Senin, 11 Januari 2010

Gurita Cikeas,dan Kebebasan Bertanggung Jawab

Ketika KM Tilongkabila yang saya tumpangi pergi-pulang, Makassar-Bima-Makassar (23 dan 27 Desember 2009) melintas di dekat perairan Selayar, tiba-tiba ponsel saya yang sudah beberapa belas jam tidur panjang, menjerit kecil. Sebuah SMS muncul di layar.
‘’Membongkar Gurita Cikeas. Perlu? Pesan malam ini,’’ bunyi pesan melalui layanan pendek itu dari seorang senior, guru, teman dan sahabat saya.
Saya menjawab seadanya.
‘’Wah, ternyata kemelut republik ini serumit itu. Saya berhari-hari tidak ikuti perkembangan, karena berada di ujung kampung, kini masih di perairan Selayar. Mudah-mudahan kasus ini tidak menggoyang negara’’.
Saya benar-benar tidak tahu persoalan. Dinihari, Selasa (29/12) saya mencoba bertualang di dunia maya. Masya Allah, ternyata apa yang saya bayangkan tidak seenteng itu. Sepenggal persoalan yang bersumber dari sebuah buku yang ditulis oleh tokoh kritis George Junus Aditjondro bertajuk ‘’Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century’’ telah menggoyang dan mendominasi informasi terbaru media massa.
Aditjondro memang dikenal sebagai penulis buku yang membuat banyak pejabat Indonesia merah telinga. Dialah yang membongkar bisnis keluarga Cendana melalui satu bukunya yang heboh, sampai-sampai sang penulis diburu oleh penguasa rezin Orde Baru dan membuat dia berdomisili di Australia.
Karya alumni Cornel University tersebut tak ayal lagi masuk dalam daftar judul buku yang dilarang edar oleh pemerintah, cq. Kejaksaan Agung. Banyak pihak yang memperkirakan, desakan pihak Cikeas boleh jadi ikut bermain dalam proses pelarangan tersebut. Namun, salah satu online menulis, Jaksa Agung Muda Intelijen HM Amari mengatakan kepada wartawan, tidak ada pesan khusus dari Cikeas berkaitan dengan peredaran buku ini.
‘’Saya tegaskan tidak ada arahan atau desakan dari Cikeas,” kata Amari kepada wartawan di Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta, Senin (28/12/2009), seperti dikutip salah satu online.
Kata dia lagi, buku ini dipelajari Kejagung karena mendapat sorotan dari masyarakat.
“Maka kita prokatif sebagai salah satu tugas menjaga ketertiban umum,” tuturnya.
Ketika membaca frase ‘ketertiban umum’ ini, saya teringat ikon Sistem Pers Pancasila pada era Orde Baru yang selalu mendogma para wartawan dengan kalimat ‘’wartawan memiliki kebebasan yang bertanggungjawab. Dalam memberitakan sesuatu harus menjaga jangan sampai mengusik ketertiban umum’’. Singkatnya, wartawan tidak boleh memberitakan sesuatu yang dianggap dapat menimbulkan gejolak di dalam masyarakat dan mengusik ketertiban umum. Indonesia memang senang dengan diskursus yang eufimistik seperti itu yang oleh salah seorang pakar bahasa Indonesia disebut ‘’ragam bahasa Orde Baru’’.
Dalam suatu pertemuan dengan Ketua PWI Pusat Harmoko (sekitar tahun 1984 ) di Kantor Wilayah Deppen Provinsi Sulsel di Jl.Sultan Hasanuddin (Kantor KONI Sulsel sekarang, meski tidak semegah seperti sekarang), saya termasuk salah seorang yang bertanya kepada Harmoko ketika itu. Saya katakan, di mana posisi wartawan dengan kebebasan yang bertanggungjawab itu dan harus menjaga ketertiban umum jika tidak memberitakan sesuatu malah menimbulkan gejolak yang tidak diinginkan. Saya memberikan contoh, ketika terjadi pembunuhan atas diri salah seorang pejabat bupati di Sulsel, wartawan dibungkam tidak memberitakan sesuatu. Masyarakat tidak memperoleh informasi sedikit pun tentang kasus itu secara resmi, kecuali yang beredar dari mulut ke mulut. Masyarakat resah dan gelisah dengan ketiadaan informasi resmi ini. Yang terjadi kemudian, justru muncul selebaran yang berisi informasi mengenai kasus itu yang ditulis seenak perutnya oleh orang-orang yang tidak jelas identitasnya.
‘’Ini bentuk wartawan harus menghormati kebebasan yang bertanggungjawab dengan tidak memberitakan suatu kejadian atau peristiwa yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Tidak diberitakan malah terjadi kegoncangan informasi di masyarakat. Bagaimana persoalannya kalau seperti ini?,’’ tanya saya waktu itu.
Harmoko mencoba menghibur saya dengan berkisah tentang kebebasan pers di dunia Barat, yang juga sudah saya lumat habis. Saya terima penjelasan panjang lebarnya meski tidak puas.
Pada tahun 1988, ketika baru saja Harmoko diangkat sebagai Menteri Penerangan dan membreidel tiga media di Jakarta lantaran memberitakan sesuatu yang dianggap membuat merah telinga pejabat Orde Baru, dalam suatu Lokakarya Wartawan di Cipayung Bogor saya kembali bertanya. Pertanyaan yang sama dengan Harmoko, saya alamatkan kepada R.H.Siregar, yang ketika itu menempati posisi Bidang Hukum PWI Pusat.
Singkatnya, dia tidak dapat memberikan jawaban yang pas, meski pasal-pasal tentang Kode Etik Jurnalistik dia dia lumat habis.
‘’Susah juga menjawab pertanyaan Saudara,’’ Siregar yang sudah almarhum itu menambahkan.
‘’Sebenarnya, saya hanya ingin mendapat jawaban pembanding saja. Pertanyaan yang sama pernah saya ajukan kepada Harmoko beberapa tahun sebelumnya. Tetapi saya tidak memperoleh jawaban yang pas dan memuaskan,’’ imbuh saya.
Pada masa Orde Baru pun banyak buku yang terkena embargo seperti itu. Yang pasti seluruh buku karangan Pramudya Anantatoer tak satu pun yang dibiarkan beredar di pasaran Indonesia. Buku mendiang sastrawan besar Indonesia itu malah terbit dan beredar di luar negeri. Malah, lebih banyak dialihbahasakan oleh Negara-negara lain. Sekarang, muncul lagi pelarangan seperti itu. Terasa ada nuansa masa lalu hadir lagi dalam kehidupan di kekinian kita. Mengapa tidak menerbitkan buku tandingan saja, seperti ketika Sintong Panjaditan dan Prabowo Sugianto terlibat saling polemik, kemudian berakhir dengan sendirinya setelah Prabowo menerbitan ‘’buku tandingan’’. Orang bisa membaca versi itu dari dua sisi.
Buku Adjitjondro ini pun bisa dijadikan contoh untuk menerbitkan buku tandingan. Yang penting, datanya dapat dipertanggunghawabkan. Nanti masyarakatlah yang akan menilai, mana yang benar dan salah. Semakin dilarang, biasanya rasa penasaran masyarakat itu kian besar. Rasa ingin tahu publik makin tinggi.
Buku karangan penulis Indonesia juga banyak yang dilarang sekarang. Misalnya Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September, dan Kudeta Soeharto, karangan Jhon Roosa, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965,, karangan Rhoma Dwi Arya Yuliantri dan Muhiddin M Dahlan, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah, dan Kucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri, karya Cocrates Sofen Yoman, Enam Jalan Menuju Tuhan, karya Dharmawan MM, dan Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama. Karya Syahrudin Ahmad.
Kita berharap, pelarangan buku- buku seperti ini dan juga film tentang kematian lima wartawan Australia di Balibo Timor Timur (Timor Lorosae) tahun 1975 bukan merupakan indikasi bahwa negara ini sedang berproses kembali ke iklim sebelum tahun 1998.

Oleh M.Dahlan Abubakar
Wartawan Senior Sulsel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar