Minggu, 17 Januari 2010

Pemerintah Tanpa Kasat Mata

Judul : The Invisible Government
Penulis : David Wise & Thomas B Ross
Penerbit : Sketsa
Tebal : 436 halaman
Cetakan : I/2007

‘’Tembakan anti serangan udara Indonesia mengenai pesawat pemberontak Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) B-26 dan dua pesawat pengebom yang kemudian meluncur jatuh ke laut (di Teluk Ambon). Sayap kirinya terbakar api. Pilotnya, seorang warga Amerika yang bernama Allan Lawrence Pope, melompat dengan sukses. Parasutnya terbuka sempurna. Tetapi, saat dia terbang turun ke sebuah karang kecil, parasutnya tersangkut di sebuah pohon kelapa sehingga kaki kirinya patah.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 18 Mei 1958. Pilot berusia 29 tahun itu baru saja menyelesaikan pengeboman dan memberondong landasan udara Pulau Ambon di Maluku. Itu adalah misi berbahaya. Tetapi Pope melaksanakannya dengan baik. Ketika pemerintah Indonesia mengumumkan penangkapannya, Duta Besar AS di Jakarta Howard P.Jones segera menyebut Pope sebagai ‘’warga negara Amerika yang terlibat sebagai seorang tentara bayaran’’.
Dua alinea penggalan kisah tersebut merupakan salah satu bagian dari kisah buku ini yang menggambarkan betapa Amerika Serikat telah melaksanakan suatu operasi yang merupakan bagian dari apa disebut sebagai ‘pemerintah tak kasat mata’ (Invisible Government). Intinya adalah, pemerintah negara adidaya itu melaksanakan suatu operasi terselubung ke berbagai negara di planet ini dengan seolah-olah sang kepala negaranya sendiri tidak tahu apa-apa atau berpura-pura tidak tahu. Operasi ini didalangi oleh Badan Intelijen Pusat (Central Intelligence Agency).
Di Indonesia, salah satu contoh yang dikemukakan di dalam buku ini adalah keterlibatan Allan Pope sebagai pilot bayaran CIA. Pria yang pernah diancam hukuman mati tetapi kemudian dibebaskan atas ‘’main mata’’ mendiang Presiden John F.Kennedy dengan Soekarno, sebelumnya pernah menjadi pilot untuk tugas operasi di Vietnam Selatan. Dia didekati CIA Desember 1957, lima bulan sebelum tertembak jatuh oleh sebuah kapal patroli Angkatan Laut Indonesia di Teluk Ambon.
Itu adalah salah satu contoh keterlibatan CIA di Indonesia. Dalam catatan lain (lihat Mossad, Behind Every Conspiracy karya Herry Nurdi), CIA juga dituding mendalangi peristiwa Cikini pada tanggal 30 November 1957, ketika 11 orang menemui ajalnya dan 30 orang lainya luka-luka. Dalang peristiwa itu, Kolonel Zulkifli Lubis disebut-sebut sebagai perwira yang tidak senang terhadap Bung Karno. Anehnya, bukti-bukti keterlibatan tokoh yang dikenal sebagai pioner intelijen Indonesia itu sangat kurang dan nyaris lemah.
Masih ada lagi operasi yang ditengarai CIA terlibat sebagai dalang di dalamnya, yakni pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang disebut-sebut didalangi oleh PKI dan didukung oleh suatu Dewan Jenderal. Pada tahun itu, sebuah radio bernama ‘Suara Indonesia Bebas’ saban hari meneriakkan ‘’berontak’’. Radio yang tak jelas lokasinya itu, dipancarkan dengan kemampuan pemancar besar. Tetapi seorang profesor dari University of Phillipine, Roland G Simbulan mengatakan, radio ini berada tepat di jantung Indonesia. Ia menambahkan, tahun 1965 radio pemancar bergerak sangat canggih dengan frekuensi tinggi pada gelombang pendek telah diterbangkan dari pangkalan militer AS di Filipina Tengah (Clark) menuju Jakarta. Atas perintah Direktur Asia Divisi Asia Timur Jauh, William Colby, pemancar tersebut ditempatkan di markas Jenderal Soeharto, di Kostrad.
Dari ketiga operasi terselubung CIA itu sasarannya adalah menjatuhkan Presiden Soekarno. Apakah ketika PRRI/Permesta dengan Allan Pope-nya, Peristiwa Cikini yang ditudingkan kepada Zulkifli Lubis, dan G-30-S/PKI dengan menengarai PKI yang didukung sejumlah perwira TNI, semuanya pada masa pemerintahan Soekarno. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa Soekarno mau digulingkan? Jawabannya singkat, karena Soekarno sudah lebih condong ke Rusia dan RR China yang komunis! AS sangat gusar dengan kondisi ini, sehingga harus melaksanakan aksi untuk menggulingkan Soekarno yang ternyata berhasil pada tahun 1965 itu.
Sengaja saya mengutip contoh-contoh ini agar kita lebih sadar sejarah. Dan kisah Allan Pope tersebut adalah sebagian kecil dari operasi yang dilaksanakan ‘’Pemerintah Tak Kasat Mata’’ Amerika Serikat ke berbagai belahan bumi ini yang tertuang di dalam buku setebal 436 halaman ini. Dari sekian operasinya, memang ada yang mencoreng muka AS sendiri, yakni kisah penyerangan ke Teluk Babi (The Bay of Pigs) Kuba yang gagal total dan kisah keterlibatan dan kegagalan AS di Vietnam Selatan. Tetapi AS tak terhenti oleh sebuah kegagalan. Kegagalan benar-benar dijadikan pelajaran untuk melaksanakan operasi baru yang berhasil. Seperti yang ngotot dia lakukan di Indonesia.
Dengan membaca The Invisible Government yang terbayang kepada kita adalah kekhawatiran yang begitu besar terhadap sejumlah aksi yang terjadi di Indonesia. Nurani kita mengatakan itu tidak benar, tetapi seperti tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti permisif. Yang membuat kita ngeri adalah ketika melihat anak negeri ini menyerang sesama umat lantaran berbeda pemahaman dalam soal agama. Ironisnya, umat Islam dengan mudah menghakimi sesamanya justru di tengah dunia mengecam zionis Israel. Dalam buku Herry Nurdi juga disinggung kaitan antara peristiwa pengeboman Bali dengan keterlibatan CIA dan Mossad. Mengapa mereka terlibat? Keduanya sama-sama Yahudi yang tidak ingin Indonesia berpenduduk mayoritas muslim akan merepotkan kedua negara itu ke depan. Dengan adanya kekacauan di dalam negeri, jelas kita akan sibuk mengurusi masalah internal kita. Tidak punya perhatian dengan masalah global yang sensitive dan berkaitan dengan kedua Negara itu.
Cara kerja mereka (CIA dan Mossad) sangat santun dan beradab. Tapi jangan lengah. Sebab, mereka sendiri pernah berkata:
‘’Cara kerja kami sederhana. Membuat orang merasa bahwa kami adalah sahabat setia mereka. Tapi yang sesungguhnya, kami tak pernah menjadi sahabat mereka’’.
Lalu seorang teman saya, Nuim Khaiyath, Penyiar Radio Australia yang anak Medan tulen dan dua kali bertemu saya (di New Delhi 1982 dan Jakarta 1987) dan memberi kata pengantar buku Herry Nurdi, berkata:’’Waspadalah, kita tidak pernah benar-benar tahu siapa yang duduk di samping kanan dan kiri. Saat kita lengah, mereka akan menikam dan tak meninggalkan jejak untuk dilacak’’.
Tak heran, kalau salah salah satu stasiun TV swasta dalam suatu acara rubrik siangnya selalu meneriakkan:’’Waspadalah! Waspadalah!’’.

M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar