Senin, 11 Januari 2010

Surat Buat Menhankam

Suatu malam tahun 1984. Saya lupa tanggal dan bulannya. Waktu itu, saya baru saja kembali dari kantor redaksi Harian Pedoman Rakyat usai ‘ronda’. Di dekat sebuah tikungan di kawasan PLN Tello, Makassar, ke arah sebuah kompleks perumahan 2 km dari tempat itu, kendaraan saya tiba-tiba distop oleh seorang pria. Mata saya sempat menyelidik posturnya sesaat, ketika lampu mobil menyapu tubuhnya. Dia berambut cepak.
‘’Anggota, pasti, ‘’ saya membatin.
‘’Boleh saya numpang?,’’ katanya pendek, ketika saya berhenti dan menurunkan kaca mobil sebelah kiri yang rada gelap karena dilengketi pelapis riben.
Setelah berbasa-basi, sejenak, saya pun bertanya mengenai lokasi tugasnya. Dia menyebut salah satu kesatuan di Makassar. Malam itu, dia baru saja kembali dari bermalam Minggu di tengah kota. Mungkin di Pantai Losari. Mengetahui dia seorang tentara, naluri jurnalistik saya muncul. Saya menyambutnya dengan sebuah pertanyaan sederhana yang sebenarnya jawabannya sangat tidak sederhana.
‘’Bagaimana dengan uang lauk pauk pasca Pak Jenderal M.Jusuf berhenti sebagai Menhankam?,’’ tiba-tiba saja pertanyaan ini memagut benak saya begitu cepat.
‘’Selama beliau menjadi Menhankam, masalah lauk pauk tentara benar-benar terjamin. Beliau sangat memperhatikan kebutuhan kami,’’ katanya.
Saya tidak berusaha mengejar informasi tersebut dengan mengajukan pertanyaan baru. Informasi ini cukup bagi saya – tokh tidak untuk dimuat juga saat itu – mengetahui bagaimana respons para prajurit dengan kondisi terbaru di bawah pemimpin atau menteri mereka yang baru.
Beberapa bulan kemudian, saya pulang kampung, ke Bima. Saya bertemu lagi dengan seorang anggota tentara. Pertanyaan yang sama saya juga ajukan. Jawabannya, juga sama. Jawaban yang diberikan kedua anggota TNI itu sudah cukup meyakinkan saya mengenai permasalahan yang mereka hadapi.
Sekitar`25 tahun kemudian, tepatnya 12 November 2009, komentar dua anggota TNI tersebut tiba-tiba saja mengganggu pikiran saya, ketika harian Kompas (12/11 2009, halaman hlm 5) memuat sebuah foto yang memperlihatkan Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Bersatu II Purnomo Yusgiantoro diusung beramai-ramai oleh prajurit TNI Batalyon Infantri (Yonif) 042/Kapuas yang bertugas di perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, Kalimantan Barat. Gambar visual seperti itu selama ini hanya kerap kita saksikan usai berlangsung sertijab (serah terima jabatan) di lingkungan TNI. Tetapi, Purnomo Yusgiantoro agaknya sipil yang dipercayakan menjadi ‘komandan’ serdadu cukup sensitif dengan mengunjungi para prajurit di garis depan, perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat.
Dalam lawatannya itu, Purnomo Yusgiantoro mengatakan bahwa Departemen Pertahanan tengah berupaya mempercepat kenaikan remunerasi (pemberian upah, gaji) bagi prajurit TNI. Juga bagi mereka yang ditugaskan di wilayah perbatasan dan pulau terluar. Bahkan katanya lagi, untuk kenaikan remunerasi diusahakan dilaksanakan tahun 2010. Dia juga mengatakan akan menaikkan tunjangan khusus bagi prajurit TNI yang ditugaskan di daerah perbatasan dan pulau terluar.
Komentar Menhan ini jelas akan disambut gembira oleh seluruh prajurit TNI. Mereka sudah diiming-iming dengan perbaikan kesejahteraan yang selama ini menjadi impian mereka, terutama para prajurit pasca 1983, setelah mendiang Jenderal TNI M.Jusuf lengser sebagai prajurit.
Namun, saya melihat masih ada kesangsian dari hajat Menhan untuk merealisasikan remunerasi itu, yakni hanya dititikberatkan kepada prajurit yang bertugas di daerah perbatasan dan pulau terluar. Kalau benar statemen dan realisasi remunerasi, khususnya pemberian tunjangan khusus, diberlakukan dengan konsep seperti itu, saya khawatir bakal terjadi rasa tidak puas di kalangan prajurit. Ini bisa membuka kemungkinan terjadinya praktik diskriminasi di kalangan prajurit.
Dalam beberapa kejadian di sejumlah daerah di Indonesia, salah pengertian antara oknum anggota TNI dengan anggota Polri, justru terjadi di kota-kota besar. Disharmoni seperti ini bukan rahasia umum lagi, kalau ada sebenarnya disebut ditengarai bersumber dari masalah kronis, kecemburuan sosial. Bentuknya, adalah timpangnya pemerataan kesejahteraan antarpara anggota, pasca TNI dan Polri berpisah.
Dalam kenyataan sehari-hari pun, kita tidak dapat menafikan perbedaan ini. Sudah menjadi buah bibir masyarakat, kita sulit sekali menemukan seorang perwira (inspektur satu, dulu letnan satu) polisi mengendarai sepeda motor ke kantor. Mereka rata-rata bermobil, sementara kalau seorang anggota TNI dengan pangkat yang sama, justru kebanyakan masih setia dengan sepeda motor dan kerap susah menemukan mereka sudah bermobil kalau di daerah-daerah. Pejabat Danramil saja masih sering naik sepeda motor, kalau dia tidak menaiki mobil taft tua yang mungkin juga tidak diproduksi lagi. Mengapa terjadi ketimpangan, benak kita masing-masing dapat menjawabnya.
Oleh sebab itu, Menhan yang baru, meski tidak harus bagaikan membalik telapak tangan berkaitan dengan kesejahteraan prajurit ini, yang sejatinya diprioritaskan adalah bagaimana prajurit memperoleh perhatian yang sama. Saya tidak ingin menyarankan Menhan yang baru mengikuti jejak Jenderal TNI M.Jusuf, sebab latar belakangnya berbeda. Almarhum berlatarbelakang tentara tulen, sementara Purnomo Yusgiantoro, seorang professional sipil yang ditunjuk dan diangkat memimpin institusi militer. Meski demikian, bukan suatu hal yang tabu, jika jejak-jejak M.Jusuf dapat diadopsi demi kesejahteraan prajurit. Masuk keluar barak tentara, merupakan potret kunjungan M.Jusuf ke berbagai daerah di Indonesia. Jusuf berdialog dengan para istri tentara di dapur selalu ditunggu-tunggu oleh para wartawan media cetak dan elektronik yang meliput kunjungannya. Menepuk-nepuk bahu prajurit sementara tongkat komandonya bersandar di salah satu bagian anggota tubuhnya, sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam lawatan Jusuf.
Saya melihat, lawatan perdana Menhan ke Entikong tersebut membuka peluang terciptanya perhatian yang besar dari petinggi TNI terhadap prajurit di berbagai pelosok republic ini ke depan. Kita tidak ingin lagi membaca di media atau pun mendengar` rumor-rumor ada oknum anggota TNI-Polri saling ‘membuat perhitungan’ bukan di medan tempur menghadapi musuh.

M.Dahlan Abubakar
Penulis, staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Unhas dan wartawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar