Jumat, 01 Januari 2010

Lebaran Haji 2009

Sudah puluhan tahun saya tak berlebaran dengan keluarga di kampung halaman. Keinginan bersama keluarga merayakan hari lebaran bukan tidak pernah muncul, tetapi soal waktu jua yang menentukan. Dan, yang terpenting, adalah jadwal perjalanan kapal Pelni ke kampung, satu-satunya angkutan massal yang dapat saya pakai dengan biaya murah. Kalau saya sendiri, tidak ada persoalan. Gampang. Tinggal angkat koper. Tetapi, saya ingin berlebaran di kampung halaman lengkap dengan keluarga. Istri, anak, dan cucu ikut. Biar semarak.
Pada Lebaran Haji tahun 2009, saya sedikit beruntung. Seminggu sebelum lebaran, putri kedua saya mengakhiri masa lajangnya, dipersunting keluarga dari pihak istri. Lantaran acara bertepatan dengan kapal naik dok, sehingga keluarga yang hadir hanya ayah dan ibu, berikut tiga saudara saya serta sepupu – Abdul Karim H.Yasin -- yang tinggal di Denpasar Bali dan istri adik yang kebetulan baru saja berkunjung ke Jakarta. Dari keluarga yang lain, hadir juga Hj Hadidjah H.M.Saleh dan saudaranya Drs.Ibrahim H.M.Saleh, Kepala SMA Negeri 1 Belopa berserta istri dan anak-anaknya.
Dua hari setelah pesta di gedung IMMIM Makassar, pasangan pengantin baru harus mengikuti pesta di Tanete, Bulukumba, 187 km dari Makassar. Ibu, Sri Suharni, dan Muslim, menyertai saya, istri dan cucu ke Tanete. Ayah yang tangannya luka akibat kecelakaan dalam perjalanan darat Mataram-Bima, memutuskan tinggal di rumah bersama adik Nurhayati. Kami hanya menggunakan tiga kendaraan kecil. Sebuah mobil Avanza, Mitsubishi Grandia, dan Kijang LGX saya.
Karim lebih dulu kembali pada hari Sabtu, 21 November, langsung ke Denpasar. Muslim, Hadidjah, dan Raehana memutuskan pulang lebih dulu ke Bima tanggal 24 November 2009 melalui pesawat ke Mataram. Nurhayati dan Itja juga pada hari yang sama terbang ke Palu. Rombongan dari Bima yang tinggal hanyalah ayah, ibu, dan adik Sri Suharni, yang menunggu kapal Pelni selesai menjalani dok.
Ayah, ibu, dan Sri Suharni merayakan Lebaran Haji di Antang Makassar. Inilah pertama kali dalam hamper 30 tahun saya merayakan hari besar Islam itu bersama kedua orang tua. Kami menunaikan ibadah salat ied di Masjid Amirul Mukminin Kompleks Perumahan Unhas Bangkala.
Di rumah, kami saling bersalaman, meminta maaf. Inilah untuk pertama kali selama tiga dasawarsa, saya merangkul ayah dengan perasaan bahagia. Begitu pun dengan ibu. Terdengar desah haru napas ayah saat tangannya merangkul tubuh saya, anak sulungnya. Istri, anak, dan cucu pun, tak luput dirangkulnya.
Tanggal 28 November 2009, pengantin baru harus diantar ke Bulukumba. Mereka akan memulai hidup baru. Berpisah dengan kedua orang tuanya di Makassar. Ayah, ikut mengantar cucunya, sekaligus merasakan udara Tanete yang sejuk. Heri mengemudikan mobil Kijang LGX hitam yang kami beli tahun 2008 dengan harga Rp 139 juta.Ibu dan Sri tidak ikut.
Kunjungan ayah ke Tanete ternyata ada manfaatnya. Selain dapat berkenalan dengan keluarga di sana, juga sempat berkenalan dengan situasi dan iklim daerah yang cocok untuk tanaman buah-buahan. Udara yang sama dinginnya dengan di kampung saya saat musim kemarau. Hanya saja di Tanete, tanahnya basah terus sepanjang tahun.
Ayah juga sempat berkenalan dengan penjual bibit tanaman durian dalam suatu kunjungan yang tidak terjadwal. Ayah memperoleh hadiah lima pohon bibit durian Montong. Tiga pohon bibit Manggis diperoleh dari Pak Amiruddin Umar, ayah Briptu Achmad Amiruddin, suami Haryati, putriku. Bibit-bibit itu belum sempat ditanam, karena kesibukan ayah menjelang pernikahan adik saya yang bungsu, Farida, 25 Desember 2009.
Ayah kembali ke Bima 9 Desember 2009 bersama ibu dan Sri, menggunakan KM Tilongkabila. Heri mengantar kakek-neneknya, setelah menurunkan saya di kampus. Hari itu bersamaan dengan demo besar-besaran anti korupsi di seluruh Indonesia. Demo di Makassar yang terjadi di beberapa titik, ternyata kemudian bersifat anarkis. Tentu saja, mendapat sorotan khusus dari media elektronik dan diketahui publik di seluruh tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar