Jumat, 01 Januari 2010

Profil Singkat Saya

Ketika kecil, jangankan bercita-cita menjadi wartawan, kata ‘wartawan’ saja tidak pernah saya dengar. Hanya saja, sejak kecil saya sudah senang mendengar radio. Memasuki masa pendidikan SMP, radio yang saya dengar lebih berkembang lagi. Tidak lagi hanya RRI Nusantara 4 Makassar yang sudah jadi langganan saya, tetapi Radio Australia yang dipancarkan dari Melbourne. Tangkapan sinyal radio luar negeri di kampungnya, di Bima, kampungnya, sangat kencang dan suaranya cukup jelas. Padahal, radio penerima yang saya miliki hanyalah merek Ralin, produksi dalam negeri, Bandung. Radio merek ini dibagikan dan dibayar dengan cara mencicil kepada para guru di seluruh kabupaten. Kebetulan ayah saya seorang guru sekolah dasar.
Saya yang dilahirkan di Bima, 12 Januari 1952 (semestinya 2 Oktober 1953) malah bercita-cita konyol mau menjadi penyiar radio asing. Padahal, modal apa yang saya miliki. Kata bahasa Inggris yang saya tahu, hanya yes dan no. Rasa ingin menjadi penyiar radio itu mungkin dipengaruhi keasyikan saya mengikuti kedua siaran radio tersebut.
Kemajuan cita-cita saya berubah lagi ketika dia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri Bima di Raba tahun 1969. Suatu hari, di kampung saya ada pertandingan olahraga perayaan Hari Ulang Tahun Proklamasi. Saya pun mencoba meliput kegiatan itu tanpa pengetahuan jurnalistik sama sekali. Tidak ada juga yang menyuruh, termasuk cara menulis berita dengan rumus 5W+H yang saya ketahui puluhan tahun kemudian. Cara menyusun berita pun mengikuti gaya yang saya dengar di RRI Nusantara 4 Makassar.
Berita yang disusun itu pun saya antar sendiri ke Radio Pemerintah Daerah (Rapemda) Bima di Raba. Sejak mengantar berita tersebut, saban malam selama seminggu, saya ke studio Rapemda yang terletak di dekat rumah jabatan Bupati Bima. Tentu saja, menunggui berita yang saya kirim disiarkan. Jelas, tidak pernah diberitakan, karena dibuat oleh individu dan bukan oleh Humas instansi. Waktu itu, mungkin seharusnya juru penerang kecamatan yang melaporkan kegiatan seperti ini. Tetapi, mana ada juru penerang seperti itu di kecamatan nun jauh di pelosok desa.
Kisah pengiriman berita ke Rapemda hilang ditelan waktu. Kesenangan menulis saya lampiaskan saja di buku catatan harian yang tidak pernah sempurna. Cerita pendek sering saya buat, juga buntu karena tanpa media penyaluran sama sekali. Suratkabar yang beredar di Bima kebanyakan dari Jakarta. Yang sering saya baca di sebuah toko di persimpangan tiga di Kota Bima hanyalah surat kabar Abadi.
Tanggal 8 November 1971 malam dia meninggalkan kampung halamannya, Bima, untuk melanjutkan pendidikan ke Ujungpandang. Seminggu kemudian, 15 November tepatnya, saya ‘’terdampar’’ bersama perahu Phinisi Bugis Masalihul Ahyar di antara Pulau Laelae dengan Bioskop Benteng (dulu) di tengah guyuran hujan lebat. Dari kampung saya bercita-cita masuk ke Akademi Pajak Indonesia (API) Makassar, tetapi akhirnya banting stir ke Fakultas Sastra Unhas. Alasannya, menghindar dari pelajaran berbau matematika.

Seorang Diri

Di Fakultas Sastra-lah saya berkenalan dengan dunia tulis menulis secara serius dan intens. Tercatat, Drs.Ishak Ngeljaratan, M.A. termasuk salah seorang guru saya. Beliaulah yang mengajarkan cara menulis esei dalam kuliah tatap muka seorang diri selama beberapa bulan. Untuk menyalurkan kesenangan menulis yang lain, saya berguru kepada M.Anwar Ibrahim (alm.), yang waktu itu baru saja dibebaskan dari penjara, karena kasus Angkatan Muda Sulawesi (AMS). Anwar Ibrahim pernah menjadi wartawan di Makassar sebelum dijebloskan ke tahanan.
Almarhum pulalah yang merekomendasikan saya mengikuti Pendidikan Jurnalistik I Unhas, November 1975. Lepas dari pendidikan ini, saya bergabung dengan Penerbitan Khusus identitas yang hingga kini masih saya pimpin dalam kapasitas sebagai Ketua Penyunting.
Sambil menjadi reporter identitas, saya juga mulai menulis di harian Pedoman Rakyat untuk rubrik Kampus Mahasiswa. Pada saat itulah saya berkenalan dengan M.Fahmy Myala, yang sudah menjadi Koresponden Harian Kompas di Ujungpandang. Terkadang selagi di boncengan sepeda motor Vespa Fahmy, saya sering mengajukan keinginannya menjadi wartawan di koran umum.
‘’Kak Fahmy, bagaimana caranya menjadi wartawan di koran umum,’’ kata saya suatu saat ketika Vespa yang ditumpangi bersama Fahmy melintas di Jl.Mongisidi.
‘’Oh, nanti saya perkenalkan dengan seorang teman. Namanya, Rosadi Sani. Dia bekerja di Pedoman Rakyat,’’ jawab Fahmy yang ternyata pada hari itu, langsung memperkenalkan saya dengan pria kelahiran Banjar tersebut.
Kami menuju bagian samping kantor ‘’PR’’ di Jl.A.Mappanyukki, tepatnya di kamar lay out. Rosadi sedang berkutat merampungkan halaman lampiran ‘’PR’’ siang hari itu.
‘’Pak Rosadi, ini saya bawa seorang anak muda yang mau jadi wartawan,’’ kata Fahmy.
Saya pun langsung berkenalan dengan Rosadi. Pengasuh rubrik ini kemudian bertanya mengenai track record saya. Setelah puas, dia pun mulai memberi tugas.
‘’Begini saja, kamu meliput kegiatan mahasiswa dan perguruan tinggi dulu. Nanti baru ke bidang-bidang lain,’’ katanya pendek.
Keesokan harinya, menggunakan sepeda ‘pagandeng’ kiriman orang tua dari kampung, saya pun mulai merambah jalanan kota. Mendatangi beberapa kampus perguruan tinggi untuk mewawancarai pimpinan perguruan tinggi atau meliput kalau ada kegiatan di kampus itu. Yang masih saya ingat betul, datang meliput di Kampus IKIP di Jl.Sultan Hasanuddin, yang kini ditempati Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) Makassar.
Hanya selang setahun, mungkin karena prestasi dan bakat jurnalistik sudah tampak ada kemajuan, saya mulai dilepas mengikuti kunjungan pejabat ke daerah. Yang masih saya ingat, kunjungan pertamanya adalah ke beberapa daerah di bagian selatan Sulsel. Mulai dari Kabupaten Gowa hingga Bulukumba. Agendanya waktu itu adalah meliput hasil-hasil pembangunan bersama staf Kanwil Depatemen Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1976, selain tercatat sebagai koresponden ‘’PR’’, saya juga menjadi staf di identitas dan juga Koresponden Suara Karya Jakarta. Pada tahun 1980, saya diangkat sebagai pegawai negeri di Unhas dengan pos di Hubungan Masyarakat. Meski jadi PNS, pekerjaan wartawan tidak pernah saya tinggalkan. Saya jadikan Unhas sebagai pos tugas. M.Basir, Pemimpin Redaksi ‘’PR’’ sering mengatakan, hanya orang kentut saja yang tak pernah diberitakan di Unhas. Ini terjadi pada masa Unhas dipimpin Prof.Dr.A.Amiruddin. Tetapi harus diakui, Unhas waktu itu memang tambang berita.
Pada tahun itu, ada pengalaman menarik. Saya ikut lomba karya tulis ‘Hemat Energi’ yang dilaksanakan Departemen Pertambangan dan Energi Sulsel. Saya tak tahu siapa jurinya. Tetapi, ketika diumumkan, ternyata pemenang I, II, dan III semua dari Penerbitan Kampus Identitas. Saya juara I, Aidir Amin Daud juara II, dan SM Noor, juara III.
Pada tahun 1981, ada pengalaman saya yang menarik. Awal tahun itu, saya masuk rumah sakit dan dirawat beberapa hari. Tiba-tiba saja di rumah sakit tersebut ada keluarga pasien ‘mengamuk’. Saya tahu itu. Saya bangun dari kamar perawatan. Menengok apa yang terjadi. Bertanya kepada beberapa orang saksi mata.
Kembali ke kamar perawatan, saya bukannya terbaring lagi di tempat tidurnya, melainkan mengambil kertas. Menulis tangan di atas kertas peristiwa ‘mengamuk’-nya keluarga pasien. Atas bantuan seorang adik yang rajin membesuk saya, berita tersebut dilayangkan ke kantor redaksi. Saya pun kembali tidur pulas.
Pagi-pagi keesokan harinya, rumah sakit geger. Pasalnya, berita ‘mengamuk’-nya keluarga pasien masuk koran. Perbuatan siapa gerangan yang meloloskan informasi itu ke media. Tudingan memang sempat dilayangkan ke saya yang sedang dirawat. Tetapi istri saya membantah keras. Bagaimana mungkin orang sedang dirawat membuat berita. Istri saya memang tidak tahu kalau ada berita saya ‘selundupkan’ ke redaksi.
Usai dirawat, saya kembali ke rumah kontrakannya di Jl. Kandea II. Baru beberapa hari istirahat, suatu pagi saya muncul di kantor. Wakil Penanggungjawab Heny Katili (almarhum) kaget melihat saya muncul.
‘’Pak, saya mau ke Bone!,’’ kata saya pelan.
‘’Eee.. kau mau mati? Kau kan masih harus istirahat. Kau masih belum pulih. Kau belum sehat. Kau masih perlu istirahat dulu beberapa hari. Lihat mukamu pucat sekali,’’ kata almarhum serius.
‘’Tidak, Pak. Saya sudah agak kuat. Saya juga tidak sampai ke Bone. Hanya sampai di Desa Padaelo. Saya ingin melihat desa tempat Kaseng ditangkap massa,’’ kata Dahlan.
Saya mau ke desa di KM 79 Makassar-Bone itu, karena pada malam harinya mendengar berita RRI Makassar bahwa Kaseng, pembunuh Bupati Bone PB Harahap pada tahun 1979 ditangkap penduduk setempat. Saya ingin mengetahui kronologis dan kisah penangkapan lelaki tua itu.
Pak Henny akhirnya mengizinkan saya berangkat. Setelah dibekali uang secukupnya, mengenakan jaket PR warna coklat, saya meluncur menuju Terminal Panaikang. Lantaran hari sudah meninggi, mobil ke Camba dan Bone sudah pada berangkat. Saya nyaris putus asa. Tidak ada lagi kendaraan yang bisa membawa saya ke daerah tujuan. .
Apa boleh buat, saya estafet. Dari Terminal Panaikang saya naik mobil yang ke Maros. Dari Maros mencari mobil yang ke Camba. Dapat juga. Repotnya, tidak ada mobil ke Bone yang mau berhenti, ketika saya mencoba menahannya di Camba. Mungkin penumpang penuh.
Kebetulan di Camba baru saja selesai upacara. Banyak anggota Hansip/Wanra yang berdiri di pinggir jalan. Rupanya mereka juga menunggu kendaraan tumpangan yang ke arah Desa Padaelo. Tapi, mereka tidak menunggu bus penumpang. Truk saja yang lewat mereka tahan.
Tiba-tiba berhenti sebuah truk milik PU, warna kuning. Mereka berlomba memanjati truk yang penuh dengan aspal tersebut. Saya tak mau ketinggalan. Ikut memanjat. Sepanjang perjalanan saya duduk di atas pembatas bak dengan kepala truk. Mengenakan jaket mirip warna pakaian Hansip, cokelat, telinga saya merah juga oleh teriak anak-anak SD tersebut. Dia kuat-kuatkan saja mentalnya. Tokh tidak ada yang tahu dia nebeng truk PU bersama Hansip/wanra.
’’Ya, Hansip, tentara sikola (cokelat), tidak ada gajinya. Tidak membayar!!!!,’’ teriak anak-anak itu.
Di Padaelo, saya bertamu ke kepala desa. Ramah sekali orangnya. Dia dengan tabah dan rendah hati mengantar mantan wartawan ‘’PR’’ ini bertemu dengan warga yang pertama bertemu dengan Kaseng. Termasuk warga yang mencuri parang panjang Kaseng di sebuah pos ronda di sebelah kiri jalan, tak jauh dari perbatasan Maros-Bone.
Malam harinya, saya sudah merapat kembali di Kantor Redaksi Jl.Mappanyukki. Di tempat singgah kendaraan, di sekitar Bantimurung (menjelang pendakian), saya bertemu dengan Bachtiar Amran, wartawan Kompas yang sebelumnya pernah di ‘’PR’’. Tiar, panggilan akrabnya, ternyata baru saja kembali dari Watampone. Sama, memburu informasi mengenai ditemukannya pembunuh PB Harahap.
‘’Saya tidak dapat informasi yang berarti, karena sulit bertemu langsung dengan Kaseng,’’ kata Tiar seolah kecewa dengan lawatannya ke Bone.
‘’Kalau Kak Dahlan dapat apa dari Padaelo?,’’ Tiar balik tanya.
‘’Saya juga tidak dapat informasi berarti dari sana. Saya Cuma foto pos ronda, tempat kaseng pernah singgah,’’ saya menyembunyikan informasi yang diperolehnya.
Di kantor, saya mencetak foto pos ronda. Untuk memudahkan orang menandai lokasi penangkapan Kaseng, saya menggambar denah lokasi secara sederhana. Kisahnya, dipapar dengan sangat runtut dan dengan bahasa yang sangat sederhana. Seolah, pembaca ikut hadir di Desa Padaelo.
Siang hari, setelah beberapa hari berita itu dimuat di halaman 1 ‘’PR’’, saya untuk kesekian kalinya muncul siang di kantor. Bersama beberapa orang teman wartawan saya ngobrol di depan pintu kantor redaksi di Jl.Mappanyukki. Agendanya, sekitar perjalanannya ke Desa Padaelo. Saya bersandar di pinggir pintu. Tiba-tiba bahu kanan saya, ditepuk seseorang. Saya balik kanan. Mulut saya hampir saja menyebut suatu kalimat, ketika mata saya lebih cepat tertumbuk pada sosok seorang yang sangat saya kagumi dan seganinya. L.E.Manuhua (almarhum).
‘’ Kamu membuat reportase terbaik kali ini,’’ katanya pendek, kemudian menuju sedan Torana DD 29 E warna hijau yang dikemudikannya sendiri.
Saya hanya ‘’menjawabnya’’ dengan kebanggaan nurani. Sebab, apa yang dilakukannya adalah wajar-wajar saja sebagai wartawan.
Saya memang ditakdirkan memiliki naluri jurnalistik tinggi. Pernah saya mengemudikan mobil sendiri, memboyong istri dan dua temannya pada tahun 1999 ke kaki Gunung Perak, Sinjai Barat lewat Malino dan Tombolo. Jaraknya sih tidak seberapa, tetapi jalan ke sana lumayan juga jeleknya. Apa yang saya mau cari di kaki bukit yang nyaris sama tingginya dengan Gunung Bawakaraeng itu? Saya membaca di koran di kaki gunung itu ada seorang haji sudah berusia lanjut dan tuna netra, secara nasional terpilih sebagai penyelamat lingkungan. Saya mewawancarai tokoh tersebut selama beberapa jam. Saya kemudian kembali ke Makassar melalui Kota Sinjai, memotong kawasan Caming ke arah Camba dan tiba di Makassar menjelang tengah malam.

Kembalikan Uang, Dimarahi

Pada tahun 1982, merupakan pengalaman pertama saya ke luar negeri. Pemimpin Umum ‘’PR’’ L.E.Manuhua, menugaskan saya meliput Asian Games IX di New Delhi, India. Ketika pulang meliput, saya mengembalikan sejumlah uang sisa anggaran peliputan yang tidak terpakai.
‘’Kamu bodoh sekali. Mengapa bawa kembali uang dari luar negeri. Pakai saja, asal ada laporan pertanggungjawabannya, ’’ kata Pak Manuhua almarhum, saat menerima kembali uang sekitar Rp 600 ribu di ruang kerjanya.
Pada tahun 1983, terjadi gempa bumi di Mamuju. Keesokan harinya, Gubernur A.Amiruddin meninjau lokasi gempa di Mamuju. Wartawan ‘’PR’’ tidak sempat ikut, ketinggalan rombongan Gubernur yang berangkat sangat pagi. M.Basir memanggil saya.
‘’Sekarang juga kau ke Mamuju,’’ perintah M.Basir.
Dalam pikiran sulung dari 10 bersaudara ini sempat muncul tanya. Pakai apa ke sana? Rombongan sudah berangkat. Tapi pertanyaan bodoh kalau kalimat itu disampaikan ke Pak Basir. Paling-paling Pak Basir bilang, ‘’apa kau mau jalan kaki?’’.
Apa boleh buat, namanya perintah tidak boleh ditolak. Sama dengan tentara harus siap menaati perintah komandan. Bekerja di media massa tidak boleh ada kompromi dan tawar menawar dalam hal meliput. Kalau ada kompromi, sistem manajemen redaksi akan berantakan. Saya naik bus sore. Tiba di Majene sudah lewat tengah malam. Perjalanan dilanjutkan ke Mamuju setelah istirahat beberapa jam di Majene. Siang keesokan harinya, bus yang saya tumpangi berpapasan dengan rombongan Gubernur Amiruddin yang kembali ke Ujungpandang. Saya berpikir, biarlah jalan sendiri. Beruntung, Bupati Mamuju Atik Sutedja (almarhum) sudah cukup akrab dengan saya, karena pernah meliput beberapa kali kegiatannya sebelum gempa.
Pada awal tahun 80-an, saya nyaris dipecat di PR. Pasalnya, masalah gara-gara sebuah tulisan. Features itu, menurut saya, sangat menarik dan langka. Suatu malam, saya memperoleh informasi bahwa ada anak yang tertukar selama 12 tahun di Sungguminasa (baca juga tulisan di blog ini). Kedua anak yang tertukar itu sudah kembali ke pangkuan ibu kandungnya masing-masing. Tapi saya tidak puas dengan berita kembalinya kedua anak tersebut ke keluarga aslinya. Saya mau mengetahui bagaimana kisah dan proses ‘’repatriasi’’ kedua anak itu ke orangtuanya masing-masing.
Menunggang sepeda motor Yamaha merah tahun 70-an, saya mengajak istri ke Sungguminasa. Wawancara dilakukan di berbagai tempat malam hari. Hasilnya luar biasa. Saya kembali ke rumahnya dan langsung menulis hasil liputannya dalam bentuk features. Keesokan harinya, naskah tersebut disetor ke redaksi, yakni Pak Henny Katili. Soalnya, hanya ’’PR’’ yang tahu informasi itu. Jadi Dahlan tak perlu khawatir dilombai media lain.
Almarhum ini melihat tulisan ini agak langka, kemudian menyerahkannya ke Pak Basir (alm.). Naskah tersebut beliau perlu dilihat pemimpin redaksi. Mungkin ada tambahan atau perlu disunting lagi, biar kian menarik.
Setelah berhari-hari, saya terus menunggu naskah itu dimuat, tetapi tak kunjung termuat juga. Suatu malam, ketika ronda di redaksi, saya iseng-iseng ’membongkar’ tumpukan naskah di meja almarhum Pak Basir, sekadar mengetahui apakah naskah tersebut tiba di mejanya atau tidak. Ternyata benar. Naskah tersebut terselip di antara naskah-naskah lainnya. Saya yakin, naskah itu sudah beliau baca. Yang dia tidak mengerti, mengapa tidak dimuat. Saya juga tidak pernah dipanggil sekadar untuk diberitahu nasib naskah features yang saya buat.
Setelah mengetahui PR tidak memuat naskah tersebut, saya memutuskan melayangkan naskah itu ke Harian Suara Karya Jakarta. Kebetulan juga saya masih tercatat sebagai koresponden media Golkar itu di Sulsel. Di luar dugaan, media yang dikendalikan partai berlambang pohon beringin ini, memuatnya di halaman depan pada kesempatan pertama. Tentu saja, sangat menghebohkan. Dan, saya yakin, Pak Henny Katili akan membaca naskah itu, karena di atas mejanya selalu ada koran Jakarta tersebut.
Tiba saatnya rapat redaksi tiap tanggal 25. Rapat ini berujung dengan para wartawan dan karyawan menerima gaji. Salah satu agenda rapat yang sangat menegangkan adalah membahas kasus tulisan features yang dimuat Suara Karya. Pak Manuhua (alm) langsung angkat bicara.
’’Secara moral, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Seorang wartawan ’PR’, tidak dibenarkan mengirim tulisan atau naskah ke media lain,’’ kata Pak Manunua tegas.
Mendengar ’serangan’ ini, saya hanya tertunduk saja. Dalam diri saya hanya terbayangkan akan didepak dari media tertua ini. Dia sudah pasrah. Paling-paling kalau dipecat, masih ada tempat nyangkut-nya di Unhas. Dia akan memfokuskan diri menjadi pegawai negeri yang rajin masuk kantor. Tidak lari-lari lagi ke luar daerah untuk meliput berbagai kegiatan dan memenuhi undangan lawatan pers. Namun, belum selesai Pak Manuhua bicara, timbul niat dan keberanian saya untuk menjelaskan duduk persoalan ’’tulisan bermasalah’’ itu.
’’Jika boleh, saya diberi kesempatan sedikit menjelaskan kasus tulisan tersebut,’’ tiba-tiba suara saya memecah keheningan, begitu tarikan napas terakhir bos berhenti berbicara. Bagaikan ada dorongan dari dalam untuk menjelaskan masalah yang menimpa diri saya.
Saya pun menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. Saya katakan, meliput kejadian itu di malam hari dengan menunggang sepeda motor bersama istri dan menulis liputan hanya untuk ’PR’. Naskah disetor ke redaksi. Tetapi ternyata, mungkin pihak redaksi memiliki pertimbangan lain, sehingga memutuskan tulisan tersebut tidak layak muat di ’PR’. Saya juga tidak mendapat penjelasan atau alasan tidak dimuatnya tulisan itu.
’’Hanya saya juga heran, mengapa kita tidak memuat kasus itu yang justru terjadi di depan mata kita sendiri, sementara koran lain di Jakarta menempatkannya di halaman depan? Terima kasih,’’ saya mengakhiri komentar dengan sangat diplomatis.
Mendengar penjelasan saya, Pak Manuhua bagaikan ’berebut’ waktu langsung berbicara lagi. Saya bagaikan memperoleh ’dewa penolong’ atas ’serangan’ pertama tadi dengan penjelasan Pak Manuhua yang terakhir ini.
’’Kalau begitu permasalahannya, saya minta pihak redaksi lebih jeli melihat dan menilai suatu tulisan wartawan. Ini menjadi bahan pelajaran yang berharga ke depan,’’ Pak Manunua secara halus melakukan instrospeksi terhadap jajaran redaksi.

Protes
Pernah juga saya merasa tidak puas selama menjadi wartawan di PR, pada awal tahun 80-an. Ceritanya, ketika itu ada peristiwa tenggelamnya salah seorang mahasiswa IKIP Ujungpandang di Sungai Jeneberang. Setelah beberapa hari dicari, pada pukul 01.00 dinihari hari berikutnya, saya mendapat informasi melalui pesawat handy talky yang menginformasikan korban ditemukan. Dengan sepeda motor merah, saya meluncur ke Sungai Jeneberang. Lonceng sudah menunjukkan hari sudah berganti. Usai mewawancarai beberapa sumber, saya tancap gas kembali ke kantor.
Sungguh saya kecewa, ketika tiba di kantor, berita yang diperoleh tidak bisa lagi dimuat untuk keesokan harinya. Padahal, berita penting ini bisa ditempatkan sebagai stop press di halaman depan. Seorang karyawan bagian kamar gelap yang bertubuh gempal menolak keinginan saya untuk memuat infrormasi terbaru itu barang dua atau tiga kalimat saja di halaman depan.
Kejadian ini membuat saya kecewa sekali. Masalahnya, dia yakin berita itu masih bisa mengisi halaman depan dengan mencabut berita pendek lainnya yang sudah ada. Kalau si gemuk mau, yakin Pak Manuhua tidak akan marah lantaran keterlambatan koran terbit beberapa menit.
Di dalam perjalanan pulang, pikiran saya kalut. Saya berjanji dalam hati, kasus ini akan dibawa ke rapat redaksi setiap tanggal 25. Rapat kala itu sudah dilaksanakan di kantor Jl. Arief Rate 29. Ketika saya mengungkapkan ’jeritan hati’’ di rapat redaksi, saya mendengar Pak Manunua langsung mengambil tindakan. Si gemuk yang tidak mengerti pentingnya berita mahasiswa yang tenggelam beberapa hari akhirnya ditemukan itu, diistirahatkan beberapa saat.
’’Saya tak puas dengan sanksi yang diberikan kepada yang bersangkutan, ketimbang jika mengingat PR tidak segera memuat berita tersebut, lantaran ketidakmengertian oknum karyawan,’’ kata saya puluhan tahun kemudian.
Ayah dua anak – kini -- berikut dua cucu ini, selalu menyukai peliputan yang berkaitan dengan kemanusiaan dan bersifat petualangan. Pada tahun 1990, dia ditugaskan ke Ambon untuk mempersiapkan laporan menjelang HUT Kota Ambon yang jelak mengisi dua halaman PR. Dua hari dua malam saya hanya menulis laporan di salah satu hotel kelas melati di Kota Ambon Manise itu. Kenangan manis saya di Ambon adalah sempat bergabung dengan masyarakat setempat dalam acara ‘’makan patita’’. Di sini saya menjepret satu pemandangan yang menarik. Seekor anjing yang berdiri sejajar dengan sejumlah orang berbaris. Sepintas lalu, binatang piaraan tersebut bagai menjadi komandan barisan.
Dalam penerbangan Merpati ke Ujungpandang (waktu itu), beberapa lembar tulisan yang sudah dirampungkan di Ambon kembali dikoreksinya. Tiba di kantor redaksi hari sudah siang. Naskah pun langsung disiapkan untuk dimuat keesokan harinya. Sebab, hari berikutnya, saya harus terbang lagi ke Mataram untuk meliput Rapat Rektor Perguruan Tinggi Negeri anggota Badan Kerja Sama PTN se-Indonesia Timur.
Seminggu makan ubi

Pada tanggal 12 Desember 1992, tepat hari Sabtu, terjadi gempa bumi dan tsunami di Maumere, Flores. Saya tidak merasakan getaran gempa hebat itu di Ujungpandang, karena sedang berada di atas kendaraan bersama beberapa orang temannya menuju sebuah rumah makan. Maumere kala itu diterjang gelombang pasang. Laporan sementara menyebutkan ribuan orang menemui ajalnya. Pak Manuhua segera menelepon saya. Perintahnya, segera cari pesawat ke Flores. Saya bingung. Bagaimana mungkin mencari penerbangan ke Flores hari sudah sore.
Akhirnya, saya memutuskan lewat Bali pada hari Minggu, meski harus bermalam sehari untuk menunggu penerbangan lanjutan ke Bandara Wae Oti, Maumere, Senin pagi. Ternyata seat ke Maumere juga penuh. Frekuensi penumpang yang hendak menuju kota yang ’’babak belur’’ oleh gempa dan tsunami itu sangat tinggi. Pesawat rata-rata penuh. Untung sepupu saya di Bali punya kenalan di perusahaan penerbangan Bouraq. Akhirnya dia dapat satu seat kosong untuk saya.
Saya sempat makan pagi di Denpasar, sebelum terbang. Ternyata di Maumere situasi dan kondisinya sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Sarapan pagi di Denpasar itu, ternyata satu-satunya nasi yang masuk ke perut saya dalam beberapa hari kemudian. Saya hidup di tengah keserbakekurangan. Demi aman, saya memilih makan pisang masak, pisang rebus, ubi jalar atau singkong rebus yang banyak dijual penduduk.
Meliput di daerah gempa dengan situasi separah itu, memang pertama kali. Beberapa hari setelah di Maumere, bersama pasukan Brimob dan anggota TNI berikut sejumlah wartawan dalam dan luar negeri dia mengunjungi Pulau Babi. Pulau yang terparah disapu bersih oleh gelombang dan tsunami. Bayangkan, yang utuh hanya kubah masjid yang sudah ‘’duduk’’ di tanah. Sisa bangunan rumah panggung, kayu, dan bambunya bertumpuk luluh lantak.
Rombongan mendarat di pulau dengan bau yang sangat menyengat. Pemandu menjelaskan, agar`para wartawan menutup hidungnya masing-masing. Di bawah seng dan atap-atap rumah masih banyak mayat yang belum terevakuasi dan dikubur. Benar juga. Saya berjalan berkeliling sambil hidung ditutup rapat menggunakan sapu tangan. Tapi tak mempan. Rekan fotografer Kantor Berita Reuter di Indonesia, Sdri Eny Nuraheni juga merambah pulau yang sudah berantakan itu beriringan dengan saya. Tak terlihat, ternyata kami saling memotret saat menjepret mayat yang tertutup seng dan daun kelapa.
Hingga sore, rombongan TNI dan Polri menguburkan sedikitnya 10 mayat dalam satu lubang panjang. Saya sempat mengabdikan diri dengan latar belakang pemandangan saat mayat-mayat berjejer di lubang menjelang dikuburkan dan ditutup dengan tanah. Dua orang wartawan Jepang (Asahi Shimbun dan Yomiuri Shimbun) menolak ketika saya mengajak bergambar bersama di dekat mayat-mayat yang djejer. Mereka menggelengkan kepala ketika diajak.
Saya lapar sekali. Mencoba makan di pulau tak mungkin dengan bau yang sangat menusuk hidung. Tetapi, para anggota Brimob tak peduli. Mereka dengan lahapnya menggasak makanan yang mereka bawa di tengah bau tak sedap nan sangat tajam itu.
‘’Saya terpaksa kembali ke perahu motor dan minta makanan pada anak buah kapal motor. Itu pun susah lewat kerongkongan. Habis, bau juga sampai ke kapal,’’ saya mengenang belasan tahun kemudian.
Tak tahan sulit dan menderita mengirim berita ke kantor redaksi, setelah seminggu di Maumere, saya terbang kembali ke Ujungpandang. Pak Manuhua sempat kaget melihat saya muncul di kantor. Saya pun menjelaskan duduk persoalannya.
Namun saya tak kapok juga ke daerah gempa. Seminggu kemudian balik lagi dengan tim medis Unhas dan Sulawesi Selatan dan tinggal hampir dua minggu di Maumere dan Ende.
Suami Hj Hana Abubakar, AMK, ini mungkin satu-satunya wartawan angkatan 1977 di ‘’PR’’ yang masih aktif meliput hingga tahun 2006 lalu. Di tengah kesibukannya yang luar biasa, saya masih menyempatkan diri meliput dan membuat berita. Pertanyaan teman-teman yang selalu dialamatkan kepadanya adalah, bagaimana cara membagi waktu? Saya hanya jawab sederhana, ya sesuai peruntukannya saja. Kalau di siang hari ngantuk, tidur saja, meski di kursi sekalipun. Soal tidur, bukan lamanya, melainkan kualitasnya.
Menulis buku termasuk kesenangan saya. Selain pernah sibuk di ‘’PR’’, saya pun mengajar di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin dan menjabat Kepala Hubungan Masyarakat Unhas dan Ketua Penyunting Penerbitan Khusus identitas. Terakhir ini dipercaya sebagai Redaktur Pelaksana Majalah Identitas, sebuah media komunikasi yang diterbitkan Universitas Hasanuddin tepat pada usianya yang ke-50 tahun 2006. Di majalah wanita, belanja, saya juga tercatat sebagai kontributor. Kini, dia secara rutin menulis dan membuat laporan hasil wawancara di Majalah Profiles, sebuah majalah berita yang mulai terbit awal tahun 2008. Di majalah itu saya tercatat sebagai redaktur khusus kemudian menjadi pemimpin redaksi.
Sulung dari 10 bersaudara ini sudah mengunjungi sejumlah negara. Setelah mengunjungi India tahun 1982, meliput Asian Games IX, tahun 1992 ke Tanah Suci bersama PT Tiga Utama menunaikan ibadah haji. Pada tahun yang sama saya ke Thailand menghadiri Seminar Infrastruktur Asia di Bangkok bersama Radi A.Gany (saat menjadi Bupati Wajo) dan Abd. Madjid Sallatu. Pada tahun 1995 saya ke Singapura, menghadiri Ekspo Singapura-Indonesia dan juga mengunjungi Tawau Sabah, Malaysia mengikuti penerbangan perdana pesawat Merpati. Pada tahun 1994, saya mengunjungi Timor Timur bersama Keluarga Mahasiswa Penerima Beasiswa Super Semar (KM PBS) Unhas, sebelum provinsi termuda Indonesia itu berdiri sebagai negara merdeka pada tahun 1999. Banyak pengalaman menarik saya tulis dari Timor Timur.
Maret 1996 saya ke Tanah Suci lagi, menunaikan ibadah umrah. Beberapa hari sebelumnya saya pernah jalan-jalan ke Singapura bersama PT Tiga Utama pimpinan Ande Latief. Agustus masih pada tahun itu, saya ke Korea Selatan bersama kesebelasan PSM yang berhadapan dengan salah satu kesebelasan di Negeri Ginseng itu, Pohang Atom, dalam Kejuaraan Piala Winners. PSM kalah telak 0-4. Dari Korea, Oktober pada tahun itu juga, saya terbang ke Italia, meninjau pabrik marmar di negeri Menara Pisa itu bersama Ande Abdul Latief lagi.
‘’Satu kesyukuran saya, dalam kunjungan ke Italia ini sempat menonton pertandingan bola di Stadion Sansiro Milano yang selama ini hanya disaksikan melalui layar kaca. Kebetulan waktu itu Inter Milan melawan Parma,’’ saya mengenang. Hingga kini saya masih menyimpan tiket masuk menonton pertandingan bersejarah tersebut.
Saya juga sempat merasakan pergantian tahun 1996 ke 1997 di Dakka, Bangladesh. Suasananya sangat berbeda dengan di Makassar.
Tahun 2001, sebulan setelah setelah peristiwa penabrakan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York oleh dua pesawat, saya ke Xiamen China bersama Rektor Unhas Radi A.Gany dan rombongan Indonesia untuk Tionghoa (INTI) Sulawesi Selatan. Ketika habis mandi pagi di pantai bersama Drs.H.Aminuddin Ram, M.Ed, dan berjalan pulang ke dormitori (asrama mahasiswa) Xiamen University beberapa warga Xiamen berteriak.
‘’Osama..Osama..,’’ kata mereka.
Ternyata dia membaca tulisan di baju kaos yang melekat di badan saya.
‘’Bahaya juga, kalau saya pakai terus baju ini,’’ gumam saya dalam perjalanan pulang ke Dormitori Xiamen University.
Tahun 2003 mewakili wartawan Indonesia bersama 9 wartawan negara ASEAN lainnya mengunjungi Jepang atas undangan Kementerian Luar Negeri Jepang. Saya mengunjungi beberapa kota penting di Negeri Matahari Terbit itu seperti Tokyo, Nagoya, Kyoto, Hiroshima, dan Kyushu.
‘’Kita harus banyak belajar dari Jepang, terutama perihal menghargai budaya sendiri,’’ komentar saya.
Pada tahun 2004 dan 2008, dia juga meliput kegiatan Friendship Games BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Phillipines- East ASEAN Growth Area) di Kota Kinabalu, Malaysia dan Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
Selama karier wartawannya, saya pernah memenangi setidak-tidaknya 10 kali juara I Lomba karya Tulis di Sulsel. Tidak termasuk sebagai juara I Lomba Karya Tulis Nasional Keluarga Berencana Nasional antarwartawan se-Indonesia pada tahun 1990. Hadiah pemenang I pas diserahkan pada peringatan Hari Pers Nasional di Gedung RRI Nusantara IV Makassar tahun 1990. Saya bangga juga menerima hadiah tersebut disaksikan Rektor Unhas Prof.Dr.H.Basri Hasanuddin,M.A. dan Pemimpin Umum ’PR’’ L.E.Manuhua (alm.).

Diciduk Selagi Meliput

Selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya (dulu Fakultas Sastra) Unhas, Sekretaris PWI Cabang Sulsel 1988-1992 ini juga mengajar pada beberapa perguruan tinggi swasta, seperti STIKOM (sekarang Universitas Fajar). Dulu, juga pernah mengajar di Akademi Sekretari dan Manajemen (Aksema) Atmajaya Makassar, UMI, ASMI Publik, ASMI Yapika Makassar, dan STIA LAN. Dalam organisasi, kini masih menjabat Sekretaris SIWO PWI Sulsel, Ketua/Wakil Ketua Bidang Promosi dan Media KONI Sulsel (1999-2003/2003-2007/2007-2011) serta Humas Pengda PBVSI Sulsel, Humas Pengcab PBSI Kota Makassar, Humas Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang (PPIJ) Sulsel periode 2007-2012. Sebelumnya, beberapa tahun pernah menjadi Pengurus PSM Makassar.
Berbagai pendidikan dan latihan kewartawanan pernah saya ikuti. Antara lain, tahun 1988 saya mengikuti Lokakarya Nasional tentang Koperasi selama dua kali, yakni di Jakarta dan di Cisarua Bogor. Lalu mengikuti pelatihan wartawan di Cipayung. Pada tahun 1988 juga saya mengikuti Seminar dan Lokakarya Wartawan Olahraga Asia di Hotel Horison Jakarta. Seminar dan pertemuan yang dilaksanakan SIWO PWI se-Indonesia juga sudah tak terhitung saya ikuti.
Sebagai wartawan olahraga, saya memiliki pengalaman menarik. Kejadiannya, pada tahun 1987. Saat itu, ada event SEA Games di Jakarta. Mewakili PR, saya ikut meliput. Dari Fajar waktu itu, Erwin Patandjengi. Ketika berlangsung acara pembukaan peristiwa itu datang menimpa. Bersama Erwin, saya mengenakan rompi sponsor dari salah satu perusahaan film. Ketika berlangsung acara pembukaan yang dihadiri Presiden Soeharto, di atas Stadion Utama Senayan melayang-layang sebuah balon udara yang ternyata membawa kamerawan. Tak jelas dari mana. Melihat logonya, mungkin dari perusahaan film sponsor.
Kehadiran balon udara plus juru foto itu rupanya membuat aparat keamanan kecolongan. Heboh. Saat acara pembukaan usai, Erwin dan saya meninggalkan stadion. Belum jauh langkah kaki terayun, seorang berambut cepak sudah menjemput. Kami berdua diciduk mau dibawa ke markas pengamanan. Tak jelas pengamanan dari kesatuan apa.
‘’Kalian dari perusahaan itu, ya?,’’ tanya pria itu dengan nada kurang bersahabat sambil menyebut nama perusahaan yang balon udaranya baru saja melayang-layang dan melintas tepat di atas stadion.
‘’Bukan, kami wartawan peliput,’’ sahut kami berdua hampir bersamaan.
‘’Tidak, ikut saya ke kantor!,’’ perintahnya.
‘’Untuk apa?,’’ Erwin masih bertanya.
Pria itu terus saja membawa kami bergeser ke kanan. Belum lama kami mengikuti lelaki berambut cepak itu, tiba-tiba Erwin melihat sejumlah wartawan sedang mengerumuni Pak Eddy Nalapraya yang juga Ketua Panitia SEA Games.
‘’Pak Edy, kenapa kami mau dibawa ke kantor polisi. Kami kan wartawan,’’ kata Erwin setengah teriak.
‘’Memng mengapa wartawan mau dibawa ke kantor polisi?,’’ Pak Eddy balik tanya.
‘’Ini, nggak tahu Bapak ini,’’ kata Erwin berusaha menunjuk pria yang menggiringnya bersama saya.
Setelah dicari, ternyata pria itu sudah menghilang. Tak jelas entah ke mana.
Mendengar penjelasan Erwin, para wartawan beralih mempertanyakan kejadian yang menimpa kedua wartawan Sulsel tersebut. Tetapi Pak Eddy segera memotong.
‘’Ah… sudahlah. Itu hanya kesalahpahaman saja,’’ katanya.
‘’Kesalahpahaman bagaimana kalau wartawan sudah nyaris digiring ke kantor polisi, Pak Eddy,’’ cocor wartawan yang lainnya.
‘’Ah… sudah. Silakan wartawan meliput seperti biasa. Nanti kalau ada yang mau bawa ke kantor polisi, lapor sama saya,’’ kata jenderal dua bintang tersebut. Para wartawan pun bubar.
Belakangan, saya dan Erwin maklum, aparat keamanan berpakaian preman tersebut menyangka kami berdua termasuk teman dari kamerawan yang ada di balon udara yang melayang-layang dan memotret ke bawah, ke arah panggung kehormatan. Tempat Pak Harto duduk dengan tamu penting lain duduk. Memang riskan. Seandainya saja orang yang terbang dengan balon udara itu membawa senjata dan menghujani pelurunya ke bawah, ceritanya bisa lain.
Kakek dua cucu ini dikenal sangat gandrung membaca. Di tas saya selalu ikut buku. Saya sakit kepala kalau tidak ikut satu bahan bacaan. Soalnya, kalau saya menunggu sesuatu, buku itulah yang jadi ’mangsa’-saya. Kesenangan membaca itu, saya tularkan kepada para mahasiswa saya. Jika ada mahasiswanya yang ulang tahun, saya berikan hadiah buku.
Dalam urusan menulis, dari tangan saya sudah lahir beberapa buku. Seperti Nakoda dari Timur, Biografi Ahmad Amiruddin (1999), roman Biografi Zainal Basrie Palaguna Jangan Mati dalam Kemiskinan (2003), Berguru dari Keawaman (Kisah-kisah Radi A.Gany, 2003), Melintasi Belantara Keilmuan (biografi Prof.Dr.Ir. Hj. Winarni Dien Monoarfa, M.S., 2005), dan Anekdot dan Keajaiban Ibadah Haji (Pengalaman Spiritual Para Jamaah Haji Tahun ke Tahun) yang terbit di penghujung tahun 2005. H.M.Amin Syam: Militer Madani (2007), Memimpin dengan Nurani (2008), menulis edisi revisi Suara Hati yang Memberdayakan (2008) bersama Prof.Dr.W.I.M.Poli Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua (2008) bersama Prof.Dr.WIM Poli dan Dr.Sitti Bulkis. Awal ahun 2009 menulis Brother Tua yang saya tulis buat guru saya, Prof.Dr.H.Anwar Arifin.
Buku yang sangat monumental bagi saya karena merupakan karya yang sangat istimewa saya sumbangkan secara khusus buat komunitas pers di Sulawesi Selatan. Tempat saya sudah berkiprah lebih dari separuh usia.
Kini saya sedang mempersiapkan sebuah buku mengenai jurnalistik. Sekadar panduan bagi para wartawan muda merambah dunia yang penuh tantangan tetapi mengasyikkan ini. Sedikitnya terdapat lima naskah buku antri dituntaskan di laptop saya.
Buku yang pernah saya sunting, Pembangunan Berdimensi Ilmiah (2001), Kampus sebagai Rahim Budaya Perdamaian (2004), Ilalang di Tepi Telaga (2005) karya-karya Radi A.Gany. Dua karya lainnya yang pernah disuntingnya adalah Takutlah pada Orang Jujur (2003) oleh H.D.Mangemba dan bersama Dr.T.R.Andi Lolo menyunting Jepang, Politik Domestik, Global & Regional karya Abdul Irsan (Duta Besar RI di Tokyo). Dendam Konflik Poso (2009) oleh Dr.Hasrullah, M.A. dan Pendidikan Usia Sekolah di Sulawesi Selatan (2009) yang diterbitkan International Labour Organization (ILO) Perwakilan Indonesia. Terakhir Realitas Tanpa Mimpi (2009) karya Radi A.Gany. Menyunting buku ini selama tiga bulan, membuat saya sempat terkapar di rumah sakit selama seminggu karena kecapen.
Sebagai eks wartawan PR, saya sangat terharu dengan SMS yang dikirim oleh salah seorang putri almarhum L.E.Manuhua. Jayandi Putri Manuhua menulis SMS, setengah jam sebelum pergantian tanggal 1 ke tanggal 2 Maret 2009. Zendy, mengenang kebersamaan ’PR’ yang pernah dia nikmati beberapa tahun nan silam.
Saya hanya menjawab pendek,’’Setiap orang merindukan dan mengenang ’PR’. Tetapi, Kita tidak tahu, apakah dia bisa lahir kembali?’’. Zendy mengaku, menangis membaca jawaban SMS tersebut.
’’Setengah jam masih tersisa, sebelum 1 Maret 2009 berlalu, saya akan menuju komputer untuk memulai menulis. Mengawali kisah pergulatan 30-ku tahun bersama PR,’’ saya membalas.
’’Saya dukung ide itu. Mulailah. Saya akan bantu kalau bisa membantu,’’ balas Zendy lagi.
’’Okey, saya sudah mulai. SMS-SMS-an kita Ini akan jadi prolog kisahku nanti,’’ Dahlan membalas lagi.
Ketika melengkapi naskah buku komunitas wartawan di Sulsel – dan masih banyak yang belum tercantum di dalamnya – benak saya sudah menemukan judul buku kenangannya buat PR itu. The Old Warrior Die (Matinya Pejuang Tua). ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar