bano, Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan, dan Dra.Yuliana Yoku, Kadis Pendidikan dan Pengajaran).
Perempuan sudah memberikan banyak. Apa yang dilakukannya terhadap masyarakat sudah banyak. Perempuan rela berkorban demi anak-anaknya. Dia setia melayani apa pun yang layak. Di Kabupaten Jayapura, perempuan bekerja lebih baik dari bapak-bapak.
‘’Buktinya, yang korupsi lebih banyak laki-lakii. Perempuan bekerja berdasarkan hati nurani, sementara laki-laki berdasarkan pikirannya,’’ kata Abina Wusanggu, kemudian seperti ‘menggugat’, dia menyebut belum ada perempuan yang jadi bupati.
Mariana Pulanda berkomentar lain. Biasa perempuan dianggap tidak mampu. Padahal, perempuan sengaja diciptakan dari tulang rusuk Adam agar bisa menopang dan melengkapi kehidupan ini. Dia diciptakan agar laki-laki tidak jalan sendiri.
‘’Mimpi perempuan Papua adalah harus bersatu. Yang duduk di pemerintahan hendaknya melihat yang di bawah. Kita harus menyusun kekuatan untuk sama-sama dengan laki-laki,’’ kata Mariana.
Yosephine Sokoy, salah seorang perempuan pengusaha, menilai, keberhasilan perempuan Papua tergantung pada dirinya sendiri. Jika ingin maju mereka harus berjuang dan berusaha. Yosephine memberi contoh dirinya sebagai seorang pengusaha kecil. Awalnya bermodalkan 38 bungkus tepung terigu papeda, bisa sukses karena berjuang keras. Dia juga menampung anak-anak perempuan dari kampung-kampung. Bahkan mereka bekerja sambil sekolah. Sudah ada yang berhasil. Malah sampai ke jenjang magister. Kini sudah kembali ke kampung dan diangkat sebagai pegawai negeri.
Kekerasan terhadap perempuan di Papua itu, juga diamini oleh Dra.Maria Bano, Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP). Biasanya, pemicunya adalah alkohol. Ini masalah yang rumit bagi perempuan Papua. Ketika suami memiliki penghasilan banyak dan berlebih, sering mau tambah seri. Jika tidak, sering berselingkuh atau ada kelainan seksual dan melakukan kekerasan di hotel.
Dalam keadaan begitu, biasanya ada yang melapor ke KPP. Pihak Polsek juga menerima laporan serupa, tetapi sering juga minta surat ke KPP untuk diproses. Jika pelakunya adalah pegawai negeri sipil, biasanya dibuatkan surat ke kepala dinasnya atau atasan langsung. Biasa juga yang dilaporkan ke polisi tiba-tiba dicabut, karena adanya ancaman dari sang suami dengan dalih akan diceraikan. Akibatnya, biasa kekerasan berlanjut. Kalau begitu, kembali lagi diproses dan makan waktu hingga 1-2 tahun.
Mungkin juga kekerasan ini dipicu oleh mahalnya mas kawin. Soalnya, pihak laki-laki menganggap, dia sudah ‘membayar’ lunas perempuan yang menjadi istrinya, sehingga semau gue saja melakukan kekerasan.
Ketua PKK Kabupaten Jayapura Kostafina Bonay Suwae mengatakan, perempuan Papua kini sudah dapat akses. Apalagi sekarang sudah ada Ikatan Perempuan Asal Sentani (IPAS).
‘’Perempuan memiliki akses dan memperoleh posisi penting. Jadi, ada perubahan paradigma perempuan Papua. Dan, perubahan itu akan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi kemarin dan sekarang,’’ ujar Ny.Habel Melkias Suwae.
Setelah merekam demikian banyak komentar perempuan, 31 Agustus 2008, kami mengadakan rapat di Kantor Kepala Dinas Pertanian Ir.Anas Saway. Selain Ketua PKK Kabupaten Jayapura, juga hadir Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) Dra.Maria Bano, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Yuliana Yoku, Upi, Alberth Wangloan, dan tim penulis.
Ir.Ana Saway, yang meraih predikat peserta terbaik III Diklatpim di LAN Makassar belum lama ini, mencoba memetakan kriteria perempuan Papua ke dalam tiga hal, yakni perempuan sebagai istri pejabat, kehidupannya terbatas dan penuh protokoler. Kedua, perempuan karier, mengatur diri sendiri ketika suaminya mendukung. Dia bebas mengekspressikan sesuatu dan berjuang sendiri. Ketiga, perempuan kampung, mereka mengerti tentang pemberdayaan. Mereka sudah biasa melakukan kegiatan sosial, adat, agama, dan sebagainya. Mereka tunduk pada adat dan agama sebagai pegangan. Di Papua peranan gereja sangat kuat. Ibadah perempuan juga banyak. Mereka dapat melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan apa saja, tetapi dibatasi.
Majelis Rakyat Papua
Pada tanggal 1 Agustus 2008, tim yang dilengkapi panitia kecil seminar perempuan yang bakal dilaksanakan 28 Agustus 2008 di Papua bertemu dengan sejumlah anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pertemuan ini berlangsung hangat dan menarik. Perempuan yang hadir, termasuk seorang putri Kepala Adat Lembah Baliem, Obahorok juga hadir. Bahkan dia berbicara dengan sangat gamblang mengenai masalah yang dihadapi perempuan dan Papua pada umumnya.
Berdasarkan Undang-Undang No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua ada pasal khusus yang menyuarakan eksistensi perempuan Papua. Dalam pasal 47 disebutkan, ‘’Untuk menegakkan hak asasi manusia kaum perempuan, pemerintah provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki’’. Makanya, untuk menjadi ujung tombak pelaksanaan pasal tersebut, di kelembagaan Majelis Rakyat Papua (MRP) ada Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan yang beranggotakan setidak-tidaknya 15 orang (dari 42 anggota MRP). Anggota Pokja itu merupakan representasi dari wilayah adat yang ada di Papua.
Menurut Hana, yang sebelumnya pernah bertugas di LP Daan Mogot Tangerang salah seorang inspirator lahirnya sebuah tabloid mengenai perempuan di Papua, perempuan sewaktu-waktu akan kawin. Kalau dia keluar dari lingkungan komunitas adatnya, jelas akan menginformasikan strategi lingkungan dan kampungnya. Ini dapat menjadi ancaman bagi kampung itu. Kalau berbicara gender, sudah bukan barang baru bagi perempuan Papua.
Masalah yang paling besar dihadapi perempuan Papua adalah ketidakberdayaan mereka. Masalah kekerasan misalnya, karena ada kekuasaan yang sulit mereka lawan. Siapa yang lemah jelas akan mengalami kekerasan. Umumnya, laki-laki yang menjadi pemicunya. Angka kekerasan tidak menurun, bahkan makin naik.
Frida Beda dari Sorong menilai situasi yang hampir sama dialami perempuan, yakni mereka sudah mulai berjuang memajukan dirinya. Mereka berperan banyak di sektor bisnis usaha kecil. Setelah otonomi khusus (Otsus) timbul kesadaran perempuan untuk menata diri. Sebab, UU Otsus menjamin hak-hak perempuan. Mereka mulai membangun diskusi di masyarakat akar rumput. Perempuan sudah memiliki kemampuann untuk membuat pola hidupnya.
Putri Obahorok dari Pegunungan Tengah menyoroti kehadiran pendatang yang membuat bar. Akibatnya, laki-laki Papua yang sudah bekerja, habis terima gaji langsung masuk bar. Pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan bentrok dengan istri. Timbul kekerasan dalam rumah tangga.
‘’Pemerintah perlu membuat peraturan daerah agar menutup bar-bar itu,’’ kata anak Kepala Suku Lembah Baliem dengan gamblang.
Yuke, sambil mengunyah sirih tetap gamblang berbicara. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan, mungkin saja karena mas kawin yang mahal. Perempuan sebenarnya lebih bisa menyimpan rahasia. Perlu ada Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Adat terlalu dominan. MRP tidak memiliki hak legislasi. Perempuan berjuang keras tidak mau tertindas. Perempuan Papua mau maju. Apalagi dalam UU Otsus perempuan sudah terpoteksi, terlindungi, dan diberdayakan.
‘’MRP sudah maksimal bekerja. Kalau tidak berhasil, jangan tanya mengapa. Jika ada yang tidak bisa menjawab, kita tanya saja pada rumput yang bergoyang,’’ Yuke mengutip syair lagunya Ebiet G.Ade.
Pada tanggal 2 Agustus 2008, kami bertemu dengan Uskup Agung Jayapura di Kantor Keuskupan. Lokasi kantor sangat strategis. Terletak di lereng bukit, kantor ini dipenuhi pohon nan rindang. Memandang ke utara, tampak Teluk Yos Sudarso dan rumah penduduk yang berjejer di tepi pantai. Budi Hernawan, OFM, menerima panitia di ruang kerjanya.
Ketika ditanya mengenai masalah perempuan Papua, Budi Hernawan menjawab sangat filosofis. Tidak ada perempuan Papua. Mengapa? Masalahnya yang berlaku adalah kultur patriarhat. Perempuan sebenarnya menjadi kunci rumah tangga, tetapi ke publik justru laki-laki. Perempuan yang bekerja, tetapi kebijakan mengenai perempuan tidak menyentuh kehidupan nyata, karena dari pegangan perempuan secara mentak tidak ada.
‘’Perempuan Papua lebih jelek lagi secara ekonomi, politik, pendidikan. Pendekatan terhadap perempuan masih sebatas belas kasihan. Secara struktural dan alam pikiran laki-laki,’’ kata Budi Hernawan.
Gereja menjadi tempat anak dan perempuan memperoleh tempat yang layak. Pokja Perempuan di MRP lebih kuat dari Pokja Adat dalam isu yang berkembang. Dalam struktur adat, peran perempuan mulai diakomodasi. Orang pantai memiliki ritual, orang pegunungan tidak ada.
Soal alkohol, sebenarnya tidak dikenal dalam masyarakat Papua. Hanya tentara yang memperkenalkan, sebab ke mana pun mereka pergi selalu bawa alkohol dan itu jadi penyakit. Mereka minum sebenarnya untuk kepentingan sosial. Tetapi orang Papua mengubah pola minum itu. Di pinggir-pinggir jalan dan di tempat-tempat gelap.
Puncak penelitian penulisan buku perempuan Papua ini akan diwujudkan dalam satu seminar 28 Agustus 2008 di Papua. Sejumlah pihak akan berbicara. Ada dari P3W (Marieke atau Hermien), Mientje Rumbiak dari MRP, Ibu Ketua PKK, dari Keuskupan Agung Papua., dan Dr.Dwia Aries Tina, P, Pembantu Rektor IV Unhas yang juga seorang pemerhati masalah perempuan. Mereka akan berbicara apa adanya, tentang diri mereka sendiri.
M.Dahlan Abubakar
Sabtu, 17 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar